Anda di halaman 1dari 56

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dan pembahasan penelitian dipaparkan pada bab ini yang meliputi

karakteristik tempat penelitian, data umum, data khusus, dan pembahasan yang

berkaitan dengan pengaruh tipe kepribadian dan beban kerja terhadap burnout

syndrome pada mahasiswa praktik pra klinik tingkat III-A program studi S1

Keperawatan STIKes Eka Harap Palangka Raya.

4.1 Hasil Penelitian

Hasil penelitian tentang pengaruh tipe kepribadian dan beban kerja terhadap

burnout syndrome pada mahasiswa praktik pra klinik tingkat III-A program studi

S1 Keperawatan STIKes Eka Harap Palangka Raya memiliki responden sejumlah

49 orang yang ditentukan berdasarkan perhitungan sampel. Responden pada

penelitian ini adalah mahasiswa/(i) STIKes Eka Harap Palangka Raya program

studi S1 Keperawatan tingkat III-A yang sedang menjalani praktik pra klinik di

pusat kesehatan masyarakat. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dari

tanggal 19 Mei s/d 23 Mei 2015.

4.1.1 Karakteristik Tempat Penelitian

4.1.1.1 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Eka Harap Palangka Raya

Yayasan Eka Harap Palangka Raya didirikan pada tahun 1987. Pada tahun

ajaran 1989/1990 Yayasan Eka Harap telah mendirikan Sekolah Perawat

Kesehatan Eka Harap Palangka Raya berdasarkan izin Departemen Kesehatan

tanggal 24 Juni 1989 Nomor: 148/Kep/Diknakes/VI/1989 di Jalan Beliang No.

110 Palangka Raya. Sejak tahun ajaran 1999/2000 Sekolah Perawat Kesehatan

Eka Harap tidak lagi menerima siswa baru karena mempersiapkan diri konversi ke

87
88

Akademi Keperawatan dalam rangka peningkatan sumber daya kesehatan

terutama tenaga D3 Keperawatan, dengan surat rekomendasi dari Kepala Kantor

Wilayah Departemen Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah tanggal 14 Februari

2000 nomor: DL.02.02.3.0284 dan penyelenggaraan Akademi Keperawatan Eka

Harap Palangka Raya didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI

nomor: HK.00.06.1.3.0724.1. Setelah itu sesuai kebijakan pemerintah pusat dalam

meningkatkan tenaga kesehatan, pada tahun 2009 dilakukan pembukaan progra

studi baru S1 Keperawatan dan Akademi Keperawatan Eka Harap berganti

menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Eka Harap Palangka Raya

berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia, tanggal

1 Oktober 2009, Nomor: 162/D/O/2009 (STIKes Eka Harap, 2014). Saat ini

jumlah mahasiswa STIKes Eka Harap Palangka Raya Program Studi S1

Keperawatan berjumlah 431 orang mahasiswa sedangkan Angkatan IV Tahun

Ajaran 2014-2015 berjumlah 107 orang mahasiswa.

1) Visi dan Misi STIKes Eka Harap Palangka Raya

Visi: Menjadi pusat pendidikan kesehatan yang pancasilais, profesional, unggul

dalam bidang keperawatan/kebidanan komunitas sehingga dapat

berkompetisi secara nasional maupun internasional di tahun 2020.

Misi

(1) Menyelenggarakan pendidikan tenaga kesehatan pada jenjang D3 dan S1

serta pendidikan profesi dan berorientasi pada keperawatan, kebidanan

komunitas.

(2) Melakukan berbagai kegiatan pengembangan dan penelitian guna

pengembangan ilmu dan teknologi di bidang kesehatan komunitas.


89

(3) Melakukan berbagai pengembangan pelayanan kesehatan melalui kegiatan

pengabdian pada masyarakat, berkerjasama dengan berbagai pihak terkait.

2) Visi dan Misi Program Studi S1 Keperawatan

Visi: Menjadi pusat pendidikan tenaga kesehatan yang pancasilais, profesional,

unggul dalam bidang keperawatan komunitas dan dapat berkompetisi secara

nasional maupun internasional pada tahun 2020.

Misi:

(1) Menyelenggarakan pendidikan keperawatan jenjang S1.

(2) Melakukan berbagai kegiatan pengembangan dan penelitian guna

pengembangan ilmu dan teknologi dibidang keperawatan/kesehatan.

(3) Melakukan berbagai pengembangan pelayanan keperawatan melalui

kegiatan pengabdian pada masyarakat, bekerjasama dengan berbagai pihak

dan menggunakan berbagai sumber baik lokal, regional, nasional maupun

internasional.

Gambar 4.1 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Eka Harap Palangka Raya
90

3) Tujuan Pendidikan

(1) Menghasilkan tenaga kesehatan yang pancasilais, profesional, unggul, dan

dapat berkompetisi secara nasional maupun internasional.

(2) Ikut serta meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

(3) Menghasilkan penelitian dan berbagai temuan yang bermanfaat bagi

masyarakat dan pelayanan kesehatan.

4) Kurikulum

Program pendidikan sarjana keperawatan menghasilkan sarjana keperawatan

yang berkemampuan akademi dalam pelayanan keperawatan sesuai kebutuhan

klien dengan menggunakan pendekatan holistik dengan mengantisipasi

perkembangan IPTEK dan tuntutan masyarakat baik nasional maupun global.

Kurikulum inti program ini dikembangkan berdasarkan profil lulusan yang

diharapkan, kompetensi yang harus dimiliki dan dilengkapi dengan bahan kajian

yang terkandung dalam mencapai kompetensi tersebut. Kurikulum pendidikan

sarjana keperawatan ditetapkan mengacu pada kurikulum inti yaitu 160 SKS

terdiri dari 60% pengetahuan teori dan 40% dari penerapan praktik. Kurikulum

yang digunakan adalah kurikulum yang berbasis kompetensi (KBK), dengan pola

struktur terintegrasi sehingga peserta didik dapat mengembangkan kemampuan

untuk menggabungkan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang relevan dengan

masalah kesehatan yang dihadapi. Di samping itu, peserta didik diharapkan

memiliki kemampuan untuk menggabungkan kembali pemahaman tentang

masalah kesehatan berdasarkan pengalaman dan mampu menerapkan

pemahamannya pada masalah-masalah baru yang dihadapi.


91

5) Sarana dan Prasarana

(1) Ruangan kuliah mahasiswa program studi S1 Keperawatan berjumlah 8

ruang kelas yang dilengkapi dengan fasilitas lengkap di setiap ruangan

terdiri dari LCD proyektor, laptop, papan tulis, flipchart pada setiap ruangan

sebagai alat media belajar.

(2) Ruangan kantor dosen.

(3) Perpustakan yang menunjang pendidikan dan pembelajaran mahasiswa .

(4) Laboratarium keperawatan, anatomi, jiwa, dan maternitas.

(5) Aula (gedung pertemuan).

(6) Ruang rapat dosen.

(7) Laboratarium komputer yang dilengkapi 20 unit komputer yang dapat

digunakan mahasiswa.

(8) Kantin kampus.

4.1.1.2 Puskesmas Kayon

Puskesmas Kayon didirikan pada tahun 1985 dan terletak di Jalan Garuda

IV dengan bangunan permanen. Pada bulan Agustus 2005, berdasarkan kebijakan

Kepala Dinas Kesehatan Kota Palangka Raya dan Kepala Puskesmas Kayon

dengan memperhatikan tuntutan kebutuhan masyarakat dan mempermudah

jangkauan masyarakat ke tempat pelayanan dari segi geografi dan transportasi

maka gedung Puskesmas Kayon pindah lokasi dari Jalan Garuda IV ke jalan

Rajawali No.35 bertukar tempat dengan gedung Farmasi Dinas Kesehatan Kota

Palangka Raya. Luas tanah 1.200 m2 dan luas bangunan 298 m2. Letak geografi

Puskesmas Kayon Palangka Raya terletak di wilayah kerja yang berada di 2

kelurahan yaitu Kelurahan Palangka dan Kelurahan Bukit Tunggal. Luas wilayah
92

kerja 25 km2. Batas wilayah sebelah timur yaitu Desa Bukit Rawi, Kabupaten

Pulang Pisau; sebelah selatan yaitu Kelurahan Palangka; sebelah utara yaitu

Kelurahan Marang, Kecamatan Bukit Batu; dan sebelah barat yaitu Jalan Cilik

Riwut (sebelah kiri) km. 7 (Puskesmas Kayon, 2013).

Gambar 4.2 UPTD Puskesmas Kayon

Penyelenggaraan pelayanan kesehatan Puskesmas Kayon senantiasa

mengutamakan pelayanan kesehatan sehingga ditetapkan visi dan misi

(Puskesmas Kayon, 2013):

Visi: Masyarakat mandiri untuk hidup sehat

Misi:

1) Terwujudnya perilaku hidup bersih dan sehat.

2) Meningkatnya peran serta masyarakat dalam pembangunan kesehatan.

3) Terselenggaranya pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh

tenaga kesehatan yang profesional.


93

4.1.1.3 Puskesmas Kereng Bangkirai

UPTD Puskesmas Kereng Bangkirai Palangka Raya berlokasi di Jalan

Mangku Raya No. 11 Kelurahan Kereng Bangkirai Kecematan Sebangau

Palangka Raya. UPTD Puskesmas Kereng Bangkirai diresmikan pada tanggal 09

Maret 2011 oleh Bapak Walikota Palangka Raya yang asalnya merupakan

Puskesmas pembantu yang berada di bawah Puskesmas induk Kalampangan.

Wilayah kerja UPTD Puskesmas Kereng Bangkirai meliputi 2 kelurahan yaitu

Kelurahan Sabaru dan Kelurahan Kereng Bangkirai yang masuk dalam wilayah

Kecamatan Sebangau. Bagian utara berbatasan dengan Kelurahan Bukit Tunggal

dan Kelurahan Menteng, bagian timur berbatasan dengan Kelurahan Sebaru, dan

bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Pulang Pisau (Puskesmas Kereng

Bangkirai, 2013).

Gambar 4.3 UPTD Puskesmas Kereng Bangkirai

Wilayah UPTD Puskesmas Kereng Bangkirai terdapat UKBM, sekolah,

tempat ibadah, dan kader dalam pelaksanaan kegiatan program Puskesmas yang

meliputi posyandu balita berjumlah 10 buah, posyandu lansia berjumlah 2 buah,


94

kader posyandu berjumlah 35 orang, tempat praktik dukun bayi berjumlah 5 buah,

bidan praktek swasta berjumlah 5 buah, PPLKB berjumlah 1 buah, PLKB

berjumlah 1 buah, TK berjumlah 10 buah, SD/MIN berjumlah 5 buah, SLB

berjumlah 1 buah, SLTP berjumlah 2 buah, SLTA berjumlah 2 buah, pesantren

berjumlah 1 buah, panti asuhan berjumlah 1 buah, mesjid/surau berjumlah 14

buah, dan gereja berjumlah 5 buah.

4.1.1.4 Puskesmas Menteng

Puskesmas Menteng merupakan salah satu puskesmas yang ada di wilayah

Kecematan Jekan raya, terletak di sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan

Palangka, sebelah selatan berbatasan dengan kelurahan Kereng Bangkirai,

sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Langkai dan setelah barat berbatasan

dengan Kecematan Sebangau, kurang lebih berjarak 3,5 km dari pusat kota

Palangka Raya, tepatnya berada di Kelurahan Menteng meliputi 175 RT dan 52

RW, dengan luas wilayah kerja 9,341 km (Puskesmas Menteng, 2013).

Gambar 4.4 UPTD Puskesmas Menteng


95

Penyelenggaraan pelayanan kesehatan Puskesmas Menteng ditetapkan

dalam visi dan misi serta strategi pelayanan sebagai berikut (Puskesmas Menteng,

2013).

Visi: Pelayanan kesehatan yang berkesinambungan menuju masyarakat sehat

yang mandiri.

Misi:

1) Memberikan pelayanan sesuai dengan standar mutu pelayanan kesehatan.

2) Memberikan penyuluhan kepada masyarakat secara berkesinambungan.

Strategi:

1) Meningkatkan pelayanan kesehatan (kuratif dan rehabilitatif) di Puskesmas

Induk.

2) Meningkatkan pelayanan promotif dan preventif dalam bentuk klinik sehat.

3) Meningkatkan pelayanan kesehatan (kuratif dan rehabilitatif) di Puskesmas

Pembantu dan Puskesmas keliling.

4) Memperkuat jaringan komunikasi dan koordinasi dengan stake holder.

5) Memperkuat jaringan peran serta masyarakat di bidang kesehatan.

4.1.1.5 Puskesmas Bukit Hindu

Lokasi UPTD Puskesmas Bukit Hindu beralamat di tepi jalan raya Kinibalu

No. 69 Kecematan Jekan Raya Kota Palangka Raya di daerah perkotaan.

Puskesmas Bukit Hidu dibangun pada tahun 1986, dengan luas tanah 820 meter

persegi, luas bangunan 550 meter persegi. Deskripsi wilayah kerja Puskesmas

Bukit Hindu mencakup jumlah penduduk sebanyak 32.682 jiwa, jumlah kepala

keluarga 7.819 jiwa, jumlah keluarga miskin sebanyak 3.082, dan satu desa. Rata-

rata waktu tempuh terdekat menuju Puskesmas Bukit Hindu adalah 5 menit dan
96

waktu tempuh terjauh adalah 20 menit. Puskesmas Bukit Hindu memiliki 1 unit

pelayanan gigi, 1 unit pelayanan laboratorium dan 1 unit pelayanan gawat darurat

di luar unit pelayanan yang umum ada di Puskesmas. Puskesmas Bukit Hindu

memiliki empat Pustu (Puskesmas Pembantu) yaitu Pustu Bukit Tunggal, Pustu

Mandawai, Pustu Pembatasan dan Pustu Bukit raya. Jumlah rumah bersalin yang

ada di wilayah kerja Puskesmas Bukit Hindu sebanyak 3 rumah bersalin, 2 di

antaranya milik swasta dan 1 milik pemerintah dengan jumlah total tenaga

kesehatan di 3 rumah bersalin sebanyak 52 orang. Jumlah panti asuhan yang ada

di wilayah kerja Puskesmas Bukit Hindu sebanyak 2 panti asuhan (Puskesmas

Bukit Hindu, 2013).

Gambar 4.5 UPTD Puskesmas Bukit Hindu

4.1.1.6 Puskesmas Jekan Raya

Puskesmas Jekan Raya merupakan salah satu Puskesmas yang berada di

Kecematan Jekan Raya Kota Palangka Raya. Letak Puskesmas sangat strategis di

poros jalan negara, untuk sampai ke Puskesmas dapat ditempuh oleh jalur taxi

kota (angkot). Kunjungan pasien saat ini cukup tinggi, di mana rata-rata
97

kunjungan pasien di loket setiap harinya 20-50 orang/hari. Berdasarkan konsep

wilayah kerja Puskesmas mempunyai wewenang dan tanggung jawab dalam

pemeliharaan kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya. Untuk menjalankan

fungsi tersebut wilayah kerja Puskesmas Jekan Raya meliputi Kecematan Jekan

Raya yang terdiri dari 2 (dua) kelurahan yaitu Kelurahan Bukit Tunggal dan

Kelurahan Petuk Katimpun, dengan luas wilayah 1.172 km2 (Puskesmas Jekan

Raya, 2013).

Gambar 4.6 UPTD Puskesmas Jekan Raya

Puskesmas Jekan Raya pada tahun 2006 mengalami renovasi yang

meliputi pemasangan keramik lantai Poli Umum, WC, dan pengecatan dinding,

serta pembuatan siring, pengurukan halaman dan penanaman tanaman hias. Luas

bangunan Puskesmas Jekan Raya 231 m2 (10,5 x 22). Sampai saat ini keadaan

bangunan dan lingkungan kerja disekitarnya masih layak dan terpelihara dengan

baik. Puskesmas Jekan Raya membawahi 4 (empat) Puskesmas Pembantu

(Puskesmas Pembantu Petuk Katimpun; Puskesmas Pembantu Pemda Km. 10;

Puskesmas Pembantu Hiu Putih Pemda Km. 7; Puskesmas Pembantu Bumi


98

Palangka II), 1 (satu) Poskesdes Desa Petuk Katimpun, 1 (satu) Klinik Infeksi

Menular Seksual/IMS, 1 (satu) Unit Mobil Puskesmas Keliling.

Penyelenggaraan pelayanan kesehatan Puskesmas Jekan Raya senantiasa

mengutamakan pelayanan kesehatan sehingga ditetapkan visi dan misi.

Visi: Menciptakan pelayanan prima di masyarakat.

Misi:

1) Memberikan pelayanan kesehatan yang memenuhi standar pelayanan

kesehatan.

2) Memberikan kinerja yang baik dalam melaksanakan tugas.

4.1.1.7 Puskesmas Pahandut

Puskesmas Pahandut adalah salah satu dari 9 (sembilan) Puskesmas di Kota

Palangka Raya yang merupakan bagian dari unit kerja di bawah koordinasi Dinas

Kesehatan Kota palangka Raya. Puskesmas Pahandut di bantu empat Puskesmas

Pembantu yaitu Puskesmas Pembantu Murjani, Puskesmas Pembantu Rindang

Banua, Puskesmas Pembantu Seberang, dan Puskesmas Tumbang Rungan.

Gambar 4.7 UPTD Puskesmas Pahandut


99

Luas wilayah 53 km2, batas wilayah kerja Puskesmas Pahandut yaitu

sebelah utara berbatasan dengan Kecematan Bukit Rawi, sebelah selatan

berbatasan dengan Kelurahan Panarung, sebelah timur berbatasan dengan Tanjung

Pinang, sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Palangka. Puskesmas

Pahandut dalam menjalankan tugasnya terbagi dalam 3 sistem pelayanan yaitu

sebagai berikut (Puskesmas Pahandut, 2013).

1) Pelayanan kesehatan secara langsung

Pelayanan kesehatan secara langsung di Puskesmas merupakan salah satu

dari tugas puskesmas yang berhubungan dengan masyarakat, yaitu rawat jalan,

pemeriksaan ibu hamil (KIA/Kesehatan Ibu dan Anak), gigi, laboratorium, dan

lain-lain. Sebagian besar kegiatan pelayanan kesehatan secara langsung

merupakan kegiatan preventif dan kuratif.

2) Pelayanan kesehatan melalui kegiatan program

Kegiatan ini merupakan penjabaran dari fungsi Puskesmas yang kedua yaitu

dalam pembinaan peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf

kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya, sebagian besar kegiatan mencakup

kegiatan promotif dan preventif.

3) Kegiatan administrasi

Manajemen Puskesmas menjalankan kegiatan administrasi baik

ketatausahaan maupun dalam bentuk pelaporan-pelaporan hasil kegiatan, dikenal

dengan nama sistem informasi manajemen Puskesmas (SIMPUS).


100

4.1.2 Data Umum

Data umum adalah data demografi dari responden yang diteliti khususnya

dalam penelitian ini meliputi usia dan jenis kelamin responden.

4.1.2.1 Usia

Berikut ini adalah data umum responden berdasarkan usia.

Karakteristik Responden Berdasarkan Usia

5 responden 4 responden 19 tahun


(10%) (8%)
20 tahun

21 tahun

22 tahun

23 responden
(47%)
17 responden
(35%)

Sumber: Data Primer, Widiastuty (2015).

Diagram 4.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia Mahasiswa Tingkat III-


A Program Studi S1 Keperawatan STIKes Eka Harap Palangka
Raya tahun 2015

Diagram 4.1 menunjukkan bahwa 49 responden (100%) mahasiswa tingkat

III-A program studi S1 Keperawatan STIKes Eka Harap Palangka Raya yang

berusia 19 tahun berjumlah 4 responden (8%), berusia 20 tahun berjumlah 23

responden (47%), berusia 21 tahun berjumlah 17 responden (35%), dan berusia 22

tahun berjumlah 5 responden (10%). Dapat disimpulkan bahwa responden

dominan berusia 20 tahun sebanyak 23 responden (47%).


101

4.1.2.2 Jenis Kelamin

Berikut ini adalah data umum responden berdasarkan jenis kelamin.

Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

24 responden
(49%)

Laki-laki

Perempuan

25 responden
(51%)

Sumber: Data Primer, Widiastuty (2015).

Diagram 4.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Mahasiswa


Tingkat III-A Program Studi S1 Keperawatan STIKes Eka Harap
Palangka Raya tahun 2015

Diagram 4.2 menunjukkan bahwa 49 responden (100%) mahasiswa tingkat

III-A program studi S1 Keperawatan STIKes Eka Harap Palangka Raya yang laki-

laki berjumlah 24 responden (49%) dan perempuan berjumlah 25 responden

(51%). Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin seimbang dan tidak ada

yang mendominasi.

4.1.3 Data Khusus

Data khusus merupakan data yang disajikan berhubungan dengan penelitian.

Data khusus dalam penelitian ini dibagi menjadi dua tahapan yaitu analisis

univariat dan analisis multivariat. Data khusus pada penelitian ini meliputi tipe

kepribadian, beban kerja, burnout syndrome, hasil transformasi data, deteksi data
102

outlier dan missing value, uji normalitas data, hasil uji asumsi klasik dan uji

statistik regresi linier berganda.

4.1.3.1 Analisis Univariat

Analisis univariat pada penelitian ini terdiri atas frekuensi dan persentase

dari data tipe kepribadian, beban kerja, burnout syndrome.

1) Tipe Kepribadian

Berikut ini adalah data khusus responden berdasarkan tipe kepribadian.

Tabel 4.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Tipe Kepribadian Mahasiswa


Tingkat III-A Program Studi S1 Keperawatan STIKes Eka Harap
Palangka Raya tahun 2015
Tipe Kepribadian
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent
Percent
Sanguinis 21 42,9 42,9 42,9
Koleris 11 22,4 22,4 65,3
Valid Melankolis 9 18,4 18,4 83,7
Phlegmatis 8 16,3 16,3 100,0
Total 49 100,0 100,0
Sumber: Data Primer, Widiastuty (2015).

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa 49 responden (100%) mahasiswa tingkat III-

A program studi S1 Keperawatan STIKes Eka Harap Palangka Raya yang

memiliki tipe kepribadian sanguinis berjumlah 21 responden (42,9%), koleris

berjumlah 11 responden (22,4%), melankolis berjumlah 9 responden (18,4%), dan

phlegmatis berjumlah 8 responden (16,3%). Responden dengan tipe kepribadian

sanguinis lebih dominan yaitu sebanyak 21 responden (42,9%).


103

2) Beban Kerja

Berikut ini adalah data khusus responden berdasarkan beban kerja.

Tabel 4.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Beban Kerja Mahasiswa Praktik


Pra Klinik Tingkat III-A Program Studi S1 Keperawatan STIKes Eka
Harap Palangka Raya tahun 2015
Beban Kerja
Valid Cumulative
Frequency Percent
Percent Percent
Beban Kerja Berat 21 42,9 42,9 42,9
Beban Kerja Sedang 13 26,5 26,5 69,4
Valid
Beban Kerja Ringan 15 30,6 30,6 100,0
Total 49 100,0 100,0
Sumber: Data Primer, Widiastuty (2015).

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa 49 responden (100%) mahasiswa tingkat III-

A program studi S1 Keperawatan STIKes Eka Harap Palangka Raya yang

memiliki beban kerja berat berjumlah 21 responden (42,9%), beban kerja sedang

berjumlah 13 responden (26,5%), dan beban kerja ringan berjumlah 15 responden

(30,6%). Responden dengan beban kerja berat lebih dominan yaitu sebanyak 21

responden (42,9%).

3) Burnout Syndrome

Berikut ini adalah data khusus responden berdasarkan burnout syndrome.

Tabel 4.3 Karaktersitik Responden Berdasarkan Burnout Syndrome pada


Mahasiswa Praktik Pra Klinik Tingkat III-A Program Studi S1
Keperawatan STIKes Eka Harap Palangka Raya tahun 2015
Burnout Syndrome
Valid Cumulative
Frequency Percent
Percent Percent
Burnout Tinggi 7 14,3 14,3 14,3
Burnout Sedang 34 69,4 69,4 83,7
Valid
Burnout Rendah 8 16,3 16,3 100,0
Total 49 100,0 100,0
Sumber: Data Primer, Widiastuty (2015).
104

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa 49 responden (100%) mahasiswa tingkat III-

A program studi S1 Keperawatan STIKes Eka Harap Palangka Raya yang

mengalami burnout tinggi berjumlah 7 responden (14,3%), burnout sedang

berjumlah 34 responden (69,4%), dan burnout rendah berjumlah 8 responden

(16,3%). Responden dengan burnout sedang lebih dominan yaitu berjumlah 34

responden (69,4%).

4.1.3.2 Analisis Multivariat

Analisis multivariat berhubungan dengan metode-metode statistic yang

secara bersama-sama (simultan) melakukan analisis terhadap lebih dari dua

variabel pada setiap objek atau orang (Santoso, 2012: 7). Analisis multivariat pada

penelitian ini meliputi hasil transformasi data, deteksi data outlier dan missing

value, uji normalitas data, uji asumsi klasik dan analisis regresi linier berganda

dengan taraf signifikan 5% (pada tingkat kepercayaan 95%).

Transformasi data pada penelitian ini dilakukan karena data masih berskala

ordinal sehingga untuk memenuhi syarat analisis parametrik data

ditransformasikan ke interval (hasil dan cara perhitungan terlampir-lampiran 14).

Analisis missing value (tabel terlampir-lampiran 14) juga menunjukkan bahwa

tidak ada data yang missing.

1) Data Outlier

Langkah selanjutnya setelah melakukan transformasi untuk mendapatkan

normalitas data adalah mendeteksi adanya data outlier. Data outlier pada

penelitian ini menggunakan batas kritis diantara nilai 2,5 dan dinyatakan outlier

jika nilai lebih dari 2,5 (Ghozali, 2011: 41).


105

Data yang diperoleh pada deteksi outlier dari 49 responden menunjukkan

bahwa tidak terdapat data outlier (tabel terlampir-lampiran 14) untuk variabel

Ztipe_kepribadian, variabel Zbeban_kerja, dan variabel Zburnout_syndrome

karena seluruh observasi memiliki nilai yang berada dalam batas kritis 2,5. Hal

tersebut terjadi karena pada penelitian ini semua data dikoding dengan benar,

tidak ada kekeliruan saat entry data, dan tidak ada kekeliruan dalam

menspesifikasi adanya missing value sehingga tidak ada observasi yang

menunjukkan nilai ekstrim dan unik dari observasi lainnya.

2) Normalitas Data

Uji normalitas data pada penelitian ini menggunakan uji statistik

Kolmogorov-Smirnov dengan taraf signifikan 0,05 untuk menentukan data

terdistribusi normal atau tidak. Jika nilai signifikan kurang dari 0,05 berarti data

tidak terdistribusi normal, dan sebaliknya jika nilai signifikan lebih dari 0,05

berarti data terdistribusi normal. Berdasarkan hasil uji normalitas (terlampir-

lampiran 16) menunjukkan bahwa nilai Kolmogorov Smirnov variabel beban

kerja adalah 2,075 dengan pobabilitas signifikansi 0,000, dan nilai Kolmogorov

Smirnov variabel burnout syndrome adalah 2,866 dengan probabilitas signifikansi

0,000. Probabilitas dari semua variabel berada jauh di bawah = 0,05 yang

artinya bahwa semua variabel tidak terdistribusi secara normal. Data kemudian

ditransformasi dengan menggunakan grafik histogram (terlampir-lampiran 16) dan

diuji kembali dengan uji Kolmogorov Smirnov. Hasil uji menunjukkan bahwa

nilai probabilitas pada kedua variabel signifikan dan masih jauh di bawah 0,05

(0,000 < 0,05) yang berarti bahwa data yang sudah ditransformasi tetap tidak

terdistribusi normal.
106

3) Uji asumsi klasik

(1) Uji multikolonieritas

Uji multikolonieritas bertujuan untuk melakukan identifikasi adanya

korelasi antar variabel independen (Susilo, 2014: 109).

Tabel 4.4 Analisis Multikolonieritas dengan Nilai Tolerance dan VIF (Variance
Inflation Factor)
Unstandardized Standardized Collinearity
Coefficients Coefficients Statistics
Model t Sig.
Std.
B Beta Tolerance VIF
Error
(Constant) ,981 ,207 4,735 ,000
1 tipe_kepribadian -,051 ,038 -,173 -1,366 ,179 ,999 1,001
Beban_Kerja_New ,516 ,137 ,476 3,759 ,000 ,999 1,001
a. Dependent Variable: Burnout_Syndrome_New

Berdasarkan tabel 4.4, diketahui bahwa nilai tolerance kedua variabel lebih

dari 0,10 (0,999 > 0,10) dan nilai VIF kurang dari 10 (1,001 < 10), maka dapat

disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolonieritas antar variabel independen

dalam model regresi.

Tabel 4.5 Analisis Multikolonieritas dengan Matrik Korelasi Antar Variabel


Independen
Model Beban_Kerja_New tipe_kepribadian
Beban_Kerja_New 1,000 ,026
Correlations
tipe_kepribadian ,026 1,000
1
Beban_Kerja_New ,019 ,000
Covariances
tipe_kepribadian ,000 ,001
a. Dependent Variable: Burnout_Syndrome_New

Berdasarkan tabel 4.5, melihat nilai besaran korelasi antar variabel

independen tampak tingkat korelasi sebesar 0,026 atau sekitar 2,6%. Oleh karena

nilai tersebut masih di bawah 95%, maka dapat dikatakan tidak terjadi

multikolinieritas.
107

(2) Uji autokorelasi

Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji ada korelasi antar residual pada

model persamaan regresi berganda (Susilo, 2014: 110). Metode pengujian

menggunakan uji Durbin-Watson (DW test).

Tabel 4.6 Analisis Autokorelasi dengan Uji Durbin-Watson


Adjusted R Std. Error of the Durbin-
Model R R Square
Square Estimate Watson
a
1 ,511 ,261 ,229 ,29511 1,580
a. Predictors: (Constant), Beban_Kerja_New, tipe_kepribadian
b. Dependent Variable: Burnout_Syndrome_New

Berdasarkan tabel 4.6, diperoleh nilai DWhitung sebesar 1,580, nilai ini akan

dibandingkan dengan nilai DWtabel dengan menggunakan nilai signifikan 5%,

jumlah sampel 49 (n) dan jumlah variabel independen 2 (k = 2) maka pada tabel

Durbin-Watson (terlampir-lampiran 19) akan didapatkan nilai dL = 1,4564 dan

dU = 1,6257. Oleh karena nilai DW 1,580 lebih besar dari batas bawah (dL)

1,4564 dan kurang dari dU = 1,6257 (dL < DW < dU), dapat disimpulkan bahwa

tidak ada kepastian atau kesimpulan pasti terjadi atau tidaknya autokorelasi pada

model regresi.

(3) Uji heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model

terdapat ketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang

lain (Ghozali, 2011: 139). Analisis pada penelitian ini menggunakan uji Glejser.

Tabel 4.7 Analisis Heteroskedastisitas dengan Uji Glejser


Unstandardized Standardized
Model Coefficients Coefficients T Sig.
B Std. Error Beta
(Constant) ,423 ,101 4,199 ,000
1 tipe_kepribadian -,049 ,018 -,366 -2,683 ,010
Beban_Kerja_New -,058 ,067 -,118 -,866 ,391
a. Dependent Variable: ABS_BS
108

Berdasarkan tabel 4.7, variabel beban kerja memiliki nilai signifikansi 0,391

dan nilai tersebut berada di atas 0,05 sehingga menunjukkan tidak adanya

heteroskedastisitas, sedangkan variabel tipe kepribadian memiliki nilai signifikan

0,010 dan berada di bawah 0,05 sehingga menunjukkan ada heteroskedastisitas

pada variabel tersebut.

(4) Uji normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi,

variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal (Ghozali, 2011:

160). Penelitian ini menggunakan uji statistik untuk mendeteksi apakah residual

terdistribusi normal atau tidak yaitu dengan melihat nilai kurtosis dan skewness

dari residual, serta dengan uji statistik non-parametrik Kolmogorov-Smirnov

(KS).

Tabel 4.8 Analisis Normalitas Residual dengan Nilai Kurtosis dan Skewness
N Skewness Kurtosis
Statistic Statistic Std. Error Statistic Std. Error
Unstandardized Residual 49 ,497 ,340 -,382 ,668
Valid N (listwise) 49

Hitungan hasil Zskew dan Zkurt dengan rumus akan dibandingkan dengan

nilai kritisnya 1,96 dengan alpha 0,05 (Ghozali, 2011: 164).

S0 0,497 0,497 0,497


Zskew = = = = = ,
6/N 6/49 0,12245 0,349

K0 0,382 0,382 0,382


Zkurt = = = = = ,
24/N 24/49 0,4897 0,699

Hasil perhitungan nilai Zskew dan Zkurt menghasilkan nilai yang ada

diantara nilai kritisnya 1,96. Jadi dapat disimpulkan bahwa data residual

terdistribusi secara normal.


109

Tabel 4.9 Analisis Normalitas Residual dengan Uji Statistik Non-Parametrik


Kolmogorov-Smirnov
Unstandardized Residual
N 49
Mean 0E-7
Normal Parametersa,b
Std. Deviation ,28889693
Absolute ,158
Most Extreme
Positive ,158
Differences
Negative -,080
Kolmogorov-Smirnov Z 1,103
Asymp. Sig. (2-tailed) ,175
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.

Berdasarkan tabel 4.9, besar nilai Kolmogorov-Smirnov adalah 1,103

dengan tingkat signifikan jauh di atas 0,05 yaitu 0,175 yang berarti bahwa nilai

Kolmogorov-Smirnov tidak signifikan dan residual terdistribusi secara normal dan

hasilnya konsisten dengan uji sebelumnya.

(5) Uji linearitas

Uji ini digunakan untuk melihat apakah spesifikasi model yang digunakan

sudah benar atau tidak (Ghozali, 2011: 166).

Tabel 4.10 ANOVA Table untuk Deteksi Linearitas Variabel Burnout Syndrome
dengan Tipe Kepribadian
Sum of Mean
Df F Sig.
Squares Square
(Combined) ,532 3 ,177 1,631 ,195
Burnout_Sy
Between Linearity ,186 1 ,186 1,714 ,197
ndrome_Ne
Groups Deviation from
w* ,346 2 ,173 1,590 ,215
Linearity
tipe_keprib
Within Groups 4,891 45 ,109
adian
Total 5,423 48

Berdasarkan tabel 4.10, data dari hasil uji Linearitas memiliki kesesuaian

dengan garis linear dengan signifikan jauh di atas 0,05. Nilai sig. pada Deviation

from Linearity sebesar 0,215 > 0,05.


110

Tabel 4.11 ANOVA Table untuk Deteksi Linearitas Variabel Burnout Syndrome
dengan Beban Kerja
Sum of Mean
df F Sig.
Squares Square
(Combined) 1,267 2 ,634 7,015 ,002
Burnout_Sy Linearity 1,254 1 1,254 13,884 ,001
Between
ndrome_Ne Deviation
Groups
w* from ,013 1 ,013 ,147 ,704
Beban_Ker Linearity
ja_New Within Groups 4,155 46 ,090
Total 5,423 48

Berdasarkan tabel 4.11, data dari hasil uji Linearitas memiliki kesesuaian

dengan garis linear dengan signifikansi jauh di atas 0,05. Nilai sig. pada Deviation

from Linearity sebesar 0,704 > 0,05

4) Uji regresi linier berganda

(1) Analisis Keselarasan Model Regresi dengan Koefisien Determinasi

Tabel 4.12 Hasil Koefisien Determinasi Regresi Linier Berganda pada Pengaruh
Tipe Kepribadian dan Beban Kerja pada Mahasiswa Praktik Pra
Klinik Tingkat III-A Program Studi S1 Keperawatan STIKes Eka
Harap Palangka Raya
Model Summaryb
Std. Error of the
Model R R Square Adjusted R Square
Estimate
a
1 ,511 ,261 ,229 ,29511
a. Predictors: (Constant), Beban_Kerja_New, tipe_kepribadian
b. Dependent Variable: Burnout_Syndrome_New

Berdasarkan tabel 4.12, menunjukkan besarnya R square yaitu 0,261, hal ini

berarti 26,1% variasi burnout syndrome dapat dijelaskan oleh variasi dari variabel

independen (tipe kepribadian dan beban kerja), sedangkan sisanya (100%-26,1%

= 73,9%) dijelaskan oleh sebab-sebab lain di luar model. Standard error of

estimate (ukuran kesalahan prediksi) sebesar 0,29511. Semakin kecil nilai SEE

akan membuat model regresi semakin tepat dalam memprediksi variabel

dependen.
111

(2) Pengaruh secara simultan tipe kepribadian dan beban kerja terhadap burnout

syndrome

Tabel 4.13 Uji Signifikansi Simultan Regresi Linier Berganda pada Pengaruh
Tipe Kepribadian dan Beban Kerja pada Mahasiswa Praktik Pra
Klinik Tingkat III-A Program Studi S1 Keperawatan STIKes Eka
Harap Palangka Raya
ANOVAa
Sum of
Model Df Mean Square F Sig.
Squares
Regression 1,417 2 ,708 8,133 ,001b
1 Residual 4,006 46 ,087
Total 5,423 48
a. Dependent Variable: Burnout_Syndrome_New
b. Predictors: (Constant), Beban_Kerja_New, tipe_kepribadian

Penarikan kesimpulan berdasarkan nilai F dengan rumusan hipotesis yaitu.

H03 : Tidak ada pengaruh secara simultan tipe kepribadian dan beban kerja

terhadap burnout syndrome.

Ha3 : Ada pengaruh secara simultan tipe kepribadian dan beban kerja secara

terhadap burnout syndrome.

Berdasarkan tabel 4.13, diperoleh nilai Fhitung sebesar 8,133 dengan

probabilitas 0,001. Ftabel (terlampir-lampiran 20) pada penelitian ini sebesar 3,200.

Nilai Fhitung lebih besar dari Ftabel (8,133 > 3,200) sehingga dapat disimpulkan

bahwa H03 ditolak. Berdasarkan nilai probabilitas juga menunjukkan nilai yang

lebih kecil dari 0,05 (0,001 < 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa Ha3 diterima

yang artinya ada pengaruh secara simultan tipe kepribadian dan beban kerja

terhadap burnout syndrome.


112

(3) Pengaruh secara parsial tipe kepribadian dan beban kerja terhadap burnout

syndrome

Tabel 4.14 Uji Signifikansi Parameter Individual Regresi Linier Berganda pada
Pengaruh Tipe Kepribadian dan Beban Kerja pada Mahasiswa Praktik
Pra Klinik Tingkat III-A Program Studi S1 Keperawatan STIKes Eka
Harap Palangka Raya
Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Model Coefficients Coefficients T Sig.
B Std. Error Beta
(Constant) ,981 ,207 4,735 ,000
1 tipe_kepribadian -,051 ,038 -,173 -1,366 ,179
Beban_Kerja_New ,516 ,137 ,476 3,759 ,000
a. Dependent Variable: Burnout_Syndrome_New

1. Penarikan kesimpulan berdasarkan nilai t pada variabel tipe kepribadian

dengan rumusan hipotesis yaitu.

H01 : Tidak ada pengaruh tipe kepribadian terhadap burnout syndrome.

Ha1 : Ada pengaruh tipe kepribadian burnout syndrome.

Berdasarkan tabel 4.14, diperoleh nilai thitung sebesar -1,366 dengan

probabilitas 0,179. Nilai ttabel (terlampir-lampiran 21) pada penelitian ini sebesar -

2,013/2,013. Nilai thitung lebih besar dari nilai -ttabel dan thitung lebih kecil dari nilai

ttabel (-2,013 < -1,366 < 2,013) sehingga dapat disimpulkan bahwa H01 diterima.

Berdasarkan nilai probabilitas juga menunjukkan nilai yang lebih besar dari 0,05

(0,179 > 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa H01 diterima yang artinya tidak

ada pengaruh tipe kepribadian terhadap burnout syndrome.

2. Penarikan kesimpulan berdasarkan nilai t pada variabel beban kerja dengan

rumusan hipotesis yaitu.

H02 : Tidak ada pengaruh beban kerja burnout syndrome.

Ha2 : Ada pengaruh beban kerja terhadap burnout syndrome.


113

Berdasarkan tabel 4.14, diperoleh nilai thitung sebesar 3,759 dengan

probabilitas 0,000. Nilai ttabel (terlampir-lampiran 21) pada penelitian ini sebesar -

2,013/2,013. Nilai thitung lebih besar dari nilai ttabel (3,759 > 2,013/-2,013) sehingga

dapat disimpulkan bahwa H02 ditolak. Berdasarkan nilai probabilitas juga

menunjukkan nilai yang lebih kecil dari 0,05 (0,000 < 0,05), maka dapat

disimpulkan bahwa Ha2 diterima yang artinya ada pengaruh beban kerja terhadap

burnout syndrome.

Berdasarkan tabel Coefficients, pada nilai Beta Unstandardized Coefficients

tampak bahwa variabel beban kerja memiliki nilai koefisien tertinggi yaitu 0,357,

sedangkan variabel tipe kepribadian memiliki nilai koefisien yaitu -0,058. Dapat

disimpulkan bahwa variabel burnout syndrome dipengaruhi oleh variabel beban

kerja dengan persamaan matematis:

BS = 0,981 0,051 TK + 0,516 BK


114

4.2 Pembahasan

4.2.1 Tipe Kepribadian pada Mahasiswa Praktik Pra Klinik Tingkat III-A

Program Studi S1 Keperawatan STIKes Eka Harap Palangka Raya

Berdasarkan hasil pengumpulan data dari 49 responden menunjukkan

bahwa responden dengan tipe kepribadian sanguinis sebanyak 21 responden

(42,9%), koleris 11 responden (22,4%), melankolis 9 responden (18,4%), dan

phlegmatis 8 responden (16,3%). Hasil tersebut menunjukkan bahwa responden

dominan memiliki tipe kepribadian sanguinis. Berdasarkan hasil tabulasi silang

usia dan tipe kepribadian, serta jenis kelamin dan tipe kepribadian (tabel

terlampir-lampiran 15), dapat disimpulkan bahwa responden dengan tipe

kepribadian sanguinis dominan berusia 20 tahun sebanyak 10 responden (20,4%)

dan tipe kepribadian sanguinis dominan dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak

13 responden (26,5%). Responden dengan tipe kepribadian koleris dominan

berusia 20 dan 21 tahun masing-masing sebanyak 4 responden (8,2%), dan tipe

kepribadian koleris dominan dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 6 responden

(12,2%). Responden dengan tipe kepribadian melankolis dominan berusia 20

tahun sebanyak 6 responden (12,2%), dan tipe kepribadian melankolis juga

dominan dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 6 responden (12,2%).

Responden dengan tipe kepribadian phlegmatis dominan berusia 20 dan 21 tahun

masing-masing sebanyak 3 responden (6,1%), dan tipe kepribadian phlegmatis

juga dominan dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 6 responden (12,2%).


115

Kepribadian seseorang dengan sendirinya sudah terbentuk sejak dilahirkan.

Namun, hanya berupa faktor fisik yang dapat dilihat, seperti apakah struktur organ

tubuhnya, bentuk wajah, dan kulit. Seiring dengan pertumbuhan fisik dan

bertambahnya usia seseorang, maka perkembangan psikis dan sosial juga

mengalami perkembangan. Faktor genetik, psikis, dan sosial saling berinteraksi

satu sama lainnya (Pieter, 2011: 38). Kepribadian merupakan organisasi yang

dinamis dalam diri individu tentang sistem psikofisik yang menentukan

penyesuaian unik terhadap lingkungannya (Allport dalam Yusuf (2011: 3).

Pengertian menurut Allport tersebut dapat dijelaskan bahwa kepribadian

merupakan suatu sistem yang terorganisasi dengan berbagai komponen, yang

didalamnya ada proses, perubahan, dan perkembangan. Komponen yang

dimaksud adalah psiko (jiwa) dan fisik (raga). Organisasi turut menentukan

penyesuaian dirinya, yang sifatnya aktif dalam menentukan tingkah laku yang

berhubungan dengan lingkungannya maupun dengan dirinya sendiri. Penyesuaian

diri dengan lingkungan itu sifatnya unik, khas, berbeda antara orang yang satu

dengan yang lainnya (Baihaqi, 2005: 132). Perkembangan kepribadian individu

tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya faktor hereditas dan

lingkungan (Yusuf, 2011: 11), sedangkan menurut Pieter (2011: 38) terdapat

perpaduan antara faktor genetik (bawaan), psikologis, dan faktor lingkungan

dalam proses pembentukan kepribadian. Menurut Yusuf (2011: 24), adanya

berbagai faktor tersebut membuat banyak pula pemikiran dan munculnya teori-

teori tentang tipe kepribadian, diantaranya yang sejak lama telah dikenal yaitu

tipologi menurut Hippocrates-Galenus yang meyakini bahwa temperamen

manusia dapat dijelaskan berdasarkan cairan-cairan tubuhnya (sanguinis, koleris,


116

melankolis, dan phlegmatis). Galenus berpendapat bahwa jika campuran dari

empat cairan tersebut dalam tubuh individu ada salah satu yang dominan, maka

menyebabkan sifat-sifat jiwa yang khas (Fudyartanta, 2012: 55).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe kepribadian responden dominan

adalah sanguinis dengan distribusi yang bervariasi baik dari karakteristik usia

maupun jenis kelamin. Tipe kepribadian koleris, melankolis dan phlegmatis pun

menunjukkan hal yang sama. Keadaan tersebut merupakan hal yang lumrah,

karena tipe kepribadian seseorang tidak dapat ditentukan hanya berdasarkan usia

dan jenis kelamin. Kepribadian seseorang sejatinya telah terbentuk sejak

dilahirkan, namun ada beberapa faktor yang memengaruhi kepribadian tersebut

sehingga mengalami perkembangan. Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh

perpaduan faktor genetik (bawaan), psikologis, dan faktor lingkungan (Pieter,

2011: 38). Fungsi hereditas (genetik) dalam kaitannya dengan perkembangan

kepribadian adalah sebagai sumber bahan mentah keperibadian dan memengaruhi

konsep diri individu sebagai dasar individualitasnya (keunikannya) yang

memberikan nuansa perbedaan individual yang spesifik. Faktor herediter yang

telah ada pada masing-masing individu akan didukung perkembangannya dengan

semakin matangnya individu secara psikis yang akan membuat individu mampu

mengembangkan berbagai potensi kepribadian yang telah ada. Perkembangan

tersebut akan semakin diperkuat dengan adanya berbagai stimulus dari faktor

lingkungan yang dapat bersumber dari keluarga yang dipandang sebagai penentu

utama pembentukan kepribadian; kebudayaan yang secara disadari maupun tidak

disadari meregulasi kehidupan sehingga memengaruhi seseorang untuk mengikuti

pola-pola perilaku tertentu; dan dapat juga bersumber dari lingkungan pendidikan
117

(teman sebaya, disiplin/tata tertib, dan prestasi) yang akan membentuk

kepribadian sesuai dengan stimulus yang diterima, direspons dan diadopsi sebagai

tingkah laku khas individu yang menggambarkan kepribadian yang dimiliki.

Kepribadian merupakan suatu sistem yang terorganisasi dan dinamis dengan

berbagai komponen (psiko dan fisik), yang didalamnya ada proses, perubahan,

dan perkembangan. Kepribadian bersifat dinamis karena adanya perubahan

kualitas perilaku (karakteristik) individu dari waktu ke waktu, dimana perubahan

tersebut membuat kepribadan seseorang semakin mengalami perkembangan.

Setiap individu memiliki kepribadian khas yang membedakan dirinya dengan

individu lain, begitu pula halnya pada responden yang diteliti memiliki tipe

kepribadian yang berbeda beda. Hal ini menunjukkan adanya pemenuhan dari

definisi kepribadian menurut Allport bahwa kepribadian bersifat dinamis, unik,

dan terorganisasi.

Tipe kepribadian antara satu individu dan individu yang lain berbeda, tetapi

adapula yang sama. Walaupun memiliki tipe kepribadian yang sama, pada

umumnya cara berperilaku akan berbeda antara masing-masing individu tersebut

disebabkan karena banyak faktor yang memengaruhi perkembangan individu

terutama dalam hal kematangan kepribadian, faktor tersebut seperti bertambahnya

usia, banyaknya pengalaman yang telah didapat, lingkungan, kebudayaan, dll.

Sesuai dengan pernyataan Pieter (2011: 38) menyatakan bahwa seiring dengan

pertumbuhan fisik dan bertambahnya usia seseorang, maka perkembangan psikis

dan sosial juga mengalami perkembangan.


118

Tipe kepribadian yang diklasifikasi oleh Hippocrates-Galenus berdasarkan

pada proporsi masing-masing cairan tubuh. Pengaruh proporsi campuran chole,

melanchole, phlegmatic, dan sanguin yaitu pada kenormalan atau kesehatan

manusia yang kemudian berpengaruh pula pada tingkah laku atau kepribadiannya

(Fudyartanta, 2012: 55). Campuran dari empat cairan tersebut dalam tubuh

individu ada salah satu yang dominan, maka menyebabkan sifat-sifat jiwa yang

khas. Oleh karena itu, antara masing-masing individu memiliki tipe kepribadian

yang berbeda sesuai dengan proporsi dominan cairan dalam tubuhnya dan akan

berperilaku dominan sesuai dengan tipe kepribadian tersebut. Di samping itu, juga

dipengaruhi oleh faktor-faktor baik yang bersifat bawaan maupun lingkungan.

Pada penelitian ini responden dominan memiliki tipe kepribadian sanguinis, dapat

terjadi karena pekerjaan yang berorientasi pada pelayanan kesehatan

membutuhkan keseriusan dan tanggungjawab yang besar terhadap klien yang

dirawat, dan kepribadian sanguinis adalah kepribadian seseorang yang senang

menolong orang lain tetapi sifatnya sementara, mudah bosan, tidak stabil, tidak

serius, selalu senang pada permainan dan hiburan, walaupun memiliki sifat dasar

periang, optimis, percaya diri. Perasaan itulah yang dapat membuat seseorang

mudah untuk menganggap kewajibannya sebagai beban kerja dan mudah

mengalami kejenuhan karena sanguinis menyukai permainan dan hiburan, tidak

seperti bekerja/praktik di pusat pelayanan kesehatan masyarakat yang

membutuhkan keseriusan, ketelitian, dan rasa tanggungjawab yang besar.


119

4.2.2 Beban Kerja pada Mahasiswa Praktik Pra Klinik Tingkat III-A

Program Studi S1 Keperawatan STIKes Eka Harap Palangka Raya

Berdasarkan hasil pengumpulan data dari 49 responden yang didapatkan

menunjukkan bahwa responden dengan beban kerja berat ada 21 responden

(42,9%), beban kerja sedang ada 13 responden (26,5%), dan beban kerja ringan

ada 15 responden (30,6%). Hasil tersebut menunjukkan bahwa responden

dominan memiliki beban kerja berat. Berdasarkan hasil tabulasi silang usia dan

beban kerja, serta jenis kelamin dan beban kerja (tabel terlampir-lampiran 15),

dapat disimpulkan bahwa responden dengan beban kerja berat dominan berusia 20

tahun sebanyak 9 responden (18,4%) dan dominan berjenis kelamin perempuan

sebanyak 12 responden (24,5%), beban kerja sedang dominan berusia 20 tahun

sebanyak 6 responden (12,2%) dan dominan berjenis kelamin laki-laki sebanyak 9

responden (18,4%), beban kerja ringan dominan berusia 20 tahun sebanyak 8

responden (16,3%) dan dominan berjenis kelamin perempuan sebanyak 9

responden (18,4%).

Setiap pekerjaan apapun jenisnya merupakan beban bagi yang melakukan,

baik berupa beban fisik maupun beban mental dan masing-masing orang memiliki

kemampuan yang berbeda dalam hubungannya dengan beban kerja tersebut

(Notoatmodjo, 2011: 203). Menurut Manuaba (2000) dalam Prihatini (2008: 25),

beberapa faktor yang berperan memengaruhi hubungan/interpretasi seseorang

terhadap beban kerja dari setiap proses kerjanya dapat bersumber dari eksternal

dan internal. Faktor eksternal yang dapat membuat perkerjaan semakin terasa

berat sehingga menjadi beban kerja dapat bersumber dari tugas-tugas kerja baik

yang bersifat fisik maupun mental, lingkungan kerja, berasal dari keluarga, dan
120

hubungan interpesonal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam

tubuh itu sendiri akibat dari reaksi beban kerja eksternal, dan terdiri dari faktor

somatis (jenis kelamin, umur, kondisi kesehatan); faktor psikis (motivasi,

persepsi, mekanisme koping). Beban kerja yang berlebihan akan menimbulkan

kelelahan baik fisik atau mental dan reaksi-reaksi emosional seperti sakit kepala,

gangguan pencernaan, dan mudah marah. Beban kerja yang terlalu sedikit dimana

pekerjaan yang terjadi karena pengulangan gerak akan menimbulkan kebosanan

dan rasa monoton (Manuaba, 2000 dalam Prihatini, 2008: 26).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden dominan memiliki beban

kerja berat, dapat terjadi karena saat mahasiswa keperawatan melaksanakan

praktik pra klinik akan mendapat banyak tekanan baik dari klien yang dirawat,

keluarga klien, teman satu profesi, dan profesi lain yang memiliki bermacam-

macam sifat dan sikap yang unik. Tekanan tersebut dapat muncul karena baru

pertama kali berhadapan langsung dengan klien, mengalami kesulitan dalam

memenuhi kompetensi dan mempertahankan standar yang tinggi, kesulitan

menjalin hubungan dengan teman satu tim bahkan teman dari profesi lain, dan

belum mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan atau situasi perawatan klien

sesungguhnya. Memberikan perawatan/pelayanan secara langsung akan sangat

berbeda keadaannya dengan pelaksanaan praktik di akademik, dan mahasiswa

praktik pra klinik dituntut untuk dapat menjalankan tugas dan fungsi tersebut

layaknya seorang perawat profesional. Pelaksanaan praktik pra klinik mewajibkan

mahasiswa untuk menyelesaikan tugas secara praktik dan tertulis. Tugas praktik

didalamnya mencakup lamanya waktu kerja, waktu istirahat, jumlah kehadiran

saat praktik, pelimpahan tugas dan wewenang, serta pencapaian target


121

keterampilan yang telah ditetapkan. Pelaksanaan tugas praktik tersebut menuntut

mahasiswa untuk disiplin waktu dan menjaga perilaku sopan. Tugas tertulis

merupakan tugas yang harus diselesaikan dalam bentuk laporan asuhan

keperawatan terhadap kasus kelolaan, pengisian daily activity, serta pemberian

pendidikan kesehatan bagi klien yang dikelola. Pelaksanaan tugas tersebut akan

menguras waktu dan tenaga dalam penyelesaiannya, sehingga hal tersebut dapat

menyebabkan peningkatan emosional dan kelelahan yang dapat menimbulkan

perasaan terbeban dalam menyelesaikan semua tugas. Hal tersebut yang membuat

mahasiswa praktik merasa bahwa tugas yang sedang dilaksanakan tersebut

semakin terasa berat sehingga menjadi beban kerja.

Beban kerja berat terjadi karena individu merasa dituntut secara berlebihan

dari tugas-tugas tertulis dan praktik yang harus diselesaikan selama menjalani

praktik, tidak memiliki koping yang adaptif terhadap tugas-tugas tersebut dan

berbagai tekanan dari lingkungan kerja. Beban kerja sedang terjadi bila individu

merasa tugas-tugas yang diberikan memang merupakan suatu kewajiban yang

harus diselesaikan tetapi tidak memiliki koping yang adaptif terhadap berbagai

tekanan yang diperoleh dari lingkungan kerja, sehingga merasa melaksanakan

praktik masih memiliki beban yang cukup menguras tenaga. Sedangkan beban

kerja ringan dapat terjadi karena individu merasa pelaksanaan praktik merupakan

suatu kewajiban sebagai sarana untuk memperoleh pengalaman dan pengetahuan

yang lebih sebagai seorang calon tenaga kesehatan sehingga tidak merasa dituntut

dalam mengerjakan semua tugas yang diwajibkan, serta memiliki koping yang

adaptif dalam merespon semua tekanan yang bersumber dari lingkungan kerja.
122

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat distribusi yang bervariasi

untuk beban kerja berdasarkan karakteristik jenis kelamin. Berdasarkan

karaktersitik usia, baik beban kerja berat, sedang, dan ringan semuanya dominan

pada responden yang berusia 20 tahun. Variasi distribusi jenis kelamin tersebut

bukan hanya semata-mata disebabkan karena perbedaan karakter antara laki-laki

dan perempuan, tetapi peneliti berpendapat bahwa dapat disebabkan karena

masing-masing orang memiliki kemampuan yang berbeda dalam hubungannya

dengan beban kerja, ada yang mampu mentoleransi dan adapula yang tidak, ada

yang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan keadaan saat berhadapan

langsung dengan klien tetapi adapula yang tidak baik laki-laki maupun

perempuan. Hal tersebut karena masing-masing individu memiliki persepsi, motif,

dan motivasi yang berbeda terhadap tugas dan lingkungan kerja. Persepsi akan

berbeda dari satu orang dan orang lain walaupun berada di dalam situasi yang

sama, tergantung dengan pengalaman masa lalu, pengetahuan dan status emosi.

Apabila individu memiliki persepsi yang positif terhadap suatu hal, maka individu

cenderung untuk memberi kesan yang baik. Tetapi apabila individu memiliki

persepsi negatif terhadap suatu hal, maka individu akan memberi kesan yang tidak

baik terhadap keadaan tersebut. Menurut Andriani dan Subekti (2004: 53) dalam

Mayasari (2007: 5), apabila individu memiliki persepsi bahwa lingkungan kerja

dan tugas yang diberikan sebagai suatu yang menantang maka dapat dipandang

oleh individu sebagai lingkungan dan keadaan yang mengancam dan menuntut.

Motivasi juga memengaruhi karena merupakan dorongan penggerak untuk

mendapat tujuan tertentu, seseorang yang memiliki motif dan motivasi yang baik

akan berpengaruh terhadap interpretasi atas rangsangan yang diterima dan


123

berpengaruh terhadap cara untuk menyesuaikan/memanajemen diri dengan

kewajiban praktik ataupun tugas-tugas yang harus diselesaikan. Begitu pula

dengan mahasiswa yang sedang melaksanakan praktik pra klinik, jika memiliki

persepsi dan motivasi yang baik tentang tugas-tugas dan lingkungan kerja

disekitarnya maka akan menganggap semua tugas tersebut sebagai kewajiban

yang harus dilaksanakan untuk melatih diri sebagai seorang tenaga kesehatan

yang profesional. Pelaksanaan tugas praktik dan tertulis tersebut pada dasarnya

merupakan suatu kompetensi yang harus dipenuhi oleh seorang tenaga kesehatan,

sehingga diharapkan mahasiswa keperawatan dapat memahami kompetensi-

konpetensi yang harus dipenuhi, memiliki persepsi positif terhadap semua

kewajiban/tugas yang diberikan, serta mampu memanajemen diri dan waktu

sebaik mungkin.

4.2.3 Burnout Syndrome pada Mahasiswa Praktik Pra Klinik Tingkat III-A

Program Studi S1 Keperawatan STIKes Eka Harap Palangka Raya

Berdasarkan hasil pengumpulan data dari 49 responden yang didapatkan

menunjukkan bahwa responden dengan burnout tinggi ada 7 responden (14,3%),

burnout sedang ada 34 responden (69,4%), dan burnout rendah ada 8 responden

(16,3%). Hasil tersebut menunjukkan bahwa responden dominan memiliki

burnout sedang. Berdasarkan hasil tabulasi silang usia dan burnout syndrome,

serta jenis kelamin dan burnout syndrome (tabel terlampir-lampiran 15),

menunjukkan bahwa responden dengan burnout tinggi dominan berusia 20 tahun

sebanyak 4 responden (8,2%) dan dominan dengan jenis kelamin perempuan

sebanyak 4 responden (8,2%), burnout sedang dominan dengan usia 20 tahun

sebanyak 17 responden (34,7%) dan dominan dengan jenis kelamin laki-laki


124

sebanyak 18 responden (36,7%), burnout rendah dominan dengan usia 21 tahun

sebanyak 5 responden (10,2%) dan dominan dengan jenis kelamin perempuan

sebanyak 5 responden (10,2%).

Burnout syndrome adalah suatu kondisi psikologis pada seseorang yang

tidak berhasil mengatasi stres kerja sehingga menyebabkan stres berkepenjangan

dan mengakibatkan beberapa gejala seperti kelelahan emosional, kelelahan fisik,

kelelahan mental dan rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri (Nursalam,

2013: 127). Penyebab terjadinya kelelahan dapat diklasifikasikan menjadi faktor

personal dan faktor lingkungan. Faktor personal meliputi kepribadian, harapan,

demografi. Faktor lingkungan diantaranya adalah beban kerja, penghargaan,

kontrol, kepemilikan, keadaan, dan nilai (Cavus, 2010 dalam Nursalam, 2013:

129). Selama dekade terakhir, beberapa istilah telah diusulkan dalam upaya untuk

menjelaskan burnout syndrome, dan definisi yang paling dapat diterima adalah

yang ditulis oleh Maslach, dimana burnout syndrome ditandai dengan tiga

dimensi yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi, dan menurunnya prestasi diri.

Burnout syndrome tidak hanya terkait dengan faktor tunggal, melainkan muncul

sebagai hasil dari interaksi antara beberapa faktor yang ada. Burnout syndrome

pada seseorang muncul sebagai akibat dari kelelahan emosional yang meningkat,

depersonalisasi, dan penurunan prestasi diri (Pouncet, 2007 dalam Nursalam,

2013: 129). Kelelahan merupakan sisi yang mengekspresikan kelelahan fisik dan

emosional yang dialami sebagai dasar dan dimulainya burnout syndrome.

Depersonalisasi merupakan sikap yang menunjukkan perilaku keras/kasar,

perilaku negatif dan acuh tak acuh terhadap orang lain. Rendahnya prestasi diri
125

menjadi dimensi evaluasi diri dari burnout syndrome, muncul fakta bahwa orang

mulai melihat dirinya sebagai seseorang yang tidak berhasil.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden dominan dengan burnout

sedang. Burnout syndrome merupakan suatu kondisi yang terjadi jika seseorang

tidak dapat mengatasi stres berkepanjangan dan dipengaruhi oleh berbagai faktor

yang bersumber dari personal dan lingkungan. Responden dominan dengan

burnout sedang dapat disebabkan karena mahasiswa yang menjalani praktik pra

klinik akan merasakan berbagai tekanan dari tuntutan klien, memikirkan

banyaknya bahaya saat memberikan asuhan keperawatan, beban kerja yang berat,

serta kurangnya dukungan dari lingkungan kerja, sehingga membuat mahasiswa

praktik dapat mengalami stres selama menjalani praktik. Hal tersebut sesuai

dengan hasil penelitian yang menunjukkan pada deskripsi beban kerja responden

dominan memiliki beban kerja berat. Beban kerja merupakan salah satu faktor

lingkungan yang memengaruhi burnout syndrome. Burnout syndrome tinggi

terjadi karena merasa pekerjaan yang dikerjakan terlalu berlebihan dan terlalu

berat baik secara emosional ataupun fisik sehingga menimbulkan perasaan lelah

dan kehabisan energi. Kehabisan energi menimbulkan perasaan enggan untuk

melakukan pekerjaan atau berinteraksi dengan orang lain dan menimbulkan

perasaan acuh tak acuh/sinis baik terhadap rekan kerja maupun klien yang

dirawat. Klien hanya dianggap sebagai objek yang tidak perlu benar-benar

diperhatikan. Ketika seseorang bersikap sinis maka sikapnya akan menjadi dingin

dan menjaga jarak. Perilaku tersebut merupakan suatu upaya untuk melindungi

diri dari tuntutan emosional yang berlebihan dengan memperlakukan klien sebagai

objek. Perasaan tersebut akan menimbulkan adanya evaluasi diri secara negatif
126

dan setiap ada tindakan baru dianggap sebagai beban yang berlebihan sehingga

akan kehilangan kepercayaan terhadap kemampuan diri sendiri. Burnout

syndrome sedang terjadi karena individu mengalami kelelahan baik fisik dan

emosional selama pelaksanaan praktik dan tidak mampu mengatasi kelelahan

tersebut sehingga menimbulkan perasaan acuh terhadap klien dan memiliki

kecenderungan untuk melaksanakan tugas perawatan bukan karena

tanggungjawab terhadap klien tetapi karena keinginan untuk mencapai

kompetensi bagi diri sendiri. Burnout syndrome rendah terjadi karena inidividu

mengalami kelelahan selama pelaksanaan praktik tetapi mampu mengatasi

kelelahan tersebut sehingga mampu melaksanakan tugas dan kewajiban dengan

baik dalam hal pencapaian kompetensi diri maupun perawatan terhadap klien

sebagai objek yang harus diperhatikan. Penurunan prestasi diri dapat terjadi tidak

hanya karena adanya kelelahan dan perasaan sinis, dapat juga disebabkan karena

adanya penilaian negatif terhadap diri sendiri dan berbagai faktor lain yang tidak

ditelaah dalam penelitian ini.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa responden dengan burnout

dominan pada usia 20 dan 21 tahun. Secara teori berdasarkan beberapa hasil studi

dinyatakan bahwa diantara karyawan muda tingkat kejadian burnout lebih tinggi

daripada yang berusia di atas 30-40 tahun. Hal tersebut diinterpretasikan

berhubungan dengan pengalaman kerja, namun alasan untuk interpretasi tersebut

belum dipelajari lebih mendalam. Usia 20 dan 21 tahun termasuk dalam masa

dewasa awal dimana seseorang memiliki tingkat keinginan dan kepuasan yang

tinggi terhadap sesuatu yang dikerjakannya. Jika tidak tercapai keinginan dalam

pekerjaannya tersebut dapat mengakibatkan kekecewaan dan stres karena semua


127

proses tersebut adalah pembuktian diri pada masa usia dewasa. Stres kerja yang

muncul akibat dari berbagai tekanan lingkungan kerja membuat responden akan

mengalami berbagai keluhan baik secara fisik maupun mental sehingga

menimbulkan adanya perasaan bosan/jenuh dengan pekerjaan yang dilakukan.

Distribusi berdasarkan jenis kelamin bervariasi, pada burnout tinggi dan

ringan dominan perempuan sedangkan burnout sedang dominan laki-laki. Secara

teori jenis kelamin belum dapat diprediksi secara kuat sebagai faktor resiko

munculnya kelelahan, meskipun beberapa argumen menyatakan bahwa pada

perempuan lebih tinggi ditemukan burnout. Tetapi ada beberapa argumen pula

yang menyatakan burnout lebih tinggi pada laki-laki, bahkan temuan lain

menemukan tidak ada perbedaan secara keseluruhan diantara keduanya. Hasil

yang bervariasi pada penelitian ini disebabkan karena baik laki-laki maupun

perempuan mempunyai cara masing-masing untuk memanajemen stres dan

beradaptasi dengan beban kerja sehingga tingkat stres pada masing-masing

individu dengan stressor yang sama menunjukkan adanya perbedaan. Di samping

itu, responden rata-rata berusia 20 tahun dimana usia tersebut seseorang memiliki

tingkat keinginan dan kepuasan yang tinggi terhadap sesuatu yang dikerjakannya.

Selain itu, dipengaruhi pula oleh banyak hal seperti cara koping stres, ketahanan

psikologi, kecerdasan emosional, dukungan sosial dan adversity quotient

(kemampuan individu dalam menghadapi, bertahan dan mengatasi kesulitan).

Oleh sebab itu, menunjukkan adanya perbedaan tingkat burnout pada responden

yang sama dengan beban kerja dan stressor yang sama.


128

4.2.4 Pengaruh Tipe Kepribadian terhadap Burnout Syndrome pada

Mahasiswa Praktik Pra Klinik Tingkat III-A Program Studi S1

Keperawatan STIKes Eka Harap Palangka Raya

Berdasarkan tabel 4.15, diperoleh nilai thitung sebesar -1,366 dengan

probabilitas 0,179. Nilai ttabel (terlampir-lampiran 21) pada penelitian ini sebesar -

2,013/2,013. Nilai thitung lebih besar dari nilai -ttabel dan thitung lebih kecil dari nilai

ttabel (-2,013 < -1,366 < 2,013) sehingga dapat disimpulkan bahwa H0 diterima.

Berdasarkan nilai probabilitas juga menunjukkan nilai yang lebih besar dari 0,05

(0,179 > 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa tipe kepribadian tidak

berpengaruh terhadap burnout syndrome.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa dari 49 responden dominan

memiliki tipe kepribadian sanguinis sebanyak 21 responden (42,9%), dan dari 49

responden dominan memiliki burnout sedang sebanyak 34 responden (69,4%).

Berdasarkan hasil tabulasi silang tipe kepribadian dan burnout syndrome (tabel

terlampir-lampiran 15), menunjukkan bahwa responden dengan tipe kepribadian

sanguinis yang mengalami burnout tinggi sebanyak 4 responden (8,2%), sedang

sebanyak 12 responden (24,5%), rendah sebanyak 5 responden (10,2%). Tipe

kepribadian koleris tidak ada yang mengalami burnout tinggi, burnout sedang

sebanyak 8 responden (16,3%), burnout rendah sebanyak 3 responden (6,1%).

Tipe kepribadian melankolis mengalami burnout tinggi sebanyak 2 responden

(4,1%), sedang sebanyak 7 responden (14,3%), rendah sebanyak 0 responden

(0%). Tipe kepribadian phlegmatis dengan burnout tinggi sebanyak 1 responden

(2,0%), sedang sebanyak 7 responden (14,3%), rendah sebanyak 0 responden


129

(0%). Dapat disimpulkan bahwa semua tipe kepribadian baik sanguinis, koleris,

melankolis, dan phlegmatis dominan pada burnout sedang.

Kepribadian merupakan corak tingkah laku individu yang bersifat dinamis

sebagai perpaduan yang timbul dari dalam diri dan lingkungannya,

dimanifestasikan dengan segala tingkah laku individu. Kepribadian seseorang

dengan sendirinya sudah terbentuk sejak dilahirkan. Seiring dengan pertumbuhan

fisik dan bertambahnya usia seseorang, maka perkembangan psikis dan sosial juga

mengalami perkembangan. Faktor genetik, psikis, dan sosial saling berinteraksi

satu sama lainnya (Pieter, 2011: 38). Menurut Yusuf (2011: 24), ada banyak

pemikiran yang mencetus munculnya teori-teori tentang tipe kepribadian,

diantaranya yang sejak lama telah dikenal yaitu tipologi menurut Hippocrates-

Galenus yang meyakini bahwa temperamen manusia dapat dijelaskan berdasarkan

cairan-cairan tubuhnya (sanguinis, koleris, melankolis, dan phlegmatis). Galenus

berpendapat bahwa jika campuran dari empat cairan tersebut dalam tubuh

individu ada salah satu yang dominan, maka menyebabkan sifat-sifat jiwa yang

khas (Fudyartanta, 2012: 55). Tipe kepribadian menggambarkan sebagian besar

karaktersitik perilaku individu tetapi perilaku tersebut akan mengalami

perkembangan dan perkembangannya lebih dipengaruhi oleh hasil belajar atau

diperoleh melalui pengalaman (Yusuf, 2011: 3). Burnout syndrome adalah suatu

kondisi psikologis pada seseorang yang tidak berhasil mengatasi stres kerja

sehingga menyebabkan stres berkepenjangan dan mengakibatkan beberapa gejala

seperti kelelahan emosional, kelelahan fisik, kelelahan mental dan rendahnya

penghargaan terhadap diri sendiri (Nursalam, 2013: 127). Penyebab terjadinya

kelelahan dapat diklasifikasikan menjadi faktor personal dan faktor lingkungan.


130

Faktor personal meliputi kepribadian, harapan, demografi. Faktor lingkungan

diantaranya adalah beban kerja, penghargaan, kontrol, kepemilikan, keadaan, dan

nilai (Cavus, 2010 dalam Nursalam, 2013: 129). Selain itu, faktor lain yang sangat

terkait dengan pengembangan burnout syndrome adalah jenis kepribadian yang

mencerminkan kapasitas individu untuk tetap bertahan pada pekerjaannya

(Nursalam, 2013: 129). Selama dekade terakhir, beberapa istilah telah diusulkan

dalam upaya untuk menjelaskan burnout syndrome, dan definisi yang paling dapat

diterima adalah yang ditulis oleh Maslach, dimana burnout syndrome ditandai

dengan tiga dimensi yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi, dan menurunnya

prestasi diri (Pouncet, 2007 dalam Nursalam, 2013: 129). Burnout syndrome tidak

hanya terkait dengan faktor tunggal, melainkan muncul sebagai hasil dari interaksi

antara beberapa faktor yang ada (Pouncet, 2007 dalam Nursalam, 2013: 129-130).

Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak terdapat pengaruh tipe

kepribadian terhadap burnout syndrome. Hasil tersebut menunjukkan adanya

kesenjangan dengan teori, dapat disebabkan karena masing-masing individu

memiliki koping yang berbeda-beda dan cara yang berbeda pula untuk mengatasi

stres dan tekanan didasarkan pada pengalaman dan pengetahuan tentang kondisi

lingkungan kerja/tugas yang dikerjakan. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Fatningsaliska (2015: 4) pada mahasiswa fakultas

kedokteran yang terlibat organisasi tim kerohanian Kristen. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat stres antara tipe kepribadian

sanguinis, koleris, melankolis, dan phlegmatis disebabkan karena mahasiswa yang

terlibat sudah memiliki pengalaman yang lebih dalam organisasi, sehingga telah

mengetahui keadaan yang terjadi di organisasi dan sudah memiliki koping stres
131

yang baik ketika stresor tersebut datang. Kemampuan individu untuk beradaptasi

dan mengatasi stres tersebut tidak hanya bergantung pada tipe kepribadian

individu. Perbedaaan tingkat stres pada masing-masing individu dengan stressor

yang sama dipengaruhi oleh banyak hal, seperti cara koping stres, ketahanan

psikologi, kecerdasan emosional, self efficacy, dukungan sosial dan adversity

quotient (kemampuan individu dalam menghadapi, bertahan dan mengatasi

kesulitan). Tipe kepribadian hanya untuk menggambarkan bagaimana pola

tingkah laku dominan individu, bukan untuk menentukan bagaimana ketahanan

individu dalam menghadapi dan mengatasi tekanan. Tetapi, masing-masing tipe

kepribadian memiliki aspek kekuatan dan kelemahan yang juga memiliki

pengaruh terhadap tinggi rendahnya burnout yang dialami.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe kepribadian sanguinis

mendominasi pada burnout tinggi, sedang, maupun rendah. Individu yang

memiliki tipe kepribadian yang sama menunjukkan adanya perbedaan tingkah

laku, perbedaan cara beradaptasi dengan stres dan tekanan, dan perbedaan cara

mengatasi stres dan tekanan. Perbedaan tersebut karena adanya perkembangan

secara psikis dan sosial yang berbeda pada tiap individu seiring dengan

pertumbuhan fisik. Perbedaan perkembangan tersebut dipengaruhi oleh faktor

pertambahan usia, pengalaman, lingkungan, dan kebudayaan. Seseorang yang

sudah memiliki pengalaman lebih banyak akan mengetahui keadaan yang dapat

menimbulkan stres dan sudah memiliki koping yang efektif ketika stressor

tersebut datang.
132

Tipe kepribadian sanguinis, koleris, melankolis, dan phlegmatis dominan

pada burnout sedang. Hal itu disebabkan karena pada dasarnya masing-masing

tipe kepribadian memiliki ciri khas baik dari aspek kekuatan dan kelemahan.

Kedua aspek tersebut juga memiliki pengaruh terhadap terjadinya burnout

syndrome, tergantung bagaimana individu menggunakan kekuatan pada tipe

kepribadiannya tersebut dengan baik dan mengatasi kelemahan agar tidak

mendominasi sehingga individu dapat menerapkan strategi koping yang efektif

terhadap stres dan tekanan yang dihadapi. Stres dan tekanan yang dapat diatasi

akan meminimalkan terjadinya burnout yang tinggi.

4.2.5 Pengaruh Beban Kerja terhadap Burnout Syndrome pada Mahasiswa

Praktik Pra Klinik Tingkat III-A Program Studi S1 Keperawatan

STIKes Eka Harap Palangka Raya

Berdasarkan tabel 4.15, diperoleh nilai thitung sebesar 3,759 dengan

probabilitas 0,000. Nilai ttabel (terlampir-lampiran 21) pada penelitian ini sebesar -

2,013/2,013. Nilai thitung lebih besar dari nilai ttabel (3,759 > 2,013/-2,013) sehingga

dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak. Berdasarkan nilai probabilitas juga

menunjukkan nilai yang lebih kecil dari 0,05 (0,000 < 0,05), maka dapat

disimpulkan bahwa beban kerja berpengaruh terhadap burnout syndrome.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa dari 49 responden dominan

memiliki beban kerja berat sebanyak 21 responden (42,9%), dan dari 49

responden dominan memiliki burnout sedang sebanyak 34 responden (69,4%).

Berdasarkan hasil tabulasi silang beban kerja dan burnout syndrome (tabel

terlampir-lampiran 15), menunjukkan bahwa responden dengan beban kerja berat

yang mengalami burnout tinggi sebanyak 7 responden (14,3%), sedang sebanyak


133

13 responden (26,5%), rendah sebanyak 1 responden (2,0%). Beban kerja sedang

tidak ada yang mengalami burnout tinggi, burnout sedang sebanyak 11 responden

(22,4%), burnout rendah sebanyak 2 responden (4,1%). Beban kerja rendah tidak

ada yang mengalami burnout tinggi, burnout sedang sebanyak 10 responden

(20,4%), rendah sebanyak 5 responden (10,2%). Dapat disimpulkan bahwa semua

beban kerja baik berat, sedang maupun ringan dominan pada burnout sedang.

Setiap pekerjaan apapun jenisnya merupakan beban bagi yang melakukan,

baik berupa beban fisik maupun beban mental dan masing-masing orang memiliki

kemampuan yang berbeda dalam hubungannya dengan beban kerja tersebut

(Notoatmodjo, 2011: 203). Menurut Manuaba (2000) dalam Prihatini (2008: 25),

beberapa faktor yang berperan memengaruhi hubungan/interpretasi seseorang

terhadap beban kerja dari setiap proses kerjanya dapat bersumber dari eksternal

dan internal. Beban kerja yang berlebihan akan menimbulkan kelelahan baik fisik

atau mental dan reaksi-reaksi emosional seperti sakit kepala, gangguan

pencernaan, dan mudah marah. Beban kerja yang terlalu sedikit dimana pekerjaan

yang terjadi karena pengulangan gerak akan menimbulkan kebosanan dan rasa

monoton (Manuaba, 2000 dalam Prihatini, 2008: 26). Overload terjadi karena

pekerjaan yang dikerjakan melebihi kapasitas kemampuan. Hal ini dapat

menyebabkan menurunnya kualitas pekerja, hubungan yang tidak sehat di

lingkungan pekerjaan, menurunnya kreativitas pekerja, dan menyebabkan burnout

(Maslach, 2001: 414). Burnout syndrome adalah suatu kondisi psikologis pada

seseorang yang tidak berhasil mengatasi stres kerja sehingga menyebabkan stres

berkepenjangan dan mengakibatkan beberapa gejala seperti kelelahan emosional,

kelelahan fisik, kelelahan mental dan rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri
134

(Nursalam, 2013: 127). Penyebab terjadinya kelelahan dapat diklasifikasikan

menjadi faktor personal dan faktor lingkungan (Cavus, 2010 dalam Nursalam,

2013: 129). Selama dekade terakhir, beberapa istilah telah diusulkan dalam upaya

untuk menjelaskan burnout syndrome, dan definisi yang paling dapat diterima

adalah yang ditulis oleh Maslach, dimana burnout syndrome ditandai dengan tiga

dimensi yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi, dan menurunnya prestasi diri

(Pouncet, 2007 dalam Nursalam, 2013: 129). Burnout syndrome tidak hanya

terkait dengan faktor tunggal, melainkan muncul sebagai hasil dari interaksi antara

beberapa faktor yang ada (Pouncet, 2007 dalam Nursalam, 2013: 129-130).

Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat pengaruh beban kerja terhadap

burnout syndrome dan menunjukkan adanya kesesuaian antara fakta dan teori.

Hasil penelitian didapatkan bahwa responden dominan memiliki beban kerja

berat. Beban kerja yang berlebihan akan menimbulkan kelelahan baik fisik atau

mental dan reaksi-reaksi emosional seperti sakit kepala, gangguan pencernaan,

dan mudah marah. Beban kerja yang berat apabila tidak mampu ditoleransi dapat

menjadi stressor yang menimbulkan stres. Stres yang muncul dan tidak dapat

dikendalikan saat pelaksanaan praktik dapat sangat mengganggu dan

menyebabkan kehilangan efisiensi dan penurunan kapasitas kerja. Kondisi

tersebut bila terus berlanjut akan menyebabkan burnout. Pekerjaan yang

dikerjakan terlalu berlebihan dan terlalu berat baik secara emosional ataupun fisik

sehingga menimbulkan perasaan lelah dan kehabisan energi. Kehabisan energi

menimbulkan perasaan enggan untuk melakukan pekerjaan atau berinteraksi

dengan orang lain dan menimbulkan perasaan acuh tak acuh atau sinis baik

terhadap rekan kerja maupun klien yang dirawat. Klien hanya dianggap sebagai
135

objek yang tidak perlu benar-benar diperhatikan. Ketika seseorang bersikap sinis

maka sikapnya akan menjadi dingin dan menjaga jarak. Kelelahan akan

menurunkan kapasitas kerja dan ketahanan kerja yang ditandai oleh sensasi lelah,

motivasi menurun, dan aktivitas menurun sehingga setiap ada tindakan baru

dianggap sebagai beban yang berlebihan sehingga akan kehilangan kepercayaan

terhadap kemampuan diri sendiri. Hal tersebut menimbulkan evaluasi diri yang

negatif karena merasa diri tidak efektif dan tidak mampu sehingga menurunnya

pencapaian prestasi pribadi pada banyak sisi kehidupan individu.

Berdasarkan nilai koefisien regresi juga menunjukkan ada persamaan yang

bernilai positif untuk beban kerja, dimana jika beban kerja semakin bertambah

maka akan menyebabkan terjadinya peningkatan pada burnout. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa responden yang memiliki beban kerja berat masih

mengalami burnout pada kategori sedang. Hal tersebut dapat disebabkan karena

beban kerja merupakan salah satu stressor bagi mahasiswa praktik pra klinik dan

untuk menghadapi stressor setiap individu memiliki mekanisme koping yang khas.

Koping berkaitan dengan prilaku atau keterampilan yang digunakan individu untuk

menyesuaikan diri dengan kejadian atau situasi yang tidak biasa. Mekanisme koping

didefinisikan sebagai segala upaya yang digunakan untuk mengelola stres (Stuart dan

Laraia, 1998: 68 dalam Tharir, 2011: 26). Ada yang menggunakan mekanisme

koping konstruktif dan adapula yang menggunakan mekanisme koping destruktif.

Mekanisme koping konstruktif sangat bermanfaat bagi individu karena dapat

mengembangkan potensi serta mengasah keahlian diri bila berhadapan dengan suatu

masalah, sedangkan mekanisme koping destruktif menyebabkan kemunduran bagi

individu dan sangat merugikan karena hal itu tidak akan menyelesaikan masalah

dengan tuntas. Individu yang menggunakan strategi koping yang efektif akan mampu
136

mentoleransi kelelahan fisik dan emosional yang ditimbulkan akibat dari

workload. Keadaan tersebut akan membuat individu mampu melaksanakan

praktik secara profesional terhadap klien sebagai objek yang harus diperhatikan

dan mencapai kompetensi diri karena adanya kepercayaan akan kemampuan diri

sendiri. Keadaan tersebut akan membuat tingkat stres yang diakibatkan oleh beban

kerja berat mengalami penurunan intensitas atau kualitas stres.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa responden yang memiliki beban

kerja ringan juga mengalami burnout sedang. Hal tersebut dapat disebabkan

karena beban kerja yang terlalu sedikit menyebabkan banyaknya pekerjaan yang

terjadi karena pengulangan gerak sehingga menimbulkan kebosanan dan rasa

monoton. Kebosanan dan rasa monoton inilah yang dapat menimbulkan adanya

stres, disebabkan karena individu merasa tidak berkembang dan melakukan hal

yang sama secara berulang-ulang. Berdasarkan hasil yang diperoleh, peneliti dapat

menyimpulkan bahwa beban kerja berat maupun beban kerja yang ringan dapat

menyebabkan terjadinya burnout. Oleh karena itu, setiap pekerjaan yang akan

dikerjakan sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan dan miliki persepsi positif

terhadap tugas dan lingkungan kerja.

4.2.6 Pengaruh secara Simultan Tipe Kepribadian dan Beban Kerja

terhadap Burnout Syndrome pada Mahasiswa Praktik Pra Klinik

Tingkat III-A Program Studi S1 Keperawatan STIKes Eka Harap

Palangka Raya

Berdasarkan tabel 4.14, diperoleh nilai Fhitung sebesar 8,133 dengan

probabilitas 0,001. Ftabel (terlampir-lampiran 20) pada penelitian ini sebesar 3,200.

Nilai Fhitung lebih besar dari Ftabel (8,133 > 3,200) sehingga dapat disimpulkan
137

bahwa H0 ditolak. Berdasarkan nilai probabilitas juga menunjukkan nilai yang

lebih kecil dari 0,05 (0,001 < 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa tipe

kepribadian dan beban kerja secara bersama-sama berpengaruh terhadap burnout

syndrome.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa dari 49 responden dominan

memiliki tipe kepribadian sanguinis sebanyak 21 responden (42,9%), beban kerja

berat sebanyak 21 responden (42,9%), dan burnout sedang sebanyak 34 responden

(69,4%). Berdasarkan hasil tabulasi silang tipe kepribadian dan beban kerja

dengan burnout syndrome (tabel terlampir-lampiran 15), menunjukkan bahwa

responden dengan tipe kepribadian sanguinis dominan pada beban kerja berat

sebanyak 9 responden (18,4%) dan pada burnout sedang sebanyak 12 responden

(24,5%). Tipe kepribadian koleris dominan pada beban kerja sedang dan ringan

masing-masing sebanyak 4 responden (8,2%) dan dominan pada burnout sedang

sebanyak 8 responden (16,3%). Tipe kepribadian melankolis dominan pada beban

kerja berat sebanyak 6 responden (12,2%) dan dominan pada burnout sedang

sebanyak 7 responden (14,3%). Tipe kepribadian phlegmatis dominan pada beban

kerja ringan sebanyak 4 responden (8,2%) dan dominan pada burnout sedang

sebanyak 7 responden (14,3%).

Kepribadian merupakan corak tingkah laku individu yang bersifat dinamis

sebagai perpaduan yang timbul dari dalam diri dan lingkungannya,

dimanifestasikan dengan segala tingkah laku individu. Kepribadian seseorang

dengan sendirinya sudah terbentuk sejak dilahirkan. Seiring dengan pertumbuhan

fisik dan bertambahnya usia seseorang, maka perkembangan psikis dan sosial juga

mengalami perkembangan. Faktor genetik, psikis, dan sosial saling berinteraksi


138

satu sama lainnya (Pieter, 2011: 38). Menurut Yusuf (2011: 24), ada banyak

pemikiran yang mencetus munculnya teori-teori tentang tipe kepribadian,

diantaranya yang sejak lama telah dikenal yaitu tipologi menurut Hippocrates-

Galenus yang meyakini bahwa temperamen manusia dapat dijelaskan berdasarkan

cairan-cairan tubuhnya (sanguinis, koleris, melankolis, dan phlegmatis). Galenus

berpendapat bahwa jika campuran dari empat cairan tersebut dalam tubuh

individu ada salah satu yang dominan, maka menyebabkan sifat-sifat jiwa yang

khas (Fudyartanta, 2012: 55). Tipe kepribadian menggambarkan sebagian besar

karaktersitik perilaku individu tetapi perilaku tersebut akan mengalami

perkembangan dan perkembangannya lebih dipengaruhi oleh hasil belajar atau

diperoleh melalui pengalaman (Yusuf, 2011: 3). Setiap pekerjaan apapun jenisnya

merupakan beban bagi yang melakukan, baik berupa beban fisik maupun beban

mental dan masing-masing orang memiliki kemampuan yang berbeda dalam

hubungannya dengan beban kerja tersebut (Notoatmodjo, 2011: 203). Menurut

Manuaba (2000) dalam Prihatini (2008: 25), beberapa faktor yang berperan

memengaruhi hubungan/interpretasi seseorang terhadap beban kerja dari setiap

proses kerjanya dapat bersumber dari eksternal dan internal. Beban kerja yang

berlebihan akan menimbulkan kelelahan baik fisik atau mental dan reaksi-reaksi

emosional seperti sakit kepala, gangguan pencernaan, dan mudah marah. Beban

kerja yang terlalu sedikit dimana pekerjaan yang terjadi karena pengulangan gerak

akan menimbulkan kebosanan dan rasa monoton (Manuaba, 2000 dalam Prihatini,

2008: 26). Overload terjadi karena pekerjaan yang dikerjakan melebihi kapasitas

kemampuan. Hal ini dapat menyebabkan menurunnya kualitas pekerja, hubungan

yang tidak sehat di lingkungan pekerjaan, menurunnya kreativitas pekerja, dan


139

menyebabkan burnout (Maslach, 2001: 414). Burnout syndrome adalah suatu

kondisi psikologis pada seseorang yang tidak berhasil mengatasi stres kerja

sehingga menyebabkan stres berkepenjangan dan mengakibatkan beberapa gejala

seperti kelelahan emosional, kelelahan fisik, kelelahan mental dan rendahnya

penghargaan terhadap diri sendiri (Nursalam, 2013: 127). Penyebab terjadinya

kelelahan dapat diklasifikasikan menjadi faktor personal dan faktor lingkungan

(Cavus, 2010 dalam Nursalam, 2013: 129). Selama dekade terakhir, beberapa

istilah telah diusulkan dalam upaya untuk menjelaskan burnout syndrome, dan

definisi yang paling dapat diterima adalah yang ditulis oleh Maslach, dimana

burnout syndrome ditandai dengan tiga dimensi yaitu kelelahan emosional,

depersonalisasi, dan menurunnya prestasi diri (Pouncet, 2007 dalam Nursalam,

2013: 129). Burnout syndrome tidak hanya terkait dengan faktor tunggal,

melainkan muncul sebagai hasil dari interaksi antara beberapa faktor yang ada

(Pouncet, 2007 dalam Nursalam, 2013: 129-130).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara simultan tipe kepribadian dan

beban kerja berpengaruh terhadap burnout syndrome dengan sumbangan pengaruh

sebesar 26,1% dan sisanya 73,9% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti.

Terjadinya burnout syndrome tidak hanya terkait dengan faktor tunggal,

melainkan muncul sebagai hasil dari interaksi antara beberapa faktor yang dalam

hal ini yaitu antara tipe kepribadian dan beban kerja. Hal tersebut terjadi karena

jika kedua hal tersebut berdiri secara bersama-sama maka akan saling

memengaruhi terhadap terjadinya stres yang dapat menimbulkan burnout. Tipe

kepribadian menggambarkan sebagian besar karaktersitik perilaku individu tetapi

perilaku tersebut akan mengalami perkembangan dan lebih dipengaruhi oleh hasil
140

belajar atau diperoleh melalui pengalaman. Perkembangan itu pulalah yang

memengaruhi persepsi masing-masing individu terhadap berat ringannya beban

kerja dari tugas yang sedang dijalani. Penelitian ini menunjukkan bahwa masing-

masing tipe kepribadian dominan memiliki beban kerja yang bervariasi tetapi

dominan pada burnout sedang. Bervariasinya beban kerja individu disebabkan

kaerena masing-masing memiliki persepsi, motif, dan motivasi yang berbeda

terhadap tugas dan lingkungan kerja tersebut. Persepsi akan berbeda dari satu

orang dan orang lain walaupun berada di dalam situasi yang sama, tergantung

dengan pengalaman masa lalu, pengetahuan dan status emosi. Di samping itu,

masing-masing individu memiliki koping yang berbeda-beda, dan cara yang

berbeda pula untuk mengatasi stres dan tekanan sehingga memungkinkan memilki

kualitas yang berbeda terhadap terjadinya burnout. Tipe kepribadian sanguinis

dan melankolis dominan pada beban kerja berat selain disebabkan karena

beberapa faktor yang telah dijelaskan sebelumnya juga disebabkan karena sifat

dasar dari dua kepribadian tersebut seperti pada sanguinis masih berjiwa kekanak-

kanakan; sesuatu pada suatu waktu dipandang penting, tetapi kemudian mudah

berganti karena pikirannya dangkal; selalu senang pada permainan dan hiburan

(Fudyartanta, 2012: 71); mudah bosan (Pieter, 2011: 47). Sedangkan pada

melankolis mudah kecewa dan marah, daya juang kecil dan selalau pesimis

(Pieter, 2011: 44). Tetapi sanguinis memiliki sifat dasar periang, optimis, dan

percaya diri, dan melankolis merupakan temperamen yang paling kaya di antara

tipe-tipe temperamen yang lain karena mempunyai sifat analitis, rela berkorban,

berbakat, perfeksionis. Sifat-sifat seperti mudah bosan, daya juang kecil, pesimis

itulah yang dapat membuat individu dengan tipe kepribadian sanguinis dan
141

melankolis akan rentan merasa tugas yang diberikan terasa berat sehingga menjadi

beban kerja. Tipe kepribadian koleris dominan memiliki beban kerja sedang dan

ringan, karena tempramen koleris ialah temperamen yang penuh semangat,

bertindak cepat, aktif, praktis dan berkemauan keras. Koleris selalu penuh dengan

aktivitas karena bagi koleris hidup adalah aktivitas. Sehingga apabila berada

dalam kondisi praktik pra klinik dengan berbagai tuntutan dan tekanan, koleris

tidak lantas merasa sebagai suatu beban. Tipe kepribadian phlegmatis dominan

dengan beban kerja ringan disebabkan karena sifat dasar phlegmatis yaitu

pendiam, tenang, stabil.

Masing-masing tipe kepribadian tersebut memiliki beban kerja yang

bervariasi tetapi memiliki dominasi yang sama pada burnout yaitu pada kategori

sedang, disebabkan karena setiap individu dengan tipe kepribadian yang sama

ataupun berbeda masing-masing memiliki koping yang berbeda-beda, dan cara

yang berbeda pula untuk mengatasi stres dan tekanan sehingga memungkinkan

memilki kualitas yang berbeda terhadap terjadinya burnout. Hal tersebut akan

membuat individu masih percaya dengan kemampuan diri sendiri, masih dapat

menganggap klien sebagai objek yang harus benar-benar diperhatikan, dan

mampu mengatasi kelelahan-kelelahan yang timbul akibat padatnya waktu

pelaksanaan praktik dan banyaknya tugas yang harus diselesaikan. Keadaan

tersebut akan membuat tingkat stres yang diakibatkan oleh beban kerja mengalami

penurunan atau pengurangan intensitas atau kualitas stres.


142

4.3 Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah sulitnya untuk mendapatkan

literatur yang memadai untuk pembahasan teori tentang beban kerja pada

mahasiswa praktik pra klinik, serta keterbatasan peneliti untuk memahami lebih

dalam dari konsep burnout syndrome yang sebagian besar literaturnya berbahasa

Inggris. Selain itu, peneliti sulit menentukan penilaian untuk burnout syndrome,

terlalu banyaknya item pernyataan pada kuesioner (tipe kepribadian, beban kerja,

dan burnout syndrome).

Anda mungkin juga menyukai