Anda di halaman 1dari 45

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Kepribadian

2.1.1 Pengertian Kepribadian

Allport dalam Yusuf (2011: 3), mengemukakan pengertian kepribadian

yaitu personality is the dynamic organization within the individual of those

psychophysical systems that determine his unique adjustment to his environment

(kepribadian merupakan organisasi yang dinamis dalam diri individu tentang

sistem psikofisik yang menentukan penyesuaian unik terhadap lingkungannya).

Pengertian tersebut dapat dianalisis sebagai berikut:

1) Dynamic, merujuk kepada perubahan kualitas perilaku (karakteristik)

individu dari waktu ke waktu, atau dari situasi ke situasi.

2) Organization, menunjukkan bahwa kepribadian itu bukan kumpulan sifat-

sifat melainkan keterkaitan antara sifat-sifat tersebut, yang satu sama

lainnya saling berhubungan atau berinterelasi.

3) Psychophysical systems terdiri atas kebiasaan, sikap, emosi, motif,

keyakinan, yang semuanya merupakan aspek psikis. Aspek fisik seperti

saraf, kelenjar, atau tubuh individu secara keseluruhan. Sistem psikofisik ini

meskipun mempunyai dasar pembawaan, namun dalam perkembangannya

lebih dipengaruhi oleh hasil belajar atau diperoleh melalui pengalaman.

4) Determine, menunjukkan peranan motivasi dari sistem psikofisik. Sikap,

keyakinan, kebiasaan, atau elemen-elemen sistem psikofisik lainnya muncul

melalui stimulus, baik dari lingkungan maupun dari dalam diri individu

sendiri.

7
8

5) Unique, merujuk kepada keunikan atau keragaman tingkah laku individu

sebagai ekspresi dari pola sistem psikofisiknya.

Pengertian menurut Allport tersebut dapat dijelaskan bahwa kepribadian

merupakan suatu sistem yang terorganisasi dengan berbagai komponen, yang

didalamnya ada proses, perubahan, dan perkembangan. Komponen yang

dimaksud adalah psiko (jiwa) dan fisik (raga). Organisasi turut menentukan

penyesuaian dirinya, yang sifatnya aktif dalam menentukan tingkah laku yang

berhubungan dengan lingkungannya maupun dengan dirinya sendiri. Penyesuaian

diri dengan lingkungan itu sifatnya unik, khas, berbeda antara orang yang satu

dengan yang lainnya (Baihaqi, 2005: 132).

Menurut Sunaryo (2004: 103), kepribadian meliputi segala corak tingkah

laku individu yang terhimpun dalam dirinya, yang digunakan untuk bereaksi dan

menyesuaikan diri terhadap segala rangsang (internal maupun eksternal) sehingga

menjadi satu kesatuan fungsional yang khas bagi individu itu.

Dapat disimpulkan bahwa kepribadian merupakan corak tingkah laku

individu yang bersifat dinamis sebagai perpaduan yang timbul dari dalam diri dan

lingkungannya, dimanifestasikan dengan segala tingkah laku individu.

2.1.2 Perubahan Kepribadian

Menurut Yusuf (2011: 11), meskipun kepribadian seseorang relatif konstan

namun kenyataannya sering ditemukan adanya perubahan kepribadian. Perubahan

tersebut terjadi dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti:

1) Faktor fisik seperti gangguan otak, kurang gizi, mengonsumsi obat-obatan

terlarang, minum minuman keras, dan gangguan organik (sakit atau

kecelakaan).
9

2) Faktor lingkungan sosial budaya seperti krisis politik, ekonomi, dan

keamanan yang menyebabkan terjadinya masalah pribadi (stres, depresi),

dan masalah sosial (pengangguran, premanisme, dan kriminalitas).

3) Faktor diri sendiri seperti tekanan emosional (frustrasi yang

berkepanjangan), dan identifikasi atau imitasi terhadap orang lain yang

berkepribadian menyimpang.

2.1.3 Tipologi Kepribadian Hippokrates-Galenus (Psikologi Humor-Cairan)

Hippokrates (460-370 SM) merupakan seorang ahli kedokteran dan dijuluki

bapak ilmu kedokteran. Ia mempelajari kepribadian berdasarkan struktur cairan

atau istilah Latin yaitu humor dalam tubuh manusia. Ia mendapat pengaruh dari

filsuf Empedokles (490-435 SM) yang berpendapat bahwa alam semesta terdiri

dari empat unsur dasar yaitu tanah, air, udara, dan api. Empat unsur dasar ini

mempunyai sifat dasar masing-masing. Tanah sifatnya kering, air sifatnya basah,

udara sifatnya dingin, dan api sifatnya panas. Atas dasar sifat-sifat tersebut

Hippokrates berpendapat bahwa dalam tubuh manusia terdapat empat sifat dasar

yang didukung oleh konstitusi tubuhnya yang berupa cairan-cairan. Empat macam

cairan yang dimaksud Hippokrates adalah (Fudyartanta, 2012: 54):

1) Sifat kering terdapat dalam cairan berwarna kuning, yang disebut chole dan

diidentifikasi sebagai empedu kuning.

2) Sifat basah terdapat dalam cairan berwarna hitam, yang disebut melanchole

dan diidentifikasi sebagai empedu hitam.

3) Sifat dingin terdapat dalam cairan berwarna putih, yang disebut phlegmatic

dan diidentifikasi sebagai lendir.


10

4) Sifat panas terdapat dalam cairan berwarna merah, yang disebut sanguin dan

diidentifikasi sebagai darah.

Hippokrates meyakini bahwa temperamen manusia dapat dijelaskan

berdasarkan cairan-cairan tubuhnya (Yusuf, 2011: 24). Keempat macam cairan itu

terdapat dalam tubuh manusia dalam proporsi tertentu. Jika proporsinya selaras

atau normal, maka orangnya menjadi orang yang selaras/normal/sehat. Tetapi jika

proporsinya tidak selaras, maka orangnya menyimpang dari keselarasan/sakit.

Jadi, pengaruh proporsi campuran chole, melanchole, phlegmatic, dan sanguin

berpengaruh pada kenormalan atau kesehatan manusia yang kemudian

berpengaruh pula pada tingkah laku atau kepribadiannya (Fudyartanta, 2012: 55).

Ajaran Hippokrates tersebut disempurnakan oleh Galenus (129-199 M)

yang merupakan seorang dokter bangsa Romawi. Galenus berpendapat bahwa jika

campuran dari empat cairan tadi dalam tubuh individu ada salah satu yang

dominan, maka menyebabkan sifat-sifat jiwa yang khas (Fudyartanta, 2012: 55).

Tabel 2.1 Tipologi Kepribadian Hippokrates-Galenus


No. Tipe Sifat-sifat khas kepribadian
1. Choleris 1. Hidupnya penuh semangat.
2. Keras hati dan emosi mudah terbakar.
3. Daya juang besar dan optimis.
2. Melankolis 1. Mudah kecewa dan marah.
2. Daya juang kecil dan selalau pesimis.
3. Phlegmatic 1. Pembawaan tenang dan kalem.
2. Tidak suka terburu-buru.
3. Sulit dipengaruhi dan selalu setia.
4. Sanguinis 1. Hidup mudah berganti haluan.
2. Peramah.
Sumber: Pieter (2011: 44).
11

Keempat tipe kepribadian ini terdapat pada setiap manusia, hanya saja ada

satu tipe kepribadian yang menonjol/ dominan dibandingkan tipe kepribadian lain

sehingga tipe kepribadian yang dominan itulah yang menjadi tipe kepribadian

seseorang (Fatningsaliska, 2015: 2). Tipe kepribadian yang dikemukakan oleh

Hippokrates-Galenus dapat dijelaskan sebagai berikut.

1) Tipe kepribadian sanguinis

Pada sanguinis darah yang lebih besar pengaruhnya. Wajahnya selalu

berseri-seri, periang, dan berjiwa kekanak-kanakan. Secara temperamen, sifat-sifat

yang dimiliki orang dengan kepribadian sanguinis berdasarkan tipologi yang

diajukan oleh Immanuel Kant yaitu mudah dan kuat menerima kesan, tetapi tidak

mendalam dan tidak tahan lama; suasana perasaannya penuh harapan; sesuatu

pada suatu waktu dipandang penting, tetapi kemudian mudah berganti karena

pikirannya dangkal; mudah berjanji tetapi tidak ditepati; mudah menolong orang

lain, tetapi tidak dapat dipakai sebagai patokan; peramah dan periang dalam

pergaulan; umumnya cukup pemberani, tetapi jika bersalah sukar bertobat, dia

menyesal tetapi sesalnya mudah hilang; selalu senang pada permainan dan

hiburan (Fudyartanta, 2012: 71).

Menurut Yusuf (2011: 26), sanguinis memiliki sifat dasar periang, optimis,

dan percaya diri. Sifat perasaannya mudah menyesuaikan diri, tidak stabil, baik

hati, tidak serius, kurang dapat dipercaya karena kurang begitu konsekuen.

Menurut Pieter (2011: 47), sanguinis adalah seseorang yang selalu penuh harapan,

segala sesuatu dianggapnya penting, sering menjanjikan sesuatu namun jarang

menepati karena kurang dipikirkan, senang menolong orang lain tetapi sifatnya

sementara, dan mudah bosan. Sanguin cocok sekali untuk menjadi salesman,
12

pekerja di rumah sakit, guru, ahli bicara, aktor, ahli pidato dan kadang-kadang

mereka dapat menjadi pemimpin yang baik.

2) Tipe kepribadian koleris

Tempramen koleris yang keras ialah temperamen yang penuh semangat,

bertindak cepat, aktif, praktis dan berkemauan keras. Orang koleris selalu penuh

dengan aktivitas karena bagi kaum koleris hidup adalah aktivitas. Koleris tidak

perlu harus dirangsang oleh keadaan sekelilingnya, tetapi malah lebih banyak

merangsang keadaan sekelilingnya dengan gagasan, rencana-rencana dan

ambisinya yang tidak pernah habis. Sifat dasar koleris yaitu selalu merasa kurang

puas, bereaksi negatif dan agresif. Sedangkan sifat-sifat lainnya yaitu mudah

tersinggung (emosional), suka membuat provokasi, tidak mau mengalah, tidak

sabar, tidak toleran, kurang mempunyai rasa humor, dan banyak inisiatif/usaha

(Yusuf, 2011: 26).

Orang koleris dapat menjadi seorang eksekutif (pelaksana) yang baik,

pencetus gagasan, produser, diktator, atau bahkan seorang penjahat tergantung

pada standar moralnya. Sama seperti orang sanguin, biasanya koleris adalah

seorang extrovert, meskipun agak kurang menonjol.

Emosi koleris mudah terbakar, namun mudah tenang tanpa ada rasa

membenci. Tindakannya selalu cepat tetapi tidak konstan, terlihat sibuk dan suka

memerintah orang daripada melakukannya, senang dipuji. Seorang koleris juga

bermurah hati dan melindungi orang lain, namun bukan karena sayang pada orang

lain tetapi lebih tertuju pada kasih sayang diri sendiri dan agar mendapat pujian

dan penghargaan dari orang lain (Pieter, 2011: 47).


13

3) Tipe kepribadian melankolis

Orang melankolis seringkali dilukiskan sebagai temperamen yang suram

atau murung, sebenarnya temperamen melankolis adalah temperamen yang

paling kaya di antara tipe-tipe temperamen yang lain karena mempunyai sifat

analitis, rela berkorban, berbakat, perfeksionis, dan memiliki emosi yang sangat

sensitif. Tipe melankolis paling dapat menikmati karya-karya seni yang tinggi.

Melankolis mempunyai sifat pembawaan yang introvert, tetapi karena

perasaannya lebih menguasai dirinya maka keadaan hatinya cenderung untuk

mengikuti perasaan hatinya yang berubah-ubah, kadang-kadang perasaan hatinya

mengangkat dia ke puncak kegembiraan sehingga membuat dia bertindak lebih

ekstrovert; namun pada saat lain merasa murung dan tertekan, dan pada saat-saat

itu akan menjadi orang yang sangat pendiam dan sama sekali berlawanan dengan

keadaan sebelumnya (Fudyartanta, 2012: 72).

Orang yang memiliki temperamen melankolis adalah seorang teman yang

sangat setia, tetapi sukar mendapat teman. Melankolis tidak mau mengajukan diri

untuk menemui orang-orang tetapi lebih cenderung untuk membiarkan orang-

orang datang kepadanya. Orang yang memiliki temperamen melankolis adalah

orang yang paling dapat dipercayai dibanding dengan orang yang memiliki tipe-

tipe temperamen yang lain, karena kecenderungannya untuk mencapai yang

sempurna tidak membiarkan dirinya mengabaikan pekerjaannya atau membiarkan

orang lain kecewa bila mereka bergantung kepadanya. Pengalaman-pengalaman

yang mengecewakan membuatnya tidak menilai seseorang berdasarkan apa yang

tampak di luarnya, merasa curiga apabila ada orang yang memberikan perhatian

berlebihan kepadanya. Kemampuan yang hebat dalam menganalisa membuatnya


14

dapat memperkirakan dengan tepat kemungkinan adanya halangan-halangan dan

bahaya dalam setiap usaha yang direncanakannya. Sifat ini seringkali

menyebabkan seorang melankolis segan mengemukakan suatu gagasan baru atau

menentang orang yang memprakarsai suatu kegiatan. Apabila sedang mengalami

suasana hati dan emosi yang gembira atau penuh inspirasi, orang melankolis dapat

menghasilkan suatu karya seni yang besar atau mencetuskan suatu hasil pemikiran

yang luar biasa. Orang melankolis biasanya menemukan nilai hidup paling berarti

dalam pengorbanan diri, seakan-akan mempunyai keinginan untuk membuat

dirinya sendiri menderita dan seringkali akan memilih lapangan pekerjaan yang

sulit dan menuntut banyak pengorbanan diri, sekali telah memilih pekerjaan

cenderung untuk bersikap sangat teliti dan tekun dalam mencapai tujuannya dan

besar kemungkinan akan menyelesaikannya dengan sangat baik (Pieter, 2011: 47).

Sifat seorang melankolis dari segi pekerjaan yaitu berorientasi jadwal,

perfeksionis, standar tinggi, sadar perincian, gigih dan cermat, tertib, terorganisir,

teratur dan rapi, ekonomis, melihat masalah, mendapat pemecahan kreatif,

menyelesaikan apa yang dimulai, suka diagram, grafik, bagan dan daftar. Banyak

dari antara orang-orang yang berbakat besar di dunia ini yaitu para seniman,

musikus, penemu, ahli filsafat, pendidik, dan ahli-ahli teori adalah orang-orang

yang mempunyai temperamen melankolis.

4) Tipe kepribadian phlegmatis

Menurut Hippokrates, cairan tubuh yang menghasilkan temperamen-

temperamen yang tenang, dingin, santai, dan stabil disebut Flip Phlegmatic. Bagi

orang phlegmatis, hidup adalah pengalaman yang membahagiakan dan

menyenangkan, tanpa pengalaman-pengalaman yang menggetarkan jiwa, dan


15

tidak mau melibatkan diri dalam persoalan apa pun. Sifat dasar phlegmatis yaitu

pendiam, tenang, stabil. Namun, phlegmatis juga mempunyai sifat mudah merasa

puas, tidak peduli (acuh tak acuh), dingin hati (tidak mudah terharu), pasif, tidak

mempunyai banyak minat, hemat, tertib dan teratur (Yusuf, 2011: 26).

Orang phlegmatis biasanya baik hati dan penuh perhatian, tetapi jarang

sekali mengutarakan perasaannya yang sesungguhnya. Tetapi apabila sekali telah

didorong untuk bertindak, akan terbukti bahwa phlegmatis adalah orang yang

paling efisien dan memiliki kemampuan yang hebat. Phlegmatis sendiri tidak akan

mau memegang pimpinan, tetapi apabila diberi tugas sebagai seorang pemimpin,

maka akan membuktikan diri sebagai seorang pemimpin yang mampu. Phlegmatis

dapat menimbulkan suasana damai dan mempunyai sifat pembawaan suka

mendamaikan orang. Phlegmatis dapat menjadi seorang diplomat, seorang

akuntan, guru, pemimpin, ahli ilmu pengetahuan atau pekerja yang baik dalam

suatu bidang yang membutuhkan ketelitian yang tinggi.

2.1.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kepribadian

Timbulnya kepribadian seseorang dengan sendirinya sudah terbentuk sejak

dilahirkan. Namun, hanya berupa pengaruh faktor fisik yang dapat dilihat, seperti

apakah struktur organ tubuhnya, bentuk wajah, dan kulit. Seiring dengan

pertumbuhan fisik dan bertambahnya usia seseorang, maka perkembangan psikis

dan sosial juga mengalami perkembangan. Faktor genetik, psikis, dan sosial saling

berinteraksi satu sama lainnya. Jadi terdapat perpaduan antara faktor genetik

(bawaan), psikologis, dan faktor lingkungan dalam proses pembentukan

kepribadian (Pieter, 2011: 38).


16

2.1.4.1 Faktor Genetik (Pembawaan)

Pengaruh gen terhadap kepribadian sebenarnya tidak secara langsung,

karena yang dipengaruhi gen secara langsung adalah kualitas sistem saraf,

keseimbangan biokimia tubuh, dan struktur tubuh. Lebih lanjut dapat

dikemukakan, bahwa fungsi hereditas dalam kaitannya dengan perkembangan

kepribadian adalah sebagai sumber bahan mentah (raw materials) kepribadian

seperti fisik, inteligensi, dan temperamen; membatasi perkembangan kepribadian

(meskipun kondisi lingkungannya sangat baik/kondusif, perkembangan

kepribadian itu tidak bisa melebihi kapasitas atau potensi hereditas); dan

mempengaruhi keunikan kepribadian (Yusuf, 2011: 21). Herediter mempengaruhi

konsep diri individu sebagai dasar individualitasnya (keunikannya), sehingga

tidak ada dua orang yang mempunyai pola-pola kepribadian yang sama, meskipun

kembar identik. Pada hakikatnya unsur bawaan tidak hanya menggambarkan

potensi perkembangan, tetapi juga memberikan nuansa perbedaan individual yang

spesifik (Pieter, 2011: 39). Matangnya perkembangan berkaitan dengan proses

belajar dan pengalaman. Proses belajar dan referensi pengalaman secara sinergi

memengaruhi perkembangan dan pembentukan kepribadian seseorang.

2.1.4.2 Faktor Lingkungan (Environment)

1) Keluarga

Keluarga dipandang sebagai penentu utama pembentukan kepribadian

karena keluarga merupakan kelompok sosial pertama yang menjadi pusat

identifikasi, seseorang banyak menghabiskan waktunya di lingkungan keluarga,

dan para anggota keluarga merupakan significant people bagi pembentukan

kepribadian anak (Yusuf, 2011: 27).


17

2) Faktor Kebudayaan

Kluckhohn berpendapat bahwa kebudayaan meregulasi (mengatur)

kehidupan kita mulai dari lahir sampai mati, baik disadari maupun tidak disadari.

Kebudayaan mempengaruhi kita untuk mengikuti pola-pola perilaku tertentu yang

telah dibuat orang lain untuk kita (Yusuf, 2011: 30).

3) Sekolah

Lingkungan sekolah dapat mempengaruhi kepribadian sesuai dengan iklim

emosional kelas, sikap dan perilaku pengajar. Kelas yang iklim emosinya sehat

(pengajar bersikap ramah, dan respek terhadap siswa dan begitu juga berlaku di

antara sesama siswa) memberikan dampak yang positif bagi perkembangan psikis

seperti merasa nyaman, bahagia, mau bekerja sama, termotivasi untuk belajar, dan

mau menaati peraturan. Sedangkan kelas yang iklim emosinya tidak sehat

(pengajar bersikap otoriter, dan tidak menghargai siswa) berdampak kurang baik

seperti merasa tegang, nerveous, sangat kritis, mudah marah, malas untuk belajar,

dan berperilaku yang mengganggu ketertiban (Yusuf, 2011: 31).

4) Disiplin (tata tertib)

Tata tertib ini ditujukan untuk membentuk sikap dan tingkah laku. Displin

yang otoriter cenderung mengembangkan sifat-sifat pribadi yang tegang, cemas,

dan antagonistik. Displin yang permisif, cenderung membentuk sifat yang kurang

bertanggung jawab, kurang menghargai otoritas, dan egosentris. Sementara

disiplin yang demokratis, cenderung mengembangkan perasaan berharga, merasa

bahagia, perasaan tenang, dan sikap bekerja sama (Yusuf, 2011: 32).
18

5) Prestasi belajar

Perolehan prestasi belajar, atau peringkat kelas dapat mempengaruhi

peningkatan harga diri, dan sikap percaya diri (Yusuf, 2011: 33).

2.1.5 Cara Mengukur Kepribadian

Pengukuran kepribadian dapat dilakukan dengan berbagai teknik meliputi

observasi, wawancara, menggunakan inventory, teknik proyektif, dan

menggunakan catatan harian. Penelitian ini memfokuskan pengukuran

kepribadian menggunakan inventory yang merupakan sejenis kuesioner yang

harus dijawab oleh responden secara ringkas, biasanya mengisi kolom jawaban

dengan tanda cek (Ahmadi, 2005: 165).

Kuesioner yang digunakan untuk mengukur tipe kepribadian berdasarkan

teori Hippokrates-Galenus yaitu menggunakan kuesioner yang dikembangkan

oleh Florence Littauer pada abad ke-20 dan dimuat dalam bukunya Personality

Plus, yang memuat 40 pernyataan masing-masing 20 pernyataan untuk kekuatan

dan kelemahan. Penilaian dilakukan dengan menjumlahkan jawaban untuk

masing-masing keempat tipe kepribadian, dan tambahkan jumlah total dari kedua

bagian (kekuatan dan kelemahan). Misalnya nilai Anda 15 pada kekuatan dan

kelemahan koleris maka hampir bisa dipastikan Anda seorang koleris. Tetapi

kalau nilai Anda, misalnya 8 pada sanguin, 6 pada melankolis, 2 pada koleris, dan

2 pada phlegmatis. Dapat disimpulkan Anda adalah seorang sanguin dengan

perpaduan melankolis (Littauer, 1992: 19).


19

2.2 Konsep Beban Kerja

2.2.1 Pengertian Beban Kerja

Setiap pekerjaan apapun jenisnya merupakan beban bagi yang melakukan,

baik berupa beban fisik maupun beban mental dan masing-masing orang memiliki

kemampuan yang berbeda dalam hubungannya dengan beban kerja tersebut

(Notoatmodjo, 2011: 203). Beban fisik berupa beratnya pekerjaan seperti

mengangkat, mengangkut, merawat, mendorong; sedangkan beban kerja mental

dapat berupa sejauh mana tingkat keahlian dan prestasi kerja yang dimiliki

individu dengan individu lainnya (Manuaba, 2000 dalam Prihatini, 2008: 24).

Beban kerja adalah suatu kewajiban atau tanggung jawab yang harus dipikul

untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan standar tertentu (Pasaribu,

2013: 8).

2.2.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Beban Kerja

2.2.2.1 Faktor eksternal

Faktor eksternal yang dapat membuat perkerjaan semakin terasa berat

sehingga menjadi beban kerja dapat bersumber dari tugas-tugas kerja, lingkungan

kerja, berasal dari keluarga, dan hubungan interpesonal.

1) Tugas-tugas yang bersifat fisik seperti stasiun kerja, tata ruang, tempat

kerja, alat dan sarana kerja, kondisi kerja, sikap kerja. Tugas-tugas yang

bersifat mental seperti kompleksitas pekerjaan, tingkat kesulitan pekerjaan,

tanggung jawab pekerjaan (Manuaba, 2000 dalam Prihatini, 2008: 25). Pada

mahasiswa praktik pra klinik, tugas-tugas dapat dibedakan menjadi tugas

tertulis dan tugas praktik.


20

(1) Tugas tertulis, seperti pembuatan laporan asuhan keperawatan baik individu,

keluarga, dan jiwa; pengisian daily activity; pembuatan resume

keperawatan; pemberian pendidikan kesehatan kepada klien maupun

keluarga.

(2) Tugas praktik, seperti lamanya waktu kerja, waktu istirahat, kerja bergilir,

kerja malam, pelimpahan tugas dan wewenang, pencapaian target

keterampilan pelaksanaan praktik pra klinik baik di RS maupun di pusat

kesehatan masyarakat.

2) Faktor keluarga dapat disebabkan oleh adanya perselisihan dalam keluarga,

masalah keuangan, masalah dalam keluarga (kematian anggota keluarga,

perpisahan orang tua, dll), nilai-nilai yang berbeda dengan tempat bekerja

(Soewondo, 2012: 13).

3) Lingkungan kerja adalah lingkungan kerja fisik, lingkungan kimiawi,

lingkungan kerja biologis dan lingkungan kerja psikologis. Sebagai contoh

adanya atasan yang tidak pernah puas di tempat kerja (Hidayat, 2009: 10).

4) Hubungan interpersonal seperti hubungan dengan teman kerja, hubungan

dengan atasan, cara berkomunikasi, pelayanan yang buruk, dan kompetisi

(Soewondo, 2012: 13).

2.2.2.2 Faktor internal

Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh itu sendiri akibat

dari reaksi beban kerja eksternal. Reaksi tubuh disebut strain, berat ringannya

strain dapat dinilai baik secara objektif maupun subjektif. Faktor internal meliputi

(Manuaba, 2000 dalam Prihatini, 2008: 25).


21

1) Faktor somatis

(1) Jenis kelamin

Faktor jenis kelamin memengaruhi beban kerja karena adanya perbedaan

cara pandang dan karakter antara laki-laki dan perempuan (Nirwana, 2012).

Menurut profesor Heymans, perbedaan antara laki-laki dan perempuan yaitu

terletak pada sifat-sifat sekundaritas, emosionalitas, dan aktivitas. Pada

perempuan, fungsi sekundaritas tidak terletak di bidang intelek akan tetapi pada

perasaan. Oleh karena itu, nilai perasaan dari pengalaman-pengalamannya jauh

lebih lama memengaruhi struktur kepribadiannya dibandingkan dengan nilai

perasaan laki-laki (Kartono, 2006: 181). Secara emosionalitas, sifat perempuan

lebih emosional daripada laki-laki. Oleh karena emosinya yang kuat, wanita lebih

cepat mereaksi dengan hati penuh keterangan, lebih cepat berkecil hati, bingung,

takut, dan cemas. Namun, jika berada di bawah tekanan-tekanan tertentu terdapat

kontradiksi pada kehidupan perasaan perempuan, sehingga ada kalanya bersikap

mudah tegang, berani, tegas, dan keras (Kartono, 2006: 182). Perempuan juga

pada umumnya lebih akurat dan lebih mendetail, seperti pada masalah ilmiah

perempuan lebih konsekuen dan lebih akurat daripada laki-laki.

(2) Umur

Semakin tua umur seseorang semakin besar tingkat kelelahan. Fungsi faal

tubuh yang dapat berubah karena faktor usia mempengaruhi ketahanan tubuh dan

kapasitas kerja seseorang (Sumamur 2009 dalam Trimawan, 2012: 6). Selain itu,

adapula pendapat yang menyatakan bahwa beban kerja di samping dipengaruhi

oleh usia juga dipengaruhi oleh masa kerja seseorang. Semakin tua usia seseorang

berarti sudah memiliki masa kerja dan pengalaman yang cukup. Masa kerja dapat
22

mempengaruhi pekerja baik positif maupun negatif. Akan memberikan pengaruh

positif bila semakin lama seseorang bekerja maka akan berpengalaman dalam

melakukan pekerjaannya. Sebaliknya akan memberikan pengaruh negatif apabila

semakin lama bekerja akan menimbulkan kelelahan dan kebosanan. Semakin lama

seseorang bekerja maka semakin banyak telah terpapar bahaya yang ditimbulkan

oleh lingkungan kerja tersebut (Trimawan, 2012: 7).

(3) Kondisi kesehatan

Gangguan kesehatan adalah suatu kondisi yang kurang sehat atau tidak

normal atau tidak sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap

orang tidak produktif secara sosial dan ekonomis atau mengalami stres (Nirwana,

2012).

2) Faktor psikis

(1) Motivasi

Menurut Sunaryo (2004: 7, 143), motivasi adalah dorongan penggerak

untuk mencapai tujuan tertentu, baik disadari ataupun tidak disadari. Motivasi

dapat timbul dari dalam diri individu maupun dari lingkungan. Individu yang

merasa haus akan mengarahkan perilakunya ke arah minum, demikian pula

dengan mahasiswa yang haus akan ilmu keperawatan akan mengarahkan

perilakunya ke arah hal tersebut.

(2) Persepsi

Persepsi dapat diartikan sebagai gambaran seseorang tentang realita,

gambaran seseorang tentang objek, orang, dan kejadian-kejadian. Persepsi

berbeda dari satu orang dan orang lain. Hal ini tergantung dengan pengalaman

masa lalu, latar belakang, pengetahuan, dan status emosi. Karakteristik persepsi
23

adalah universal atau dialami oleh semua, selektif untuk semua orang, subjektif

atau personal (Nursalam, 2013: 62).

Setiap individu mempunyai persepsi yang berbeda terhadap suatu hal

walaupun berada di dalam situasi yang sama. Apabila individu memiliki persepsi

yang positif terhadap suatu hal, maka individu cenderung untuk memberi kesan

yang baik. Tetapi apabila individu memiliki persepsi negatif terhadap suatu hal,

maka individu akan memberi kesan yang tidak baik terhadap keadaan tersebut.

Perawat dalam memunculkan perilaku terhadap pekerjaannya akan didahului oleh

persepsi mengenai lingkungan tempat kerja. Apa yang dipersepsikan individu

sebagai satu lingkungan kerja yang efisien dan menantang dapat dipandang oleh

individu sebagai lingkungan yang mengancam dan menuntut (Andriani dan

Subekti, 2004: 53 dalam Mayasari, 2007: 5).

(3) Mekanisme koping

Mekanisme koping didefinisikan sebagai segala upaya yang digunakan

untuk mengelola stres. Koping berkaitan dengan perilaku atau keterampilan yang

digunakan individu untuk menyesuaikan diri dengan kejadian atau situasi yang

tidak biasa. Mekanisme koping dapat berupa koping konstruktif dan destruktif.

Koping konstruktif akan muncul jika individu melihat kecemasan atau stressor

yang dihadapinya sebagai tanda peringatan sehingga individu tersebut

menghadapinya sebagai kesempatan untuk memecahkan masalah. Sedangkan

koping destruktif merupakan mekanisme individu untuk menghindari stressor

tanpa adanya penyelesaian masalah (Stuart dan Laraia, 1998: 68 dalam Tharir,

2011: 26, 28).


24

2.2.3 Beban Kerja pada Mahasiswa Praktik Pra Klinik

Pada masa lalu, mahasiswa keperawatan yang sedang menjalani praktik

klinik di institusi pelayanan sering diperlakukan sama seperti halnya para perawat

yang sudah bekerja. Tetapi untuk saat ini mahasiswa keperawatan ditempatkan

sebagai mahasiswa yang mencari pengalaman praktik. Beban tugas yang

diberikan harus disesuaikan dengan tingkat pengetahuan dan keterampilan atau

kompetensi yang mereka punyai (Priharjo, 2005: 44).

Keterampilan atau kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang sarjana

keperawatan dicapai melalui pelaksanaan praktik pra klinik. Unit kompetensi

sarjana keperawatan meliputi (AIPNI, 2010: 17):

1) Mampu melakukan komunikasi yang efektif dalam memberi asuhan.

2) Mampu menerapkan pengetahuan, kerangka etik dan legal dalam sistem

kesehatan yang berhubungan dengan keperawatan.

3) Mampu membuat keputusan etik.

4) Mampu menjalin hubungan interpersonal.

5) Mampu menggunakan teknologi dan informasi kesehatan secara efektif.

6) Mampu memberikan pendidikan kesehatan kepada klien sebagai upaya

pencegahan primer, sekunder, dan tertier.

7) Mampu berkontribusi untuk meningkatkan kemampuan sejawat.

8) Mampu menggunakan prinsip-prinsip peningkatan kualitas

berkesinambungan dalam praktik.

9) Mampu menciptakan lingkungan yang aman secara konsisten melalui

penggunaan strategi menjamin kualitas dan manajemen resiko.


25

10) Mampu merancang, melaksanakan proses penelitian sederhana dalam upaya

peningkatan kualitas asuhan keperawatan.

11) Mampu mengembangkan pola pikir kritis, logis, dan etis dalam

mengembangkan asuhan keperawatan.

12) Mampu mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi dibidang keperawatan

dan kesehatan.

13) Mampu mengembangkan potensi diri untuk meningkatkan kemampuan

profesional.

Pencapaian kompetensi di atas dilakukan melalui kegiatan praktik pra klinik

bagi seorang sarjana keperawatan yang pada pelaksanaannya memiliki beberapa

tugas, target keterampilan dan peraturan yang menjadi beban kerja tersendiri bagi

mahasiswa yang menjalani praktik pra klinik. Tugas-tugas yang harus

diselesaikan dan dipenuhi dalam pelaksanaan praktik pra klinik baik di RS

maupun di pusat kesehatan masyarakat dapat dikelompokkan menjadi tugas

tertulis dan tugas praktik (STIKes Eka Harap, 2015).

1) Tugas tertulis

Tugas tertulis merupakan tugas yang harus diselesaikan dalam bentuk

laporan, khususnya dalam bentuk asuhan keperawatan yang akan dikelola pada

sistem reproduksi, keperawatan anak, dan medikal bedah. Kompetensi pada

sistem reproduksi yaitu asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami

gangguan sistem reproduksi yang patologis dan melakukan pendidikan kesehatan

secara berkelompok. Kompetensi pada bagian medikal bedah yaitu mengelola

asuhan keperawatan pada sistem pernapasan, sistem gastrointestinal, sistem

endokrin, sistem urologi, sistem muskuloskeletal, dan sistem integumen.


26

Kompetensi pada keperawatan anak yaitu untuk di ruang anak mengelola

asuhan keperawatan pada kasus demam berdarah, diare, kejang demam,

bronkopneumonia, glomerulus nefrotik akut, talasemia, dll; di ruang perinatologi

mengelola asuhan keperawatan pada bayi baru lahir fisiologis/patologis dan

menerapkan asuhan keperawatan bayi resiko tinggi; di ruang klinik anak dan

klinik tumbuh kembang dengan menerapkan manajemen terpadu balita sakit

(MTBS), menerapkan asuhan keperawatan pada anak sehat dan anak sakit,

menerapkan tindakan khusus pada anak sehat, anak sakit, dan bayi resiko tinggi.

Pelaksanaan praktik pra klinik di pusat kesehatan masyarakat mewajibkan

mahasiswa untuk memenuhi kompetensi dan target sebagai berikut.

(1) Melakukan asuhan keperawatan gerontik, asuhan keperawatan keluarga,

asuhan keperawatan balita, asuhan keperawatan remaja, asuhan keperawatan

PUS, dan asuhan keperawatan individu.

(2) Melaksanakan asuhan keperawatan pada komunitas melalui pendekatan

proses keperawatan yang selanjutnya disusun sebagai laporan individu

maupun kelompok.

(3) Membuat satuan acara penyuluhan dan memberikan penyuluhan tentang

PHBS, gizi, KIA/KB, kesehatan reproduksi remaja (pernikahan dini, aborsi,

dll), narkoba, kenakalan remaja.

(4) Melaksanakan tindakan keperawatan sesuai dengan rencana.

(5) Melaksanakan evaluasi dan dokumentasi kegiatan.


27

Tugas tertulis juga diberikan dalam bentuk membuat daily activity setiap

kali shift jaga setiap hari (di RS dan pusat kesehatan masyarakat). Selain itu, juga

diberikan target untuk memberikan pendidikan kesehatan bagi klien yang dikelola

dilengkapi dengan membuat satuan acara penyuluhan (SAP) dan media yang

digunakan untuk menyampaikan informasi/materi pendidikan kesehatan.

2) Tugas praktik

Tugas yang harus diselesaikan dalam bentuk tindakan yang meliputi

lamanya waktu kerja, waktu istirahat, kerja malam, kehadiran, pelimpahan tugas

dan wewenang, pencapaian target keterampilan pelaksanaan praktik pra klinik

baik di RS maupun di pusat kesehatan masyarakat.

Pelaksanaan praktik pra klinik mewajibkan mahasiswa untuk memenuhi

kehadiran 100% dan seluruh kegiatan yang telah ditentukan pada masing-masing

ruangan, ketidakhadiran tanpa izin diwajibkan mengganti praktik sebanyak 2 kali,

dan keterlambatan datang > 30 menit dianggap tidak hadir pada hari tersebut.

Setiap mahasiswa diwajibkan hadir tepat waktu sesuai dengan jam yang telah

ditentukan dengan ketentuan 15-30 menit sebelum pergantian shift jaga

mahasiswa yang bertugas pada shift selanjutnya harus sudah berada di ruangan

dan toleransi keterlambatan yang telah disepakati tidak lebih dari 30 menit.

Pelimpahan tugas yaitu dari preceptor akan didelegasikan ke preceptee 1

untuk kasus 1, dan seterusnya sampai jumlah preceptee yang bertugas selesai

didelegasikan dengan kasus yang berbeda. Selain memenuhi kewajiban terkait

kehadiran dan menyelesaikan tugas yang diberikan secara tertulis, mahasiswa

praktik pra klinik juga harus memenuhi target keterampilan tindakan seperti yang

dimuat dalam tabel dibawah ini.


28

Tabel 2.2 Target Keterampilan Praktik Pra Klinik Tahun 2015


No. Keterampilan/Kompetensi Target
1. Memasang infus 2
2. Memasang transfusi darah 3
3. Melakukan huknah 2
4. Mengambil darah vena 3
5. Memasang NGT 2
6. Memberi terapi oksigen 3
7. Memberi makan melalui NGT 3
8. Memasang kateter urine 2
9. Memberi obat injeksi via bolus 3
10. Mobilisasi 3
11. Mengambil spesimen 3
12. Melakukan fisioterapi dada 3
13. Melakukan suction 2
14. Pemeriksaan EKG 3
15. Rawat luka 3
16. Skin test 2
17. Teknik distraksi dan relaksasi 3
18. Memberi terapi insulin 3
19. Mengukur kesadaran 3
20. Melakukan personal hygiene 3
21. Melakukan pendidikan kesehatan 1

Keperawatan Anak dan Perinatologi


1. Terapi modalitas/bermain 1
2. Pemeriksaan bayi baru lahir 2
3. Memandikan dan merawat tali pusat 2
4. Imunisasi oral/injeksi 2
5. Pemeriksaan TTV 3
6. Memberikan makan melalui OGT 3
7. Melakukan pemeriksaan tumbuh kembang dengan DDST 1
8. Pemeriksaan laboratorium 3

Keperawatan Maternitas
1. ANC 2
2. INC 2
3. PNC 2
4. Pemeriksaan dalam 2
5. Observasi persalinan 2
6. Episiotomi 2
7. Menolong persalinan 2
8. Menolong melahirkan dan memeriksa plasenta 2
9. Menjahit luka episiotomi 2
10. Menghitung nilai APGAR bayi 2
11. Pemeriksaan umum nifas 2
12. Melakukan perawatan payudara 2
13. Melakukan perawatan perianal 2
29

14. Melakukan rawat luka 2


15. Manajemen laktasi 2
16. Memandikan bayi 2
17. Melakukan bedong bayi 2
18. Memasang/melepas IUD 2
19. Memberikan suntik KB 2
20. Melakukan pendidikan kesehatan 1
Sumber: STIKes Eka Harap (2015).

2.2.4 Dampak Beban Kerja

Beban kerja yang berlebihan akan menimbulkan kelelahan baik fisik atau

mental dan reaksi-reaksi emosional seperti sakit kepala, gangguan pencernaan,

dan mudah marah. Beban kerja yang terlalu sedikit dimana pekerjaan yang terjadi

karena pengulangan gerak akan menimbulkan kebosanan dan rasa monoton.

Kebosanan dalam kerja rutin sehari-hari mengakibatkan kurangnya perhatian pada

pekerjaan sehingga secara potensial membahayakan pekerja. Beban kerja yang

berlebihan maupun yang sedikit dapat menimbulkan stres kerja (Manuaba, 2000

dalam Prihatini, 2008: 26).

2.3 Konsep Burnout Syndrome

2.3.1 Pengertian Burnout Syndrome

Istilah burnout pertama kali diperkenalkan kepada masyarakat oleh Herbert

Freudenberger pada tahun 1973 yang merupakan seorang ahli psikologi klinis

pada lembaga pelayanan sosial di New York yang menangani remaja bermasalah.

Herbert Freudenberger mengamati perubahan perilaku para sukarelawan setelah

bertahun-tahun bekerja. Menurutnya, para relawan tersebut mengalami kelelahan

mental, kehilangan komitmen, dan penurunan motivasi. Hasil pengamatan

dilaporkan dalam sebuah jurnal psikologi profesional pada tahun 1973 yang

disebut sebagai sindrom burnout (Farber, 1991 dalam Diaz, 2007: 14). Herbert

Freudenberger kemudian memberikan ilustrasi tentang sindrom burnout seperti


30

gedung yang terbakar habis (burned-out). Sebuah gedung yang awalnya berdiri

megah dengan berbagai aktivitas di dalamnya setelah terbakar yang tampak hanya

kerangka saja, demikian pula dengan seseorang yang mengalami sindrom burnout

akan tampak utuh dari luar tetapi didalamnya kosong dan penuh masalah (Diaz,

2007: 15).

Menurut Mogler (2008: 4), menyatakan bahwa burnout adalah suatu

sindrom kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan prestasi diri yang

terjadi di antara individu-individu yang bekerja di berbagai bidang. Keadaan ini

sering digambarkan dengan kehilangan antusias, energi, idealisme, perspektif, dan

tujuan. Hal ini dapat dilihat sebagai keadaan kelelahan mental, fisik, dan spiritual

yang disebabkan oleh stres yang berlebihan dan berkepanjangan.

Burnout syndrome adalah suatu kondisi psikologis pada seseorang yang

tidak berhasil mengatasi stres kerja sehingga menyebabkan stres berkepenjangan

dan mengakibatkan beberapa gejala seperti kelelahan emosional, kelelahan fisik,

kelelahan mental dan rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri (Nursalam,

2013: 127).

Menurut Bahler-Kohler (2013: 15), dinyatakan bahwa burnout syndrome is

associated with daily chronic stress rather than occasional events, and has been

described as an inability to cope with emotional stress at work (burnout syndrome

terjadi dihubungkan dengan adanya keadaan stres kronis sehari-hari daripada

peristiwa yang muncul sekali-kali, dan digambarkan sebagai suatu

ketidakmampuan untuk mengatasi stres emosional terhadap pekerjaan).


31

Burnout merupakan sindrom psikologis dari kelelahan emosional,

depersonalisasi, dan penurunan prestasi kerja yang muncul di antara individu-

individu yang bekerja dengan orang lain (Wiryathi, 2014: 229).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa burnout

syndrome merupakan suatu keadaan psikologis yang muncul akibat stres

berkepanjangan yang tidak dapat diatasi sehingga mengakibatkan kelelahan secara

emosional, fisik, dan mental; depersonalisasi; serta penurunan prestasi diri.

2.3.2 Etiologi Burnout Syndrome

Penyebab terjadinya kelelahan dapat diklasifikasikan menjadi faktor

personal dan faktor lingkungan. Faktor personal meliputi kepribadian, harapan,

demografi. Faktor lingkungan diantaranya adalah beban kerja, penghargaan,

kontrol, kepemilikan, keadaan, dan nilai (Cavus, 2010 : 64). Selain itu, faktor lain

yang sangat terkait dengan pengembangan burnout syndrome adalah jenis

kepribadian yang mencerminkan kapasitas individu untuk tetap bertahan pada

pekerjaannya (Nursalam, 2013: 129).

2.3.2.1 Faktor Personal

1) Demografi

Dari semua variabel demografi yang telah diteliti, usia merupakan salah satu

variabel yang paling konsisten berhubungan dengan munculnya kelelahan. Dari

beberapa studi yang dilakukan terhadap beberapa karyawan menunjukkan bahwa

diantara karyawan muda tingkat kejadian burnout lebih tinggi daripada yang

berusia di atas 30-40 tahun. Usia juga diinterpretasikan berhubungan dengan

pengalaman kerja, alasan untuk interpretasi tersebut belum dipelajari lebih

mendalam.
32

Variabel jenis kelamin belum dapat diprediksi secara kuat sebagai faktor

resiko munculnya kelelahan, meskipun beberapa argumen menyatakan bahwa

pada perempuan lebih tinggi ditemukan burnout. Tetapi ada beberapa argumen

pula yang menyatakan burnout lebih tinggi pada laki-laki, bahkan temuan lain

menemukan tidak ada perbedaan secara keseluruhan diantara keduanya. Penelitian

terkait dengan status perkawinan menyatakan bahwa seseorang yang belum

menikah (terutama laki-laki) tampaknya lebih rentan terhadap burnout

dibandingkan dengan yang sudah menikah. Seseorang yang belum menikah juga

menunjukkan mengalami tingkat kelelahan bahkan lebih tinggi daripada pasangan

yang mengalami perceraian.

Studi lain juga menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki pendidikan

tinggi mengalami burnout lebih tinggi dari orang dengan pendidikan rendah.

Tidak dijelaskan secara rinci bagaimana hal tersebut dinilai. Tetapi ditafsirkan

bahwa seseorang dengan pendidikan tinggi akan memiliki pekerjaan dan tanggung

jawab yang lebih besar sehingga menimbulkan tingkat stres yang lebih tinggi.

Adapula yang menafsirkan bahwa seseorang yang berpendidikan tinggi memiliki

harapan yang tinggi untuk pekerjaan mereka, sehingga jika harapan tersebut tidak

terwujud dapat menimbulkan tekanan dan stres yang tinggi (Maslach, 2001: 409).

2) Personality (Kepribadian)

Beberapa studi telah dilakukan untuk menemukan jenis kepribadian yang

mempunyai resiko lebih besar terhadap burnout. Hasil studi tersebut menunjukkan

bahwa orang dengan tipe kepribadian yang memiliki ketahanan rendah (seperti

kurangnya keterlibatan dalam kegiatan sehari-hari, kurangnya rasa kontrol

terhadap suatu peristiwa, serta kurangnya kemauan untuk berubah) memiliki skor
33

burnout yang tinggi, terutama pada dimensi kelelahan. Burnout juga lebih tinggi

pada orang yang memiliki locus of control eksternal (menghubungkan kejadian

dan prestasi orang lain adalah kebetulan) daripada orang yang memiliki locus of

control internal (berdasarkan atribusi kemampuan sendiri dan usaha). Sesuai

dengan hasil studi yang telah dilaporkan terkait dengan kemampuan mengatasi

stres dan kelelahan, bahwa orang yang burnout mengatasi stres dengan pasif,

defensif, sedangkan yang mengatasi stres dengan aktif dan konfrontif memiliki

skor burnout yang rendah (Maslach, 2001: 410).

Penelitian lain menunjukkan ketiga dimensi burnout berhubungan dengan

rendahnya harga diri. Telah dikemukakan bahwa rendahnya ketahanan (low level

of hardiness), rendahnya harga diri, external locus of control, dan gaya koping

avoidant (bersifat menghindari) merupakan karakteristik individu yang rentan

terhadap stres (Semmer, 1996 dalam Maslach, 2001: 410).

Penelitian tentang Big Five Personality Dimensions menunjukkan bahwa

burnout berkaitan dengan dimensi nuerotisme (termasuk sifat kecemasan,

permusuhan, depresi, kurangnya kesadaran diri, dan kerentanan); individu yang

neurotik memiliki emosional yang tidak stabil dan rentan terhadap tekanan

psikologis. Selain itu, juga tampaknya burnout terkait dengan kepribadian type A

(kompetitif, permusuhan, dan kebutuhan yang berlebihan untuk kontrol). Ada pula

indikasi bahwa individu dengan tipe lebih ke perasaan daripada tipe berpikir

(analisis Jung) lebih rentan terhadap burnout terutama sinisme (Maslach, 2001:

411).
34

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fatningsaliska (2015: 4) yang

menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat stres antara tipe kepribadian

sanguinis, koleris, melankolis, dan phlegmatis, hal tersebut disebabkan karena

mahasiswa yang terlibat sudah memiliki pengalaman yang lebih dalam organisasi,

sehingga telah mengetahui keadaan yang terjadi di organisasi dan sudah memiliki

koping stres yang baik ketika stressor tersebut datang.

3) Harapan

Orang memiliki harapan yang berbeda dalam pekerjaan. Beberapa kasus ada

harapan yang sangat tinggi baik dari segi sifat pekerjaan (misalnya menarik,

menantang, menyenangkan) dan mencapai keberhasilan (misalnya

menyembuhkan pasien, dipromosikan, dll). Apakah harapan yang tinggi tersebut

dianggap idealis atau tidak realistis, satu hipotesis bahwa hal tersebut adalah

faktor resiko untuk terjadinya burnout. Harapan yang tinggi menyebabkan orang

bekerja terlalu keras dan melakukan sesuatu terlalu banyak, sehingga

menyebabkan kelelahan dan akhirnya sinisme ketika upaya yang tinggi tidak

sesuai dengan hasil yang diharapkan (Maslach, 2001: 411).

2.3.2.2 Faktor lingkungan

1) Beban kerja (work overload)

Work overload kemungkinan terjadi akibat ketidaksesuaian antara pekerja

dengan pekerjaannya. Pekerja terlalu banyak melakukan pekerjaan dengan waktu

yang sedikit. Overload terjadi karena pekerjaan yang dikerjakan melebihi

kapasitas kemampuan. Hal ini dapat menyebabkan menurunnya kualitas pekerja,

hubungan yang tidak sehat di lingkungan pekerjaan, menurunnya kreativitas

pekerja, dan menyebabkan burnout (Maslach, 2001: 414).


35

2) Penghargaan

Kurangnya apresiasi dari lingkungan kerja membuat pekerja merasa tidak

bernilai. Apresiasi bukan hanya dilihat dari pemberian bonus (uang), tetapi

hubungan yang terjalin baik antar pekerja, pekerja dengan atasan turut

memberikan dampak pada pekerja. Adanya apresiasi yang diberikan akan

meningkatkan afeksi positif dari pekerja yang juga merupakan nilai penting dalam

menunjukkan bahwa seseorang sudah bekerja dengan baik (Maslach, 2001: 414).

3) Kontrol

Semua orang memiliki keinginan untuk mempunyai kesempatan dalam

membuat pilihan, keputusan, menggunakan kemampuannya untuk berpikir dan

menyelesaikan masalah, dan meraih prestasi. Adanya aturan terkadang membuat

pekerja memiliki batasan dalam berinovasi, merasa kurang memiliki tanggung

jawab dengan hasil yang mereka dapat karena adanya kontrol yang terlalu ketat

dari atasan (Maslach, 2001: 414).

4) Kepemilikan

Pekerja yang kurang memiliki rasa belongingness terhadap lingkungan

kerjanya (komunitas) akan menyebabkan kurangnya rasa keterikatan positif di

tempat kerja. Seseorang akan bekerja dengan maksimal ketika memiliki

kenyamanan, kebahagiaan yang terjalin dengan rasa saling menghargai, tetapi

terkadang lingkungan kerja melakukan sebaliknya. Ada kesenjangan baik antar

pekerja maupun dengan atasan, sibuk dengan diri sendiri, tidak memiliki quality

time dengan rekan kerja. Teknologi seperti handphone, computer membuat

seseorang cenderung menghilangkan social contact dengan orang disekitar.

Hubungan yang baik seperti saling berbagi/sharing, bercanda bersama perlu untuk
36

dilakukan dalam menjalin ikatan yang kuat dengan rekan kerja. Hubungan yang

tidak baik membuat suasana di lingkungan kerja tidak nyaman, penuh dengan

kemarahan, frustrasi, cemas, merasa tidak dihargai. Hal ini membuat dukungan

sosial menjadi tidak baik, kurang rasa saling membantu antar rekan kerja

(Maslach, 2001: 415).

5) Keadilan

Perasaan diperlakukan tidak adil juga merupakan faktor terjadinya burnout.

Adanya rasa saling menghargai akan menimbulkan rasa keterikatan dengan

komunitas (lingkungan kerja). Pekerja merasa tidak percaya dengan lingkungan

kerjanya ketika tidak ada keadilan. Rasa ketidakadilan biasa dirasakan pada saat

masa promosi kerja, atau ketika pekerja disalahkan ketika mereka tidak

melakukan kesalahan (Maslach, 2001: 415).

6) Nilai

Pekerjaan dapat membuat pekerja melakukan sesuatu yang tidak sesuai

dengan nilai mereka. Misalnya seorang sales terkadang harus berbohong agar

produk yang ditawarkan bisa terjual. Namun hal tersebut dapat menyebabkan

seseorang menurunkan performa kualitas kerjanya karena tidak sesuai dengan

nilai yang dimiliki. Seseorang akan melakukan yang terbaik ketika melakukan apa

yang sesuai dengan niali, belief, menjaga integritas dan self respect (Maslach,

2001: 415).
37

2.3.3 Manifestasi Burnout Syndrome

George (2005) dalam Tawale (2011: 77), menjelaskan tentang gejala-gejala

burnout yaitu.

1) Kelelahan fisik, yang ditunjukkan dengan adanya kekurangan energi,

merasa kelelahan dalam kurun waktu yang panjang dan menunjukkan

keluhan fisik seperti sakit kepala, mual, susah tidur, dan mengalami

perubahan dalam bekerja yang diekspresikan dengan kurang bergairah

dalam bekerja, lebih banyak melakukan kesalahan, merasa sakit padahal

tidak terdapat kelainan fisik.

2) Kelelahan mental, ditunjukkan dengan adanya sikap sinis terhadap orang

lain, bersikap negatif terhadap orang lain, cenderung merugikan diri sendiri,

pekerjaan dan organisasi. Kehidupan pada umumnya diekspresikan dengan

mudah curiga terhadap orang lain, menunjukkan sikap sinis terhadap orang

lain, menunjukkan sikap agresif baik dalam bentuk ucapan maupun

perbuatan, menunjukkan sikap masa bodoh terhadap orang lain dan dengan

sengaja menyakiti diri sendiri.

3) Kelelahan emosional, ditunjukkan oleh gejala-gejala seperti depresi,

perasaan tidak berdaya, dan merasa terperangkap dalam pekerjaan yang

diekspresikan dengan sering merasa cemas dalam bekerja, mudah putus asa,

merasa tersiksa dalam melaksanakan pekerjaan, mengalami kebosanan atau

kejenuhan dalam bekerja.

4) Penghargaan diri yang rendah ditandai oleh adanya penyimpulan bahwa

dirinya tidak mampu menunaikan tugas dengan baik dimasa lalu dan

beranggapan sama untuk masa depannya yang diekspresikan dengan merasa


38

tidak pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat, menganggap bahwa

pekerjaan sudah tidak mempunyai arti bagi dirinya.

2.3.4 Dimensi Burnout Syndrome

Selama dekade terakhir, beberapa istilah telah diusulkan dalam upaya untuk

menjelaskan burnout syndrome, dan definisi yang paling dapat diterima adalah

yang ditulis oleh Maslach, dimana burnout syndrome ditandai dengan tiga

dimensi yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi, dan menurunnya prestasi diri.

Burnout syndrome tidak hanya terkait dengan faktor tunggal, melainkan muncul

sebagai hasil dari interaksi antara beberapa faktor yang ada. Burnout syndrome

pada seseorang muncul sebagai akibat dari kelelahan emosional yang meningkat,

depersonalisasi, dan penurunan prestasi diri (Pouncet, 2007 dalam Nursalam,

2013: 129).

2.3.4.1 Kelelahan emosional

Kelelahan merupakan sisi yang mengekspresikan kelelahan fisik dan

emosional yang dialami sebagai dasar dan dimulainya burnout syndrome.

Kelelahan emosional sebagaian besar berhubungan dengan stres pekerjaan. Hasil

dari kelelahan emosional yang dialami oleh seseorang menjadi tidak responsif

terhadap orang-orang yang mereka layani, dan juga merasa bahwa pekerjaannya

sebagai penyiksaan karena ia berpikir bahwa dirinya sendiri tidak mampu

menanggung hari-hari berikutnya dan selalu merasa tegang. Kelelahan emosional

dianggap sebagai elemen inti dari kelelahan yang mengakibatkan depersonalisai

terhadap pekerjaan dan juga rekan kerja. Depersonalisasi yang dialami oleh

seseorang dapat memengaruhi kualitas pelayanan yang diberikan pada pasien,

sehingga bisa menurunkan prestasi diri (Nursalam, 2013: 129).


39

Kelelahan emosional ditandai dengan kelelahan dan perasaan bahwa sumber

daya emosional telah habis digunakan.

2.3.4.2 Depersonalisasi

Depersonalisasi merupakan sikap yang menunjukkan perilaku keras/kasar,

perilaku negatif dan acuh tak acuh terhadap orang lain. Hal ini terkait dengan

kenyataan bahwa beberapa orang menunjukkan perilaku seperti kehilangan tujuan

bekerja dan kehilangan antusiasme sebagai akibat dari semakin menjauh dari

dirinya sendiri dan pekerjaannya, menjadi acuh tak acuh terhadap orang yang

dilayani, menunjukkan reaksi negatif dan bermusuhan (Nursalam, 2013: 130).

Depersonalisasi ditandai bahwa intervensi kepada klien yang dirasa hanya

sebagai objek saja, bukan orang yang harus benar-benar diperhatikan. Adanya

sinisme terhadap rekan kerja, klien, bahkan organisasi tempat bekerja.

2.3.4.3 Rendahnya prestasi diri

Rendahnya prestasi diri menjadi dimensi evaluasi diri dari burnout

syndrome, muncul fakta bahwa orang mulai melihat dirinya sebagai seseorang

yang tidak berhasil. Dengan kata lain, seseorang cenderung mengevaluasi dirinya

sendiri sebagai hal yang negatif. Orang yang mengalami kecenderungan ini

berpikir bahwa mereka tidak mendapat kemajuan dalam pekerjaan mereka,

sebaliknya mereka berpikir bahwa mereka jatuh ke belakang, pekerjaan mereka

tidak berhasil dan tidak memberikan kontribusi pada perubahan lingkungan

mereka (Nursalam, 2013: 130).

Penurunan prestasi diri ditandai dengan kecenderungan untuk mengevaluasi

diri sendiri secara negatif, mencakup pengalaman penurunan kompetensi kerja

dan prestasi dalam pekerjaan/interaksi dengan orang/kurangnya kemajuan.


40

2.3.5 Pencegahan Burnout Syndrome

Menurut Smith (2015), pencegahan yang dapat dilakukan meliputi:

1) Relaksasi, sesegera mungkin bangun saat pagi hari dan luangkan waktu 15

menit untuk meditasi, menulis dibuku harian, stretching, atau membaca

bacaan yang memberikan inspirasi.

2) Biasakan makan dengan teratur, latihan fisik, dan tidur yang cukup. Ketika

kita memiliki pola makan yang benar, olahraga teratur, dan banyak istirahat,

maka akan banyak energi dan perasaan tenang untuk menjalani kehidupan

yang penuh dengan tekanan dan tuntutan.

3) Tetapkan batasan diri. Belajarlah untuk mengatakan tidak bila pekerjaan

terlalu melampaui waktu Anda bekerja. Jika hal tersebut sulit, ingatkan diri

Anda untuk mengatakan tidak atau katakan iya untuk hal yang benar-

benar Anda mau untuk melakukannya.

4) Sisihkan waktu untuk istirahat dari teknologi. Jauhkan laptop, matikan

handphone, dan berhenti sejenak untuk mengecek email.

5) Hidupkan kreativitas. Kreativitas merupakan anti racun terampuh untuk

burnout. Cobalah hal-hal yang baru, mulailah dengan kegiatan yang

menyenangkan atau melakukan hobi. Pilihlah aktivitas yang tidak ada

hubungannya dengan pekerjaan.

6) Manajemen stress. Pelajari cara untuk memanajemen stres sehingga dapat

membantu Anda memperoleh keseimbangan diri.


41

2.3.6 Alat Ukur Burnout Syndrome

Beberapa model telah diusulkan untuk menjelaskan proses dari burnout.

Konsep dari burnout yang banyak digunakan diidentifikasi oleh Maslach (2001)

yang mengembangkan Maslach Burnout Inventory (MBI) (Bahrer-Kohler, 2013:

16). Maslach Burnout Inventory (MBI) merupakan instrumen yang terdiri atas 22

item yang digunakan untuk mengukur frekuensi dari tiga aspek burnout syndrome

yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan prestasi diri. Burnout

syndrome tercermin pada skor yang lebih tinggi pada kelelahan emosional dan

subscale depersonalisasi dan skor rendah pada subscale prestasi pribadi

(Nursalam, 2013: 131).

Burnout syndrome akan dibagi dalam tiga kategori dengan rentang nilai

tertentu. Menurut Sari (2014) dalam Fatningsaliska (2015: 7), perbedaaan tingkat

stres pada masing-masing individu dengan stressor yang sama dipengaruhi oleh

banyak hal seperti cara koping stres, ketahanan psikologi, kecerdasan emosional,

self efficacy, dukungan sosial dan adversity quotient (kemampuan individu dalam

menghadapi, bertahan dan mengatasi kesulitan).

Skor burnout dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu tinggi, sedang,

rendah dengan menggunakan skor Z (normal deviate) dengan rumus:


=

Sumber: Azwar (2010: 122) dalam Puspitasari (2011: 55)
42

2.4 Konsep Mahasiswa

2.4.1 Pengertian Mahasiswa

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mahasiswa diartikan sebagai

siswa di suatu perguruan tinggi.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 tahun 1999 tentang

Pendidikan Tinggi, dalam bab I pasal 1 dinyatakan bahwa mahasiswa adalah

peserta didik yang terdaftar dan belajar pada perguruan tinggi tertentu.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 1999, pasal 108 ayat 1

disebutkan bahwa untuk menjadi mahasiswa harus memenuhi persyaratan yaitu

memiliki Surat Tanda Belajar pendidikan tingkat menengah, dan memiliki

kemampuan yang diisyaratkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan.

2.4.2 Hak dan Kewajiban Mahasiswa

2.4.2.1 Hak Mahasiswa

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 1999 bab X pasal 109,

disebutkan bahwa hak mahasiswa adalah sebagai berikut:

1) Mahasiswa berhak menggunakan kebebasan akademik secara bertanggung

jawab untuk menuntut ilmu dengan norma dan susila yang berlaku dalam

lingkungan akademik.

2) Mahasiswa berhak memperoleh pengajaran sebaik-baiknya dan layanan

bidang akademik sesuai dengan minat, bakat, kegemaran, dan kemampuan

mahasiswa yang bersangkutan.

3) Mahasiswa berhak menggunakan fasilitas perguruan tinggi dalam rangka

kelancaran proses belajar.


43

4) Mahasiswa berhak memperoleh bimbingan dosen yang bertanggung jawab

atas program studi yang di ikutinya dalam penyelesaian studinya.

5) Mahasiswa berhak memperoleh layanan informasi yang berkaitan dengan

program studi yang diikutinya serta hasil belajarnya.

6) Mahasiswa berhak menyelesaikan studi lebih awal dari jadwal yang

ditetapkan sesuai dengan persyaratan yang berlaku.

7) Mahasiswa berhak memperoleh kesejahteraan sesuai dengan peraturan

perundangan-undangan yang berlaku.

8) Mahasiswa berhak memanfaatkan sumber daya peguruan tinggi melalui

perwakilan atau organisasi kemahasiswaan untuk mengurus dan mengatur

kesejahteraan, minat, dan tata kehidupan bermsyarakat.

9) Mahasiswa berhak untuk pindah ke perguruann tinggi lain, atau program

studi lain, bilamana memenuhi persyaratan penerimaan mahasiswa pada

perguruan tinggi atau program studi yang hendak dimasuki, dan bila

perguruan tinggi masih memiliki kapasitas untuk menerima mahasiswa

baru.

10) Mahasiswa berhak ikut serta dalam kegiatan organisasi mahasiswa

perguruan tinggi yang bersangkutan.

11) Mahasiswa berhak memperoleh layanan khusus bilamana menyandang

cacat.

2.4.2.2 Kewajiban Mahasiswa

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 1999 bab X pasal 110,

disebutkan bahwa kewajiban mahasiswa adalah sebagai berikut:


44

1) Mahasiswa berkewajiban mematuhi semua peraturan atau ketentuan yang

berlaku pada perguruan tinggi yang bersangkutan.

2) Mahasiswa berkewajiban ikut memelihara sarana dan prasarana serta

kebersihan, ketertiban dan keamanan perguruan tinggi yang bersangkutan.

3) Mahasiswa berkewajiban ikut menanggung biaya penyelenggaran

pendidikan kecuali bagai mahasiswa yang dibebaskan dari kewajiban

tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

4) Mahasiswa berkewajiban menghargai ilmu pengetahuan, teknologi dan atau

kesenian.

5) Mahasiswa berkewajiban menjaga kewibawaan dan nama baik perguruan

tinggi yang bersangkutan.

6) Mahasiswa berkewajiban mengunjungi tinggi kebudayaan nasional.

2.5 Konsep Praktik Pra Klinik

2.5.1 Pengertian Praktik Pra Klinik

Pendidikan tinggi keperawatan adalah suatu pendidikan yang bertujuan

untuk menghasilkan perawat yang profesional. Proses pendidikan tersebut

dilaksanakan melalui dua tahapan, yaitu tahapan akademik dan tahapan profesi.

Proses pendidikan tahap profesi di Indonesia dikenal dengan pengajaran klinik

dan lapangan, yang bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik

untuk menerapkan ilmu yang dipelajari pada tahap akademik ke keadaan nyata

(Nursalam, 2011: 241).

Tujuan dan maksud pelaksanaan praktik pra klinik sesuai dengan buku

panduan praktik pra klinik keperawatan yaitu:


45

1) Untuk memperoleh pengalaman nyata tentang asuhan keperawatan pada

pasien yang mengalami masalah dalam pemenuhan kebutuhan dasar.

2) Memperoleh pengalaman dalam memberikan asuhan keperawatan pada

pasien yang ada di ruang rawat inap.

3) Untuk memperoleh pengalaman nyata memberikan pertolongan pada

gangguan semua sistem.

4) Terpenuhinya keterampilan yang diharapkan berdasarkan tuntutan

kurikulum.

2.5.2 Lingkungan Belajar Tempat Praktik

Menurut Nursalam (2011: 242), tempat praktik adalah suatu institusi di

masyarakat di mana peserta didik melakukan praktik pada situasi nyata melalui

penumbuhan dan pembinaan keterampilan intelektual, teknis, dan interpersonal.

Komponen yang harus ada pada tatanan tempat praktik, antara lain:

1) Kesempatan kontak dengan pasien.

2) Tujuan praktik (termasuk umpan balik).

3) Bimbingan yang kompeten.

4) Praktik keterampilan.

5) Dorongan untuk berpikir kritis (PBL: problem based learning).

6) Kesempatan mentransfer pengetahuan.

7) Kesempatan mengintegrasikan pengetahuan.

8) Penggunaan konsep tim.


46

2.5.3 Jenis Metode Pembelajaran Klinik

Ada beberapa jenis metode pembelajaran klinik yang dapat diterapkan di

pendidikan tinggi keperawatan yaitu (Nursalam, 2011: 245).

2.5.3.1 Eksperensial

1) Membantu menganalisis situasi klinik melalui pengidentifikasian masalah.

2) Menentukan tindakan yang akan diambil.

3) Mengimplementasikan pengetahuan ke dalam masalah klinik.

4) Menekankan hubungan antara pengalaman belajar lalu dan pengalaman

terhadap masalah yang dialami.

5) Berasal dari teori kognitif yang dipadukan dengan teori proses informasi

dan teori pengambilan keputusan.

2.5.3.2 Proses insiden

1) Membantu peserta didik mengembangkan keterampilan reflektif

berdasarkan kejadian klinik/insiden.

2) Insiden berasal dari pengalaman praktik aktual atau dikembangkan secara

hipotetikal.

3) Bisa dalam bentuk insiden terkait pasien, staf, atau tatanan praktik.

2.5.3.3 Konferensi

Konferensi adalah kegiatan diskusi kelompok untuk membahas hal yang

telah dilakukan pada praktik klinik/lapangan, tingkat pencapaian tujuan praktik

klinik hari tersebut, kendala yang dihadapi dan cara mengatasinya, serta kejadian

lain yang tidak direncanakan, termasuk kejadian kegawatan pasien yang harus

dihadapi peserta didik.


47

2.5.3.4 Observasi

1) Mendapatkan pengalaman atau contoh nyata.

2) Mengembangkan perilaku baru untuk pembelajaran masa mendatang.

3) Meliputi observasi lapangan, field trip, demonstrasi, dan ronde keperawatan.

Ronde keperawatan ini merupakan suatu metode pembelajaran klinik yang

memungkinkan peserta didik mentransfer dan mengaplikasikan pengetahuan

teoritis ke dalam praktik keperawatan langsung.

2.5.3.5 Bedside teaching

Bedside teaching merupakan metode mengajar kepada peserta didik.

Aktivitas ini dilakukan di samping tempat tidur pasien, dan meliputi kegiatan

mempelajari kondisi pasien dan asuhan keperawatan yang dibutuhkan oleh pasien.

Manfaat bedside teaching adalah agar pembimbing klinik dapat mengajarkan

peserta didik untuk menguasai keterampilan prosedural, menumbuhkan sikap

profesional, mempelajari perkembangan biologis/fisik, melakukan komunikasi

melalui pengamatan langsung.

2.5.4 Model Evaluasi Klinik

Metode evaluasi klinik dapat dikelompokkan menjad metode observasi,

tertulis/laporan, lisan (viva-voce), dan OSCE (Nursalam, 2011: 270).

2.5.4.1 Metode observasi

Metode observasi adalah metode yang paling sering digunakan dalam

evaluasi klinik, mengingat kemampuan utama yang harus dimiliki melalui

pengalaman belajar klinik adalah kemampuan melaksanakan tindakan. Metode

observasi digunakan untuk mengevaluasi penampilan psikomotor, sikap perilaku,

interaksi baik verbal maupun nonverbal. Pemberian umpan balik dilakukan segera
48

setelah observasi dilaksanakan disertai proses diskusi. Hal ini dimaksudkan

sebagai validasi dan klarifikasi terhadap kualitas penampilan yang dievaluasi. Alat

evaluasi yang digunakan berupa daftar cek keterampilan, dan catatan anekdot.

2.5.4.2 Tertulis

Metode tertulis digunaan untuk mengevaluasi kemampuan kognitif, yaitu

pada jenjang aplikasi dan pemecahan masalah melalui proses analisis sintesis.

Metode ini dilaksanakan dengan cara memberi penugasan pada peserta didik

untuk menuliskan hasil pengamatan, hasil rangkaian kegiatan melakukan

tindakan, atau asuhan keperawatan berupa laporan tertulis.

2.5.4.3 Lisan

Metode evaluasi secara lisan berbentuk tanya jawab dan dialog terhadap

pertanyaan yang diajukan oleh penguji. Secara spesifik metode ini digunakan pada

saat pembimbing melakukan validasi terhadap data yang dikumpulkan dalam

penyusunan renpra, pada saat menilai justifikasi yang digunakan mahasiswa untuk

melakukan tindakan, serta pada saat menilai kemampuan mahasiswa terhadap

perkembangan kasus.

2.5.4.4 OSCE (Objective Structure Clinical Evaluation)

OSCE adalah metode evaluasi untuk menilai penampilan/kemampuan klinik

secara terstruktur dan bersifat objektif. Melalui OSCE kemampuan pengetahuan,

psikomotor, dan sikap dapat secara bersamaan dievaluasi. Secara spesifik aspek

yang dapat dievaluasi adalah tahapan persiapan dan pelaksanaan.


49

2.6 Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan bagian penelitian yang menayajikan konsep

atau teori dalam bentuk kerangka konsep penelitian. Pembuatan kerangka konsep

mengacu pada masalah-masalah yang akan diteliti atau berhubungan dengan

penelitian dan dibuat dalam bentuk diagram (Hidayat, 2008: 53).

Tipe kepribadian
(Hippokrates-
Galenus).
1) Kekuatan
2) Kelemahan

Kategori.
Mahasiswa 1) Sanguinis Burnout syndrome pada
tingkat III-A 2) Kholeris mahasiswa praktik pra klinik.
prodi S1 3) Melankolis 1) Kelelahan emosional
Keperawatan 4) Phlegmatis 2) Depersonalisasi
3) Penurunan prestasi diri

Beban kerja
1) Tugas tertulis
2) Tugas praktik

3) Faktor keluarga
4) Lingkungan
kerja
5) Hubungan
interpersonal
6) Faktor somatis
7) Faktor psikis

Keterangan.
= Diteliti = Berhubungan
= Tidak diteliti

Bagan 2.1 Kerangka Konsep Pengaruh Tipe Kepribadian dan Beban Kerja
terhadap Burnout Syndrome pada Mahasiswa Praktik Pra Klinik
Tingkat III-A Program Studi S1 Keperawatan STIKes Eka Harap
Palangka Raya
50

2.7 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara atas pertanyaan penelitian yang

telah dirumuskan (Hidayat, 2008: 53). Penelitian mungkin mempunyai satu, tiga,

atau lebih hipotesis tergantung pada kompleksnya suatu penelitian. Tipe hipotesis

ada dua yaitu H0 dan Ha (Nursalam, 2013: 53).

Hipotesis nol (H0) disebut juga hipotesis kerja adalah hipotesis yang

digunakan untuk pengukuran statistik dan interpretasi hasil statistik, sedangkan

hipotesis alternatif (Ha) disebut juga hipotesis penelitian yang menyatakan adanya

suatu hubungan, pengaruh, dan perbedaan antara dua atau lebih variabel

(Nursalam, 2013: 53).

Hipotesis dalam penelitian dapat dijabarkan sebagai berikut.

H01 = Tidak ada pengaruh tipe kepribadian terhadap burnout syndrome pada

mahasiswa praktik pra klinik tingkat III-A program studi S1 Keperawatan

STIKes Eka Harap Palangka Raya.

Ha1 = Ada pengaruh tipe kepribadian terhadap burnout syndrome pada

mahasiswa praktik pra klinik tingkat III-A program studi S1 Keperawatan

STIKes Eka Harap Palangka Raya.

H02 = Tidak ada pengaruh beban kerja terhadap burnout syndrome pada

mahasiswa praktik pra klinik tingkat III-A program studi S1 Keperawatan

STIKes Eka Harap Palangka Raya.

Ha2 = Ada pengaruh beban kerja terhadap burnout syndrome pada mahasiswa

praktik pra klinik tingkat III-A program studi S1 Keperawatan STIKes Eka

Harap Palangka Raya.


51

H03 = Tidak ada pengaruh secara simultan tipe kepribadian dan beban kerja

terhadap burnout syndrome pada mahasiswa praktik pra klinik tingkat III-

A program studi S1 Keperawatan STIKes Eka Harap Palangka Raya.

Ha3 = Ada pengaruh secara simultan tipe kepribadian dan beban kerja terhadap

burnout syndrome pada mahasiswa praktik pra klinik tingkat III-A

program studi S1 Keperawatan STIKes Eka Harap Palangka Raya.

Berdasarkan hasil analisa data dengan uji statistik regresi linier berganda,

maka hipotesis yang diterima dalam penelitian ini yaitu.

H01 = Tidak ada pengaruh tipe kepribadian terhadap burnout syndrome pada

mahasiswa praktik pra klinik tingkat III-A program studi S1 Keperawatan

STIKes Eka Harap Palangka Raya.

Ha2 = Ada pengaruh beban kerja terhadap burnout syndrome pada mahasiswa

praktik pra klinik tingkat III-A program studi S1 Keperawatan STIKes Eka

Harap Palangka Raya.

Ha3 = Ada pengaruh secara simultan tipe kepribadian dan beban kerja terhadap

burnout syndrome pada mahasiswa praktik pra klinik tingkat III-A

program studi S1 Keperawatan STIKes Eka Harap Palangka Raya.

Anda mungkin juga menyukai