Samsul Firdaos
1405026064
Sejarah Peradaban Islam pada masa Ali bin Abi Thalib (656-661 M.)
Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah Amirul Mukminin keempat yang
dikenal sebagai orang yang alim, cerdas dan taat beragama. Beliau juga saudara
sepupu Nabi SAW (anak paman Nabi, Abu Thalib), yang jadi menantu Nabi SAW,
suami dari putri Rasulullah yang bernama Fathimah. Fathimah adalah satu-satunya
putri Rasulullah yang ada serta mempunyai keturunan. Dari pihak Fathimah inilah
Rasulullah mempunyai keturunan sampai sekarang.
Khalifah Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang pertama kali masuk
Islam dari kalangan anak-anak. Nabi Muhammad SAW, semenjak kecil
diasuh oleh kakeknya Abdul Muthalib, kemudian setelah kakeknya meninggal di
asuh oleh pamannya Abu Thalib.Karena hasrat hendak menolong dan membalas
jasa kepada pamannya, maka Ali di asuh Nabi SAW dan di didik. Pengetahuannya
dalam agama Islam amat luas. Karena dekatnya dengan Rasulullah, beliau termasuk
orang yang banyak meriwayatkan Hadits Nabi.Keberaniannya juga
masyhur dan hampir di seluruh peperangan yang dipimpin Rasulullah, Ali
senantiasa berada di barisan muka. Ketika Abu Bakar menjadi Khalifah, beliau selalu
mengajak Ali untuk memusyawarahkan masalah-masalah penting. Begitu
pula Umar bin Khathab tidak mengambil kebijaksanaan atau melakukan tindakan
tanpa musyawarah dengan Ali. Utsmanpun pada masa permulaan jabatannya
dalam banyak perkara selalu mengajak Ali dalam permusyawaratan. Demikian pula,
Ali juga tampil membela Utsman ketika berhadapan dengan pemberontak
Berbeda dengan pendahulunya, khalifah Utsman bin Affan, khalifah Ali bin Abi
Thalib diangkat melalui baiat. Ali bin Abi Thalib ramai-ramai di baiat oleh
masyarakat untuk menjadi khalifah keempat.Walaupun pada awalnya Ali bin Abi
Thalib merasa keberatan menjadi khalifah, akan tetapi setelah mempertimbangkan
kemaslahatan umat Islam adanya kekosongan kepemimpinan (fakum of fower)
akhirnya Ali bin Abi Thalib akhirnya bersedia menjadi khalifah.
Masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib tidak berlangsung lama, hanya
berlangsung selama enam tahun. Karena menghadapi berbagai pergolakan. Bahkan
tidak ada sedikitpun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Hal ini
karena setelah menduduki sebagai khalifah, Ali bin Abi Thalib memecat para
gubernur yang diangkat oleh khalifah Utsman bin Affan. Dia juga menarik kembali
tanah-tanah yang dihadiahkan khalifah Utsman bin Affan kepada penduduk dengan
menyerahkan hasil pendapatannya kepada Negara, dan memakai system distribusi
pajak tahunan diantara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan pada zaman
khalifah Umar ibn Khatab.
1.Perang Jamal
Pemberontakan demi pemberontakan muncul. Ali bin Abi Thalib menghadapi
pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Walaupun pada awalnya Thalhah dan
Zubair membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Akan tetapi baiat yang
dilakukannya menurut Jalaluddin Asy-Syuyuthi, bukan atas dasar ketaatan kepada Ali,
tetapi karena keterpaksaan saja. Maka pada akhirnya setelah berangkat ke Mekah
bersama Aisyah kemudian melanjutkan perjalanan ke Bashrah ia mengajukan tuntutan
kepada Ali agar menangkap orang yang telah membunuh khalifah Utsman.
Alasan mereka melakukan pemberontakan, karena Ali bin Abi Thalib tidak mau
menghukum mereka yang telah membunuh khalifah Utsman bin Affan, dan mereka
terus menuntut bela terhadap darah khalifah Utsman yang telah ditumpahkan secara
dzalim. Ajakan khalifah Ali untuk melakukan perundingan dan menyelesaikan
perkara secara damai, ditolak mentah oleh Thalhah. Maka akhirnya pertempuran
dahsyatpun berkobar. Maka perang ini dinamakan perang Jamal, karena Aisyah dalam
peperangan itu menunggangi unta. Dalam peperangan ini Thalhah dan Zubair
terbunuh, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
2. Perang Siffin
Pemberontakan terhadap khalifah Ali bin Abi Tahlib juga tidak hanya terjadi
pada perang Jamal, tetapi juga terjadi pada perang Siffin. Perang ini dilatarbelakangi
oleh pembangkangan Muawiyah bin Abi Sufyan terhadap kebijakan-kebijakan yang
dikeluaran oleh Ali bin Abi Thalib yang didukung oleh bekas pejabat tinggi yang
meras kehilangan kedudukan dan kejayaan, yang pada akhirnya melahirkan konflik
bersenjata antara pasukan Ali dengan Muawiyah. Perang ini kemudian dinamakan
perang Siffin. Dalam perang ini pasukan Ali bin Abi Thalib hamper memenangkan
pertempuran, mengalahkan pasukan Muawiyah. Akan tetapi dalam keadaan terdesak,
pasukan Muawiyah mengangkat mushaf al-Quran sebagai tanda bahwa perang harus
diakhiri dengan melakukan perdamaian.
Dalam proses perdamaian itu kedua belah pihak masing-masing mengutus
juru damai. Pihak Ali mengutus Abu Musya al-Asyari, sedangkan dari pihak
Muawiyah mengutus Amr bin Al-Ash. Ali bin Abi Thalib kembali ke Mekah.
Sedangkan Muawiyah kembali ke Syiria. Keduanya menunggu hasil perdamaian yang
dilakukan oleh utusannya itu.
Hasil kesepakatan kedua juru damai, kemudian disampaikan kepada
khalayak ramai di Adzrah. Pertemuan tersebut juga disaksikan oleh sejumlah shahabat
diantaranya adalah Saad bin Abi Waqas dan Ibn Umar. Karena lebih tua Abu Musa
al-Asyari dipersilahkan meyampaikan hasil perdamaian terlebih dahulu kepada
masyarakat. Maka Abu Musya dalam pidatonya sepakat menurunkan Ali dari
jabatannya sebagai kholifah. Kemudian pembicara kedua disampaikan oleh Amr bin
Ash. Dalam pidatonya Amr bin Ash yang terkenal licik dan cerdik menerima
penurunan Ali bin Thalib sebagai khalifah, dan menetapkan Muawiyah sebagai
penggantinya, dan ia membaiat Muawiyah sebagai khalifah.