Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM ABAD KE XIV-XV (M)


MASA PEMIKIRAN MUHAMMAD IQBAL

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam
Dosen Pengampu Achmad Ridlowi, SH I, M.Pd.I

Disusun oleh:
Agus Setiawan (20132900001)
Dian Putri Lestari(201329
Program Studi Ekonomi Syariah

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA


PACITAN
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul PEMIKIRAN
EKONOMI ISLAM dengan baik dan tepat waktu.
Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami
mliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan
makalah ini, khususnya kepada Dosen kami yang telah memberikan tugas dan
petunjuk kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kami.

Pacitan, Maret 2014

Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB I

PEMBAHASAN

Etika Islam dalam bidang Konsumsi

Dalam sistem perekonomian, konsumsi memainkan peranan penting. Adanya


konsumsi akan mendorong terjadinya produksi dan distribusi. Dengan demikian
akan menggerakkan roda-roda perekonomian. Bayangkan ketika masyarakat tidak
memiliki kemampuan membayar pada suatu barang yang diproduksi? Meskipun
produsen berargumen barang mereka sesuai dengan need konsumen, tetap tidak
akan melahirkan demand. Tanpa adanya daya beli konsumen, produksi akan
terhenti, dan ekonomi mati!

Islam adalah agama yang ajarannya mengatur segenap prilaku manusia dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian pula dalam masalah konsumsi, Islam
mengatur bagaimana manusia dapat melakukan kegiatan-kegiatan konsumsi yang
membawa manusia berguna bagi kemashlahatan hidupnya. Seluruh aturan Islam
mengenai aktivitas konsumsi terdapat dalam al-Quran dan as-Sunnah. Prilaku
konsumsi yang sesuai dengan ketentuan al-Quran dan as-Sunnah ini akan
membawa pelakunya mencapai keberkahan dan kesejahteraan hidupnya.

Konsumsi adalah satu kegiatan ekonomi yang penting, bahkan terkadang


dianggap paling penting. Dalam ekonomi konvensional prilaku konsumsi dituntun
oleh dua nilai dasar, yaitu rasionalisme dan utilitarianisme. Kedua nilai dasar ini
kemudian membentuk suatu prilaku konsumsi yang hedenostik materialistik,
individualistik, serta boros (wastefull). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa
prinsip dasar bagi konsumsi adalah saya akan mengkonsumsi apa saja dan dalam
jumlah berapapun sepanjang : anggaran saya memenuhi dan saya memperoleh
kepuasan maksimum.

Dasar Hukum Prilaku Konsumen


1. a. Sumber yang Berasal dari al-Quran dan Sunnah Rasul
1. Sumber yang ada dalam al-Quran

Artinya : Makan dan minumlah, namun janganlah berlebih-lebihan.


Sesungguhnya Allah itu tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.[1]

2. Sumber yang berasal dari Sunnah Rasul[2], yang artinya : Abu Said Al-
Chodry r.a berkata :

Ketika kami dalam bepergian berasama Nabi SAW, mendadak datang seseorang
berkendaraan, sambil menoleh ke kanan-ke kiri seolah-olah mengharapkan
bantuan makanan, maka bersabda Nabi SAW : Siapa yang mempunyai
kelebihan kendaraan harus dibantukan pada yang tidak memmpunyai kendaraan.
Dan siapa yang mempunyai kelebihan bekal harus dibantukan pada orang yang
tidak berbekal. kemudian Rasulullah menyebut berbagai macam jenis kekayaan
hingga kita merasa seseorang tidak berhak memiliki sesuatu yang lebih dari
kebutuhan hajatnya. (H.R. Muslim).

1. b. Ijtihad Para Ahli Fiqh

Ijitihad berarti meneruskan setiap usaha untuk menentukan sedikit banyaknya


kemungkinan suatu persoalan syariat. Mannan menyatakan bahwa sumber hukum
ekonomi islam (termasuk di dalamnya terdapat dasar hukum tentang prilaku
konsumen) yaitu; al-Quran, as-Sunnah, ijma, serta qiyas dan ijtihad.

Menurut Mannan, yang ditulis oleh Muhammad dalam bukunya Ekonomi Mikro
Islam (2005: 165); konsumsi adalah permintaan sedangkan produksi adalah
penyediaan/penawaran. Kebutuhan konsumen, yang kini dan yang telah
diperhitungkan sebelumya, menrupakan insentif pokok bagi kegiatan-kegiatan
ekonominya sendiri. Mereka mungkin tidak hanya menyerap pendapatannya,
tetapi juga memberi insentif untuk meningkatkannya.
Hal ini berarti bahwa pembicaraan mengenai konsumsi adalah penting. dan hanya
para ahli ekonomi yang mempertunjukkan kemampuannya untuk memahami dan
menjelaskan prinsip produksi maupun konsumsi, mereka dapat dianggap
kompeten untuk mengembangkan hukum-hukum nilai dan distribusi atau hampir
setiap cabang lain dari subyek tersebut.

Menurut Muhammad perbedaan antara ilmu ekonomi modren dan ekonomi Islam
dalam hal konsumsi terletak pada cara pendekatannya dalam memenuhi
kebutuhan seseorang. Islam tidak mengakui kegemaran materialistis semata-mata
dari pola konsumsi modren.[3]

Lebih lanjut Mannan mengatakan semakin tinggi kita menaiki jenjang peradaban,
semakin kita terkalahkan oleh kebutuhan fisiologik karena faktor-faktor
psikologis. Cita rasa seni, keangkuhan, dorongan-dorongan untuk pamer semua
faktor ini memainkan peran yang semakin dominan dalam menentukan bentuk
lahiriah konkret dari kebutuhan-kebutuhan fisiologik kita. Dalam suatu
masyarakat primitif, konsomsi sangat sederhana, karena kebutuhannya sangat
sederhana. Tetapi peradaban modren telah menghancurkan kesederhanaan manis
akan kebutuhan-kabutuhan ini.[4]

Prinsip Konsumsi Dalam Islam

Menurut Islam, anugerah-anugerah Allah adalah milik semua manusia. Suasana


yang menyebabkan sebagian diantara anugerah-anugerah itu berada ditangan
orang-orang tertentu tidak berarti bahwa mereka dapat memanfaatkan anugerah-
anugerah itu untuk mereka sendiri. Orang lain masih berhak atas anugerah-
anugerah tersebut walaupun mereka tidak memperolehnya. Dalam Al-Quran
Allah SWT mengutuk dan membatalkan argumen yang dikemukakan oleh orang
kaya yang kikir karena ketidaksediaan mereka memberikan bagian atau miliknya
ini.[5]

Selain itu, perbuatan untuk memanfaatkan atau mengkonsumsi barang-barang


yang baik itu sendiri dianggap sebagai kebaikan dalam Islam. Sebab kenikmatan
yang dicipta Allah untuk manusia adalah ketaatan kepada-Nya yang berfirman
kepada nenek moyang manusia, yaitu Adam dan Hawa, sebagaimana tercantum
dalam Al-Quran

Artinya : Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena
sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.[6]

Etika ilmu ekonomi Islam berusaha untuk mngurangi kebutuhan material yang
luar biasa sekarang ini, untuk mngurangi energi manusia dalam mengejar cita-cita
spiritualnya. Perkembangan bathiniah yang bukan perluasan lahiriah, telah
dijadikan cita-cita tertinggi manusia dalam hidup. Tetapi semangat modren dunia
barat, sekalipun tidak merendahkan nilai kebutuhan akan kesempurnaan batin,
namun rupanya telah mengalihkan tekanan kearah perbaikan kondisi-kondisi
kehidupan material. Dalam ekonomi Islam konsumsi dikendalikan oleh lima
prinsip dasar[7].

1. Prinsip Keadilan

Syarat ini mengandung arti ganda yang penting mengenai mencari rezeki secara
halal dan tidak dilarang hukum. Dalam soal makanan dan minuman, yang
terlarang adalah darh, daging binatang yang telah mati sendiri, daging babi,
daging binatang yang ketika disembelih diserukan nama selain Allah, (Q.S 2.
173),






1. Prinsip Kebersihan

Syariat yang kedua ini tercantum dalam kitab suci Al-Quran maupun Sunnah
tentang makanan. Harus baik atau cocok untuk dimakan, tidak kotor ataupun
menjijikkan sehingga merusak selera. Karena itu, tidak semua yang
diperkenankan boleh dimakan dan diminum dalam semua keadaan. Dari semua
yang diperbolehkan makan dan minumlah yang bersih dan bermanfaat.

1. Prinsip Kesederhanaan

Prinsip ini mengatur prilaku manusia mengenai makanan dan minuman adalah
sikap tidak berlebih-lebihan, yang berarti janganlah makan secara berlebih.

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa


yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui
batas [8]..

Arti penting ayat ini adalah kenyataan bahwa kurang makan dapat mempengaruhi
pembangunan jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut diisi secara berlebih-
lebihan tentu akan ada pengaruhnya pada perut. Praktik memantangkan jenis
makanan tertentu dengan tegas tidak dibolehkan dalam Islam.

1. Prinsip Kemurahan Hati


Dengan mentaati perintah Islam tidak ada bahaya maupun dosa ketika kita
memakan dan meminum makanan halal yang disediakan Tuhan karena kemurahan
hati-Nya. Selama maksudnya adalah untuk kelangsungan hidup dan kesehatan
yang lebih baik dengan tujuan menunaikan perintah Tuhan dengan keimanan yang
kuat dalam tuntutan-Nya, dan perbuatan adil sesuai dengan itu, yang menjamin
persesuaian bagi semua perintah-Nya.

Artinya : Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal)
dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu dan bagi orang-orang dalam
perjalanan, dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama
kamu dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya-lah kamu
akan dikumpulkan.[9]

1. Prinsip Moralitas.

Bukan hanya mengenai makanan dan minuman langsung tetapi dengan tujuan
terakhirnya, yakni untuk peningkatan atau kemajuan nilai-nilai moral dan
spiritual. Seseorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum
makan dan menyatakan terima kasih kepada-Nya setelah makan. Dengan
demikian ia akan merasakan kehadiran Ilahi pada waktu memenuhi keinginan-
keinginan fisiknya. Hal ini penting artinya karena Islam menghendaki perpaduan
nilai-nilai hidup material dan spiritual yang berbahagia.

Artinya : Mereka bertanya kepadamu (Nabi) tentang khamar dan judi.


Katakanlah, pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi
manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya[10]

Teori Konsumsi Dalam Ekonomi Islam


Barang-barang kebutuhan dasar (termasuk untuk keperluan hidup dan
kenyamanan) dapat didefenisikan sebagai barang dan jasa yang mampu memenuhi
suatu kebutuhan atau mengurangi kesulitan hidup sehingga memberikan
perbedaan yang riil dalam kehidupan konsumen. Barang-barang mewah sendiri
dapat didefenisikan sebagai semua barang dan jasa yang diinginkan baik untuk
kebanggaan diri maupun untuk sesuatu yang sebenarnya tidak memberikan
perubahan berarti bagi kehidupan konsumen[11].

Lebih lanjut Chapra (2002 : 309) mengatakan bahwa konsumsi agregat yang sama
mungkin memiliki proporsi barang kebutuhan dasar dan barang mewah yang
berbeda (C = Cn + C1), dan tercapai tidaknya pemenuhan suatu kebutuhan tidak
tergantung kepada proporsi sumber daya yang dialokasikan kepada masing-
masing konsumsi ini. Semakin banyak sumber daya masyarakat yang digunakan
untuk konsumsi dan produksi barang dan jasa mewah (C1), semakin sedikit
sumber daya yang tersedia untuk pemenuhan kebutuhan dasar (Cn). Dengan
demikian, meski terjadi penigkatan pada konsumsi agregat, ada kemungkinan
bahwa kehidupan masyarakat tidak menjadi lebih baik dilihat dari tingkat
pemenuhan kebutuhan dasar penduduk miskin (Cn), jika semua peningkatan yang
terjadi pada konsumsi tersebut lari ke penduduk kaya untuk pemenuhan
kebutuhan barang-barang mewah (C1).

Fungsi konsumsi di dalam ilmu makroekonomi konvensional tidak


memperhitungkan komponen-komponen konsumsi agregat ini (Cn dan C1). Yang
lebih banyak dibicarakan dalam ilmu makroekonomi konvensional terutama
mengenai pengaruh dari tingkat harga dan pendapatan terhadap konsumsi.

Hal ini dapat memperburuk analisis, karena saat tingkat harga dan pendapatan
benar-benar memainkan peran yang substansi dalam menentukan konsumsi
agregat (C), ada sejumlah faktor moral, sosial, politik, ekonomi, dan sejarah yang
mempengaruhi pengalokasiaannya pada masing-masing komponen konsumsi (Cn
dan C1). Dengan demikian, faktor-faktor nilai dan kelembagaan serta preferensi,
distribusi pendapatan dan kekayaan, perkembangan sejarah, serta kebijakan-
kebijakan pemerintah tentunya tak dapat diabaikan dalam analisis ekonomi.

Sejumlah ekonom Muslim diantaranya adalah Zarqa (1980 dan 1982 ), Monzer
Kahf (1978 dan 1980 ), M.M. Metwally ( 1981 ), Fahim Khan ( 1988 ), M.A.
Manan ( 1986 ), M.A Choudhury ( 1986 ), Munawar Iqbal ( 1986 ), Bnedjilali dan
Al-Zamil ( 1993 ) dan Ausaf Ahmad ( 1992 ) telah berusaha memformulasikan
fungsi konsumsi yang mencerminkan faktor-faktor tambahan ini meski tidak
seluruhnya, mereka beranggapan bahwa tingkat harga saja tidaklah cukup untuk
mengurangi tingkat konsumsi barang mewah (C1) yang dilakukan oleh orang-
orang kaya. Diperlukan cara untuk mengubah sikap, selera dan preferensi,
memberikan motivasi yang tepat, serta menciptakan lingkungan sosial yang
memandang buruk konsumsi seperti itu (C1). Disamping itu perlu pula untuk
menyediakan sumber daya bagi penduduk miskin guna meningkatkan daya beli
atas barang-barang dan jasa-jasa yang terkait dengan kebutuhan dasar (Cn). Hal
inilah yang coba dipenuhi oleh paradigma relegius, khususnya Islam, dengan
menekankan perubahan individu dan sosial melalui reformasi moral dan
kelembagaan (dalam Chapra, 2002 ; 310 ).

Norma konsumsi Islami mungkin dapat membantu memberikan orientasi


preferensi individual yang menentang konsumsi barang-barang mewah (C1) dan
bersama dengan jaring pengaman sosial, zakat, serta pengeluaran-pengeluaran
untuk amal mempengaruhi alokasi dari sumber daya yang dapat meningkatkan
tingkat konsumsi pada komponen barang kebutuhan dasar (Cn). Produsen
kemudian mungkin akan merespon permintaan ini sehingga volume investasi
yang lebih besar dialihkan kepada produksi barang-barang yang terkait dengan
kebutuhan dasar (Cn).

Prioritas Konsumsi

Islam mengajarkan bahwa manusia selama hidupnya akan mengalami tahapan-


tahapan dalam kehidupan. Secara umum tahapan kehidupan dapat di
kelompokkan menjadi dua tahapan yaitu dunia dan akhirat. Oleh Karena itu Islam
mengajarkan kepada umatnya untuk selalu mencapai kebahagiaan dunia dan
akhirat. Hal ini berarti pada saat seseorang melakukan konsumsi harus memiliki
dunia dan akhirat. Dengan demikian maka yang lebih diutamakan adalah
konsumsi untuk dunia dan konsumsi untuk akhirat. Sebagai mahluk pribadi dan
social, maka manusia juga memiliki sasaran konsumsi. Sasaran konsumsi tersebut
adalah untuk: Konsumsi untuk diri sendiri dan keluarga, Konsumsi sebagai
tanggung jawab social, Tabungan, Investasi.

Konsumsi berlebih-lebihan, yang merupakan ciri khas masyarakat yang tidak


mengenal Tuhan, dikutuk dalam Islam dan disebut dengan istilah israf
(pemborosan) atau tabzir (menghambur-hamburkan uang/harta tanpa guna).

Menurut Islam, anugerah-anugerah Allah itu milik semua manusia dan suasana
yang menyebabkan sebagian diantara anugerah-anugerah itu berada di tangan
orang-orang tertentu tidak berarti bahwa mereka dapat memanfaatkan anugerah-
anugerah itu untuk mereka sendiri; sedangkan orang lain tidak memiliki
bagiannya sehingga banyak diantara anugerah-anugerah yang diberikan Allah
kepada umat manusia itu masih berhak mereka miliki walaupun mereka tidak
memperolehnya. Dalam Al-Quran Allah SWT mengutuk dan membatalkan
argumen yang dikemukakan oleh orang kaya yang kikir karena ketidaksediaan
mereka memberikan bagian atau miliknya ini.

Bila dikatakan kepada mereka, Belanjakanlah sebagian rizqi Allah yang


diberikan-Nya kepadamu, orang-orang kafir itu berkata, Apakah kami harus
memberi makan orang-orang yang jika Allah menghendaki akan diberi-Nya
makan? Sebenarnya kamu benar-benar tersesat.

Selain itu, perbuatan untuk memanfaatkan atau mengkonsumsi barang-barang


yang baik itu sendiri dianggap sebagai kebaikan dalam Islam, karena kenikmatan
yang dicipta Allah untuk manusia adalah ketaatan kepada-Nya Yang berfirman
kepada nenek moyang manusia, yaitu Adam dan Hawa, sebagaimana tercantum
dalam Al-Quran: dan makanlah barang-barang yang penuh nikmat di
dalamnya (surga) sesuai dengan kehendakmu , dan yang menyuruh semua
umat manusia: Wahai umat manusia, makanlah apa yang ada di bumi, dengan
cara yang sah dan baik. Karena itu, orang Mumin berusaha mencari kenikmatan
dengan mentaati perintah-perintah-Nya dan memuaskan dirinya sendiri dengan
barang-barang dan anugerah-anugerah yang dicipta (Allah) untuk umat manusia.
Konsumsi dan pemuasan (kebutuhan) tidak dikutuk dalam Islam selama keduanya
tidak melibatkan hal-hal yang tidak baik atau merusak. Allah SWT berfirman
dalam Al-Quran: Katakanlah, siapakah yang melarang (anugerah-anugerah
Allah) yang indah, yang Dia cipta untuk hamba-hamba-Nya dan barang-barang
yang bersih dan suci (yang Dia sediakan?).

Konsumsi berlebih-lebihan, yang merupakan ciri khas masyarakat yang tidak


mengenal Tuhan, dikutuk dalam Islam dan disebut dengan istilah isrf
(pemborosan) atau tabzr (menghambur-hamburkan harta tanpa guna). Tabzir
berarti mempergunakan harta dengan cara yang salah, yakni, untuk menuju
tujuan-tujuan yang terlarang seperti penyuapan, hal-hal yang melanggar hukum
atau dengan cara yang tanpa aturan. Setiap kategori ini mencakup beberapa jenis
penggunaan harta yang hampir-hampir sudah menggejala pada masyarakat yang
berorientasi konsumer. Pemborosan berarti penggunaan harta secara berlebih-
lebihan untuk hal-hal yang melanggar hukum dalam hal seperti makanan, pakaian,
tempat tinggal atau bahkan sedekah. Ajaran-ajaran Islam menganjurkan pola
konsumsi dan penggunaan harta secara wajar dan berimbang, yakni pola yang
terletak diantara kekikiran dan pemborosan. Konsumsi di atas dan melampaui
tingkat moderat (wajar) dianggap isrf dan tidak disenangi Islam.

Salah satu ciri penting dalam Islam adalah bahwa ia tidak hanya mengubah nilai-
nilai dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat tetapi juga menyajikan kerangka
legislatif yang perlu untuk mendukung dan memperkuat tujuan-tujuan ini dan
menghindari penyalahgunaannya. Ciri khas Islam ini juga memiliki daya
aplikatifnya terhadap kasus orang yang terlibat dalam pemborosan atau tabzr.
Dalam hukum (Fiqh) Islam, orang semacam itu seharusnya dikenai pembatasan-
pembatasan dan, bila dianggap perlu, dilepaskan dan dibebaskan dari tugas
mengurus harta miliknya sendiri. Dalam pandangan Syarah dia seharusnya
diperlakukan sebagai orang tidak mampu dan orang lain seharusnya ditugaskan
untuk mengurus hartanya selaku wakilnya.

Perilaku Konsumsi dalam Islam

Sebagai agama yang syamil, Islam telah memberikan rambu-rambu berupa


batasan-batasan serta arahan-arahan positif dalam berkonsumsi. Setidaknya
terdapat dua batasan dalam hal ini.

1. pembatasan dalam hal sifat dan cara. Seorang muslim mesti sensitif
terhadap sesuatu yang dilarang oleh Islam. Mengkonsumsi produk-produk
yang jelas keharamannya harus dihindari, seperti minum khamr dan makan
daging babi.. Seorang muslim haruslah senantiasa mengkonsumsi sesuatu
yang pasti membawa manfaat dan maslahat, sehingga jauh dari kesia-
siaan. Karena kesia-siaan adalah kemubadziran, dan hal itu dilarang dalam
islam (QS. 17 : 27).
2. pembatasan dalam hal kuantitas atau ukuran konsumsi. Islam melarang
umatnya berlaku kikir yakni terlalu menahan-nahan harta yang
dikaruniakan Allah SWT kepada mereka. Namun Allah juga tidak
menghendaki umatnya membelanjakan harta mereka secara berlebih-
lebihan di luar kewajaran (QS. 25 : 67, 5 : 87). Dalam mengkonsumsi,
Islam sangat menekankan kewajaran dari segi jumlah, yakni sesuai dengan
kebutuhan.

Dalam bahasa yang indah Al-Quran mengungkapkan dan janganlah


kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu
terlalu mengulurkannya(QS. 17 : 29).

Adapun arahan Islam dalam berkonsumsi paling tidak ada tiga hal.
1. jangan boros. Seorang muslim dituntut untuk selektif dalam
membelanjakan hartanya. Tidak semua hal yang dianggap butuh saat ini
harus segera dibeli. Karena sifat dari kebutuhan sesungguhnya dinamis, ia
dipengaruhi oleh situasi dan kondisi. Seorang pemasar sangat pandai
mengeksploitasi rasa butuh seseorang, sehingga suatu barang yang
sebenarnya secara riil tidak dibutuhkan tiba-tiba menjadi barang yang
seolah sangat dibutuhkan. Contoh sederhana air mineral. Dahulu orang
tidak terlalu membutuhkannya. Namun karena perusahaan rajin
memprovokasi pasar, kini hampir di setiap rumah kita ada air mineral.
2. seimbangkan pengeluaran dan pemasukan. Seorang muslim hendaknya
mampu menyeimbangkan antara pemasukan dan pengeluarannya,
sehingga sedapat mungkin tidak berutang. Karena utang, menurut
Rasulullah SAW akan melahirkan keresahan di malam hari dan
mendatangkan kehinaan di siang hari. Ketika kita tidak memiliki daya beli,
kita dituntut untuk lebih selektif lagi dalam memilih, tidak malah
memaksakan diri sehingga terpaksa harus berutang. Hal ini tentu
bertentangan dengan perilaku produktif. Kita telah merasakan: keresahan,
kehinaan, serta kehilangan kemerdekaan sebagai satu bangsa akibat jerat
utang.
3. tidak bermewah-mewah. Islam juga melarang umatnya hidup dalam
kemewahan (QS. 56 : 41-46) Kemewahan yang dimaksud menurut Yusuf
Al Qardhawi adalah tenggelam dalam kenikmatan hidup berlebih-lebihan
dengan berbagai sarana yang serba menyenangkan.

Perilaku konsumsi, sesuai dengan arahan Islam di atas menjadi lebih terasa
urgensinya pada kehidupan kita saat ini. Krisis ekonomi yang belum juga reda
bertemu dengan harga-harga yang melambung tinggi selama bulan puasa,
menuntut kita untuk selektif dalam berbelanja. Islam tidak melegitimasi momen
apapun yang boleh digunakan untuk mengkonsumsi secara berlebihan apalagi di
luar batas kemampuan, termasuk Ramadhan dan Idul Fitri. Bahkan Rasulullah
merayakan idul fitri dengan penuh kesederhanaan.

Bagi mereka yang memiliki uang berlebih mungkin berfikir, mengapa Islam
harus membatasi hak orang? Pada prinsipnya Islam sangat menghargai hak
individu dalam mengkonsumsi rezeki yang diberikan oleh Allah SWT sepanjang
pelaksanaannya tidak mengganggu kepentingan umum. Dalam riwayat, Khalifah
Umar bin Khattab pernah melarang konsumsi daging dua hari berturut-turut dalam
sepekan, karena persediaan daging tidak mencukupi semua orang di Madinah.
Demikian pula terjadi pada zaman Nabi Yusuf, ketika terjadi swasembada selama
tujuh tahun, masyarakat tidak diperkenankan mengkonsumsi secara berlebihan
(QS. 12:47-48). Pembatasan di masa krisis sesungguhnya dapat menjaga stabilitas
sosial serta menjamin terpenuhinya rasa keadilan, karena mereka yang punya
kuasa atas harta tidak bisa secara sewenang-wenang menimbun bahan pangan di
rumahnya.

Anda mungkin juga menyukai