Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada masa lanjut usia secara bertahap seseorang mengalami berbagai kemunduran,
baik kemunduran fisik, mental, dan sosial (Azizah, 2011). Perubahan fisik yang terjadi
pada setiap lanjut usia sangat bervariasi, perubahan ini terjadi dalam berbagai sistem,
yaitu sistem integumen, sistem kardiovaskuler, sistem gastrointestinal, sistem reproduksi,
sistem muskuloskeletal, sistem neurologis, dan sistem urologi. Semua perubahan
fisiologis ini bukan merupakan proses patologis, tetapi perubahan fisiologis umum yang
perlu diantisipasi (Potter & Perry, 2005).
Pada lanjut usia sering terjadi masalah empat besar yang memerlukan perawatan
segera, yaitu: imobilisasi, ketidakstabilan, gangguan mental, dan inkontinensia. Bagi
lanjut usia masalah inkontinensia merupakan masalah yang tidak menyenangkan
(Watson, 2003). Masalah inkontinensia tidak disebabkan langsung oleh proses penuaan,
pemicu terjadinya inkontinensia pada lanjut usia adalah kondisi yang sering terjadi pada
lanjut usia yang dikombinasikan dengan perubahan terkait usia dalam sistem urinaria
(Stanley & Beare, 2007).
Masalah yang sering dijumpai pada lanjut usia adalah inkontinensia urin.
Inkontinensia urin merupakan keluarnya urin yang tidak terkendali dalam waktu yang
tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya yang akan
menyebabkan masalah sosial dan higienis penderitanya. Selain masalah sosial dan
hieginis inkontinensia urin mempunyai komplikasi yang cukup serius seperti infeksi
saluran kemih, kelainan kulit, gangguan tidur, problem psikososial seperti depresi,
mudah marah dan terisolasi (Setiati, dkk, 2007).
Inkontinensia urin merupakan masalah yang belum terselesaikan pada lanjut usia.
Inkontinensia urin pada lanjut usia dapat menimbulkan masalah baru bagi lanjut usia,
oleh karena itu inkontinensia memerlukan penatalaksanaan tersendiri untuk dapat diatasi
(Purnomo, 2008).
Prevalensi inkontinensia urin cukup tinggi, yakni pada wanita kurang lebih 10-40%
dan 4-8% sudah dalam keadaan cukup parah pada saat datang berobat. Survai yang
dilakukan diberbagai negara Asia didapat bahwa prevalensi pada beberapa negara Asia
adalah rata-rata 21,6% (14,8% pada wanita dan 6,8% pada pria). Dibandingkan pada usia
produksi, pada usia lanjut prevalensi inkontinensia lebih tinggi. Prevalensi inkontinensia
urin pada manula wanita sebesar 38% dan Pria 19% (Purnomo, 2008).
Prevalensinya meningkat seiring dengan peningkatan umur. Perempuan lebih sering
mengalami inkontinensia urin dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 1,5 : 1
(Setiati, dkk, 2007).

B. Tujuan
1. Mengetahui konsep lanjut usia
2. Mengetahui inkontinensia urin pada lanjut usia
3. Mengetahui asuhan keperawatan pada individu lanjut usia
4. Mengetahui evidence based inkontinensia urin pada lanjut usia
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Perawatan pada individu lanjut usia


Gerontology, adalah ilmu yang mempelajari proses penuaan. Geriatri adalah praktek
(medis atau perawat) yang berfokus pada fisiologi, patologi, diagnosis, dan manajemen
dari gangguan dan penyakit pada orang dengan lanjut usia. Karena penuaan adalah
proses yang normal, perawatan untuk orang lanjut usia tidak bisa terbatas pada satu
disiplin ilmu, namun berbagai disiplin ilmu. Pendekatan interdisipliner untuk
memberikan perawatan menggabungkan keahlian dan sumber daya untuk memberikan
penilaian geriatri yang komprehensif dan intervensi. Perawat berkolaborasi dengan tim
untuk memberikan layanan yang sesuai untuk pasien dan memberikan pendekatan
holistik untuk merawat.
Perawat gerontologist dapat berupa spesialis atau umum (general) yang memberikan
asuhan keperawatan yang komprehensif untuk orang tua dengan menggabungkan proses
keperawatan assesmen (pengkajian), diagnosis, perencanaan, implementasi, dan evaluasi
dengan pengetahuan khusus gerontolgy. Keperawatan gerontological yang disediakan
adalah dalam perawatan akut, keterampilan dan bantuan hidup, komunitas, dan
pengaturan di rumah. Tujuan perawatan termasuk mempromosikan dan mempertahankan
status fungsional dan membantu orang lanjut usia mengidentifikasi dan menggunakan
kekuatan mereka untuk mencapai kemandirian yang optimal.
Perawat yang bekerja di semua bidang keperawatan medikal bedah dewasa
menghadapi pasien usia lanjut. Mereka harus berpengetahuan dan terampil dalam
memenuhi kebutuhan pasien yang lebih tua. Adalah penting bahwa perawat dan
pengasuh yang bekerja dengan pasien yang lebih tua memahami bahwa penuaan tidak
identik dengan penyakit dan bahwa efek dari proses penuaan saja tidak kontributor utama
kecacatan dan penyakit.
Penyebab kematian individu lanjut usia (65 tahun atau lebih) pada tahun 2004
B. Perubahan sistem tubuh pada orang dengan usia lanjut beserta strategi promosi
kesehatan
Perubahan Data subjektif dan objektif Strategi promosi kesehatan
Sistem kardiovaskuler Keluhan kelelahan dengan Berolahraga secara teratur ; berjalan
Penurunan cardiac output, peningkatan aktivitas, cepat ; menghindari merokok ;
pengurangan kemampuan untuk Peningkatan denyut jantung makanan rendah lemak , diet rendah
merespon stres, denyut jantung dan waktu pemulihan, tekanan garam ; berpartisipasi dalam
stroke volume tidak meningkat darah Optimal 120/80 mm Hg, kegiatan pengurangan stres ;
dengan permintaan maksimum; Prehipertensi 120-139 / 80-89 memeriksa tekanan darah secara
tingkat pemulihan jantung lambat; mmHg, Hipertensi, 140/90 teratur; kepatuhan pengobatan;
peningkatan tekanan darah mm Hg pengendalian berat badan
Sistem pernafasan Kelelahan dan sesak napas Berolahraga secara teratur;
Peningkatan volume paru residual ; dengan aktivitas yang menghindari merokok; meminum
penurunan kekuatan otot, daya berkelanjutan; penurunan air yang memadai untuk mencairkan
tahan, dan kapasitas vital; pernafasan dan ekspansi paru sekresi; menerima imunisasi
penurunan pertukaran gas dan dengan pernafasan kurang influenza dan vaksin pneumonia
penyebaran kapasitas; penurunan efektif; Kesulitan pada usia 65 tahun per tahun;
efisiensi batuk mengeluarkan sekresi menghindari paparan infeksi saluran
pernapasan atas
Sistem integumen Tipis, keriput, dan kulit kering; Batasi paparan matahari 10-15
Penurunan lemak subkutan, cairan keluhan cedera, memar, dan menit setiap hari untuk vitamin D
interstisial, otot, aktivitas kelenjar, sengatan matahari; keluhan (menggunakan pakaian pelindung
reseptor sensorik yang intoleransi panas; struktur dan tabir surya); berpakaian tepat
mengakibatkan perlindungan tulang yang menonjol sesuai dengan suhu;
menurun terhadap trauma dan mempertahankan suhu dalam
paparan sinar matahari, dan suhu ruangan yang aman; mandi di bak
ekstrem; sekresi berkurang dari mandi air panas jika mungkin ;
minyak alami tubuh dan keringat; melembabkan kulit dengan lotion
kerapuhan kapiler yang mengandung minyak atau
mineral oil
Sistem reproduksi Perempuan: nyeri pada saat Mungkin memerlukan penggantian
Perempuan: penyempitan vagina hubungan seksual; perdarahan estrogen vagina; ginekologi/urologi
dan penurunan elastisitas; vagina setelah hubungan tindak lanjut; menggunakan
penurunan sekresi vagina seksual; vagina gatal dan pelumas dalam hubungan seksual
Pria: penurunan keketatan testis dan iritasi; tertunda orgasme
penurunan produksi sperma Pria : Tertunda ereksi dan
laki-laki dan Perempuan: respon pencapaian orgasme
seksual lambat
Sistem muskuloskeletal Kehilangan tinggi badan; Berolahraga secara teratur; diet
Hilangnya kepadatan tulang; rentan terhadap patah tulang; tinggi kalsium; membatasi asupan
kehilangan kekuatan otot dan kyphosis; sakit punggung; fosfor; mengkonsumsi suplemen
ukuran otot; tulang rawan sendi kehilangan kekuatan, kalsium dan vitamin D seperti yang
merosot fleksibilitas, dan daya tahan; ditentukan
nyeri sendi
Sistem genitourinary Retensi urin; iritasi berkemih Pria: Batas minum dimalam hari
Pria: hiperplasia prostat jinak gejala termasuk frekuensi, (misalnya , minuman berkafein,
Perempuan: otot perineum rileks, perasaan pengosongan alkohol); jangan menunggu waktu
ketidakstabilan detrusor kandung kemih tidak lengkap, yang lama antara berkemih dan
(inkontinensia), disfungsi uretra sindrom berkemih pada malam kandung kemih kosong ketika
(saluran kemih inkontinensia stres) hari. buang air.
Urgensi/frekuensi, penurunan Perempuan: Kenakan pakaian
" peringatan waktu berkemih, dengan mudah dibuka; minum air
tetesan urin berhenti dengan yang memadai; menghindari iritasi
batuk, tertawa, perubahan kandung kemih (misalnya,
posisi minuman berkafein, alkohol,
pemanis buatan): latihan otot dasar
panggul, pertimbangkan
pemeriksaan urologi
Sistem gastrointestinal Risiko dehidrasi, Gunakan es batu, obat kumur; sikat,
Penurunan rasa haus, bau dan rasa; ketidakseimbangan elektrolit, benang, dan massage gusi sehari-
penurunan produksi air liur; dan asupan gizi yang buruk; hari; menerima perawatan gigi
Kesulitan menelan makanan; keluhan mulut kering; keluhan secara teratur; makan dalam porsi
tertunda pengosongan esofagus dan kenyang, mulas, dan gangguan kecil, sering makan; duduk dan
lambung; penurunan motilitas pencernaan; sembelit, menghindari aktivitas berat setelah
gastrointestinal kembung, dan perut tidak makan; membatasi konsumsi
nyaman antasida; makan tinggi serat, diet
rendah lemak; membatasi obat
pencahar; toileting secara teratur;
minum cairan yang memadai
Sistem Saraf Lambat untuk merespon dan Pacu untuk pengajaran; dengan
kecepatan konduksi saraf bereaksi; belajar rawat inap, mendorong pengunjung;
berkurang; peningkatan membutuhkan waktu lebih meningkatkan rangsangan indra;
kebingungan terhadap penyakit lama; menjadi bingung dengan dengan kebingungan tiba-tiba,
fisik; pengurangan sirkulasi masuk rumah sakit ; pingsan; mencari penyebab; mendorong
serebral (menjadi samar, sering jatuh berdiri dengan pelan dari posisi
kehilangan keseimbangan) istirahat
Sensori khusus Memegang benda jauh dari Memakai kacamata, penggunaan
Penglihatan: kemampuan untuk wajah; mengeluh silau; kacamata di luar ruangan;
fokus pada objek dekat; penglihatan berkurang; menghindari perubahan mendadak
ketidakmampuan untuk mentolerir bingung warna dari gelap ke terang; menggunakan
silau; Kesulitan menyesuaikan diri pencahayaan dalam ruangan yang
dengan perubahan intensitas memadai dengan lampu daerah dan
cahaya; penurunan kemampuan nightlights; menggunakan buku
untuk membedakan warna dengan cetak besar; menggunakan
Magnifier untuk membaca;
menghindari mengemudi malam;
menggunakan warna-warna kontras
untuk kode warna; menghindari
silau dari permukaan mengkilap dan
sinar matahari langsung

Pendengaran: penurunan Memberikan tanggapan yang Merekomendasikan pemeriksaan


Kemampuan mendengar suara tidak sesuai; meminta orang pendengaran; mengurangi
frekuaensi tinggi; penipisan untuk mengulang kata-kata; kebisingan; wajah orang;
membran timpani dan hilangnya bergerak depan untuk mengatakan dgn jelas; berbicara
ketahanan mendengar dengan suara bernada rendah;
menggunakan isyarat nonverbal

Rasa dan bau: Penurunan Menggunakan gula dan garam Mendorong penggunaan lemon,
kemampuan untuk rasa dan bau berlebihan rempah-rempah, berhenti merokok
C. Aspek psikososial penuaan
Psikologis penuaan yang berhasil adalah tercermin pada kemampuan orang dengan
lanjut usia untuk beradaptasi dengan fisik, sosial, emosional dan untuk mencapai
kepuasan hidup. Karena perubahan pola hidup yang tak terelakkan selama seumur hidup,
orang lanjut usia perlu memiliki ketahanan dan keterampilan mengatasi tekanan dan
perubahan. Sebuah citra diri yang positif meningkatkan pengambilan risiko dan
partisipasi, peran baru yang belum diuji.
Meskipun sikap terhadap orang lanjut usia berbeda dalam subkultur etnis, prasangka
atau diskriminasi terhadap orang yang lebih tua orang-mendominasi dalam masyarakat
kita, dan banyak mitos mengelilingi penuaan. Pensiun yang dirasakan tidak produktif
juga bertanggung jawab terhadap perasaan negatif, karena orang yang lebih muda
melihat orang-orang yang lebih tua tidak memberikan kontribusi kepada masyarakat,
menguras sumber daya ekonomi, dan benar-benar merasa bahwa mereka bersaing
kesempatan dengan anak-anak.
Pemahaman tentang proses penuaan dan menghormati setiap orang sebagai individu
dapat menghilangkan mitos penuaan. Jika orang tua diperlakukan dengan martabat dan
didorong untuk mempertahankan kemandirian, kualitas hidup mereka akan membaik.

D. Stres dan Coping pada lanjut usia


Pola koping dan kemampuan untuk beradaptasi terhadap stres berkembang seumur
hidup dan tetap konsisten di kemudian hari. Kesuksesan di masa dewasa muda
membantu seseorang mengembangkan citra diri positif yang tetap solid sampai usia tua.
kemampuan seseorang untuk beradaptasi dengan perubahan, membuat keputusan, dan
merespon diduga juga ditentukan oleh pengalaman masa lalu.
Orang tua sering memiliki lebih sedikit pilihan dan kemampuan yang berkurang untuk
menangani stres. Stres yang umum terjadi pada usia tua termasuk perubahan fungsi fisik
normal, kegiatan, dan penampilan; cacat dari cedera atau penyakit kronis; kerugian sosial
dan lingkungan yang terkait dengan hilangnya pendapatan dan penurunan kemampuan
untuk melakukan peran dan kegiatan sebelumnya; dan kematian. Banyak orang lanjut
usia bergantung kuat pada keyakinan spiritual mereka untuk kenyamanan menghadapi
stres.
E. Aspek kognitif pada lanjut usia
Kognisi dapat dipengaruhi oleh banyak variabel, termasuk gangguan sensorik,
kesehatan fisiologis, lingkungan, dan psikososial. Orang yang lebih tua mungkin
mengalami perubahan sementara dalam fungsi kognitif saat dirawat di rumah sakit atau
dirawat di fasilitas terampil keperawatan, pusat rehabilitasi, atau fasilitas perawatan
jangka panjang. Perubahan ini terkait dengan perbedaan dalam lingkungan atau dalam
terapi medis atau perubahan dalam peran.

Kecerdasan (intelegence)
Ketika skor tes kecerdasan dari orang-orang dari segala usia dibandingkan, nilai tes
untuk orang yang lebih tua (lansia) menunjukkan penurunan progresif dimulai pada usia
setengah baya. Namun, penelitian telah menunjukkan bahwa lingkungan dan kesehatan
memiliki cukup pengaruh pada nilai skor ini, dan bahwa beberapa jenis kecerdasan
(misalnya, persepsi spasial dan penyimpanan informasi non-intellectual) penurunan,
sedangkan yang lain (misalnya, kemampuan pemecahan masalah berdasarkan
pengalaman masa lalu, pemahaman verbal, kemampuan matematika) tidak. kesehatan
jantung, lingkungan yang menstimulasi, tingkat pendidikan yang tinggi, status pekerjaan,
dan pendapatan semua tampaknya memiliki efek positif pada nilai kecerdasan di
kemudian hari.

Belajar dan Memori


Menurut Hooyman dan Kiyak (2005), signifikan usia berhubungan dengan penurunan
kecerdasan, pembelajaran, dan memori yang tidak bisa dihindari. Banyak faktor yang
mempengaruhi kemampuan orang tua untuk belajar dan mengingat dan melakukan tes
dengan baik. Orang lanjut usia yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi,
fungsi sensorik yang baik, gizi yang baik, dan pekerjaan yang membutuhkan kemampuan
memecahkan masalah yang kompleks terus menunjukkan kecerdasan, memori, dan
kapasitas untuk belajar. Kesehatan yang baik dan motivasi penting dalam pengaruh-
pengaruh pada pembelajaran. Perawat dapat mendukung orang lanjut usia belajar dengan
menggunakan strategi berikut:
1. Suplai mnemonik untuk meningkatkan recall data terkait
2. Mendorong pembelajaran
3. Link informasi baru dengan informasi yang biasa
4. Gunakan visual, auditori, dan isyarat sensorik lainnya
5. Mendorong peserta didik untuk memakai kacamata yang diresepkan dan alat bantu
dengar
6. Memberikan pencahayaan yang bebas silau
7. Menyediakan lingkungan yang tenang dan tidak mengganggu
8. Tetapkan tujuan jangka pendek dengan meminta masukan dari peserta didik
9. Jauhkan periode mengajar pendek
10. Pacu tugas belajar sesuai dengan kemampuan pelajar
11. Mendorong partisipasi lisan oleh peserta didik
12. Memperkuat belajar sukses dengan cara yang positif

F. Masalah kesehatan mental pada orang lanjut usia


Perubahan dalam kemampuan kognitif, pelupa yang berlebihan, dan perubahan
suasana hati yang bukan merupakan bagian dari proses penuaan normal. Gejala ini tidak
bisa dianggap sebagai perubahan yang berkaitan dengan usia. Melalui penilaian dapat
mengungkapkan kondisi fisik atau mental yang dapat diobati dan reversibel. Perubahan
status mental mungkin terkait dengan banyak faktor, seperti perubahan dalam diet dan
cairan dan keseimbangan elektrolit, demam, atau kadar oksigen rendah yang terkait
dengan banyak penyakit kardiovaskular dan paru.
Perubahan kognitif mungkin reversibel saat kondisi-kondisi tersebut diidentifikasi dan
diobati dengan cepat dan baik. Namun, kerentanan terhadap depresi, delirium, dan
kejadian demensia meningkat sesuaiv dengan bertambahnya usia. Orang lanjut usia
kurang berinisiatif mencari pengobatan gejala kesehatan mental dibandingkan orang
yang lebih muda. Oleh karena itu, profesional kesehatan harus mengenali, menilai,
merujuk, berkolaborasi, mengobati, dan mendukung orang lanjut usia yang menunjukkan
perubahan nyata dalam kecerdasan atau emosi.

Depresi
Depresi adalah gangguan afektif (emosi) atau suasana hati yang paling umum pada
usia tua. Sekitar 15% orang Amerika yang lebih tua menderita depresi. Kejadian depresi
lebih tinggi di kalangan orang tua di rumah sakit (23%) dan berkisar dari 16% menjadi
30% di antara rumah jompo warga (Greenberg, 2007 dalam Brunner & Suddarth, 2010).
Depresi di kalangan orang tua dapat menjadi pencetus utama dan sering berhubungan
dengan penyakit kronis. Hal ini juga dapat menjadi masalah sekunder untuk interaksi
obat atau kondisi fisik yang tidak terdiagnosis.
Tanda-tanda depresi meliputi perasaan sedih, kelelahan, memori berkurang dan
konsentrasi menurun, perasaan bersalah atau tidak berharga, gangguan tidur, nafsu
makan terganggu dengan kehilangan berat badan yang berlebihan, gelisah, gangguan
rentang perhatian, dan keinginan bunuh diri. Bahkan depresi ringan dengan gejala yang
tidak memenuhi kriteria untuk depresi, mengurangi kualitas hidup dan fungsi fisik
(Evans, 2007 dalam Brunner & Suddarth, 2010).
Ketika depresi dan penyakit medis muncul berdampingan, sering mengabaikan
depresi yang akibatnya dapat menghambat pemulihan fisik. Menilai status mental pasien,
termasuk depresi, sangat penting dan tidak boleh diabaikan. Dua alat penilaian yang
umum digunakan adalah Mini Mental Status Examination (MMSE) dan Geriatri Skala
Depresi (GDS).
Depresi ringan, penatalaksanaannya berupa tindakan nonfarmakologis seperti
olahraga, pencahayaan yang terang, meningkatkan interaksi interpersonal, terapi kognitif,
dan terapi kenangan yang efektif (Evans, 2007 dalam Brunner & Suddarth, 2010).
Namun untuk depresi besar, antidepresan dan psikoterapi jangka pendek, terutama dalam
kombinasi, efektif pada orang tua. Antidepresan atipikal yang lebih baru, seperti
bupropion (Wellbutrin), venlafaxine (Effexor), mirtazapine (Remeron), dan nefazodone
(Serzone), serta selective serotonin reuptake, seperti paroxetine (Paxil), dapat digunakan
(Butcher & McGonigal- Kenney, 2005 dalam Brunner & Suddarth, 2010). Antidepresan
trisiklik dapat menjadi obat yang efektif untuk depresi pada beberapa pasien. Namun,
obat-obatan dengan antikolinergik, jantung, dan efek samping ortostatik, serta interaksi
dengan obat lain, harus digunakan dengan hati-hati untuk menghindari toksisitas obat,
peristiwa hipotensi, dan jatuh. Dalam kasus yang mengancam jiwa, terapi
electroconvulsive telah terbukti efektif.
G. Sindrom Geriatric
Orang lanjut usia cenderung untuk mendapat beberapa masalah dan penyakit seiring
dengan bertambahnya usia mereka. Penurunan fungsi fisik menyebabkan hilangnya
kemandirian dan meningkatkan kelemahan serta kerentanan terhadap masalah kesehatan
akut dan kronis, yang umumnya merupakan hasil dari beberapa faktor bukan dari
penyebab tunggal saja. Ketika dikombinasikan dengan penurunan resistensi individu,
faktor-faktor ini dapat menyebabkan penyakit atau cedera. Sejumlah masalah yang
umum dialami oleh orang lanjut usia yang dikenal sebagai sindrom geriatrik. Kondisi ini
tidak termasuk ke dalam kategori penyakit diskrit. Contohnya termasuk kelemahan,
delirium, jatuh, inkontinensia urin, dan ulkus akibat tekanan (Inouye, Studenski, Tinetti,
et al., 2007 dalam Brunner & Suddarth, 2010).
Meskipun kondisi ini dapat berkembang secara perlahan, timbulnya gejala sering
akut. Selain itu, gejala dapat muncul dalam sistem tubuh lainnya sebelum menjadi jelas
dalam sistem yang terpengaruh. Sebagai contoh, seorang pasien usia lanjut mungkin
akan menunjukkan kebingungan, dan penyakit yang mendasari mungkin infeksi saluran
kemih, dehidrasi, atau serangan jantung. Ringkih adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan orang tua yang berada pada risiko tertinggi untuk hasil kesehatan yang
merugikan.
Kriterianya termasuk penurunan berat badan, kelemahan, kelelahan atau daya tahan
lemah, kelambatan, dan aktivitas rendah (Bergman, Ferucci, Hogan, et al., 2007 dalam
Brunner & Suddarth, 2010). Untuk semua sindrom geriatri, usia yang lebih tua,
gangguan fungsional, gangguan kognitif, dan gangguan mobilitas merupakan faktor
risiko. Penelitian menunjukkan bahwa ringkih pada orang lanjut usia berada pada
peningkatan risiko untuk jatuh, rawat inap, cacat, dan kematian (Inouye, et al., 2007
dalam Brunner & Suddarth, 2010).

Gangguan mobilitas fisik


Penyebab umum termasuk stroke, penyakit Parkinson, diabetes neuropati, gangguan
kardiovaskular, osteoarthritis, osteoporosis, dan defisit sensori. Untuk menghindari
peningkatan imobilitas, orang tua harus didorong untuk tetap aktif sebisa mungkin.
Selama sakit, istirahat di tempat tidur harus diminimalkan (Wallace & Skelkey, 2008
dalam Brunner & Suddarth, 2010). Ketika istirahat tidak bisa dihindari, pasien harus
melakukan Range of motion dan latihan penguatan dengan yang tidak mempengaruhi
ekstremitas, dan perawat atau pengasuh (care giver) keluarga harus melakukan range of
motion pasif pada ekstremitas yang terkena. Perubahan posisi membantu mengimbangi
bahaya imobilitas. Kedua staf perawatan kesehatan dan keluarga pasien dapat membantu
mempertahankan tingkat mobilitas pasien lanjut usia.

Pusing (Dizziness)
Banyak orang, tidak mampu untuk membedakan antara pusing (sensasi disorientasi
dalam kaitannya dengan posisi) dan vertigo (sensasi berputar). Sensasi serupa lainnya
termasuk nearsyncope dan ketidakseimbangan. Penyebab sensasi ini berkisar dari parah
sampai ringan (misalnya, penumpukan kotoran telinga) sampai berat (misalnya, disfungsi
dari korteks serebral, serebelum, batang otak, reseptor proprioseptif, atau sistem
vestibular). Bahkan penyebab reversibel yang kecil, seperti penumpukan serum telinga,
dapat mengakibatkan kehilangan keseimbangan dan jatuh yang mengakibatkan cedera.
Karena pusing memiliki banyak faktor predisposisi, perawat harus berusaha untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang berpotensi dapat diobati terkait dengan kondisi
tersebut.

Jatuh
Cedera peringkat kesembilan sebagai penyebab kematian untuk orang tua. Dan jatuh
adalah penyebab utama cedera pada orang tua. Antara 35% dan 40% dari orang tua yang
tinggal di komunitas dan 60% dari penghuni panti jatuh setiap tahunnya, dan sekitar
setengah dari jumlah total jatuh beberapa kali. Insiden jatuh meningkat dengan
meningkatnya usia.
Penyebab jatuh adalah multifaktorial. Faktor ekstrinsik seperti perubahan lingkungan
atau pencahayaan yang buruk dan faktor intrinsik seperti penyakit fisik, perubahan
neurologis, atau gangguan sensorik, kesulitan mobilitas, efek obat, masalah kaki atau
sepatu yang tidak aman, hipotensi postural, dan masalah penglihatan. Polifarmasi, intera
ksi obat, dan penggunaan endapan alkohol jatuh dengan menyebabkan rasa kantuk,
penurunan koordinasi, dan hipotensi postural. Jatuh memiliki bahaya fisik serta
konsekuensi psikologis dan sosial yang serius.
Perawat dapat mendorong orang lanjut usia dan keluarga mereka untuk membuat
perubahan gaya hidup dan lingkungan untuk mencegah jatuh. pencahayaan yang mema
dai dengan meminimalkan silau dengan pencahayaan yang tidak langsung, tirai untuk
meredakan sinar matahari langsung, permukaan lantai dan dinding yang kusam lebih
baik daripada mengkilap. Warna yang kontras dan tajam dapat digunakan untuk
menandai tepi tangga. Pakaian longgar, tidak menggunakan sepatu tinggi, benda-benda
kecil, dan hewan peliharaan menimbulkan bahaya dan meningkatkan risiko untuk jatuh.

Inkontinensia urin
Inkontinensia urin mungkin akut, terjadi selama sakit, atau dapat berkembang kronis
selama periode tahun. Pasien yang lebih tua sering tidak melaporkan masalah yang
sangat umum ini kecuali jika diminta secara khusus. Penyebab dapat dikaitkan dengan
delirium dan dehidrasi; keterbatasan mobilitas; infeksi dan impaksi; dan
farmasi (obat-obatan) dan poliuria. Setelah diidentifikasi, faktor penyebab dapat
dihilangkan.
Inkontinensia juga mungkin akibat dari gangguan neurologis atau kelainan struktural.
Inkontinensia urin telah dikaitkan dengan depresi dan harga diri rendah sehingga dapat
mengurangi kualitas hidup pasien sehingga menyebabkan pembatasan dalam kegiatan
sosial. Dasar panggul berfungsi sebagai mekanisme pendukung untuk kandung kemih,
rahim, dan rektum. Dasar panggul ini menjadi lemah akibat dari kehamilan, persalinan,
operasi panggul sebelumnya, atau kegiatan yang diperlukan berdiri terlalu lama atau
mengangkat dalam waktu yang lama. Disfungsi dari dasar panggul dapat ditingkatkan
dengan latihan Kegel.
langkah-langkah lain yang membantu mencegah episode inkontinensia termasuk
memiliki akses cepat ke toilet dan memakai pakaian yang bisa dilepas dengan mudah.
Pasien dengan inkontinensia harus didesak untuk mencari bantuan dari penyedia layanan
kesehatan yang tepat karena inkontinensia dapat merusak emosional dan melemahkan
fisik. Meskipun obat-obatan seperti antikolinergik dapat menurunkan beberapa gejala
dorongan inkontinensia (ketidakstabilan detrusor), efek samping dari obat-obat ini (mulut
kering, motilitas gastrointestinal melambat, dan kebingungan) merupakan pilihan yang
tidak pantas untuk orang tua. Berbagai prosedur bedah juga digunakan untuk mengelola
inkontinensia urin, terutama stres inkontinensia urin.
Detrusor hiperaktif dengan gangguan kontraktilitas adalah jenis inkontinensia yang
terlihat dominan pada populasi lanjut usia. Inkontinensia jenis ini, pasien tidak memiliki
peringatan bahwa mereka akan buang air kecil. Staf perawat harus terbiasa dan maklum
dengan bentuk inkontinensia dan tidak harus menunjukkan penolakan. Banyak pasien
dengan demensia menderita inkontinensia, karena inkontinensia dan demensia adalah
disfungsi di daerah yang sama pada otak.

H. Konsep Inkontinensia urin pada lansia


1. Definisi
Inkontinensia urine adalah pengeluaran urine dari kandung kemih yang tidak
terkendali atau terjadi diluar keinginan (Smeltzer & Bare 2002).
Inkontinensia urin adalah pelepasan urin secara tidak terkontrol dalam jumlah
yang cukup banyak, sehingga dapat dianggap sebagai kondisi yang disebabkan
karena usia (Setyono, 2001).
Proses berkemih yang normal adalah suatu proses dinamik yang secara fisiologik
berlangsung dibawah kontrol dan koordinasi sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi
di daerah sacrum. Sensasi pertama ingin berkemih biasanya timbul pada saat volume
kandung kemih mencapai 300 600 ml. Umumnya kandung kemih dapat
menampung urin sampai lebih kurang 500 ml tanpa terjadi kebocoran. Frekuensi
berkemih yang normal adalah tiap 3 jam sekali atau tak lebih dari 8 kali sehari
(Ganong W, 2003).
Pada lansia terjadi proses menua yang berdampak pada perubahan hampir seluruh
organ tubuh termasuk organ berkemih yang menyebabkan lansia mengalami
inkontinensia urin. Perubahan ini diantaranya adalah melemahnya otot dasar panggul
yang menjaga kandung kemih dan pintu saluran kemih, timbulnya kontraksi
abnormal pada kandung kemih yang menimbulkan rangsangan berkemih sebelum
waktunya dan meninggalkan sisa. Pengosongan kandung kemih yang tidak
sempurna menyebabkan urine di dalam kandung kemih yang cukup banyak sehingga
dengan pengisian sedikit saja sudah merangsang untuk berkemih.

2. Penyebab
Inkontinensia urin diklasifikasikan menjadi inkontinensia stress, urgensi,
inkontinensia overflow, inkontinensia fungsional.
a. Inkontinensia stress dimana urin keluar ketika tekanan intrabdominal meningkat
seperti pada saat batuk, bersin, tertawa atau latihan. Ini disebabkan karena
melemahnya otot dasar panggul. Inkontinesia urin tipe stress dapat dibedakan
dalam 4 jenis yaitu:
Tipe 0 :pasien mengeluh kebocoran urin tetapi tidak dapat dibuktikan
melalui pemeriksaan
Tipe 1 : IU terjadi pada pemeriksaan dengan manuver stress dan adanya
sedikit penurunan uretra pada leher vesika urinaria
Tipe 2 : IU terjadi pada pemeriksaan dengan penurunan uretra pada leher
vesika urinaria 2 cm atau lebih
Tipe 3 : uretra terbuka dan area leher kandung kemih tanpa kontraksi
kandung kemih. Leher uretra dapat menjadi fibrotik (riwayat trauma atau
bedah sebelumnya) dengan gangguan neurologic atau keduanya. Tipe ini
disebut juga defisiensi sfingter intrinsik
b. Inkontinensia urgensi merupakan akibat ketidakmampuan untuk berkemih
begitu sensasi untuk berkemih muncul. Ini bisa diakibatkan karena aktifitas otot
kemih meningkat dan adanya masalah neurologik.
c. Inkontinensia overflow, pada keadaan ini urin mengalir keluar akibat isinya yang
sudah terlalu banyak di dalam kandung kemih, umumnya akibat otot detrusor
kandung kemih yang lemah. Biasanya hal ini dijumpai pada gangguan saraf
akibat penyakit diabetes, cedera pada sumsum tulang belakang, atau saluran
kencing yang tersumbat. Gejalanya berupa rasa tidak puas setelah kencing
(merasa urin masih tersisa di dalam kandung kemih), urin yang keluar sedikit
dan pancarannya lemah. Inkontinensia tipe overflow ini paling banyak terjadi
pada pria dan jarang terjadi pada wanita.
d. Inkontinensia fungsional yang merupakan inkontinensia tanpa gangguan pada
sistem saluran kemih akibat dari dimensia berat, gangguan muskuloskeletal,
imobilisasi dan lingkungan yang tidak mendukung (Catherine, 1995).
Faktor psikologis seperti stress juga dapat menyebabkan terjadinya peningkatan
pengeluaran urin sebagai efek dari noreepinefrin, yang mana noreefinefrin
merupakan hormon yang mempengaruhi kontraksi otot polos yang bekerjanya
berlawanan dengan asetilkolin. Lingkungan juga dapat mempengaruhi terjadinya
inkontinensia urin diantaranya pengaruh cuaca atau iklim terutama pada cuaca
dingin dan karena letak toilet yang jauh sehingga sebelum mencapai tempatnya
sudah tidak dapat menahan air kemih (Setiati, 2001).
Inkontinensia urin dapat terjadi karena adanya faktor-faktor yang mengiringi
perubahan pada organ tubuh antara lain infeksi saluran kemih, obat-obatan,
imobilisasi, dan kepikunan (Farryal, 2000). Hipertropi prostat juga dapat
mengakibatkan banyaknya sisa air kemih di kandung kemih sebagai akibat
pengosongan yang tidak sempurna (Setiati, 2000). Penyebab lain dikenal dengan
akronim DIAPERS:
D : adalah kependekan dari delirium yang menunjukkan kegagalan kendali
kandung kemih
I : adalah infeksi dan inflamasi yang dapat memicu disuria dan aktivitas
kandung kemih yang berlebihan.
A : adalah kependekan dari atrophic vaginitis yang dapat menyebabkan status
anatomi yang memicu IU.
P : adalah kependekan dari farmakologi dan psikologi. Beberapa obat seperti
hipnotik, diuretik, antikolinergik dan penyekat alfa(alpha blocker) dapat
menyebabkan perubahan yang memicu IU.
E : mengandung arti produksi urin yang berlebihan (excessive urin production).
R : adalah restriksi mobilitas yang memicu akses toilet yang terbatas, sedangkan
S : adalah staol impaction atau impaksi tinja yang dapat memicu urgensi atau
overflow incontinenca

3. Faktor resiko
a. Kehamilan: partus per, episiotomy
b. Menopause
c. Operasi genitourinari
d. Kelemahan otot panggul akibat uretra tidak kuat karena trauma atau sfingter
relaksasi
e. Imobilitas
f. Dampak latihan yang berat
g. Diabetes mellitus
h. Stroke
i. Perubahan terkait usia pada saluran kemih
j. Morbid obesitas
k. Gangguan kognitif: demensia, penyakit Parkinson
l. Obat-obatan: diuretik, sedatif, hipnotik, opioid
m. Caregiver atau toilet tidak tersedia
4. Manifestasi Klinis

5. Patofisiologi
Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan fisiologi
juga dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan. Pada tingkat
yang paling dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang berpusat di pusat
berkemih di sacrum. Jalur aferen membawa informasi mengenai volume kandung
kemih di medula spinalis.
Pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara relaksasi kandung kemih
melalui penghambatan kerja saraf parasimpatis dan kontraksi leher kandung kemih
yang dipersarafi oleh saraf simpatis serta saraf somatik yang mempersarafi otot
dasar panggul (Ganong, 2003).
Pengosongan kandung kemih melalui persarafan kolinergik parasimpatis yang
menyebabkan kontraksi kandung kemih sedangkan efek simpatis kandung kemih
berkurang. Jika kortek serebri menekan pusat penghambatan, akan merangsang
timbulnya berkemih. Hilangnya penghambatan pusat kortikal ini dapat disebabkan
karena usia sehingga lansia sering mengalami inkontinensia urin. Karena dengan
kerusakan dapat mengganggu koordinasi antara kontraksi kandung kemih dan
relaksasi uretra yang mana gangguan kontraksi kandung kemih akan menimbulkan
inkontinensia (Setiati, 2001).

6. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis Inkontinensia urin bertujuan untuk :
a. Menentukan kemungkinan Inkontinensia urin tersebut reversibel.
b. Menentukan kondisi yang memerlukan uji diagnostik khusus
c. Menentukan jenis penanganan operatif, obat, dan perilaku
Menurut Setiati dan Pramantara (2007) diagnosis Inkontinensia urin dilakukan
lewat observasi langsung serta mengajukan pertanyaan penapis. Pertanyaan penapis
diagnosis Inkontinensia urin ini berisi riwayat obstreti dan ginekologi, gejala dan
keluhan utama gangguan berkemih serta riwayat penyakit. Sandvix Severity Index
(SSI) dan The Three Incontinence Questions (3IQ) merupakan salah satu contoh
alat ukur yang berisi pertanyaan penapis diagnosis Inkontinensia urin.
Derajat/ tingkatan inkontinensia urin dapat diketahui dengan menggunakan
skala SSI sedangkan tipe Inkontinensia urin dapat diketahui dengan menggunakan
3IQ. Alat ukur 3IQ ini terdiri dari tiga pertanyaan dengan pilihan jawaban dimana
dari masing-masing pilihan jawaban tersebut merupakan petunjuk dari gejala (
symptom ) tipe Inkontinensia urin yang terjadi. SSI terdiri dari dua pertanyaan
dimana hasil penilaian sehubungan dengan Inkontinensia urin yang terjadi
didapatkan dengan mengalikan skor jawaban pertanyaan pertama dengan skor
pertanyaan kedua.
Hasil pengelompokkannya adalah sebagai berikut :
a. Skor 1-2 : Slight incontinence
b. Skor 3-5 : moderate incontinence
c. Skor 6-8 : severe incontinence
( Brown et al, 2006 )
Dari pemeriksaan dengan menggunakan kuesioner diagnosis Inkontinesia urin
idealnya kita sudah dapat menentukan jenis dan tingkat Inkontinensia urin yang
terjadi. Sedangkan untuk mencapai tujuan diagnosis yang lebih komprehensif
pemeriksaan Inkontinensia urin dapat dilakukan lewat beberapa aspek seperti:
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik terarah, urinalisis, volume residu, urin pasca
berkemih dan pemeriksaan penunjang khusus (Setiati dan Pramantara, 2007;
Sandvix et al, 1995).
Menurut Martin dan Frey (2005) tahapan diagnostik Inkontinensia urin
meliputi:
a. Anamnesis yang teliti dan pemeriksaan fisik yang seksama. Hal-hal yang perlu
ditanyakan dalam anamnesis antara lain pola berkemih (voiding), frekuensi dan
volume urin, riwayat medis.
b. Pemeriksaan fisik meliputi perkembangan psikomotor, inspeksi daerah genital
dan punggung.
c. Pemeriksaan penunjang baik laboratorik maupun pencitraan, urinalisis, biakan
urin dan pemeriksaan kimia darah.

7. Penatalaksanaan
Tala Laksana Konseratif:
Secara farmakologis yaitu menggunakan obat-obatan untuk merelaksasikan kandung
kemih. Ini biasanya dilakukan bila terapi non farmakologis tidak dapat
menyelesaikan masalah inkontinensia urin (Setiati, 2001).
a. Edukasi
intervensi gaya hidup berupa mengurangi asupan kafein & modifikasi asupan
cairan yang tinggi atau rendah dapat dianjurkan pada perempuan dengan IU.
Perempuan dengan indeks massa tubuh lebih dari 30 disarankan menjalani
progam penurunan berat badan (NICE, 2008).
b. Terapi fisik dengan pelatihan otot dasar panggul.
Penatalaksanaan pada inkontinensia urin secara non farmakologis bisa
dilakukan dengan latihan otot dasar panggul atau latihan Kegel, agar otot dasar
panggul menjadi lebih kuat dan uretra dapat tertutup dengan baik (Setiati,
2001).
c. Latihan kandung kemih dan kebiasaan latihan ulang
Latihan ini bertujuan untk meningkatkan interval antara pengisian kandung
kemih dan pengosongan kandung kemih secara bertahap. Dengan memanfaat
jadwal berkemih saat terjaga (tidak waktu tidur) dan teknik-teknik relaksasi
untuk menekan sensasi urgensi antara waktu buang air kecil. Hal ini efektif pada
mereka dengan kognitif yang baik (alexander, et al. 2015).
d. Terapi medikametosa
Setidaknya ada empat antimuskarinik yaitu oksibutinin, tolterodin, frospium dan
proviperin yang cukup efektif dalam menekan aktivitas detrusor berlebihan
yang memicu urgensi dan inkontinensi urgensi. Obat tersebut menekan
kontraksi detrusor volunter dan involunter dengan memblok reseptor muskarinik
pada otot polos kandung kemih cukup efektif untuk pasien lanjut usia pasca
transurethral resection prostat.

Tata laksana Bedah


Pada perempuan yang IU-nya tidak dapat ditata laksana secara konservatif
akibat aktivitas detrusor yang berlebihan, stimulasi saraf sakralis perlu
dipertimbangkan dengan dasar respons terhadap evaluasi saraf kutaneus. Pada kasus
itu perlu dilakukan tindak lanjut jangka panjang. Prosedur retrapubic mid-urethral
tape dengan pendekatan bottom-up dengan mesh macroporous polypropylene juga
dianjurkan bila tata laksana konservatif IU stres mengalami kegagalan (NICE,
2008).
Pada pasien dengan lanjut usia, pertimbangan usia perlu sangat diperhatikan
oleh dokter bedah dan ahli anastesi. Namun penting untuk tidak mengurangi
pengelolaan yang memang harus dilakukan atas dasar usia dan fisiologi usia yang
merupakan konsep umum dalam operasi modern pada populasi tua. Kelemahan
menjadi hal yang dapat diprediksi setelah pembedahan (Alexander, et al. 2015).
Latihan Kegel
Latihan Kegel adalah latihan yang didesain oleh Arnold Kegel untuk
memperkuat otot-otot pubococcygeus, otot seksual, uterus, dan rectum (Mackenzier,
1995). Penuaan menyebabkan penurunan kekuatan otot diantaranya otot dasar
panggul. Otot dasar panggul berfungsi menjaga stabilitas organ panggul secara aktif,
berkontraksi mengencangkan dan mengendorkan organ genital, serta mengendalikan
dan mengontrol defekasi dan berkemih (Pudjiastuti & Utomo, 1997).
Latihan Kegel merupakan suatu upaya untuk mencegah timbulnya
inkontinensia urin. Mekanisme kontraksi dan meningkatnya tonus otot dapat terjadi
karena adanya rangsangan sebagai dampak dari latihan. Otot dapat dipandang
sebagai suatu motor yang bekerja dengan jalan mengubah energi kimia menjadi
tenaga mekanik berupa kontraksi dan pergerakan untuk menggerakkan serat otot
yang terletak pada interaksi aktin dan miosin. Proses interaksi tersebut diaktifkan
oleh ion kalsium dan adenotrifosfat (ATP), yang kemudian dipecah menjadi
adenodifosfat (ADP) untuk memberikan energi bagi kontraksi otot destrusor (Asikin
N, 1984).
Rangsangan melalui neuromuskuler akan meningkatkan rangsangan pada saraf
otot polos untuk memproduksi asetilkolin dimana asetilkolin akan meningkatkan
permeabilitas membran otot sehingga mengakibatkan kontraksi otot. Energi yang
lebih banyak diperoleh dari proses metabolisme dalam mitokondria untuk
menghasilkan ATP yang digunakan otot polos pada kandung kemih sebagai energi
untuk kontraksi dan akhirnya dapat meningkatkan tonus otot polos kandung kemih
(Guyton, 1995).
Cara latihan Kegel adalah dengan melakukan kontraksi pada otot
pubococcygeus dan menahan kontraksi tersebut dalam hitungan 10 detik, kemudian
kontraksi dilepaskan. Pada tahap awal bisa dimulai dengan menahan kontraksi
selama 3 hingga 5 detik. Dengan melakukan secara bertahap otot ini akan semakin
kuat, latihan ini diulang 10 kali setelah itu mencoba berkemih dan menghentikan
urin ditengah (Johnson, 2002).

I. Manajemen Keperawatan
Manajemen keperawatan didasarkan pada kesimpulan bahwa inkontinensia tidak
dapat dihindari dengan adanya penyakit atau penuaan dan sering reversibel dan dapat
diobati. Intervensi keperawatan ditentukan sebagian oleh jenis pengobatan yang
dilakukan. Untuk terapi perilaku efektif, perawat harus memberikan dukungan dan
dorongan, karena pasien akan mudah untuk merasa berkecil hati jika terapi tidak cepat
memperbaiki tingkat kontinensia. mengajarkan pasien hal-hal yang penting dan harus
disediakan secara lisan dan tertulis. Pasien harus diajarkan untuk mengembangkan dan
menggunakan buku harian untuk merekam waktu latihan otot dasar panggul, frekuensi
berkemih, setiap perubahan fungsi kandung kemih, dan setiap episode inkontinensia
(Miller, 2009 dalam Brunner & Suddarth, 2010).
Jika pengobatan farmakologis digunakan, tujuan intervensi keperawatan adalah
menjelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai pengobatan. Hal ini penting untuk
memberitahu pasien dengan inkontinensia campuran bahwa agen antikolinergik dan
antispasmodic dapat membantu mengurangi urgensi kemih dan frekuensi serta
inkontinensia tetapi tidak mengurangi inkontinensia jenis inkontinensia stres (Brunner &
Suddarth, 2010).
Jika koreksi bedah dilakukan, prosedur dan hasil yang diinginkan dijelaskan kepada
pasien dan keluarga. Kontak dengan pasien memungkinkan perawat untuk menjawab
pertanyaan pasien dan untuk memberikan penguatan dan dorongan (Brunner & Suddarth,
2010).

Strategi untuk meningkatkan kontinensia Urin


Edukasi pasien
Meningkatkan kesadaran mengenai jumlah dan waktu asupan cairan
Hindari diuretik setelah pukul empat malam
Hindari agen yang dapat mengiritasi kandung kemih, seperti kafein, alkohol, dan
aspartame (NutraSweet)
Mengambil langkah-langkah untuk menghindari sembelit: Minum cairan yang
memadai, makan yang seimbang, diet tinggi serat, berolahraga secara teratur, dan
mengkonsumsi pelunak tinja jika direkomendasikan
Buang air kecil secara teratur, lima sampai delapan kali sehari (setiap 2 sampai 3
jam) yaitu: Pertama di pagi hari
Sebelum setiap makan
Sebelum tidur
Pada malam hari
Lakukan latihan otot dasar panggul seperti yang ditentukan, setiap hari
Berhenti merokok (perokok biasanya sering batuk, yang meningkatkan
inkontinensia).
DAFTAR PUSTAKA

Alexander, Leanne et, al. 2015. Management of Urinary Incontinence in Frail Elderly
Women. Obstetrics, Gynaecology and Reproductive Medicine. Elsevier.

Azizah, Lilik Ma rifatul, (2011). Keperawatan LanjutUsia. Edisi 1. Yogyakarta: Graha Ilmu

Brown J.J., Bradley, C.S., Subak, L.L., Richter, H.E., Kraus, S.R. The Sensitivity and
Specificity of a Simple Test to Distinguish Between Urge and Stress Urinary
Incontinence. 2006. 144 : 715-23.

Brunner & Suddarth. 2010. Textbook of medical-surgical nursing. 12th ed. / Suzanne C.
Smeltzer ... [et al.]. Lippincott Williams & Wilkins.

Ganong, William F, 2003. Fisiologi Saraf & Sel Otot. Dalam H. M. Djauhari
Widjajakusumah: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 20. Jakarta: EGC.

Guyton and Hall. (2007). Buku Ajar Fisiologi Kedoteran. Jakarta: EGC.

Martin P.F. dan Frey R. J. 2005. Urinary Incontinence. http://www.healthline.com. Diakses


pada tanggal 18 Juni 2016.

National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE). Urinary Incontinence: the
managernent of urinary incontinence in woman. Diunduh dari URL:
http://www.nice.ors.uk..Pada tanggal 18 Juni 2016.

Potter, P.A, Perry, A.G.Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan
Praktik.Edisi 4.Volume 2. Alih Bahasa: Renata Komalasari,dkk.Jakarta:EGC.

Purnomo B, Basuki (2008). Dasar-dasar Urologi. Ed kedua. Jakarta: Sagung Seto

Setiati S., Kuntjoro H., Aryo G.R. 2007. Proses Menua dan Implikasi Kliniknya. Dalam : Aru
W. Sudoyo, Bambang S., Idrus Alwi, Marcellus S.K., Siti setiati. Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. Edisi IV. Jakarta : FK UI. pp: 1335-39.

Setiati S. dan Pramantara I.D.P. 2007. Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih Hiperaktif.
Dalam : Aru W. Sudoyo, Bambang S., Idrus Alwi, Marcellus S.K., Siti setiati. Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. Edisi IV. Jakarta : FK UI. pp: 1392-95.
2005

Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh Agung Waluyo...(dkk),
EGC, Jakarta.

Stanley, M. & Beare, P.G. 2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta: EGC.

Watson, Roger.2003. Perawatan Pada Lanjut Usia. Jakarta: EGC


PEMENUHAN KEBUTUHAN PASIEN USIA LANJUT DENGAN
MENGGUNAKAN PROSES KEPERAWATAN SEBAGAI KERANGKA
KERJA

INCONTINENCE URINARY

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Ajar


Keperawatan Medikal Bedah lanjut 2

Dosen Pembimbing :

Nunung Febrianty Sitepu, S.Kep., NS. MNS

DISUSUN OLEH:

Rofina Sari Jefrianda


157046008

PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allh SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Keperawatan Medikal Bedah Lanjut 2
dengan judul Pemenuhan Kebutuhan Pasien Usia Lanjut dengan Menggunakan Proses
Keperawatan Sebagai Kerangka Kerja Incontinence Urinary.
Kami mengucapkan terima kasih kepada pembimbing mata kuliah Keperawatan
Medikal Bedah Lanjut 2 program pasca sarjana Keperawatan Universitas Sumatera Utara, ibu
Nunung Febrianty Sitepu, S.Kep., NS. MNS yang telah memberikan bimbingan dan arahan
bagi kami dalam menyusun makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, untuk itu kami
menerima kritik dan saran yang konstruktif dari berbagai pihak demi kesempurnaan makalah
ini. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.

Medan, 18 Juni 2016

Penulis

Anda mungkin juga menyukai