PENDAHULUAN
Secara garis besar anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi umum dan
anestesi regional. Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa nyeri yang reversible
akibat pemberian obat-obatan, serta menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral .
Perbedaan dengan anestesi regional adalah anestesi pada sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri
tanpa kehilangan kesadaran.
Anestesi regional terbagi atas anestesi spinal (anestesi blok subaraknoid), anestesi
epidural dan blok perifer. Anestesi spinal dan anestesi epidural telah digunakan secara luas di
bidang ortopedi, obstetri dan ginekologi, operasi anggota tubuh bagian bawah dan operasi
abdomen bagian bawah.
1
Kelebihan pemakaian anestesi spinal, diantaranya biaya minimal, kepuasan pasien,
tidak ada efek pada pernafasan, jalan nafas pasien terjaga, dapat dilakukan pada pasien
diabetes mellitus, perdarahan minimal, aliran darah splancnic meningkat, terdapat tonus
visceral, jarang terjadi gangguan koagulasi. Sedangkan kekurangan pemakaian anestesi spinal
akan menimbulkan hipotensi, hanya dapat digunakan pada operasi dengan durasi tidak lebih
dari dua jam, bila tidak aseptik akan menimbulkan infeksi dalam ruang subarachnoid dan
meningitis, serta kemungkinan terjadi postural headache.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
kombinasi teknik anestesia umum dengan analgesia regional untuk
mencapai trias anestesia secara optimal dan berimbang.
5
2.4. Anestesi Umum
2.4.1. Definisi
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri sentral disertai hilangnya
kesadaran yang bersifat reversibel. Dengan anestesi umum akan diperoleh trias
anestesia, yaitu: 5,6,7,8
- Hipnotik (tidur)
- Analgesia (bebas dari nyeri)
- Relaksasi otot (mengurangi ketegangan tonus otot)
Hanya eter yang memiliki trias anestesia. Karena anestesi modern saat ini
menggunakan obat-obat selain eter, maka anestesi diperoleh dengan
menggabungkan berbagai macam obat. 5,6,7,8
6
Saat induksi, konsentrasi zat anestetika dalam darah arterial lebih besar
daripada darah vena. Faktor yang mempengaruhinya adalah:
Perubahan tekanan parsial zat anestetika yang jenuh dalam alveolus dan
darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestetika diserap jaringan dan
sebagian kembali melalui vena.
Koefisien partisi darah/gas yaitu rasio konsentrasi zat anestetika dalam
darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan
seimbang.
Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung.
- Faktor Jaringan
Perbedaan tekanan parsial obat anestetika antara darah arteri dan jaringan.
Koefisien partisi jaringan/darah
Aliran darah dalam masing-masing 4 kelompok jaringan (jaringan kaya
pembuluh darah/JKPD, kelompok intermediate, lemak, dan jaringan
sedikit pembuluh darah/JSPD)
- Faktor Zat Anestetika
Potensi dari berbagai macam obat anestetika ditentukan oleh MAC
(Minimal Alveolus Concentration), yaitu konsentrasi terendah zat
anestetika dalam udara alveolus yang mampu mencegah terjadinya
tanggapan (respon) terhadap rangsang rasa sakit. Semakin rendah nilai
MAC, semakin poten zat anestetika tersebut.
- Faktor Lain
Ventilasi, semakin besar ventilasi, semakin cepat pendalaman anestesi.
Curah jantung, semakin tinggi curah jantung, semakin lambat induksi dan
pendalaman anestesia.
Suhu, semakin turun suhu, semakin larut zat anestesia sehingga
pendalaman anestesia semakin cepat.
8
- Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, dalam
hal ini dipakai klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiology)
sebagai gambaran prognosis pasien secara umum.
a. Persiapan Pasien5,6,7,8
- Anamnesis
Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau
melalui keluarga pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat
mengadakan pendekatan psikologis serta berkenalan dengan pasien.
Yang harus diperhatikan pada anamnesis:
- Identifikasi pasien, missal: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll.
- Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin
dapat menjadi penyulit dalam anestesi, antara lain: penyakit alergi,
diabetes mellitus, penyakit paru-paru kronik (asma bronchial,
pneumonia, bronchitis), penyakit jantung dan hipertensi (infark
miokard, angina pectoris, dekompensasi kordis), penyakit hati, dan
penyakit ginjal.
- Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin
menimbulkan interaksi dengan obat-obat anestetik. Misalnya
kortikosteroid, obat antihipertensi, obat-obat antidiabetik,
antibiotika golongan aminoglikosida, obat penyakit jantung seperti
digitalis, diuretika, obat anti alergi, tranquilizer, monoamino
oxidase inhibitor, bronkodilator.
- Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang
lalu, berapa kali, dan selang waktunya. Apakah pasien mengalami
komplikasi saat itu seperti kesulitan pulih sadar, perawatan intensif
pasca bedah.
- Kebisaaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi
jalannya anestesi seperti: merokok dan alkohol.
- Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi,
tindakan buka mulut, lidah relative besar sangat penting untuk
diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi.
Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu
9
tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi
semua sistem organ tubuh pasien.
- Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan
yang mengharuskan uji laboratorium secara rutin walaupun pada
pasien sehat untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil
(Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis.
Pada usia pasien di atas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan
foto toraks. Praktek-praktek semacam ini harus dikaji ulang mengingat
biaya yang harus dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji semacam
ini.
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium, selanjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik
anestesi yang akan digunakan. Misalnya pada diabetes mellitus,
induksi tidak menggunakan ketamin yang dapat menimbulkan
hiperglikemia. Pada penyakit paru kronik, mungkin operasi lebih baik
dilakukan dengan teknik analgesia regional daripada anestesi umum
mengingat kemungkinan komplikasi paru pasca bedah. Dengan
perencanaan anestesi yang tepat, kemungkinan terjadinya komplikasi
sewaktu pembedahan dan pasca bedah dapat dihindari.
- Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan
risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk
meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk
operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral
(puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia. Pada pasien
10
dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4
jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi
anestesia. Minuman bening, air putih, the manis sampai 3 jam dan
untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1
jam sebelum induksi anestesia.
- Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesia
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari
anestesia diantaranya :
* Meredakan kecemasan dan ketakutan
* Memperlancar induksi anestesia
* Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
* Meminimalkan jumlah obat anestetik
* Mengurangi mual muntah pasca bedah
* Menciptakan amnesia
* Mengurangi isi cairan lambung
* Mengurangi refleks yang membahayakan
11
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada situasi
yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat
membangun kepercayaan dan menenteramkan pasien. Obat pereda
kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam
sebelum induksi anestesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya, dapat
diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular. 5,6,7,8
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis
asam. Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis
reseptor H2 histamin misalnya oral simetidin 600 mg atau oral ranitidin
150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi. 5,6,7,8
12
Berfungsi untuk mengetahui tekanan gas pasok. Kalau tekanan gas
O2 berkurang, maka akan ada bunyi tanda bahaya (alarm)
- Katup penurun tekanan gas (pressure reducing valve)
Berfungsi untuk menurunkan tekanan gas pasok yang masih tinggi,
sesuai karakteristik mesin anestesi.
- Meter aliran gas (flowmeter)
Untuk mengatur aliran gas setiap menitnya.
- Satu atau lebih penguap cairan anestetik (vaporizers)
Dapat tersedia satu, dua, tiga, sampai empat.
- Lubang keluar campuran gas (common gas outlet)
- Kendali O2 darurat (oxygen flush control)
Berfungsi untuk keadaan darurat yang dapat mengalirkan O2 murni
sampai 35-37 liter/menit tanpa melalui meter aliran gas.
Tabung gas beserta alat tambahannya dan penguap diberi warna khusus
untuk menghindari kecelakaan yang mungkin timbul. Kode warna
internasional yang telah disepakati ialah:
- Sirkuit anestesi
Sirkuit anestesi atau sistem penghantar gas atau sistem anestesi ialah
alat yang bukan saja menghantarkan gas atau uap anestetik dan oksigen
dari mesin ke jalan napas atas pasien, tetapi juga harus sanggup
membuang CO2 dengan mendorongnya dengan aliran gas segar atau
dengan menghisapnya dengan kapur soda.
Sirkuit anestesi umumnya terdiri dari:
- Sungkup muka, sungkup laring, atau pipa trakea
- Katup ekspirasi dengan per atau pegas (expiratory loaded spring
valve, pop-off valve, APL, adjustable pressure limiting valve)
- Pipa ombak, pipa cadang (corrugated tube, reservoir tube)
Bahan karet hitam (karbon) atau plastic transparent anti static, anti
tertekuk
- Kantong cadang (reservoir bag)
- Tempat masuk campuran gas anestetik dan O2 (fresh gas inlet).
13
Untuk mencegah terjadinya barotraumas akibat naiknya tekanan
gas yang mendadak tinggi, katup membatasi tekanan sampai 50 cm
H2O.
- Sungkup Muka
Pemakaian sungkup muka berguna untuk menyalurkan oksigen atau
gas anestesi ke pasien. Terdapat beberapa jenis sungkup. Dengan
sungkup trasparan berguna untuk obervasi kelembapan udara yang
diekshalasi dan mengetahui jika pasien muntah. Sungkup karet hitam
dapat digunakan untuk mengadaptasi struktur muka yang tidak bisaa.
Ventilasi efektif memerlukan baik sungkup yang kedap udara dan jalan
nafas yang baik. Teknik sungkup muka yang salah dapat berakibat
deflasi yang berkelanjutan pada reservoir bag saat katup tekanan
ditutup, bisaanya mengindikasikan adanya kebocoran di sekitar
sungkup. Sebaliknya pembentukan tekanan pernapasan yang tinggi
dengan gerakan dada minimal dan suara pernafasan menandakan
obstruksi jalan nafas. 5,6,7,8
Sungkup dipegang melawan muka dengan tekanan ke bawah pada
badan sungkup dilakukan dengan jempol kiri dan jari telunjuk. Jari
tengah dan manis memegang mandibula untuk membantu ekstensi
sendi atlantooksipital. Jari kelingking diletakkan di bawah sudut
rahang dan digunakan untuk menahan dagu ke depan, maneuver paling
penting untuk ventilasi pasien. 5,6,7,8
14
- Sungkup laring (Laringeal mask airway = LMA)
LMA digunakan untuk menggantikan sungkup muka atau ETT saat
pemberian anestesi, untuk membantu ventilasi dan jalur untuk ETT
pada pasien dengan jalan nafas sulit dan membantu ventilasi saat
bronkoskopi. Pemakaian LMA memerlukan anestesi lebih kuat
dibandingkan dengan insersi jalan nafas oral. Kontraindikasi LMA
pada pasien dengan patologi faring seperti abses, obstruksi faring,
perut penuh seperti hamil atau komplians paru rensah seperti penyaki
jalan nafas restriktif.
15
- Teknik anestesi dengan pipa endotrakea dan nafas kendali
Nafas dikendalikan secara manual atau dengan respirator. Bila
menggunakan respirator setiap inspirasi (volume tidal) diusahakan
10ml/kgBB dengan frekuensi 10/14 per menit. Apabila nafas dikendalikan
secara manual harus diperhatikan pergerakan dada kanan kiri yang
simetris.
- Ekstubasi
Mengangkat keluar pipa endotrakea harus mulus dan tidak disertai batuk
dan kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas, hipoksia
sianosis. Ekstubasi dapat dilakukan dengan menunggu pasien sampai sadar
betul atau menunggu sewaktu pasien masih dalam keadaan anestesi yang
agak dalam. Dengan cara terakhir dihindarkan reaksi spasme kejang otot
perut, dada dan jalan nafas.
16
didapatkan pada daerah fraktur radius 1/3 distal dan pada pergelangan
tangan. Cedera ini harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan radiologi.
b. Pemeriksaan Radiologis
Dengan pemeriksaan rontgen diagnosis dapat ditegakkan. Foto radiologi
lengan bawah posisi anteroposterior (AP) dan lateral diperlukan untuk
menegakkan diagnosis. Foto radiologi ekstremitas kontralateral bisa
diambil untuk perbandingan.
17
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
Keluhan utama:
Lengan bawah tangan sebelah kiri terasa nyeri dan bengkak.
18
Riwayat Alergi:
Riwayat alergi makanan dan obat-obatan disangkal oleh pasien.
Tanda-tanda vital :
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 82 x/m
Respirasi : 20 x/m
Suhu badan : 36.50C
Kepala : Mata : Conjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-
Hidung : Deformitas (-)
Telinga : Deformitas (-)
Mulut : Deformitas (-), mallampati I
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thoraks : Paru : Suara napas vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada,
Jantung : Bunyi jantung I-II reguler, gallop tidak ada, murmur tidak ada
Abdomen : Cembung, supel, bising usus (+), hepar dan lien tidak teraba membesar
Ekstremitas : Akral hangat, edema ada dilengan kiri bagian bawah
Status Lokalis
Regio Antebrachii Sinistra
Inspeksi : Tampak terbungkus verban, rembesan (-), udem (+), deformitas (+)
Feel : Nyeri (+)
Move : Gerak aktif terbatas
19
Darah Lengkap 19 Mei 2016
Hemoglobin 15,7 g/dl
Leukosit 5.220/mm3
Trombosit 241.000/mm3
CT 830
BT 230
PS. ASA : I
Hari/Tanggal : 25/05/2016
Ahli Anestesiologi : dr. A. Sp.An
Ahli Bedah : dr. F
Diagnosa Pra Bedah : Neglected Galeazzi Fracture Sinistra
Diagnosa Pasca Bedah : Neglected Galeazzi Fracture Sinistra
21
Gambar. Diagram Observasi Tekanan Darah dan Nadi
Balance Cairan
Waktu Input Output
Pre operasi RL : 1000 cc IWL : 650 cc
Urin : 100 cc
Durante operasi RL : 500 cc Urin : 200 cc
Gelofussion : 500 cc Perdarahan : 200 cc
Total 2000 cc 1150 cc
b. Durante Operative
1. Kebutuhan
22
Urin 200 cc, perdarahan 200 cc, IWL 650 cc
- Dehidrasi ringan : 3-5% x BB = 195 325 cc
- Pemeliharaan (operasi sedang) = 6 cc/kgBB/jam = 390 cc/jam
- EBV = 70 x kgBB (65 kg) 4550 cc
- EBL = 10% x EBV = 455 cc
- Replacement : EBV = 2-4 x EBL = 910 1820 cc
2. Aktual Cairan yang diberikan: RL 500 cc + Gelofussion 500 cc = 1000 cc
Sudah mengganti jumlah yang hilang selama operasi
c. Post Operative
1. Kebutuhan:
Maintenance:
- Cairan : 40 -50 cc/kgBB/hari = 2600 -3250 cc/hari
- Natrium : 2-4 mEq/kgBB/hari = 130 - 260 mEg/hari
- Kalium : 1-3 mEq/kgBB/hari = 65 - 195 mEq/hari
- Kalori : 25 mg/kgBB/hari = 1625 kkal/hari
2. Actual cairan yang diberikan: RL 1500 cc/hari
23
B5: Abdomen datar, BU (+), supel, NT (-)
B6 : edema (-), fraktur (+) 1/3 distal tibia et
fibula sinistra, tterbalut verban, rembesan
(-), nyeri (+), gerak aktif terbatas
24
BAB IV
PEMBAHASAN
Seorang pasien, laki-laki usia 34 tahun pada kasus diatas akan dilakukan tindakan
pemasangan internal fiksasi dengan General Anestesi. Berdasarkan pemeriksaan preoperative,
pasien tergolong pada PS ASA I sesuai dengan klasifikasi penilaian status fisik menurut The
American Society of Anesthesiologist. Pasien dengan PS ASA I adalah pasien yang tidak
memiliki gangguan organic, biokimia, dan psikiatrik. Ini disimpulkan karena dari
pemeriksaan preoperative diketahui bahwa pasien dalam keadaan stabil dan tidak didapatkan
adanya gangguan sistemik yang dapat mengganggu proses operasi dan anestesi.
Pada pasien ini kemudian dilakukan tindakan pemasangan K_WIRE dibawah anestesi
umum dengan mengunakan inhalasi isofluran 2%. Anestesi umum/general anestesi dipilih
dengan pertimbangan kemungkinan tindakan pembedahan yang akan berlangsung lama dan
pembedahan pada pasien ini tidak dapat menggunakan anestesi local karena tidak praktis dan
ditakutkan hasil anestesi yang diharapkan tidak akan memuaskan. Selain itu General Anastesi
pada pembedahan memiliki beberapa keuntungan yaitu pasien menjadi tidak sadar sehingga
mencegah kesakitan selama prosedur medis berlangsung, efek amnesia meniadakan memori
buruk pasien yang didapat akibat ansietas dan berbagai kejadian intraoperative yang mungkin
memberikan trauma psikologis, serta memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan
waktu yang lama.
Untuk tatalaksana anestesi pada kasus ini, digunakan anestesi umum dengan inhalasi
dan intravena. Untuk anestesi inhalasi digunakan Isofluran 2%. Isofluran merupakan salah
satu halogenasi eter yang sering digunakan. Obat ini bekerja menekan pernapasan dan kurang
mempunyai pengaruh menekan jantung, dan tidak mencetuskan disritmia. Obat ini juga
hanya dimetabolisme sebanyak 0,2%, sehingga tidak menimbulkan toksisitas yang bermakna
pada hepar atau ginjal. Setelah induksi, obat anestesi intravena juga diberikan untuk rumatan
anestesi diantaranya fentanil dan propofol (recofol). Rumatan anestesi ini mengacu pada trias
anestesi yaitu tidur ringan (hypnosis), analgesia cukup, dan diusahakan selama pembedahan
pasien tidak mengalami nyeri dan diharapkan relaksasi otot lurik yang cukup. Fentanil
sebagai opioid diberikan dengan harapan akan menyebabkan pasien tidur dengan analgesia
yang cukup dan pemberian Propofol pada pasien ini diberikan untuk memberikan efek
sedative dengan cepat.
Selain penentuan pemilihan anestesi pada pasien ini, juga dipertimbangkan mengenai
terapi cairan selama masa perioperative. Terapi cairan sendiri adalah tindakan untuk
25
memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batas-batas fisiologis dengan cairan infus
krsitaloid atau koloid secara intravena.
Dengan mempertimbangkan hal diatas dan berdasarkan perhitungan kebutuhan caoran
preoperative untuk maintenance dan sekaligus untuk mengganti deficit selama puasa 10 jam
dibutuhkan 1080 1350 cc/10 jam, maka dapat dilakukan terapi cairan untuk resusitassi
dengan cairan Ringer Laktat 1000 1500 cc sebelum pembedahan sehingga pemberian cairan
pre operatif berupa cairan RL 1000 cc cepat dan tepat.
Operasi pemasangan K_WIRE pada pasien dijalani selama 2 jam 20 menit dengan
total perdarahan 200 cc. perkiraan volume darah pada pasien (Estimaed Blood Volume/EBV)
adalah 70 cc x 65 kg yaitu 4550 cc, sehinngga jumlah kehilangan darah (Estimated Blood
Loss/EBL) sekitar 10% dari EBV = 10% x 4550 cc yaitu 455 cc. Jika dijumlahkan dengan
jumlah urin yang keluar selama operasi sebesar 200 cc dan IWL pasien 650 cc, maka
pemberian actual cairan yang diberikan pada pasien selama durante operasi berupa cairan
kristaloid RL 500 cc dan Gelofussion 500 cc dapat dikatakan sudah cukup untuk
menggantikan kehilangan cairan pada pasien selama proses operasi.
Setelah operasi, pasien diobservasi diruang pemulihan dan dipindahkan ke ruang
perawatan ortopedi. Aktualnya pasien sudah diperbolehkan makan sedikit-sedikit 6 jam post
operasi, sehingga kebutuhan cairan dan kalori dapat terpenuhi bukan hanya dari cairan infus
tetapi juga melalui konsumsi per oral. Kebutuhan cairan pasien ini adalah 2600-3250 cc/hari
dengan kebutuhan Natrium 130 - 260 mEg/hari, Kalium 65 - 195 mEq/hari, dan Kalori 1625
kkal/hari. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa stress pembedahan menyebabkan pelepasan
Aldosteron dan ADH sehingga terjadi kecenderungan tubuh untuk menahan air dan Natrium.
Penggunaan cairan intravena diharapkan dapat menunjang pemenuhan kebutuhan cairan dan
kalori disamping melalui intake oral. Actual cairan yang diberikan pada pasien berupa Ringer
Laktat 1500 cc/hari. Ringer Laktat yang diberikan pada pasien ini mengandung 130 mEq
Natrium sehingga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan Natrium, karena tidak terdapatnya
cadangan Natrium dalam tubuh. Walaupun pemberian cairan intravena ini diberikan untuk
memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit pasien, namun tetap saja harus didukung dengan
intake oral yang cukup untuk memenuhi kebutuhan kalori perhari.
26
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serat pemeriksaan penunjang didapatkan
diagnosis neglected fracture Galeazzi sinistra yang direncanakan dilakukan tindakan
pemasangan K_WIRE dengan general anestesi.
Pemilihan anestesi ini sudah sesuai indikasi, yaitu untuk pembedahan yang
diperkirakan kemungkinan akan memakan waktu yang lama.
Pasien diklasifikasikan ke dalam PS ASA I karena pada pasien ini berdasarkan
pemeriksaan preoperative dalam keadaan stabil dan tidak ditemukan gangguan
organic, fisiologis, biokimia, dan psikiatrik.
Resusitasi dan terapi cairan perioperative kurang lebih telah memenuhi kebutuhan
cairan perioperative pada pasien ini, terbukti dengan stabilnya hemodinamik durante
dan post operative.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Schiwatch, Shires, Spencer. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Edisi ke-6. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran; 2000.
2. Reksoprodjo S. Buku Kumpulan Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit Binarupa Aksara; 2010.
3. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran;
2004.
4. Anonim. BAB I PENDAHULUAN. [serial online] 2010. [Diunduh 09 Oktober 2014].
Tersedia dari: URL: http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/147/jtptunimus-gdl-lutfilkhak-
7335-1-babi.pdf
5. Anestesi [Internet]. 2015. Available from: http://id.wikipedia.org/wiki/Anestesi
6. dr. Mangku Gede, Sp.An.KIC., dr. Senapathi T.G.A. Sp.An., Buku Ajar Ilmu Anestesi dan
Reanimasi. Jakarta. PT Indeks. 2010.
7. Latief Said, Suryadi Kartini, Dachlan Ruswan. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi
Kedua. Jakarta. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2010.
8. Muhiman Muhardi, Thaib Roesli, Sunatrio, Dachlan Ruswan. Anestesiologi. Jakarta.
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2004
9. Pradana A, Usyinara. Kapita Selekta kedokteran. Jakarta: Aesculapius; 2009
10. Rasjad C. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: PT. Yarsif Watampone; 2007.
11. Solomon L, Apley AG. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Edisi Ke-7.
Jakarta: Widya Medika; 1995.
28