Anda di halaman 1dari 9

J.

KELAINAN DAN PENYAKIT KELENJAR LUDAH

1. Kelainan kelenjar ludah akibat gangguan pertumbuhan dan perkembangan


Suatu kelainan kelenjar ludah yang disebabkan karena gangguan perkembangan bisa
berupa agenesis, malformasi dan aberrasi
Agenesis total dari kelenjar ludah mayor jarang terjadi, biasanya disertai dengan
kelainan fasial yang lain. Agenesis salah satu kelenjar ludah meski jarang tetapi jika terjadi
biasanya berhubungan dengan mandibulofacial dysostosis atau facial hemiatrophy. Tidak
adanya duktus parotis kongenital juga pernah dilaporkan. Agenesis total akan
menyebabkan xerostomia, pasien akan mengeluhkan bahwa ia hanya bisa makan makanan
yang berair saja dan terdapat karies yang luas.
Hypoplasia kelenjar parotis sering dijumpai pada sindroma MelkerssonRosenthal,
merupakan malformasi genetik atau karena perubahan atrofi pada syaraf.
Kelenjar ludah dapat berkembang di tempat yang tidak biasanya, kedaan ini disebut
aberrasi, biasanya pada daerah retromolar atau parabukal, atau pada leher, artikulatio
temporomandibular, dan telinga tengah.
Duktus tambahan (accessory salivary ducts ) biasa terjadi pada duktus parotis,
letaknya dapat di atas atau di bawah duktus Stensen's.
Diverticuli adalah kantung atau saccus yang berasal dari penonjolan dinding duktus,
yang menyebabkan tertimbunnya saliva dan menyebabkan sialeditis kambuhan

2. Obstruksi kelenjar ludah


Sialolithiasis adalah formasi struktur terkalsifikasi yang berkembang di dalam kelenjar
atau sistem duktus yang berasal dari nidus berupa debris dalam lumen duktus yang
kemudian terdiposisi kalsium. Debris termasuk mucus, bakteri, sel epitel duktus atau benda
asing. Penyebab sialolithisis tidak jelas, tetapi formasi ini dihubungkan dengan sialadenitis
khronis dan obstruksi parsial. Keadaan ini tak ada hubungannya dengan metabolisme
kalsium dan fosfor sistemik.
Gambaran klinis dan radiografis
Sialolithiasis lebih sering terjadi pada sistem duktus gld. Submandibularis, pada gld.
Parotis jarang terjadi. Sialolith dapat juga terjadi pada kelenjar ludah minor, pada bibir atas
atau mukosa bukal. Sialolith dapat terjadi pada semua usia, tetapi lebih sering terjadi pada
orang dewasa muda atau usia pertengahan.
Sialolith pada glandula mayor menyebabkan rasa sakit yang episodik, pembesaran
glandula terjadi terutama pada waktu makan. Keparahan simptom bervariasi, tergantung

Universitas Gadjah Mada 1


pada derajat sumbatan dan tekanan dari produksi glandula. Jika batu terletak pada terminal
duktus maka masa yang keras akan teraba di bawah mukosa pada palpasi.
Sialolith merupakan masa radiopak pada pemeriksaan radiografi. Batu multipel pada
parotis sering mirip dengan gambaran limfonodi parotis yang terkalsifikasi pada penyakit
tuberkulosis.
Sialografi, ultrasonografi dan computed tomografi ( CT ), scanning dapat membantu
diagnosis.
Sialolith pada glandula salivarius minor sering asimptomatis tetapi dapat juga
menyebabkan pembesaran setempat atau rasa sakit pada glandula yang bersangkutan,
sedikit bisa terdeteksi dengan radiografi jaringan lunak.

3. Mucocele
Mucocele merupakan istilah klinis yang dipergunakan untuk pembesaran (swelling)
pada mukosa oral yang disebabkan karena akumulasi saliva pada tempat duktus kelenjar
ludah minor yang mengalami obstruksi atau terkena trauma. Mucocele diklasifikasikan
sebagai tipe ekstravasasi dan tipe retensi yaitu mucus extravasation phenomenon dan
mucus retention cyst, dan ranula
a. Mucus Extravasation Phenomenon ( Mucus Escape Reaction )
Mucus extravasation phenomenon ( MEP ) merupakan lesi yang sering dijumpai pada
mucosa oral sebagai akibat dari rupturnya duct-us glandula salivarius dan tercurahnya mucin
ke jaringan lunak disekitarnya. Tercurahnya mucin ini biasanya sebagai akibat dari adanya
trauma, meskipun pada beberapa kasus tidak ditemukan riwayat trauma. Tidak seperti kista
duktus salivarius, MEP ini bukan suatu true cyst karena tidak dilapisi oleh epitel.
Perangai klinis:
Ciri khas MEP nampak sebagai pembesaraan mucosa berbentuk kubah dengan
ukuran berkisar antara 1 atau 2 cm bahkan sampai beberapa cm. Biasanya terjadi pada
anak-anak atau dewasa muda. Meskipun begitu MEP dilaporkan dapat juga terjadi pada
semua usia termasuk bayi dan orang lanjut usia. Penampakan pembesaran mukosa yang
translusen berwarna kebiruan. Lesi biasanya berfluktuasi tetapi beberapa MEP pada palpasi
terasa firm . Durasi keberadaan lesi bervariasi dari beberapa hari sampai beberapa tahun..
Beberapa pasien mempunyai riwayat pembesaran mukosa kambuhan yang secara periodik
ruptur dan mengeluarkan cairan.
Lokasi yang sering terjadi adalah pada bibir bawah , meliputi 60% dari semua kasus.
MEP biasanya terjadi pada sebeleh lateral dari medianline. Jarang terjadi pada mukosa
bukal, ventral lidah sebelah anterior dan pada dasar mulut ( ranula ). MEP jarang sekali
terjadi pada bibir atas. Ini kontradiksi dengan tumor kelenjar ludah yang serting terjadi pada
bibir atas tetapi jarang dijumpai pada bibir bawah.

Universitas Gadjah Mada 2


MEP juga dapat terjadi pada daerah palatum mole dan retromolare, MEP pada daerah
ini merupakan MEP yang superfisial. MEP superfisial berpenampilan klinis seperti vesikel
dengan ukuran diameter 1 mm sampai 4 mm, dapat tunggal atau multipel. Lesi ini sering
pecah meninggalkan ulkus dangkal dan sakit yang akan sembuh dalam beberapa hari.
Episode ini sering berulang pada lokasi yang sama. Pada beberapa pasien munculnya lesi
berhubungan dengan waktu makan. Gambaran vesikel terjadi karena mucin tercurah pada
daerah yang lebih superfisial yaitu antara epitel danja ringan ikat. Keadaan ini sering
menyebabkan kesalahan diagnosis sebagai penyakit vesikulobulosa.
Gambaran histopatologis
MEP pada pemeriksaan mikroskopis terlihat sebagai, area curahan mucin yang
dikelilingi oleh jaringan granulasi dan sel inflamasi berupa makrofag , pada beberapa kasus
terlihat adanya duktus salivarius yang ruptur. Pada kelenjar ludah yang berdekatan sering
dijumpai infiltrat sel-sel inflamasi khronis dengan duktus mengalami dilatasi

b. Ranula
Ranula adalah istilah yang digunakan untuk mucocele yang terjadi pada dasar mulut.
Nama ini berasal dari bahasa latin rana yang berarti katak, karena penampilan lesi ini seperti
katak.. Meski sumber mucin yang tercurah biasanya dari gld. sublingualis, ranula juga bisa
berasal dari duktus gld. submandibularis juga bisa terjadi. dari glandula salivarius minor pada
dasar mulut.
Perangai klinis
Ranula merupaka pembesaran berbentuk kubah berwarna kebiruan dengan fluktuasi
pada dasar mulut. Lesi yang lebih dalam penampakan warnanya normal.
Ranula berlokasi pada lateral dari median line, ini membedakannya dari kista dermoid
yang terletak pada median line. Plunging ranula atau cervical ranula terjadi jika mucin yang
tercurah mengalir sepanjang m. mylohyoideus dan mengakibatkan pembesaran pada leher.
Gambaran histopatologis
Gambaran mikroskopis ranula sama dengan mucocele di tempat lain, yaitu terlihat
mucin dikelilingi jaringan granulasi yang merupakan respon jaringan yang khas mengandung
foamy histiocyt.

c. Salivary duct cyst ( Mucus retention cyst; mucus duct cyst; sialocyst )
Salivary duct cyst (SDC) merupakan ruangan yang dibatasi oleh epitel yang berasal
dari jaringan glandula salivarius. Ini merupaka suatu true cyst karena dibatasi oleh epitel.
Penyebab yang pasti tidak jelas.
Perangai klinis

Universitas Gadjah Mada 3


SDC biasa terjadi pada orang dewasa, dapat melibatkan kelenjar ludah minor maupun
mayor, yang paling sering adalah gld. Parotis, yang terlihat sebagai pembesaran yang
lambat, asimptomatik. Intra oral kista dapat terjadi pada gld minor, lebih sering terjadi pada
dasar mulut, mukosa bukal dan bibir. Klinis menyerupai MEP yaitu pembesaran lunak
berwarna kebiruan berfluktuasi, tergantung kedalaman kista, beberapa kista pada palpasi
teraba kenyal.
Pada beberapa lesi sering berupa nodul, terasa sakit, dan muara duktus pada
permukaan mukosa terlihat dilatasi dan terdapat mukus atau pus pada tempat tersebut.
Gambaran histopatologis
Dinding kista duktus salivarius bervariasi, berupa cuboid, kolumner atau epitel
squamous atrofik yang mengelilingi sekresi mukoid di dalam lumen. Jika proliferasi ini cukup
ekstensif maka lesi ini sering didiagnosis sebagai papillary cyst adenoma, meski bukan suatu
true neoplasma.

4. Kondisi sistemik yang melibatkan kelenjar ludah


Beberapa penyakit sistemik bermanifestasi berupa disfungsi kelenjar ludah. Contoh
yang paling menonjol adalah sindroma Sjogren's, Xerostomia yaitu gejala mulut kering yang
berhubungan dengan kondisi sistemik. Pada beberapa kasus tidak jelas apakah penyakitnya
yang menyebabkan disfungsi glandula ataukah pengobatannya.

5. Kelainan kelenjar ludah karena faktor imun


a. Benign lymphoepithelial lesion (Mikulicz's disease, Myoepithelial sialadenitis)
Etiologi dari benign lymphoepithelial lesion tidak jelas. Mungkin berhubungan dengan
faktor autoimun, virus atu genetik yang merupakan triger. Kondisi iniikebanyakan terjadi
pada wanita usia pertengahan.
Pasien mengalami pembengkakan unilateral atau bilateral dari glandula salivarius yang
disebabkan karena infiltrasi benign lymphoid. Turunnya aliran saliva menyebabkan pasien
peka terhadap infeksi glandula saliva.
Diagnosis banding termasuk sindroma Sjogren's, limfoma, sarkoidosis, dan penyakit
lainnya yang berhubungan dengan pembesaran kelenjar ludah.
b. Sjogren's syndrome ( primer atau sekunder )
Sindroma Sjogren's ( SS ) merupakan penyakit autoimun khronis dengan simptom
karakteristik kekeringan mata, infiltrasi limfositik dan destruksi glandula eksokrin. Adanya

Universitas Gadjah Mada 4


xerostomia dan xeropthalmia disebut sebagai sindroma sicca. Efek pada mata berupa
keratoconjunctivitis sicca. Etiologi SS tidak jelas dan tidak bisa diobati. Glandula saliva dan
lakrimal pertama terlibat , kemudian jaringan eksokrin lainnya termasuk tiroid, paru-paru dan
ginjal juga terlibat. Pasien dengan SS juga menunjukkan gejala arthralgia, myalgia, neuropati
dan rash.
SS terutama melibatkan wanita postmenopause( rasio wanita-pria adalah 9:1 ) dan
diklasifikasikan sebagai primer dan sekunder. Pada pasien dengan SS sekunder terjadi
disfungsi glandula saliva dan/atau lakrimal yang disertai dengan penyakit jaringan ikat yang
lain. SS primer merupakan kelainan sistemik yang melibatkan kedua glandula baik glandula
saliva maupun lakrimal tanpa kondisi autoimun yang lain.
Perangai klinis
Pasien dengan SS menderita komplikasi oral sebagai akibat menurunnya fungsi saliva
. Pasien megeluh adanya kekeringan mulut. Kekeringan ini akan menyebabkan kesulitan
pengunyahan, penelanan, dan berbicara tanpa tambahan cairan. Bibir pasien terlihat kering
dan pecah-pecah serta terjadi anguler cheilitis. Intra oral mukosa pucat, kering , kumpulan
saliva hanya sedikit, saliva tampak kental dan ropy ( seperti tali ). Infeksi kandida
mucocutaneous sering terjadi, mukosa oral memerah jika ada infeksi sekunder dari kandida.
Penurunan aliran saliva menyebabkan kenaikan karies gigi terutama karies servikal, dan
erosi struktur email.
Untuk konfirmasi penurunan sekresi air mata dapat dilakukan tes Schirmer's, Pasien
SS 1/3 sampai 1/2 dapat mengalami pembesaran glandula saliva yang khronis. Pembesaran
biasanya bilateral, tidak sakit atau sedikit sakit, dan dapat intermetent atau persistent.
Mereka juga peka terhadap infeksi glandula dan/atau obstruksi glandula dapat sebagai akut
eksaserbasi dari pembesaran glandula yang khronis.
Pemeriksaan laboratorium
Pasien dengan SS, ESR( erythrocyt sedimentation rate ) tinggi dan level imunoglobulin
terutama Ig G naik. RF ( Rheumatoid Factor) positif pada 75% kasus. ANA juga ada pada
kebanyakan penderita. Dua macam nuclear antibodies, anti-SS-A ( anti-Ro) dan anti-SS-B
(anti-La) sering dijumpai, terutama pada pasien dengan SS primer. Kadang-kadang
autoantibodies pada duktus salivarius juga bisa dijumpai, terutama pada SS sekunder.
Gambaran histopatologis:
Gambaran mikroskopis dasar pada SS adalah infiltrasi lymphocytic pada glandula
saliva dengan destruksi pada bagian acinar. Pada glandula mayor yang membesar
pemeriksaan mikroskopis sering terlihat progresi ke lesi lymphoepithelial, dengan
karakteristik pulau epimyoepithelial dengan Tatar belakang stroma lymphoid. Infiltrasi
lymphocytic pada glandula minor juga dapat terjadi meskipun pulau epimyoepithelial jarang
ditemui.

Universitas Gadjah Mada 5


Biopsi pada glandula minor pada bibir bawah merupakan tes yang cukup berhasil
untuk menegakkan SS.

6. Kondisi granulomatous yang melibatkan kelenjar ludah


a. Tuberculosis
Tuberculosis ( TB) adalah infeksi khronis karena bakteri Mycobacterium Tuberculosis,
yang menyebabkan formasi granuloma pada jaringan yang terinfeksi. Biasanya menyerang
paru-paru tetapi glandula saliva dapat juga terlibat. Pasien dengan TB akan menunjukkan
gejala xerostomia dan/atau pembengkakan kelenjar ludah, dengan formasi granuloma atau
kista pada glandula.
Diagnosis tergantung pada identifikasi dari mycobacterium . Perawatan dengan obat-
obatan standard kehemoterapi anti-TB.Jika tak ada respon maka diperlukan intervensi
bedah.
b. Sarcoidosis
Sarcoidosis merupakan suatu kondisi khronis dimana T limfosit, mononuclear
phagocytes dan granuloma menybabkan destruksi jaringan yang terlibat. Penyebab
penyakit tidak jelas. Primer terjadi pada usia dekade ketiga atau keempat. Lebih banyak
pada wanita dibanding pria. Sindroma Heerfordt's (uveoparotid fever) merupakan bentuk
sarcoid yang dapat terjadi dengan atau tanpa sistemik sarcoidosis. Sindrome berupa trias
dari inflamasi traktus uveal meta, pembesaran parotis dan facial palsy.
Sarcoidosis melibatkan glandula saliva dalam 1 dari 20 kasus. Biasanya terjadi
pembesaran glandula bilateral tanpa rasa sakit. Pembesaran unilateral juga pernah
dilaporkan. Penurunan fungsi biasanya terjadi pada glandula yang bersangkutan.
Pemeriksaan spesimen biopsi pada glandula saliva minor dapat mengkonfirmasi diagnosis.
Pemeriksaan laboratorium kimia dari serum meliputi calciun level, autoimmune serologi dan
konsentrasi angiotensin I-coverting enzym dapat membantu diagnosis.
Perawatan dari komponen salivary adalah palliative. Biasanya dengan kortikosteroid
atau chloroquine atau kombinasi keduanya tergantung respon pads pasien.

7. Peradangan kelenjar ludah karena infeksi, alergi dan yang lain


a. Infeksi virus
Mumps (Epidemic Parotitis)
Etilogi:
Mumps disebabkan oleh RNA Paramyxovirus ditularkan melalui kontak
langsung dengan percikan saliva.
Perangai klinis:

Universitas Gadjah Mada 6


Biasanya mumps terjadi pada anak-anak usia antara 4 dan 6 tahun. Diagnosis mumps
pada orang dewasa lebih sulit. Masa inkubasi antara 2 sampai 3 minggu; kemudian diikuti
dengan inflamasi dan pembengkakan glandula, rasa sakit pada preauricular, demam,
malaise, sakit kepala dan myalgia. Sebagian besar menyerang glandula parotis, tapi 10%
kasus melibatkan gld. submandibular saja. Pembengkakan glandula terjadi tiba-tiba dan
terasa sakit pada palpasi, kulit yang menutupi glandula edematous. Duktus glandula
inflamasi tanpa cairan purulen. Jika terjadi obstruksi duktus parsial maka akan terasa sakit
pada waktu makan. Jarak antara pembengkakan glandula pada satu sisi dengan sisi yang
lain berkisar antara 24 sampai 48 jam. Pembengkakan bilateral terjadi sampai 7 hari.
Diagnosis ditegakkan dari adanya antibodi terhadap antigen mumps S danV serta
antigen hemagglutinasi. Level serum amilase naik.
Komlikasi mumps adalah meningitis, encephalitis, ketulian, thyroiditis, myocarditis,
pancreatitis, dan oophoritis. Pada pria dapat terjadi epididimitis dan orchitis yang
mengakibatkan testis atrofi dan dikemudian hari menyebabkan kemandulan.
Perawatan simptomatis. Yang penting adalah pencegahan dengan vaksinasi.
Infeksi Cytomegalovirus
Etilogi:
Human CMV merupakan beta herpesvirus yang hanya menginfeksi manusia. CMV
dapat tetap laten setelah paparan pertama dan infeksi. Reaktivasi dapat terjadi, pada orang
sehat tidak menimbulkan gejala, tetapi pada orang dengan kondisi immuno compromised
dapat membahayakan jiwa.
Transmisi melalui muntahan, urine, sekresi respiratory, dan ASI serta trans plasental
yang menyebabkan infeksi kongenital dan malformasi. Pada bayi dan anakanak dapat
berakibat fatal.

Perangai klinis:
CMV mononukleosis biasanya terjadi pada dewasa muda disertai demam akut dengan
pembesaran glandula. Diagnosis ditetapkan berdasar pada kenaikan titer antibodi terhadap
CMV, prognosis pada orang dewasa sehat adalah baik. Infeksi pada anak-anak dapat
berakibat fatal, jika anak tersebut dapat bertahan hidup maka dapat terjadi kerusakan syaraf
yang permanen yang menyebabkan keterbelakangan mental dan seizure disorders.
Infeksi pada orang dewasa dapat terjadi karena reaktivasi virus laten atau karena
infeksi primer. Sistem immun yang kurang baik memberi kesempatan pada virus untuk
replikasi dan menyebabkan infeksi. Pasien yang menggunakan obat imunosupressive dan
pasien dengan kelainan hematologik atau infeksi HIV akan peka terhadap infeksi CMV yang
berat.
b. Bacterial sialadenitis

Universitas Gadjah Mada 7


Etiologi:
Infeksi bakteri pada glandula saliva sering dijumpai yang disertai dengan penurunan
fungsi glandula. Kondisi ini sering disebut sebagai "surgical parotitis", karena pasien pada
pasca bedah menunjukkan gejala pembesaran glandula disebabkan karena infeksi
bakteri.Sebagian besar infeksi bakteri glandula terjadi pada pasien dengan penyakit atau
obat-obatan yang menyebabkan hipofungsi glandula.
Populasi geriatrik peka terhadap bacterial sialadenitis, biasanya disebabkan kerap
digunakannya kombinasi obat-obatan yang menyebabkan xerostomia dan oral higiene yang
jelek.
Meski sialolith sering terjadi pada gld. submandibular, bacterial sialadenitis lebih
sering terjadi pada gld. parotis.
Perangai klinis:
Kejadiannya biasanya tiba-tiba terjadi pembesaran glandula dapat bilateral atau
unilateral. Kira-kira 20% kasus terjadi bilateral. Glandula yang tertlibat sakit, indurasi, dan
lembut pada palpasi, kulit yang menutupi eritematous. Discharge purulent keluar dari muara
duktus, ini merupakan sampel yang harus diperiksa dengan kultur untuk identifikasi bakteri
penyebab.
Bakteri penyebab yang sering adalah koagulase positif, Stafilokokus aureus,
Streptokokus viridans, Streptokokus pneumoniae, Escherichia coli dan Hemophilus
influenzae.
c. Allergic sialadenitis
Pembesaran glandula saliva berhubungan dengan paparan bermacam-macam agen
pharmaceutical dan alergen. Karakteristik gambaran reaksi alergik adalah pembesaran
glandula akut kadang disertai rasa gatal pada glandula. Alergik sialadenitis akan sembuh
sendiri. Pasien dijauhkan dari alergen keseimbangan cairan dijaga dan monitoring adanya
infeksi sekunder.

8. Lesi reaktif kelenjar ludah akibat radiasi


a. Efek sinar radiasi-eksternal
Sinar radiasi eksternal merupakan perawatan standard untuk tumor kepala dan leher,
dan glandula saliva sering termasuk dalam area radiasi. Dosis lebih besar atau sama
dengan 50 Gy akan berakibat kerusakan permanen pada glandula dengan gejala
kekeringan oral. Mekanisme yang pasti belum jelas.
Perangai klinis:
Radioterapi biasanya dilakukan dengan dosis terbagi. Efek akut pada fungsi kelenjar
ludah dirasakan pada minggu pertama pada dosis 2 Gy perhari dan pasien mengeluh
tentang perubahan suara atau kekeringan rongga mulut pada akhir minggu kedua. Jika

Universitas Gadjah Mada 8


disfungsi ini jadi permanen, maka pasien beresiko tinggi mengalami komplikasi oral. Pada
dosis > 50 Gy disfungsi gld. saliva parah dan permanen. Kesulitan berbicara, menelan dan
kenaikan karies gigi merupakan keluhan pasien yang akan mempengaruhu kehidupannya.
Saliva sangat sedikit dan menjadi kental dan ropy.
b. Efek terapi radiasi internal
Desseminated thyroid cancer (DTC) biasanya dirawat dengan pengambilan gld.
thyroid yang kenudian diikuti dengan pemberian radioaktif iodine 131 ( 1311 Radioaktif tidak
hanya diserap oleh jaringan thyroid saja akan tetapi juga diserap oleh oncocyt di dalam
kelenjar ludah. Radioaktif iodine dapat menyebabkan kerusakan yang permanen dan
fibrosis yang berakibat hypofungsi kelenjar ludah . Mandel dkk., melaporkan perubahan
komposisi saliva sesudah terapi 13 1. Kerusakan glandula saliva berkaitan erat dengan
dosis yang diberikan.
Perangai klinis:
Pasien DTC yang diterapi dengan 1311 dapat terjadi xerostomia dan penurunan fungsi
glandula saliva . Meskipun begitu terapi 131 I kurang kaustik jika dibandingkan dengan terapi
radiasi eksternal dan juga kurang destruktif pada glandula saliva. Perawatan:
Pasien yang menjalani terapi 131 I dianjurkan untuk mengulum lemon drops atau
permen karet untuk menstimulasi saliva. Ini akan membantu pembersihan iodine radioaktif
dari glandula saliva sehingga kerusakan bisa berkurang.

Universitas Gadjah Mada 9

Anda mungkin juga menyukai