Kasus Wiwing
Kasus Wiwing
PENDAHULUAN
BAB II
ILUSTRASI KASUS
Seorang pria 36 tahun datang dengan keluhan demam sejak dua minggu SMRS. Pasien
mengeluh adanya keluhan demam yang dirasakan terus-menerus, turun dengan pemberian
obat, namun kemudian naik lagi. Pasien juga mengeluh adanya keluhan batuk, namun dahak
1
sulit dikeluarkan. Pasien juga mengeluhkan adanya keluhan sesak nafas yang tidak
dipengaruhi oleh aktivitas maupun posisi.
Pasien memutuskan untuk berobat ke rumah sakit Bekasi dan dinyatakan mengalami
infeksi paru Tuberkulosis, pasien diberikan obat anti tuberkulosis (OAT). Pasien mengeluh
adanya kulit kemerahan yang dirasakan setelah makan obat TB selama 2 minggu.
Saat masuk ruang perawatan, pasien masih mengeluh demam, dirasakan terus-
menerus, batuk ada dengan dahak yang sulit dikeluarkan, dan sesak nafas. Pasien juga
mengeluhkan adanya mual dan muntah. Sedangkan kulit pasien dirasakan semakin merah dan
mengelupas.
Keluhan pasien berawal dari tiga tahun SMRS, yaitu pada tahun 2014. Pada tahun
2014 pasien mengeluhkan adanya kulit kemerahan yang bersisik, yang tidak nyeri namun
terasa sedikit gatal. Pasien kontrol ke bagian kulit dan kelamin lalu pasien didiagnosis
eritroderma. Pasien diberikan metilprednisolon untuk pengobatan eritroderma.
Tiga bulan SMRS, pasien mulai merasakan kulit lebih merah dan mengelupas. Pasien
dilakukan biopsi kulit dan dinyatakan mengalami Mycosis Fungoides. Selain itu, pasien
sempat mengeluhkan adanya keluhan diare dan mual hebat sehinnga sempat masuk
perawatan RSCM pada bulan Maret 2015. Pasien sempat mendapatkan pengobatan sandimun
2 x 50 mg dan metilprednisolon 1x 60 mg IV selama perawatan ini. Selain itu, pada
pemeriksaan laboratorium dijumpai peningkatan kadar IgE pada bulan Maret 2015 dengan
hasil 60,995. Pasien memiliki riwayat asma, khususnya timbul jika pasien kelelahan.
Saat masuk ke ruang perawatan pasien masih mengeluhkan adanya kulit kemerahan,
sesak nafas dan demam hilang timbul. Pasien mual dan kesulitan untuk makan. Gangguan
buang air besar dan buang air kecil disangkal pasien. Riwayat perjalanan penyakit pasien
dirangkum pada gambar 1.
2
Oktober 2014
Pasien sempat mengeluh sesak, 16 Maret 2015
Pasien masuk perawatan dengan
demam dan batuk. Kulit masih
keluhan tidak dapat makan sejak satu
kemerahan. Pasien sempat masuk
minggu SMRS. Pasien mengeluh
perawatan dengan diagnosis
adanya diare> 5x/hari, cair, lendir dan
Community Acquired Pneumonia
darah tidak ada. Pasien masuk
dan eritroderma. Kulit pasien tidak
perawatan untuk diare
pernah bebas kemerahan.
3
Saat pemeriksaan fisik didapatkan pasien compos mentis, tampak sakit sedang dengan
bentuk tubuh piknikus. Tanda vital pasien menunjukkan tekanan darah: 120/70 mmHg,
frekuensi nadi: 110 x/menit, reguler, isi cukup, frekuensi nafas: 28x/menit, abdominal dan
suhu: 36.5 C. Konjungtiva tampak pucat dan sklera tidak ikterik.
Pada pemeriksaan jantung tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan fisik paru
dijumpai adanya bunyi nafas vesikular, rhonki basah kasar bilateral dan tidak ditemukan
adanya wheezing. Pada pemeriksaan kulit dijumpai warna kulit kemerahan dengan skuama
mengelupas di sekujur tubuh (gambar 2 dan gambar 3).
4
18 U/L, SGPT 7 U/L, ureum 20,9 mg/dL, kreatinin 0,64 mg/dL, natrium 137 mmol/L, kalium
4.1 mmol/L, klorida 101 mmol/L. Pada pemeriksaan rontgen dijumpai adanya infiltrat pada
kedua apex paru, sudut costofrenikus kiri tumpul, dengan kesimpulan TB paru dengan efusi
pleura kiri.
Pada pemeriksaan EKG dijumpai Sinus takikardia, QRS rate = 120, normoaxis, P
wave normal, PR= 0,16 s, QRS= 0,08 s, QT interval= 0,2 s, ST changes (-), T inverted V1-
V3.
Pada pemeriksaan patologi anatomi: reaksi likenoid yang dapat ditemukan pada
mycosis fungoides. Immunohistokimia: gambaran morfologik dan pola pulasan
imunohistokimia dapat sesuai dengan varian dari mikosis fungoides. Pulasan
imunohistokimia:
CD 20: negatif pada sebagian besar sel
CD 3, CD 8, CD 43: positif pada sebagian besar sel
CD4, CD 30, CD 56 perforin, granzim: negatif pada sebagian besar sel
Ki-67: positif berbercak pada sekitar 40% sel
Bcl-2: positif pada sebagian sel.
Pemberian OAT sementara dihentikan karena kecurigaan adanya alergi OAT. Selama
lima hari perawatan pertama keadaan pasien cenderung stabil. Pasien menyangkal adanya
keluhan sesak nafas, batuk dan demam. Tanda vital pasien stabil. Tidak ditemukan adanya
kelainan pada pemeriksaan fisik jantung dan paru.
Pada perawatan hari ke sepuluh, pasien mulai mengeluhkan sesak nafas. Pada
pemeriksaan fisik terdengar adanya rhonki basah kasar. Hasil kutur sputum menunjukkan
adanya resistensi terhadap levofloxacin. Resistensi antibiotik dari sputum dan darah
ditampilkan pada tabel 1 sampai tabel 3. Foto rontgen paru evaluasi menunjukkan adanya
perburukan infiltrat dan multikavitas (gambar 4). Selain itu, mengacu pada hasil resistensi
antibiotik (tabel 1 dan tabel 2), maka antibiotik dieskalasi menjadi meropenem 3 x 1 gram,
linezolid 2 x 600 mg. Selain itu, diberikan terapi empirik untuk menjangkau infeksi jamur
yaitu mycamin 1 x 100 mg. Keesokan harinya keluhan sesak masih dirasakan pasien,
kesadaran pasien menurun dan saturasi perifer pasien menurun sampai 90
% dengan masker nonrebreathing 12 liter. Dengan adanya keadaan gagal nafas pasien, maka
pasien memerlukan intubasi dan perawatan intensif di high care unit atau intensif care unit.
6
Gambar 4. Gambaran foto thoraks pasien saat hari perawatan ke 12.
Keluarga pasien setuju untuk dilakukan intubasi dan perawatan maksimal. Setelah
dilakukan intubasi Pasien dirawat di ruang rawat intensif (high care unit/ HCU) gedung A
lantai 6. Ringkasan perjalanan perawatan pasien selama di rumah sakit dirangkum pada
gambar 4.
Selama perawatan, dilakukan diskusi kasus sulit pada tanggal 20 Mei 2015 dengan
simpulan sebagai berikut:
Saat ini pasien mengalami acute respiratory distress syndrome
Gambaran paru pasien tidak sesuai dengan gambaran tuberkulosis
Informed consent keluarga pasien untuk mencari ICU luar
Pada mycosis fungoides dapat diberikan metothrexate per oral 100 mg setiap minggu
Lanjutkan antibiotik linezolid.
Selama perawatan di ICU fokus perawatan adalah mengatasi infeksi. Hasil diskusi dengan
bagian hematologi adalah untuk memperbaiki kondisi infeksi pasien, sedangkan untuk
mycosis fungoides belum ada tatalaksana khusus. Saat perawatan di HCU, pasien
mendapatkan terapi sebagai berikut:
Diet per NGT cair 1500 kkal
IVFD:
o NaCl 0,9%/6 jam
o Norepinephrine titrasi dosis 0,02-0,1 mcg/kgBB
Antibiotik
o Meropenem 3 x 1 gram
o Mycafungin 1 x 100 mg
o Linezolid 2 x 600 mg
Inhalasi ventolin/6 jam
7
Carboxymethyl Cellulose Sodium tetes (Cenfresh) 6 x 1 gtt
Methylprednisolon 16mg-16 mg
Fluimucil 3 x 200 mg
Omeprazol 1 x 40 mg
Perawatan kulit: vaselin album-oleum caccos-Biocream-mikonazol
8
Tabel 1. Hasil resistensi antibiotik sputum pasien.
Tanggal 12 Mei 2015
Spesimen Sputum
Sediaan langsung:
Coccus gram (+): banyak
Batang gram (-): sedang
Leukosit: 25-30/lpk
Epitel : 20-30/lpk
Isolate 1: Klebsiela pneumonia
Isolate 2: Staphylococcus aureus (MRSA)
Kerentanan Antibiotik lini 1 Antibiotik lini 2 Antibiotik lini 3
Amikasin R Doripenem R
Oxacillin R Sulbactam/Ampicillin S Cefepim R
Penicillin G 1. Lincomycin R Cefpirom R
Ampicillin I Cephalotin R Vancomycin S
Chloramphenicol I Cefotaxime R Tigecycline I
Cotrimoxazole S Amox+ Clavulanic acid S Teicoplanin I
Gentamicin R Ceftriaxone R Levofloxacin R
Kanamycin R Ceftazidime R Meropenem S
Tetracycline R Cefoperazone R
Ciprofloxacin R Quinolon
Piperacilin/Tazobactam R Moxifloxacin R
Cefoperazone/ Sulbactam R
Pemeriksaan BTA negatif
lain Batang gram negatif sedikit
Jamur sedang
Leukosit : 40-50/lpk
Epitel : 20-25/lpk
10
Tabel 3. Perkembangan pasien selama perawatan
13
BAB III
DISKUSI
Sindrom
Hiperimmunoglobulinemia E
Kerentanan infeksi pada pasien ini, yang disertai adanya micosis fungoides
memunculkan kecurigaan akan HIES. Kecurigaan ini dikonfirmasi dengan pemeriksaan IgE
total dengan nilai yang tinggi (IgTotal: 60995 IU/ml). Dengan hasil peningkatan kadar IgE
total, maka dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami HIES. Pasien ini sudah memenuhi
trias HIES yaitu infeksi kulit dengan etiologi candida yang dikonfirmasi dengan kerokan
kulit, infeksi paru dan peningkatan kadar IgE.
Patofisiologi HIES masih dipelajari sampai saat ini. Terdapat dua jenis mutasi pada
HIES yang sudah ditemukan, yaitu mutasi STAT3 dan mutasi DOCK8 (gambar 6). Mutasi
STAT3, gen yang berperan dalam transduksi signal dan aktivator transkirpsi 3 (STAT3),
14
diduga berperan dalam sebagian besar kasus HIES dan merupakan HIES tipe autosom
dominan. Pasien dengan HIES tipe autosom dominan menunjukkan gejala seperti infeksi
kulit berulang yang umumnya disebabkan oleh staphylococcal, infeksi paru berulang dan
peningkatan konsentrasi immunoglobulin E.4,6 Infeksi paru yang berat umumnya disebabkan
oleh Staphylococcus aureus, termasuk MRSA. Selain itu agen infeksi oportunistik seperti
Pseudomonas aueruginosa dan Aspergillus fumigatus, juga dapat menyebabkan infeksi paru
pada pasien HIES.5
Selain itu, mutasi gen STAT3 dapat menyebabkan gangguan transduksi berbagai
sitokin, seperti Interleukin dan Interferon. Pada pasien HIES juga dijumpai penurunan efek
imunitas humoral yang berfungsi melawan pathogen ekstraseluler seperti mycobacterium dan
fungi. Pada 80% kasus, infeksi jamur juga ditemukan, seperti infeksi kulit dan mukosa oleh
Candida albican. Berbagai gangguan lain pada tipe autosom dominan meliputi wajah yang
kasar, dahi yang lebar, dan hidung yang lebar (gambar 7). Peningkatan insidens gangguan
limfoproliferatif juga ditemukan pada HIES autosom dominan, khususnya limfoma non-
hodgkin dan limfoma hodgkin.4
Pada tahun 2004, dilaporkan sebuah kasus HIES autosom resesif dengan mutasi
DOCK8. Mutasi DOCK8 dapat menyebabkan berbagai gejala klinis yang mirip dengan
mutasi STAT3. Pembentukan pneumatocele, yang umum ditemui pada mutasi STAT3, jarang
ditemukan pada HIES tipe autosom resesif.4 HIES tipe autosom resesif memiliki predisposisi
untuk mengalami infeksi jamur dan infeksi virus pada kulit yang cukup berat. Virus yang
menyebabkan infeksi kulit pada pasien adalah herpes simplex, herpes zoster, molluscum
contagiosum dan human papillomavirus.7
Hyperimmunoglobulin E
Syndrome (HIES)
15
Gambar 7. Gambaran wajah ayah dan anak dengan HIES.
Perhatikan wajah ayah yang khas berupa dahi yang lebar, cekung kelopak mata yang dalam,
jarak antar cuping hidung yang lebar.2
Pasien pada kasus ini mengalami infeksi yang melibatkan paru dan kulit. Dari
pemeriksaan kultur sputum, terdapat beberapa agen penyebab infeksi paru pada pasien ini
seperti Klebsiela pnemumonia, Candida dan MRSA. Pada rontgen thoraks pasien, dijumpai
multikavitas yang juga umum ditemui pada pasien HIES. Pasien HIES dapat menunjukkan
adanya pneumatocoele sebagai akibat dari peradangan yang menyebabkan kerusakan bronkus
terminal dan pelebaran alevoli.
Diagnosis HIES pada pasien ditegakkan karena pasien memiliki kerentanan terhadap
infeksi, gangguan limfoproliferatif pada pasien berupa mycosis fungoides dan peningkatan
kadar IgE yang ditemukan pada pasien. Berdasarkan karakteristik klinis pasien, pasien
memiliki kemiripan dengan karakteristik HIES tipe autosom dominan.
Terdapat beberapa laporan kasus yang melaporkan kasus HIES dengan manifestasi
keganasan limfoproliferatif, seperti limfoma hodgkin dan mycosis fungoides. 8 Pada pasien ini
dijumpai HIES yang disertai gangguan limfoproliferatif berupa mycosis fungoides. Mycosis
fungoides adalah gangguan limfoproliferatif dengan karakteristik dijumpai limfosit T
neoplastik pada kulit. Mycosis fungoides diklasifikasikan sebagai bagian dari limfoma non-
hodgkin. Pasien pada kasus ini datang dengan keluhan kulit kemerahan dengan skuama
diatasnya sejak tiga tahun sebelum masuk rumah sakit. Awalnya sempat didiagnosis sebagai
eritroderma, namun biopsi kulit menunjukkan bahwa pasien menderita mycosis fungoides.9
Mekanisme terjadinya gangguan limfoproliferatif pada pasien HIES masih belum
diketahui secara pasti. Dalam keadaan normal, tubuh manusia memiliki mekanisme untuk
mendeteksi dan menghancurkan sel tumor (gambar 8). Salah satu sel yang terlibat dalam
penghancuran sel kanker adalah sel CD8. Namun pada gangguan imunodefisiensi primer,
seperti HIES, terjadi gangguan kinerja sistem imunitas dalam penghancuran kanker, yang
16
dapat menyebabkan lolosnya sel-sel neoplastik. Layaknya penyakit imunodefisiensi primer
lainnya, terjadinya gangguan limfoproliferatif pada pasien HIES diduga berkaitan dengan
kegagalan sistem imun dalam deteksi dan penghancuran sel kanker. Selain itu berbagai
gangguan imunitas ini juga berperan dalam rentannya penderita HIES untuk mengalami
infeksi berulang (gambar 9).5,10
17
Sel kanker
mempresentasikan onkogen
pada membran sel
(MHC kelas 1)
Makrofag
CD8 merangsang
menghancurkan sel Sel kanker difagosit oleh sel T helper
kanker CD8 mengenal sel makrofag
kanker Interleukin-2
Makrofag
menghasilkan
interferon
Aktivasi Sel
Natural
Gambar 8. Pengawasan sistem imun Killer sel kanker.5,10
terhadap
Sel kanker mempresentasikan onkogen pada MHC kelas 1 yang dikenal oleh CD8. Selain itu, makrofag
dapat memfagosit sel kanker dan menghasilkan interferon yang dapat merangsang CD8 dan sel natural killer.
Sel sitotoksik CD8 dan sel natural killer menghancurkan sel kanker dengan menghasilkan berbagai zat toksik,
seperti perforin. Garis biru: meningkatkan aktivitas, garis merah: menurunkan jumlah/aktivitas.
Sel kanker
mempresentasikan onkogen
pada membran sel
Makrofag
(MHC kelas 1) 2
merangsang
Sel kanker difagosit sel T helper
CD8 mengenal sel oleh makrofag
CD8
kanker Interleukin-2
menghancurkan sel
kanker
1
Kerentanan terhadap 3
Makrofag
infeksi jamur
Gambar dan bakteri
9. Gangguan imunitas HIES dan Aktivasi
pengaruhnya terhadap
Sel Natural kejadian kanker.5,10
Killer
menghasilkan
1. Pada pasien HIES dapat dijumpai penurunan jumlah atau fungsi CD8, hal ini berpengaruh pada
interferon
penurunan kadar interferon. 2. Gangguan fungsi sel T helper dan penurunan interleukin. 3.
Penurunan interleukin menyebabkan penurunan rangsangan sel natural killer. Garis biru:
meningkatkan aktivitas, garis merah: menurunkan jumlah/aktivitas.
Untuk menegakkan diagnosis HIES dibuat sebuah sistem skoring untuk menilai
kemungkinan seorang menderita HIES (tabel 2). Mengacu pada sistem skoring tersebut,
pasien ini memiliki jumlah skor 40 poin, dengan komponen berupa:
Kadar serum IgE yang tinggi (10 poin)
Pneumonia (8 poin)
Kelainan parenkim paru (8 poin)
Karakteristik wajah (mildly present: 2)
Candidiasis (4 poin)
Infeksi serius (4 poin)
Limfoma (4 poin)
Apabila pasien memiliki jumlah skor kurang dari 20 maka kemungkinan diagnosis HIES
kecil, sedangkan skor 20-39 diagnosis HIES memiliki arti diagnosis HIES masih belum dapat
18
disingkirkan, sedangkan jumlah skor diatas 40 maka kemungkinan besar menderita HIES.
Dengan jumlah skor 40, maka pasien kasus ini kemungkinan besar menderita HIES.
Terapi HIES umumnya bersifat suportif dan tergantung jenis infeksi yang terjadi pada
pasien. Belum ada terapi yang disepakati untuk HIES. Beberapa penelitian memaparkan
manfaat cyclosporin A dan plasmapharesis pada pasien HIES. Pemberian Interferon gamma
memperbaiki kemotatktik neutrofil pada penelitian in vitro. Namun, sampai saat ini belum
ada rekomendasi yang jelas terkait penanganan HIES yang pasti.4 Terapi berupa
immunomodulator IVIG masih merupakan sebuah kontroversi. Levamisole, obat cacing yang
diduga menstimulasi limfosit T dan natural killer, ternyata inferior dibandingkan dengan
plasebo.11,12
Prinsip penanganan pasien HIES adalah pencegahan dan penanganan infeksi.
Antibiotik merupakan komponen utama dalam penanganan HIES. Pemberian antibiotik
profilaksis dapat dipertimbangkan dan menurunkan kejadian abses kulit dan pneumonia.
Antibiotik yang diberikan adalah antibiotik yang memiliki aktivitas terhadap bakteri
staphylococcal seperti trimethoprime/sulfamethoxazole, penicillins atau sefalosporin.4
Infeksi kulit dan paru merupakan dua jenis infeksi yang paling umum terjadi. Pilihan
antibiotik untuk infeksi kulit bervariasi, namun pilihannya meliputi trimethropim-
19
sulfamethoxasole, dan vancomisin untuk methicillin resistant Staphylococcus aureus.
Sedangkan, pengobatan infeksi paru disesuaikan dengan jenis pneumonia dan hasil kultur
yang didapatkan.
Terdapat beberapa permasalahan pada pasien ini seperti HAP, invasive fungal
infection dan mycosis fungoides. Permasalahan utama pada pasien ini adalah infeksi
multipatogen, karena itu fokus penanganan awal adalah penanganan infeksi pasien. Sejalan
dengan teori diatas, pasien pada kasus ini juga mendapatkan kombinasi antibiotik. Pada
awalnya, jenis antibiotik yang diberikan pada pasien ini adalah levofloksasin dan
klindamisin. Pemberian antibiotik ini didasarkan adanya kemungkinan alergi obat yang
dialami pasien pada awal perawatan. Namun, seiring perburukan kondisi pasien pada hari
perawatan ke sepuluh dan penyesuaian dengan hasil kultur sputum pasien, maka dilakukan
eskalasi antibiotik menjadi meropenem dan linezolid. Mengacu pada hasil kultur resistensi
sputum yang menunjukkan adanya resistensi terhadap kedua jenis quinolon, maka
ciprofloxacin dan levofloxacin tidak diberikan. Pilihan ini sesuai dengan prinsip pemilihan
antibiotik pada hospital acquired pneumonia (HAP) dengan keterlibatan MRSA (gambar
10).13 Setelah pemberian antibiotik selama 7 hari, keadaan infeksi pasien tidak mengalami
perbaikan, karena itu, dilakukan penggantian antibiotik menjadi piperacilin tazobactam 4x
4,5 gram, amikasin 1 x 1gram, dan linezolid 2x 600 mg.
Tabel 5. Anjuran American Thoracic Society terkait antibiotik pada pasien HAP dengan kecurigaan patogen multiresistan.13
Selain itu, pasien juga dinilai mengalami Invasive Fungal Infection (IFI). Diagnosis
IFI ditegakkan dengan mengacu pada beberapa hal, yaitu pasien adalah individu
immunocompromised, mendapatkan terapi steroid, pada pemeriksaan sputum ditemukan
candida tropicalis, dan pada pemeriksaan radiologis ditemukan kavitas pada paru. Skor
kandida pada pasien adalah 3, dengan rincian sepsis berat (2 poin) dan infeksi kandida
multifokal (1 poin). Setelah pemberian antibiotik selama sepuluh hari, tidak ada perbaikan
klinis yang bermakna. Berdasarkan data tersebut, maka diagnosis IFI ditegakkan dan pasien
20
mendapatkan mycafungin 1 x 100 mg. Pada infeksi candida pilihan antifungal dapat berupa
fluconazole pada pasien stabil. Namun, pada pasien ini mendapatkan antifungal mycafungin,
hal ini disebabkan pasien dalam keadaan sepsis.14
Infeksi paru merupakan penyebab mortalitas utama pasien HIES. Dalam sebuah
laporan kasus, Freeman AF dkk memaparkan berbagai penyebab kematian pasien dengan
HIES. Autopsi dilakukan pada enam pasien HIES yang meninggal untuk mendapatkan data
objektif penyebab kematian pasien. Berdasarkan seri kasus ini, umur pasien saat meninggal
berkisar antara 24 sampai 40 tahun (rerata 29,7 tahun). Infeksi paru adalah penyebab
kematian paling umum. Mikroorganisme penyebab infeksi paru adalah Pseudomonas dan
Aspergillus. Walaupun pemberian antibiotik dinilai sudah ekstensif, tiga pasien dalam seri
kasus ini tidak mengalami perbaikan klinis dan meninggal akibat perburukan infeksi paru.15
Pasien pada kasus ini juga mengalami infeksi yang disebabkan oleh beberapa
organisme yang berbeda, seperti jamur dan bakteri. Pasien sudah mendapatkan kombinasi
antibiotik (meropenem, linezolid dan micafungin) yang disesuaikan dengan hasil kultur
sputum pasien. Namun keadaan pasien tidak membaik dengan pengobatan yang sudah
diberikan dan pasien meninggal setelah 10 hari perawatan di HCU. Terdapat beberapa
pelajaran yang dapat diambil dari perawatan pasien HIES pada kasus ini. Infeksi adalah
penyebab utama mortalitas pasien HIES, karena itu pemberian antibiotik profilaksis agresif
perlu diberikan sedini mungkin. Infeksi jamur juga berperan dalam kematian pasien HIES,
khususnya pasien yang menunjukkan gambaran pneumatocoele pada pemeriksaan radiologis.
Karena itu, pemberian antifungal dini perlu dipertimbangkan pada pasien HIES dengan
pneumatocoele. Ruang perawatan khusus juga perlu menjadi perhatian, pasien tidak dapat
digabungkan dengan pasien dengan infeksi yang dapat menularkan infeksi pada pasien.
Pasien HIES rentan terkena infeksi, sehingga ruang perawatan khusus untuk pasien HIES
diperlukan. Penanganan suportif pasien juga perlu diperhatikan. Gizi pasien, dan kebersihan
kulit merupakan dua komponen utama pada pasien. Pasien memiliki asupan makanan yang
cukup baik selama perawatan di ruang rawat, namun ketika kesadaran pasien menurun dan
masuk ke dalam fase kritis, maka pasien masuk ke dalam fase ebb. Selain nutrisi enteral per
NGT dengan total kalori 750 kkal, pasien juga mendapatkan aminofluid 500cc/24 jam.
Kebersihan kulit juga merupakan komponen penting dalam pencegahan infeksi kulit. Pasien
HIES disarankan untuk mandi menggunakan antiseptik (bleach bath).1
BAB IV
KESIMPULAN
21
Sindrom Hiperimmunoglobulinemia E / Hyperimmunoglobulinemia E Syndrome
(HIES) dapat menyebabkan kerentanan infeksi pada penderitanya. Strategi penanganan HIES
dengan infeksi multipatogen memerlukan deteksi dini, mencari etiologi infeksi dan
pemberian antibiotik yang agresif.
Laporan kasus ini menggambarkan kerumitan penanganan pasien HIES. Pasien HIES
pada kasus ini mengalami infeksi multifokal dan keganasan berupa mycosis fungoides. Selain
itu, dijumpai kelainan struktural paru. Pada foto rontgen dijumpai multikavitas yang dapat
disebabkan oleh infeksi paru berulang, dan merupakan ciri dari pasien HIES.
Terlepas dari pemberian antibiotik yang agresif, kondisi pasien mengalami
perburukan dan akhirnya meninggal. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
penanganan pasien HIES. Pemberian antibiotik profilaksis yang agresif perlu
dipertimbangkan. Pilihan antibiotik disesuaikan dengan jenis infeksi yang dialami pasien.
Selain itu pemberian antifungal juga perlu dipertimbangkan untuk diberikan lebih awal,
mengingat tingginya kemungkinan infeksi jamur pada individu dengan sistem imun yang
rendah. Penanganan suportif pasien (gizi dan kebersihan tubuh) juga perlu diperhatikan.
Penanganan kasus HIES dengan penyulit cukup rumit dan memerlukan kerja sama
multidisiplin yang melibatkan dokter dari berbagai disiplin ilmu seperti bagian alergi-
imunologi, paru, hematologi dan intensivist.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
23