Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom Hiperimmunoglobulinemia E / Hyperimmunoglobulinemia E Syndrome


(HIES) pertama kali diperkenalkan pada tahun 1966 oleh Davis dkk. Namun, Buckley dkk
menyatakan bahwa terdapat hubungan antara peningkatan kadar Immunoglobin E dengan
manifestasi klinis pasien HIES.1 Trias klasik dari sindrom ini adalah infeksi paru, infeksi kulit
berulang dan peningkatan kadar IgE. Insidens penyakit ini masih belum diketahui secara
pasti, namun HIES adalah penyakit yang jarang terjadi. Mortalitas pada pasien HIES
biasanya disebabkan infeksi dan kematian pada penderita HIES terjadi pada rerata umur 29
tahun.2
Penyakit yang diturunkan secara autosom dominan ini disebabkan mutasi pada gen
STAT3 yang akan menyebabkan gangguan jalur sinyal berbagai sitokin. Seorang dengan
HIES lebih rentan terhadap infeksi kulit dan pernafasan. Infeksi yang umum terjadi pada
HIES adalah infeksi oleh bakteri Staphylococcus dan spesies candida. Patogen yang umum
menyebabkan infeksi paru pada pasien HIES adalah Staphylococcus aureus (MRSA),
Haemophilus influenzae dan Streptococcus pneumoniae. Sebanyak 80% pasien HIES akan
mengalami infeksi kulit dan saluran pernafasan. Selain kerentanan terhadap infeksi, pasien
dengan HIES memiliki peningkatan risiko untuk mengalami gangguan limfoproliferatif,
khususnya limfoma non-Hodgkin dan limfoma Hodgkin.2,3
Dalam makalah ini akan dipaparkan sebuah kasus dimana pasien dengan HIES datang
dengan infeksi paru, infeksi kulit disertai gangguan limfoproliferatif berupa Cutaneus T Cell
lymphoma atau lebih populer dengan istilah Mycosis Fungoides.

BAB II
ILUSTRASI KASUS

Seorang pria 36 tahun datang dengan keluhan demam sejak dua minggu SMRS. Pasien
mengeluh adanya keluhan demam yang dirasakan terus-menerus, turun dengan pemberian
obat, namun kemudian naik lagi. Pasien juga mengeluh adanya keluhan batuk, namun dahak

1
sulit dikeluarkan. Pasien juga mengeluhkan adanya keluhan sesak nafas yang tidak
dipengaruhi oleh aktivitas maupun posisi.
Pasien memutuskan untuk berobat ke rumah sakit Bekasi dan dinyatakan mengalami
infeksi paru Tuberkulosis, pasien diberikan obat anti tuberkulosis (OAT). Pasien mengeluh
adanya kulit kemerahan yang dirasakan setelah makan obat TB selama 2 minggu.
Saat masuk ruang perawatan, pasien masih mengeluh demam, dirasakan terus-
menerus, batuk ada dengan dahak yang sulit dikeluarkan, dan sesak nafas. Pasien juga
mengeluhkan adanya mual dan muntah. Sedangkan kulit pasien dirasakan semakin merah dan
mengelupas.
Keluhan pasien berawal dari tiga tahun SMRS, yaitu pada tahun 2014. Pada tahun
2014 pasien mengeluhkan adanya kulit kemerahan yang bersisik, yang tidak nyeri namun
terasa sedikit gatal. Pasien kontrol ke bagian kulit dan kelamin lalu pasien didiagnosis
eritroderma. Pasien diberikan metilprednisolon untuk pengobatan eritroderma.
Tiga bulan SMRS, pasien mulai merasakan kulit lebih merah dan mengelupas. Pasien
dilakukan biopsi kulit dan dinyatakan mengalami Mycosis Fungoides. Selain itu, pasien
sempat mengeluhkan adanya keluhan diare dan mual hebat sehinnga sempat masuk
perawatan RSCM pada bulan Maret 2015. Pasien sempat mendapatkan pengobatan sandimun
2 x 50 mg dan metilprednisolon 1x 60 mg IV selama perawatan ini. Selain itu, pada
pemeriksaan laboratorium dijumpai peningkatan kadar IgE pada bulan Maret 2015 dengan
hasil 60,995. Pasien memiliki riwayat asma, khususnya timbul jika pasien kelelahan.
Saat masuk ke ruang perawatan pasien masih mengeluhkan adanya kulit kemerahan,
sesak nafas dan demam hilang timbul. Pasien mual dan kesulitan untuk makan. Gangguan
buang air besar dan buang air kecil disangkal pasien. Riwayat perjalanan penyakit pasien
dirangkum pada gambar 1.

2
Oktober 2014
Pasien sempat mengeluh sesak, 16 Maret 2015
Pasien masuk perawatan dengan
demam dan batuk. Kulit masih
keluhan tidak dapat makan sejak satu
kemerahan. Pasien sempat masuk
minggu SMRS. Pasien mengeluh
perawatan dengan diagnosis
adanya diare> 5x/hari, cair, lendir dan
Community Acquired Pneumonia
darah tidak ada. Pasien masuk
dan eritroderma. Kulit pasien tidak
perawatan untuk diare
pernah bebas kemerahan.

3 tahun SMRS 3 Febuari 2015


Perawatan saat ini (Mei 2015)
Pasien mengeluh kulit kemerahan Pada bulan ini, dilakukan biopsi kulit
Pasien masuk perawatan degan
dan mengelupas. Pasien kontrol ke dengan hasil sesuai dengan Mycosis
keluhan demam, sesak hilang timbul
poli kulit dan kelamin. Pasien Fungoides. Pasien sempat diberikan
dinyatakan mengalami eritroderma. dan kulit masih kemerahan. Pasien
imuran 1 x 50 mg dan
masuk dengan diagnosis HCAP dd TB
methylprednisolon 2 x 8 mg.
paru, mycosis fungoides, hyper IgE.
Pasien tidak mengkonsumsi imuran
Gambar 1. Ringkasan perjalanan penyakit pasien saat masuk.

3
Saat pemeriksaan fisik didapatkan pasien compos mentis, tampak sakit sedang dengan
bentuk tubuh piknikus. Tanda vital pasien menunjukkan tekanan darah: 120/70 mmHg,
frekuensi nadi: 110 x/menit, reguler, isi cukup, frekuensi nafas: 28x/menit, abdominal dan
suhu: 36.5 C. Konjungtiva tampak pucat dan sklera tidak ikterik.
Pada pemeriksaan jantung tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan fisik paru
dijumpai adanya bunyi nafas vesikular, rhonki basah kasar bilateral dan tidak ditemukan
adanya wheezing. Pada pemeriksaan kulit dijumpai warna kulit kemerahan dengan skuama
mengelupas di sekujur tubuh (gambar 2 dan gambar 3).

Gambar 2. Keadaan kulit pasien selama perawatan.

Pada pemeriksaan laboratorium dijumpai hemoglobin 12,3 g/dL, hematokrit 32,1 %,


leukosit 35,100 sel/mm3, trombosit 276.000 sel/mm3, MCV 78,9 fl, dan MCH 30,3 pg. SGOT

4
18 U/L, SGPT 7 U/L, ureum 20,9 mg/dL, kreatinin 0,64 mg/dL, natrium 137 mmol/L, kalium
4.1 mmol/L, klorida 101 mmol/L. Pada pemeriksaan rontgen dijumpai adanya infiltrat pada
kedua apex paru, sudut costofrenikus kiri tumpul, dengan kesimpulan TB paru dengan efusi
pleura kiri.
Pada pemeriksaan EKG dijumpai Sinus takikardia, QRS rate = 120, normoaxis, P
wave normal, PR= 0,16 s, QRS= 0,08 s, QT interval= 0,2 s, ST changes (-), T inverted V1-
V3.
Pada pemeriksaan patologi anatomi: reaksi likenoid yang dapat ditemukan pada
mycosis fungoides. Immunohistokimia: gambaran morfologik dan pola pulasan
imunohistokimia dapat sesuai dengan varian dari mikosis fungoides. Pulasan
imunohistokimia:
CD 20: negatif pada sebagian besar sel
CD 3, CD 8, CD 43: positif pada sebagian besar sel
CD4, CD 30, CD 56 perforin, granzim: negatif pada sebagian besar sel
Ki-67: positif berbercak pada sekitar 40% sel
Bcl-2: positif pada sebagian sel.

Gambar 3. Foto thorak pasien saat pertama kali masuk.


Saat awal perawatan, direncanakan beberapa pemeriksaan penunjang seperti kultur
dahak, mikroorganisme dan BTA. Pasien mengeluh adanya rasa perih pada kulit dan kulit
masih terkelupas. Untuk keluhan ini, pasien diberikan vaselin album dan coconut oil.
Terdapat beberapa fokus perawatan awal kami, yaitu fokus infeksi kulit, dan infeksi
pernafasan pasien. Untuk diagnosis infeksi kulit dilakukan kerokan kulit. Sedangkan untuk
infeksi paru dilakukan pemeriksaan sputum, BTA dan mirkoorganisme.
Diagnosis awal untuk pasien ini adalah HCAP dd TB paru+ infeksi sekunder,
eritroderma ec susp drug eruption dd micosis fungoides , mycosis Fungoides dengan Hyper
5
IgE, dispepsia dengan intake sulit, iskemia anteroseptal, steroid induced cataract ODS,
lagoftalmus cikatrik ODS.
Penanganan yang kami berikan pada pasien ini adalah:
Okisgen nasal kanul 3 l/menit
Diet blender per NGT 1500 kkal
IVFD:
o Aminofluid 1000/24 jam
o NaCl 0,9%/6 jam
Antibiotik
o Levofloxacin 750 mg/24 jam
o Klindamisin 3 x 300 mg
OAT sementara stop
Inhalasi ventolin/6 jam
Methylprednisolon 16mg-16 mg- 16 mg
Omeprzol 1 x 40 mg
Ondasentron 3x 8 mg
Perawatan kulit
o Vaselin album-oleum caccos-Biocream dioleskan tiga kali sehari
Kumur chlorhexidine gluconate gargle 2x/hari
Balans cairan seimbang

Pemberian OAT sementara dihentikan karena kecurigaan adanya alergi OAT. Selama
lima hari perawatan pertama keadaan pasien cenderung stabil. Pasien menyangkal adanya
keluhan sesak nafas, batuk dan demam. Tanda vital pasien stabil. Tidak ditemukan adanya
kelainan pada pemeriksaan fisik jantung dan paru.
Pada perawatan hari ke sepuluh, pasien mulai mengeluhkan sesak nafas. Pada
pemeriksaan fisik terdengar adanya rhonki basah kasar. Hasil kutur sputum menunjukkan
adanya resistensi terhadap levofloxacin. Resistensi antibiotik dari sputum dan darah
ditampilkan pada tabel 1 sampai tabel 3. Foto rontgen paru evaluasi menunjukkan adanya
perburukan infiltrat dan multikavitas (gambar 4). Selain itu, mengacu pada hasil resistensi
antibiotik (tabel 1 dan tabel 2), maka antibiotik dieskalasi menjadi meropenem 3 x 1 gram,
linezolid 2 x 600 mg. Selain itu, diberikan terapi empirik untuk menjangkau infeksi jamur
yaitu mycamin 1 x 100 mg. Keesokan harinya keluhan sesak masih dirasakan pasien,
kesadaran pasien menurun dan saturasi perifer pasien menurun sampai 90
% dengan masker nonrebreathing 12 liter. Dengan adanya keadaan gagal nafas pasien, maka
pasien memerlukan intubasi dan perawatan intensif di high care unit atau intensif care unit.

6
Gambar 4. Gambaran foto thoraks pasien saat hari perawatan ke 12.

Keluarga pasien setuju untuk dilakukan intubasi dan perawatan maksimal. Setelah
dilakukan intubasi Pasien dirawat di ruang rawat intensif (high care unit/ HCU) gedung A
lantai 6. Ringkasan perjalanan perawatan pasien selama di rumah sakit dirangkum pada
gambar 4.
Selama perawatan, dilakukan diskusi kasus sulit pada tanggal 20 Mei 2015 dengan
simpulan sebagai berikut:
Saat ini pasien mengalami acute respiratory distress syndrome
Gambaran paru pasien tidak sesuai dengan gambaran tuberkulosis
Informed consent keluarga pasien untuk mencari ICU luar
Pada mycosis fungoides dapat diberikan metothrexate per oral 100 mg setiap minggu
Lanjutkan antibiotik linezolid.
Selama perawatan di ICU fokus perawatan adalah mengatasi infeksi. Hasil diskusi dengan
bagian hematologi adalah untuk memperbaiki kondisi infeksi pasien, sedangkan untuk
mycosis fungoides belum ada tatalaksana khusus. Saat perawatan di HCU, pasien
mendapatkan terapi sebagai berikut:
Diet per NGT cair 1500 kkal
IVFD:
o NaCl 0,9%/6 jam
o Norepinephrine titrasi dosis 0,02-0,1 mcg/kgBB
Antibiotik
o Meropenem 3 x 1 gram
o Mycafungin 1 x 100 mg
o Linezolid 2 x 600 mg
Inhalasi ventolin/6 jam

7
Carboxymethyl Cellulose Sodium tetes (Cenfresh) 6 x 1 gtt
Methylprednisolon 16mg-16 mg
Fluimucil 3 x 200 mg
Omeprazol 1 x 40 mg
Perawatan kulit: vaselin album-oleum caccos-Biocream-mikonazol

8
Tabel 1. Hasil resistensi antibiotik sputum pasien.
Tanggal 12 Mei 2015
Spesimen Sputum
Sediaan langsung:
Coccus gram (+): banyak
Batang gram (-): sedang
Leukosit: 25-30/lpk
Epitel : 20-30/lpk
Isolate 1: Klebsiela pneumonia
Isolate 2: Staphylococcus aureus (MRSA)
Kerentanan Antibiotik lini 1 Antibiotik lini 2 Antibiotik lini 3
Amikasin R Doripenem R
Oxacillin R Sulbactam/Ampicillin S Cefepim R
Penicillin G 1. Lincomycin R Cefpirom R
Ampicillin I Cephalotin R Vancomycin S
Chloramphenicol I Cefotaxime R Tigecycline I
Cotrimoxazole S Amox+ Clavulanic acid S Teicoplanin I
Gentamicin R Ceftriaxone R Levofloxacin R
Kanamycin R Ceftazidime R Meropenem S
Tetracycline R Cefoperazone R
Ciprofloxacin R Quinolon
Piperacilin/Tazobactam R Moxifloxacin R
Cefoperazone/ Sulbactam R
Pemeriksaan BTA negatif
lain Batang gram negatif sedikit
Jamur sedang
Leukosit : 40-50/lpk
Epitel : 20-25/lpk

Tabel 1. Hasil resistensi antibiotik sputum pasien (lanjutan).


Tanggal 21 Mei 2015
Spesimen Sputum
Sediaan langsung:
Coccus gram (+): jarang
Leukosit: 30-40/lpk
Epitel : 10-15/lpk
Isolate 1: Enterococcus faecalis
Isolate 2: Candida tropicalis
Kerentanan Antibiotik lini 1 Antibiotik lini 2 Antibiotik lini 3
Oxacillin R Amikasin R Doripenem R
Penicillin G R Sulbactam/Ampicillin S Cefepim R
Ampicillin I Lincomycin R Cefpirom R
Chloramphenicol I Cephalotin R Vancomycin S
Cotrimoxazole S Cefotaxime R Tigecycline I
Gentamicin R Amox+ Clavulanic acid S Teicoplanin I
Kanamycin R Ceftriaxone R Levofloxacin R
Tetracycline R Ceftazidime R
Cefoperazone R Quinolon
9
Ciprofloxacin R Moxifloxacin R
Piperacilin/Tazobactam R
Cefoperazone/ Sulbactam R
Pemeriksaan BTA negatif
lain Batang gram negatif sedikit
Jamur sedang
Leukosit : 40-50/lpk
Epitel : 20-25/lpk

Tabel 2. Hasil resistensi antibiotik cairan BAL pasien.

Tanggal 21 Mei 2015


Spesimen BAL
Isolate 1: Acinetobacter lwoffii
Colony caount 9000 kuman/ml
Kerentanan Antibiotik lini 1 Antibiotik lini 2 Antibiotik lini 3
Chloramphenicol S Amikasin S Doripenem S
Cotrimoxazole S Aztreonam I Cefepim S
Gentamicin S Sulbactam/Ampicillin S Cefpirom S
Kanamycin S Cephalotin S Tigecycline S
Tetracycline S Cefotaxime I Levofloxacin S
Amox+ Clavulanic acid S
Ceftriaxone S Quinolon
Ceftazidime S Moxifloxacin S
Cefoperazone S
Ciprofloxacin S
Piperacilin/Tazobactam S
Cefoperazone/ Sulbactam S
Pemeriksaan BTA negatif
lain

10
Tabel 3. Perkembangan pasien selama perawatan

Hari 1 Hari 5 Hari 12


Klinis Pasien datang dengan keluhan mual Pasien masih mengeluhkan adanya kulit yang Kontak pasien masih adekuat. Pasien merasakan sesak
muntah dan sesak. Pasien juga kering dan perih. Pasien juga menegluhkan nafas yang memberat, kondisi kulit kemerahan pasien
mengeluhkan adanya kulit kemerahan dan sesak, batuk dengan dahak yang sulit tidak ada perubahan.
kering. Pada saat masuk dicurigai adanya dikeluarkan.
reaksi alergi terhadap OAT, sehingga OAT
yang diberikan dari rumah sakit
sebelumnya distop.
Hb / Ht / Leukosit/ 9,57 / 24,6 / 29,300/ 164,000 9,3/ 25,8/27,930/111.000 9,6/26,9/23,000/137,000
Trombosit Diff count: 0,6/0,3/47,6/48,5/3,5 Diff count: 0,3/1,0/73/21/4,6
Pemeriksaan Albumin: 2,92 IgE: 4668 Procalcitonin: 0,51
penunjang lain Procalcitonin 6,40 CD3 absolut: 21513,CD4 absolut: 2119 APTT: 17,2 (11,5), PT: 70,7 (31,5), Fibrinogen: 109,
Anti HCV nonreaktif Procalcitonin: 1,84 D-dimer:500
HbsAg nonreaktif Kultur darah: negatif AGD: 7,468/28,7/87,9/21/96,1%
Elektrolit: 135/3,7/105 Elektrolit: 134/3,46/104 Elektrolit:134/3,68/102
Terapi Okisgen nasal kanul 3 l/menit Okisgen nasal kanul 3 l/menit Okisgen nasal kanul 3 l/menit
Diet blender per NGT 1500 kkal Diet blender per NGT 1500 kkal Diet blender per NGT 1500 kkal
IVFD: IVFD: IVFD:
Aminofluid 1000/24 jam Aminofluid 1000/24 jam Aminofluid 1000/24 jam
NaCl 0,9%/6 jam NaCl 0,9%/6 jam NaCl 0,9%/6 jam
Antibiotik Antibiotik Antibiotik
Levofloxacin 750 mg/24 jam Levofloxacin 750 mg/24 jam Levofloxacin 750 mg/24 jam
Klindamisin 3 x 300 mg Klindamisin 3 x 300 mg Klindamisin 3 x 300 mg
OAT sementara stop OAT sementara stop Inhalasi combivent/ 6 jam
Inhalasi combivent/6 jam Inhalasi combivent/6 jam Methylprednisolon 16mg-16 mg- 16 mg
Methylprednisolon 16mg-16 mg- 16 Methylprednisolon 16mg-16 mg- 16 mg Omeprazol 1 x 40 mg
11
mg Omeprazol 1 x 40 mg Perawatan kulit TS kulit
Omeprazol 1 x 40 mg Perawatan kulit TS kulit Vaselin album-oleum caccos-Biocream
Perawatan kulit TS kulit Vaselin album-oleum caccos-Biocream Kumur minosep gargle 2x/hari
Vaselin album-oleum caccos- Kumur minosep gargle 2x/hari Balans cairan seimbang
Biocream
Balans cairan seimbang
Kumur minosep gargle 2x/hari
Balans cairan seimbang

Tabel 3. Perkembangan pasien selama perawatan (lanjutan)


Hari 15 Hari 20 Hari 25
Klinis Pasien dengan keluhan sesak nafas, saturasi Selama perawatan di HCU, keadaan pasien Kontak pasien tidak adekuat. Pasien mengalami
menurun 80% dengan NRM 12 liter. cenderung tidak mengalami perbaikan. Kontak henti jantung dan dinyatakan meninggal.
Dengan keadaana gagal nafas maka pasien pasien tidak ada.
diintubasi dan bagging manual. Keesokan
harinya pasien dipindahkan ke perawatan
HCU.
Hb / Ht / 10,2/29,9/44,610/214.000 11,0/32,2/24,150/74,000 9,3/29,5/31,500/40,000
Leukosit / Diff count: 0,2/0,0/60,2/32/7,6 Diff count: 0/0,9/83,9/13,1/2,1 Diff count: 0,1/5,6/61,5/29,1/3,7
Trombosit
Pemeriksaan Procalcitonin: 2,16 Procalcitonin: 2,11 Procalcitonin: 29
penunjang lain Laktat: 5,2 AGD: 7,408/44,90/100,50/28/96,70 AGD: 7,011/74,20/99/18,9/91,90
Elektrolit: 141/4,62/106,8 Laktat: 3,7 PT: 14 (12,5), APTT: 78 (32,3), fibrinogen: 224, d-
Ca/P/Mg: 8,3/1,2/1,9 dimer: 1500
AGD: 7,258/59,50/77,20/26,8/92 Albumin: 2,6
Terapi Diet per NGT cair 1500 kkal Diet per NGT cair 1200 kkal Diet per NGT cair 1500 kkal
IVFD: IVFD: IVFD:
o NaCl 0,9%/6 jam o NaCl 0,9%/6 jam o NaCl 0,9%/6 jam
o Norepinephrine titrasi dosis 0,02-0,1 o Norepinephrine titrasi dosis 0,02-0,1 o Norepinephrine titrasi dosis 0,02-0,1
mcg/kgBB mcg/kgBB mcg/kgBB
Antibiotik Antibiotik Antibiotik
o Meropenem 3 x 1 gram o Meropenem 3 x 1 gram o Piperacilin tazobactam 4x 4,5gram
o Mycafungin 1 x 100 mg o Amikasin 1x 1gr o Amikasin 1x1 gram
o Linezolid 2 x 600 mg o Mycafungin 1 x 100 mg o Mycafungin 1 x 100 mg
Cenfresh 6 x 1 gtt o Linezolid 2 x 600 mg o Linezolid 2 x 600 mg
Methylprednisolon 16mg-16 mg Cenfresh 6 x 1 gtt Cenfresh 6 x 1 gtt
12
Fluimucil 3 x 200 mg Methylprednisolon 16mg-16 mg Methylprednisolon 16mg-16 mg
Omeprazol 1 x 40 mg Fluimucil 3 x 200 mg Albumin 20%
Perawatan kulit: Vaselin album-oleum Omeprazol 1 x 40 mg Fluimucil 3 x 200 mg
caccos-Biocream-mikonazol Perawatan kulit: Vaselin album-oleum Omeprazol 1 x 40 mg
caccos-Biocream-mikonazol Perawatan kulit: Vaselin album-oleum caccos-
Biocream-mikonazol

13
BAB III
DISKUSI

Sindrom Hiperimmunoglobulinemia E / Hyperimmunoglobulinemia E Syndrome


(HIES) adalah sebuah trias klinis berupa infeksi paru, infeksi kulit berulang (oleh bakteri
staphylococcal) dan adanya peningkatan kadar IgE (>2000 IU/ml). 1 Dalam makalah ini
dipaparkan sebuah kasus HIES dengan manifestasi infeksi kulit, infeksi paru serta manifestasi
klinik gangguan limfoproliferatif berupa Cutaneus T cell lymphoma atau Mycosis Fungoides
(gambar 5).
Pasien datang dengan keluhan demam dan sesak. Sesak tidak dipengaruhi oleh
aktivitas. Pasien telah didiagnosis HIES sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik dijumpai rhonki
dan leukositosis 29,300. Berdasarkan data tersebut maka pasien didiagnosis sebagai Helath
Care Associated Pneumonia (HCAP) dengan Tuberkulosis Paru masih belum dapat
disingkirkan.

Sindrom
Hiperimmunoglobulinemia E

Kerentanan terhadap infeksi paru,


infeksi kulit dan keganasan

Infeksi paru Infeksi kulit Kerentanan terhadap


keganasan

Pneumonia Candidosis kutis Cutaneus T cell


lymphoma
Gambar 5. Manifestasi klinis HIES pada pasien.1

Kerentanan infeksi pada pasien ini, yang disertai adanya micosis fungoides
memunculkan kecurigaan akan HIES. Kecurigaan ini dikonfirmasi dengan pemeriksaan IgE
total dengan nilai yang tinggi (IgTotal: 60995 IU/ml). Dengan hasil peningkatan kadar IgE
total, maka dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami HIES. Pasien ini sudah memenuhi
trias HIES yaitu infeksi kulit dengan etiologi candida yang dikonfirmasi dengan kerokan
kulit, infeksi paru dan peningkatan kadar IgE.
Patofisiologi HIES masih dipelajari sampai saat ini. Terdapat dua jenis mutasi pada
HIES yang sudah ditemukan, yaitu mutasi STAT3 dan mutasi DOCK8 (gambar 6). Mutasi
STAT3, gen yang berperan dalam transduksi signal dan aktivator transkirpsi 3 (STAT3),

14
diduga berperan dalam sebagian besar kasus HIES dan merupakan HIES tipe autosom
dominan. Pasien dengan HIES tipe autosom dominan menunjukkan gejala seperti infeksi
kulit berulang yang umumnya disebabkan oleh staphylococcal, infeksi paru berulang dan
peningkatan konsentrasi immunoglobulin E.4,6 Infeksi paru yang berat umumnya disebabkan
oleh Staphylococcus aureus, termasuk MRSA. Selain itu agen infeksi oportunistik seperti
Pseudomonas aueruginosa dan Aspergillus fumigatus, juga dapat menyebabkan infeksi paru
pada pasien HIES.5
Selain itu, mutasi gen STAT3 dapat menyebabkan gangguan transduksi berbagai
sitokin, seperti Interleukin dan Interferon. Pada pasien HIES juga dijumpai penurunan efek
imunitas humoral yang berfungsi melawan pathogen ekstraseluler seperti mycobacterium dan
fungi. Pada 80% kasus, infeksi jamur juga ditemukan, seperti infeksi kulit dan mukosa oleh
Candida albican. Berbagai gangguan lain pada tipe autosom dominan meliputi wajah yang
kasar, dahi yang lebar, dan hidung yang lebar (gambar 7). Peningkatan insidens gangguan
limfoproliferatif juga ditemukan pada HIES autosom dominan, khususnya limfoma non-
hodgkin dan limfoma hodgkin.4
Pada tahun 2004, dilaporkan sebuah kasus HIES autosom resesif dengan mutasi
DOCK8. Mutasi DOCK8 dapat menyebabkan berbagai gejala klinis yang mirip dengan
mutasi STAT3. Pembentukan pneumatocele, yang umum ditemui pada mutasi STAT3, jarang
ditemukan pada HIES tipe autosom resesif.4 HIES tipe autosom resesif memiliki predisposisi
untuk mengalami infeksi jamur dan infeksi virus pada kulit yang cukup berat. Virus yang
menyebabkan infeksi kulit pada pasien adalah herpes simplex, herpes zoster, molluscum
contagiosum dan human papillomavirus.7

Hyperimmunoglobulin E
Syndrome (HIES)

Autosom dominan HIES Autosom resesif HIES


(Mutasi STAT3) (Mutasi DOCK3)

Penurunan produksi Penurunan kadar IgM,


interleukin 17 oleh sel T eosinophilia, Penurunan
6,7
Gambar
helper 17 6. Dua jenis sindrom hyperimmunoglobulin
kadar CD4 danE.CD8

Penurunan pertahanan Kerentanan terhadap


terhadap bakteri dan jamur infeksi, khususnya virus

15
Gambar 7. Gambaran wajah ayah dan anak dengan HIES.
Perhatikan wajah ayah yang khas berupa dahi yang lebar, cekung kelopak mata yang dalam,
jarak antar cuping hidung yang lebar.2
Pasien pada kasus ini mengalami infeksi yang melibatkan paru dan kulit. Dari
pemeriksaan kultur sputum, terdapat beberapa agen penyebab infeksi paru pada pasien ini
seperti Klebsiela pnemumonia, Candida dan MRSA. Pada rontgen thoraks pasien, dijumpai
multikavitas yang juga umum ditemui pada pasien HIES. Pasien HIES dapat menunjukkan
adanya pneumatocoele sebagai akibat dari peradangan yang menyebabkan kerusakan bronkus
terminal dan pelebaran alevoli.
Diagnosis HIES pada pasien ditegakkan karena pasien memiliki kerentanan terhadap
infeksi, gangguan limfoproliferatif pada pasien berupa mycosis fungoides dan peningkatan
kadar IgE yang ditemukan pada pasien. Berdasarkan karakteristik klinis pasien, pasien
memiliki kemiripan dengan karakteristik HIES tipe autosom dominan.
Terdapat beberapa laporan kasus yang melaporkan kasus HIES dengan manifestasi
keganasan limfoproliferatif, seperti limfoma hodgkin dan mycosis fungoides. 8 Pada pasien ini
dijumpai HIES yang disertai gangguan limfoproliferatif berupa mycosis fungoides. Mycosis
fungoides adalah gangguan limfoproliferatif dengan karakteristik dijumpai limfosit T
neoplastik pada kulit. Mycosis fungoides diklasifikasikan sebagai bagian dari limfoma non-
hodgkin. Pasien pada kasus ini datang dengan keluhan kulit kemerahan dengan skuama
diatasnya sejak tiga tahun sebelum masuk rumah sakit. Awalnya sempat didiagnosis sebagai
eritroderma, namun biopsi kulit menunjukkan bahwa pasien menderita mycosis fungoides.9
Mekanisme terjadinya gangguan limfoproliferatif pada pasien HIES masih belum
diketahui secara pasti. Dalam keadaan normal, tubuh manusia memiliki mekanisme untuk
mendeteksi dan menghancurkan sel tumor (gambar 8). Salah satu sel yang terlibat dalam
penghancuran sel kanker adalah sel CD8. Namun pada gangguan imunodefisiensi primer,
seperti HIES, terjadi gangguan kinerja sistem imunitas dalam penghancuran kanker, yang
16
dapat menyebabkan lolosnya sel-sel neoplastik. Layaknya penyakit imunodefisiensi primer
lainnya, terjadinya gangguan limfoproliferatif pada pasien HIES diduga berkaitan dengan
kegagalan sistem imun dalam deteksi dan penghancuran sel kanker. Selain itu berbagai
gangguan imunitas ini juga berperan dalam rentannya penderita HIES untuk mengalami
infeksi berulang (gambar 9).5,10

17
Sel kanker
mempresentasikan onkogen
pada membran sel
(MHC kelas 1)
Makrofag
CD8 merangsang
menghancurkan sel Sel kanker difagosit oleh sel T helper
kanker CD8 mengenal sel makrofag
kanker Interleukin-2
Makrofag
menghasilkan
interferon
Aktivasi Sel
Natural
Gambar 8. Pengawasan sistem imun Killer sel kanker.5,10
terhadap
Sel kanker mempresentasikan onkogen pada MHC kelas 1 yang dikenal oleh CD8. Selain itu, makrofag
dapat memfagosit sel kanker dan menghasilkan interferon yang dapat merangsang CD8 dan sel natural killer.
Sel sitotoksik CD8 dan sel natural killer menghancurkan sel kanker dengan menghasilkan berbagai zat toksik,
seperti perforin. Garis biru: meningkatkan aktivitas, garis merah: menurunkan jumlah/aktivitas.

Sel kanker
mempresentasikan onkogen
pada membran sel
Makrofag
(MHC kelas 1) 2
merangsang
Sel kanker difagosit sel T helper
CD8 mengenal sel oleh makrofag
CD8
kanker Interleukin-2
menghancurkan sel
kanker
1

Kerentanan terhadap 3
Makrofag
infeksi jamur
Gambar dan bakteri
9. Gangguan imunitas HIES dan Aktivasi
pengaruhnya terhadap
Sel Natural kejadian kanker.5,10
Killer
menghasilkan
1. Pada pasien HIES dapat dijumpai penurunan jumlah atau fungsi CD8, hal ini berpengaruh pada
interferon
penurunan kadar interferon. 2. Gangguan fungsi sel T helper dan penurunan interleukin. 3.
Penurunan interleukin menyebabkan penurunan rangsangan sel natural killer. Garis biru:
meningkatkan aktivitas, garis merah: menurunkan jumlah/aktivitas.

Untuk menegakkan diagnosis HIES dibuat sebuah sistem skoring untuk menilai
kemungkinan seorang menderita HIES (tabel 2). Mengacu pada sistem skoring tersebut,
pasien ini memiliki jumlah skor 40 poin, dengan komponen berupa:
Kadar serum IgE yang tinggi (10 poin)
Pneumonia (8 poin)
Kelainan parenkim paru (8 poin)
Karakteristik wajah (mildly present: 2)
Candidiasis (4 poin)
Infeksi serius (4 poin)
Limfoma (4 poin)
Apabila pasien memiliki jumlah skor kurang dari 20 maka kemungkinan diagnosis HIES
kecil, sedangkan skor 20-39 diagnosis HIES memiliki arti diagnosis HIES masih belum dapat
18
disingkirkan, sedangkan jumlah skor diatas 40 maka kemungkinan besar menderita HIES.
Dengan jumlah skor 40, maka pasien kasus ini kemungkinan besar menderita HIES.

Tabel 4. Tabel penilaian skor diagnosis HIES.4

Terapi HIES umumnya bersifat suportif dan tergantung jenis infeksi yang terjadi pada
pasien. Belum ada terapi yang disepakati untuk HIES. Beberapa penelitian memaparkan
manfaat cyclosporin A dan plasmapharesis pada pasien HIES. Pemberian Interferon gamma
memperbaiki kemotatktik neutrofil pada penelitian in vitro. Namun, sampai saat ini belum
ada rekomendasi yang jelas terkait penanganan HIES yang pasti.4 Terapi berupa
immunomodulator IVIG masih merupakan sebuah kontroversi. Levamisole, obat cacing yang
diduga menstimulasi limfosit T dan natural killer, ternyata inferior dibandingkan dengan
plasebo.11,12
Prinsip penanganan pasien HIES adalah pencegahan dan penanganan infeksi.
Antibiotik merupakan komponen utama dalam penanganan HIES. Pemberian antibiotik
profilaksis dapat dipertimbangkan dan menurunkan kejadian abses kulit dan pneumonia.
Antibiotik yang diberikan adalah antibiotik yang memiliki aktivitas terhadap bakteri
staphylococcal seperti trimethoprime/sulfamethoxazole, penicillins atau sefalosporin.4
Infeksi kulit dan paru merupakan dua jenis infeksi yang paling umum terjadi. Pilihan
antibiotik untuk infeksi kulit bervariasi, namun pilihannya meliputi trimethropim-
19
sulfamethoxasole, dan vancomisin untuk methicillin resistant Staphylococcus aureus.
Sedangkan, pengobatan infeksi paru disesuaikan dengan jenis pneumonia dan hasil kultur
yang didapatkan.
Terdapat beberapa permasalahan pada pasien ini seperti HAP, invasive fungal
infection dan mycosis fungoides. Permasalahan utama pada pasien ini adalah infeksi
multipatogen, karena itu fokus penanganan awal adalah penanganan infeksi pasien. Sejalan
dengan teori diatas, pasien pada kasus ini juga mendapatkan kombinasi antibiotik. Pada
awalnya, jenis antibiotik yang diberikan pada pasien ini adalah levofloksasin dan
klindamisin. Pemberian antibiotik ini didasarkan adanya kemungkinan alergi obat yang
dialami pasien pada awal perawatan. Namun, seiring perburukan kondisi pasien pada hari
perawatan ke sepuluh dan penyesuaian dengan hasil kultur sputum pasien, maka dilakukan
eskalasi antibiotik menjadi meropenem dan linezolid. Mengacu pada hasil kultur resistensi
sputum yang menunjukkan adanya resistensi terhadap kedua jenis quinolon, maka
ciprofloxacin dan levofloxacin tidak diberikan. Pilihan ini sesuai dengan prinsip pemilihan
antibiotik pada hospital acquired pneumonia (HAP) dengan keterlibatan MRSA (gambar
10).13 Setelah pemberian antibiotik selama 7 hari, keadaan infeksi pasien tidak mengalami
perbaikan, karena itu, dilakukan penggantian antibiotik menjadi piperacilin tazobactam 4x
4,5 gram, amikasin 1 x 1gram, dan linezolid 2x 600 mg.
Tabel 5. Anjuran American Thoracic Society terkait antibiotik pada pasien HAP dengan kecurigaan patogen multiresistan.13

Patogen potensial Terapi antibiotik kombinasi


Pseudomonas aeruginosa Cefalosporin antipseudomonal (cefepim, ceftazidime),
Klebsiella pneumoniae atau
Acinetobacter species Cabapenem antipseudomonal (imipenem atau
meropenem), atau
-lactam/-lactamase inhibitor (piperacillin-
tazobactam),
ditambahkan
Fluoroquinolon antipseudomonal (ciprofloxacin atau
levofloxacin), atau
Aminoglikosida (amikasin, gentamisin, atau
tobramycin)
Ditambahkan
Linezolid atau vancomisin (apabila ada keterlibatan
MRSA)

Selain itu, pasien juga dinilai mengalami Invasive Fungal Infection (IFI). Diagnosis
IFI ditegakkan dengan mengacu pada beberapa hal, yaitu pasien adalah individu
immunocompromised, mendapatkan terapi steroid, pada pemeriksaan sputum ditemukan
candida tropicalis, dan pada pemeriksaan radiologis ditemukan kavitas pada paru. Skor
kandida pada pasien adalah 3, dengan rincian sepsis berat (2 poin) dan infeksi kandida
multifokal (1 poin). Setelah pemberian antibiotik selama sepuluh hari, tidak ada perbaikan
klinis yang bermakna. Berdasarkan data tersebut, maka diagnosis IFI ditegakkan dan pasien
20
mendapatkan mycafungin 1 x 100 mg. Pada infeksi candida pilihan antifungal dapat berupa
fluconazole pada pasien stabil. Namun, pada pasien ini mendapatkan antifungal mycafungin,
hal ini disebabkan pasien dalam keadaan sepsis.14
Infeksi paru merupakan penyebab mortalitas utama pasien HIES. Dalam sebuah
laporan kasus, Freeman AF dkk memaparkan berbagai penyebab kematian pasien dengan
HIES. Autopsi dilakukan pada enam pasien HIES yang meninggal untuk mendapatkan data
objektif penyebab kematian pasien. Berdasarkan seri kasus ini, umur pasien saat meninggal
berkisar antara 24 sampai 40 tahun (rerata 29,7 tahun). Infeksi paru adalah penyebab
kematian paling umum. Mikroorganisme penyebab infeksi paru adalah Pseudomonas dan
Aspergillus. Walaupun pemberian antibiotik dinilai sudah ekstensif, tiga pasien dalam seri
kasus ini tidak mengalami perbaikan klinis dan meninggal akibat perburukan infeksi paru.15
Pasien pada kasus ini juga mengalami infeksi yang disebabkan oleh beberapa
organisme yang berbeda, seperti jamur dan bakteri. Pasien sudah mendapatkan kombinasi
antibiotik (meropenem, linezolid dan micafungin) yang disesuaikan dengan hasil kultur
sputum pasien. Namun keadaan pasien tidak membaik dengan pengobatan yang sudah
diberikan dan pasien meninggal setelah 10 hari perawatan di HCU. Terdapat beberapa
pelajaran yang dapat diambil dari perawatan pasien HIES pada kasus ini. Infeksi adalah
penyebab utama mortalitas pasien HIES, karena itu pemberian antibiotik profilaksis agresif
perlu diberikan sedini mungkin. Infeksi jamur juga berperan dalam kematian pasien HIES,
khususnya pasien yang menunjukkan gambaran pneumatocoele pada pemeriksaan radiologis.
Karena itu, pemberian antifungal dini perlu dipertimbangkan pada pasien HIES dengan
pneumatocoele. Ruang perawatan khusus juga perlu menjadi perhatian, pasien tidak dapat
digabungkan dengan pasien dengan infeksi yang dapat menularkan infeksi pada pasien.
Pasien HIES rentan terkena infeksi, sehingga ruang perawatan khusus untuk pasien HIES
diperlukan. Penanganan suportif pasien juga perlu diperhatikan. Gizi pasien, dan kebersihan
kulit merupakan dua komponen utama pada pasien. Pasien memiliki asupan makanan yang
cukup baik selama perawatan di ruang rawat, namun ketika kesadaran pasien menurun dan
masuk ke dalam fase kritis, maka pasien masuk ke dalam fase ebb. Selain nutrisi enteral per
NGT dengan total kalori 750 kkal, pasien juga mendapatkan aminofluid 500cc/24 jam.
Kebersihan kulit juga merupakan komponen penting dalam pencegahan infeksi kulit. Pasien
HIES disarankan untuk mandi menggunakan antiseptik (bleach bath).1

BAB IV
KESIMPULAN

21
Sindrom Hiperimmunoglobulinemia E / Hyperimmunoglobulinemia E Syndrome
(HIES) dapat menyebabkan kerentanan infeksi pada penderitanya. Strategi penanganan HIES
dengan infeksi multipatogen memerlukan deteksi dini, mencari etiologi infeksi dan
pemberian antibiotik yang agresif.
Laporan kasus ini menggambarkan kerumitan penanganan pasien HIES. Pasien HIES
pada kasus ini mengalami infeksi multifokal dan keganasan berupa mycosis fungoides. Selain
itu, dijumpai kelainan struktural paru. Pada foto rontgen dijumpai multikavitas yang dapat
disebabkan oleh infeksi paru berulang, dan merupakan ciri dari pasien HIES.
Terlepas dari pemberian antibiotik yang agresif, kondisi pasien mengalami
perburukan dan akhirnya meninggal. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
penanganan pasien HIES. Pemberian antibiotik profilaksis yang agresif perlu
dipertimbangkan. Pilihan antibiotik disesuaikan dengan jenis infeksi yang dialami pasien.
Selain itu pemberian antifungal juga perlu dipertimbangkan untuk diberikan lebih awal,
mengingat tingginya kemungkinan infeksi jamur pada individu dengan sistem imun yang
rendah. Penanganan suportif pasien (gizi dan kebersihan tubuh) juga perlu diperhatikan.
Penanganan kasus HIES dengan penyulit cukup rumit dan memerlukan kerja sama
multidisiplin yang melibatkan dokter dari berbagai disiplin ilmu seperti bagian alergi-
imunologi, paru, hematologi dan intensivist.

BAB V
DAFTAR PUSTAKA

1. Freeman AF, M Holland S. Clinical Manifestations, Etiology, and Pathogenesis of the


HyperIgE Syndromes. Pediatr Res 2009; 65:32-7.
2. Heimall J, Kaliner MA. Job syndrome.Diunduh dari www.medscape.com (15
September 2015)
3. Holland SM, DeLeo FR, Elloumi HZ, Hsu AP, Uzel G, Brodsky N, dkk. STAT3
mutations in the hyper-IgE syndrome. N Engl J Med 2007;357:1608-19
4. Szczawinska-Poplonyk A, Kycler Z, Pietrucha B, Heropolitanska-Pliszka E,
Breborowicz A, Gerreth K. The Hyperimmunoglobulin E Syndrome- Clinical
22
Manifestation Diversity in Primary Immune Deficiency. Orphanet Journal of Rare
Disease 2011;6:76.
5. Levy DE, Loomis CA. STAT3 signaling and the Hyper IgE syndrome. N Engl J Med
2007;357:16551658.
6. Grimbacher B, Holland SM, Gallin JI, dkk. Hyper-IgE syndrome with recurrent
infections an autosomal dominant multisystem disorder. N Engl J Med 1999;
340:692-702.
7. Renner ED, Puck JM, Holland SM, Schmitt M, Weiss M, Frosch M, Bergmann M,
Davis J, Belohradsky BH, Grimbacher B. Autosomal recessive hyperimmunoglobulin
E syndrome: a distinct disease entity. J Pediatr 2004;144:9399.
8. Leonard GD, Posadas E, Herrmann PC, dkk. Non-Hodgkins lymphoma in Jobs
syndrome: a case report and review of the literature. Leuk Lymphoma 2004;45:2521
2525.
9. Keehn CA, Belongie IP, Shistik G, Fenske NA, Glass LF. The diagnosis, staging, and
treatment options for mycosis fungoides. Cancer control 2007; 14:102-11.
10. Annonymous. Neoplasia. Dalam Kumar V, Abbas AK,Fausto N eds. Robins and
cotran pathologic basis of disease. Phyladelphia: Saunders 2004. P269-342.
11. Ong PY, Ohtake T, Brandt C. Endogenous antimicrobial peptides and skin infections
in atopic dermatitis. N Engl J Med 2002;347:11511160.
12. Donabedian H, Alling DW, Gallin JI. Levamisole is inferior to placebo in the
hyperimmunoglobulin E recurrent infection (Jobs) syndrome. N Engl J Med
1982;307:290292.
13. American Thorac Society. Guidelines for the management of adults with hospital-
acquired pneumonia, ventilator-associated, and healthcare-associated pneumonia. Am
J Respir Crt Care Med 2005; 171:388-416.
14. Pappas PG, Kauffman CA, Andes D, Benjamin DK, Calandra TF, Edwards JE dkk.
Clinical Practice Guidelines for the Management of Candidiasis: 2009 Update by the
Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis 2009; 48:503-35.
15. Freeman A F, Kleiner DE, Nadiminti H, Davis J, Quezado M, Anderson V dkk.
Causes of death in hyper-IgE syndrome. J Allergy Clin Immunol 2007; 119:1234-40

23

Anda mungkin juga menyukai