Anda di halaman 1dari 10

Ibnul Qoyyim berkata: "Maksud adab kepada Alloh adalah menegakkan agama-Nya, beradab

dengan adab-adabnya secara zhohir dan batin. Tidaklah sempurna adab seseorang kepada
Alloh kecuali dengan tiga perkara: mengenal nama dan sifat-sifat-Nya, mengenal agama dan
syari'at-Nya, mengenal apa yang Dia cintai dan Dia benci dengan jiwa yang pasrah dan siap
menerima kebenaran secara ilmu dan amal."
Prioritas Utama: Akhlaq Kepada Allah!
Dari An Nawas bin Saman radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau
bersabda: Kebajikan itu keluhuran akhlaq1 Hadits ini memiliki beberapa
kandungan sebagai
By Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST. 3 August 2010
11 6993 4

Dari An Nawas bin Saman radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau
bersabda:

Kebajikan itu keluhuran akhlaq[1]
Hadits ini memiliki beberapa kandungan sebagai berikut:
Hadits ini menunjukkan urgensi akhlak dalam agama ini, karena nabi shallallahu alaihi
wa sallam memberitakan bahwa seluruh kebajikan terdapat dalam keluhuran akhlak.
Dengan demikian, seorang yang baik adalah seorang yang luhur akhlaknya.
Imam Ibnu Rajab al Hambali rahimahullah menjelaskan makna kata al birr (kebajikan)
yang terdapat dalam hadits di atas. Beliau berkata,



[Diantara makna al birr adalah mengerjakan seluruh ketaatan, baik secara lahir maupun batin.
(Makna seperti ini) tertuang dalam firman Allah taala,






)(
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat,
kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan
zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar
dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. MerekaiItulah orang-orang yang benar
(imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (Al Baqarah: 177).][2]
Dari penjelasan Ibnu Rajab dan teks ayat dalam surat Al Baqarah tersebut, kita dapat
memahami dengan jelas bahwa yang dinamakan kebajikan (al birr) turut mencakup keimanan
yang benar terhadap Allah, mengerjakan perintah-Nya (dan tentunya meninggalkan larangan-
Nya), serta berbuat kebajikan terhadap sesama makhluk Allah.
Kita juga bisa menyatakan, berdasarkan hadits An Nawwas radhiallahu anhu di atas-, bahwa
seorang yang beriman kepada Allah dengan keimanan yang benar, mengerjakan perintah-Nya,
menjauhi larangan-Nya, dan berbuat kebajikan terhadap sesama adalah seorang yang
berakhlak luhur, karena nabi shallallahu alaihi wa sallam mendefinisikan al birr dengan
keluhuran akhlak, dan pada ayat 177 surat Al Baqarah di atas Allah menjabarkan berbagai
macam bentuk al birr.
Dengan kata lain, seorang yang berakhlak luhur adalah seorang yang mampu berakhlak baik
terhadap Allah taala dan sesamanya. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,





.


:
:
.
[Keluhuran akhlak itu terbagi dua. Pertama, akhlak yang baik kepada Allah, yaitu meyakini
bahwa segala amalan yang anda kerjakan mesti (mengandung
kekurangan/ketidaksempurnaan) sehingga membutuhkan udzur (dari-Nya) dan segala sesuatu
yang berasal dari-Nya harus disyukuri. Dengan demikian, anda senantiasa bersyukur kepada-
Nya dan meminta maaf kepada-Nya serta berjalan kepada-Nya sembari memperhatikan dan
mengakui kekurangan diri dan amalan anda. Kedua, akhlak yang baik terhadap sesama.
kuncinya terdapat dalam dua perkara, yaitu berbuat baik dan tidak mengganggu sesama dalam
bentuk perkataan dan perbuatan].[3]
Terdapat persepsi yang berkembang di masyarakat bahwa makna keluhuran akhlak
(akhlakul karimah) terbatas pada interaksi sosial yang baik dengan sesama. Hal ini
kurang tepat, karena menyempitkan makna akhlakul karimah, silahkan anda lihat
kembali penjelasan di atas.
Bahkan, terkadang terdapat selentingan perkataan yang terkadang terucap dari seorang
muslim, yang menurut kami cukup fatal, seperti perkataan, Si fulan yang non muslim itu lebih
baik daripada fulan yang muslim atau ucapan semisal. Ucapan ini terlontar tatkala melihat
kekurangan akhlak pada saudaranya sesama muslim, kemudian dia membandingkan
saudaranya tersebut dengan seorang kafir yang memiliki interaksi sosial yang baik dengan
sesamanya.
Perkataan itu cukup fatal karena seorang muslim yang bertauhid kepada Allah, betapa pun
buruk akhlaknya, betapapun besar dosa yang diperbuat, tetaplah lebih baik daripada seorang
kafir, yang berbuat syirik kepada Allah taala. Hal ini mengingat dosa syirik menduduki peringkat
teratas dalam daftar dosa.
Seorang yang memiliki interaksi sosial yang baik terhadap sesama, namun dia tidak
menyembah Allah atau tidak menauhidkannya dalam segala bentuk peribadatan yang
dilakukannya, maka dia masih dikategorikan sebagai seorang yang berahlak buruk.
Mengapa demikian? Hal itu dikarenakan dia tidak merealisasikan pondasi keluhuran akhlak,
yaitu berakhlak yang baik kepada sang Khalik yang telah mencurahkan berbagai nikmat kepada
dirinya dan seluruh makhluk. Dan bentuk akhlak yang baik kepada Allah adalah dengan
menauhidkan-Nya dalam segala peribadatan, karena tauhid merupakan hak Allah kepada
setiap hamba-Nya sebagaimana dinyatakan dalam hadits Muadz bin Jabal radhiallahu anhu.[4]
Hal ini pun dipertegas dalam hadits Aisyah radhiallahu anhu. Beliau bertanya kepada
rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, [Wahai rasulullah! Ibnu Judan, dahulu di zaman
jahiliyah, adalah seorang yang senantiasa menyambung tali silaturahim dan memberi makan
orang miskin, apakah itu semua bermanfaat baginya kelak di akhirat? Nabi shallallahu alaihi wa
sallam menjawab,



Hal itu tidak bermanfaat baginya karena dia tidak pernah sedikit pun mengucapkan, Wahai
Rabb-ku, ampunilah dosa-dosaku di hari kiamat kelak.][5]
Ibnu Judan adalah seorang yang memiliki akhlak yang baik kepada sesama manusia,
meskipun demikian, keluhuran akhlaknya kepada manusia tidak mampu menyelamatkannya
dikarenakan dia tidak menegakkan pondasi akhlak, yaitu akhlak yang baik kepada Allah dengan
beriman dan bertauhid kepada-Nya.
Telah disebutkan di atas bahwa bentuk akhlak yang baik kepada Allah adalah dengan
menauhidkan-Nya. Berdasarkan hal ini kita bisa menyatakan bahwa seorang yang
mempersekutukan Allah dalam peribadatannya (berbuat syirik) adalah seorang yang
berakhlak buruk, meski dia dikenal sebagai pribadi yang baik kepada sesama.
Demikian pula, kita bisa menyatakan dengan lebih jelas lagi bahwa seorang yang dikenal akan
kebaikannya kepada sesama manusia, jika dia berbuat syirik seperti memakai jimat[6],
mendatangi dukun[7], menyembelih untuk selain Allah[8], mendatangi kuburan para wali untuk
meminta kepada mereka[9], maka dia adalah seorang yang berakhlak buruk.
Maka, dari penjelasan di atas, kita bisa memahami perkataan Syaikhul Islam Ibnu
Tamiyah rahimahullah berikut,

[Berbagai dosa (yang terdapat pada diri seorang), namun masih dibarengi dengan tauhid yang
benar itu masih lebih baik daripada tauhid yang rusak meskipun tidak dibarengi dengan
berbagai dosa.][10]
Jangan dipahami bahwa beliau mengenyampingkan atau menganggap ringan perbuatan dosa
dengan perkataan tersebut. Namun, beliau menerangkan bahwa perbaikan tauhid dengan
menjauhi kesyirikan merupakan proritas pertama yang harus diperhatikan oleh kita sebelum
menjauhi berbagai bentuk dosa lain yang tingkatannya berada di bawah dosa syirik.
Imbas lain dari penyempitan makna akhlak sebagaimana dikemukakan di atas adalah
anggapan bahwa akhlak yang baik kepada manusia itu lebih penting daripada tauhid.
Akibatnya, rata-rata materi dakwah para dai adalah berkutat pada upaya menyeru
manusia untuk berbuat baik pada sesamanya dan menomorduakan dakwah tauhid,
kalau tidak mau dikatakan bahwa mereka memang tidak pernah menyampaikan materi
tauhid kepada madu.
Hal ini tidak lain disebabkan karena mereka belum mengetahui definisi akhlak yang disebutkan
oleh para ulama seperti yang dikemukakan oleh Imam Ibnu Rajab dan Ibnul
Qayyim rahimahumallah di atas. Sehingga, tatkala mereka membaca hadits-hadits nabi seperti,
Kebajikan itu keluhuran akhlaq ; Tidak ada amalan yang lebih berat apabila diletakkan di
atas mizan daripada akhlak yang baik.; Apa karunia terbaik yang diberikan kepada hamba?,
nabi menjawab. Akhlak yang baik., mereka berkeyakinan bahwa hadits-hadits tersebut
menunjukkan bahwa berakhlak baik kepada sesama lebih tinggi derajatnya daripada
menauhidkan Allah taala secara mutlak.
Di akhir artikel ini, kami kembali mengingatkan bahwa akhlak yang baik kepada Allah,
itulah yang harus menjadi fokus perhatian dalam pembenahan diri kita, dan yang
menjadi fokus utama adalah bagaimana kita berusaha membenahi tauhid kita kepada
Allah. Jika kita memiliki interaksi yang baik dengan-Nya, dengan menauhidkan-Nya,
mengerjakan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya, niscaya Allah taala akan
memudahkan kita untuk berinteraksi yang baik (baca: berakhlak yang baik) dengan
sesama. Itulah makna yang kami pahami dari sabda nabi shallallahu alaihi wa sallam,


[Barangsiapa mencari ridha Allah meski dengan mengundang kemurkaan manusia, niscaya
Allah akan ridha kepadanya dan akan membuat manusia juga ridha kepadanya. Dan
barangsiapa yang mencari ridha manusia dengan mengundang kemurkaan Allah, niscaya Allah
akan murka kepadanya dan akan membuat manusia turut murka kepadanya.][11]
Waffaqaniyallahu wa iyyakum.
Diadaptasi dari al Mauizhatul Hasanah fil Akhlaqil Hasanah karya Syaikh Abdul Malik
Ramadhani
Buaran Indah, Tangerang, Banten 29 Jumadits Tsani 1431 H.
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel www.muslim.or.id

[1] HR. Muslim: 2553.


[2] Jamiul Ulum wal Hikam hlm. 252-253. Asy Syamilah.
[3] Tahdzibus Sunan sebagaimana tertera dalam catatan kaki Aunul Mabud 13/91.
[4] HR. Bukhari: 5912; Muslim: 30.
[5] HR. Muslim: 214.
[6] Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Barangsiapa yang memakai jimat, sungguh dia
telah berbuat syirik. (HR. Ahmad: 17458).
[7] Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Barangsiapa mendatangi dukun lalu
membenarkan perkataannya, atau mengauli istrinya yang sedang haidh, menyetubuhi dubur
istrinya, maka sesungguhnya dia telah berlepas diri dari ajaran yang diturunkan kepada
Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. (HR. Abu Dawud: 3408; Tirmidzi: 135; dan selain
mereka).
[8] Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Allah melaknat orang yang menyembelih (baca:
memberikan sesajen) untuk selain Allah. (HR. Muslim: 1978).
[9] Allah taala berfirman mengenai ucapan orang-orang musyrik, yang artinya, Dan mereka
menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada
mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: Mereka itu adalah pemberi syafaat
kepada Kami di sisi Allah. (Yunus: 18).
[10] Al Istiqamah 1/466; Asy Syamilah.
[11] HR. Ibnu Hibban: 276.
Sumber: https://muslim.or.id/4233-prioritas-utama-akhlaq-kepada-allah.html
Tujuan Akhlak Kepada Allah SWT:

1. Membebaskan manusia dari jeleknya kehinaan dan ketundukan kepada makhluk


lainnya.
manusia adalah makhluk yang lemah,tidak mampu menguasai untuk dirinya manfaat,
bahaya,kematian,kehidupan dan tidak pula kebangkitan. Yang demikian karena terkadang
makhluk tersebut adalah benda mati,tidak mampu berbicara,pepohonan,kayu yang dipahat
ataukah batu. Dan terkadang makhluk tersebut adalah bintang di langit,matahari,bulan,ataukah
kuburan yang diagungkan. Ataukah makhluk tersebut adalah para dukun,tukang ramal,tukang
sihir yang fajir,ataukah dia adalah pengikut hawa nafsu. Dan dia adalah sesuatu yang paling
berbahaya terhadap jiwa. Allah Taalaa berfirman : al jatsiyah : 23
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan
Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah Telah mengunci mati pendengaran dan
hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya
petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka Mengapa kamu tidak mengambil
pelajaran?
Jika engkau merasa heran,maka heranlah terhadap jiwa-jiwa manusia yang sakit. Yaitu ketika
mereka terikat terhadap syaiton dan hawa nafsunya dan menjadikannya sebagai Illah
(sesembahan) nya serta meninggalkan podasi yang utama yaitu: beribadah kepada
sesembahan yang benar, yang bersendirian dalam penciptaan,pemberian rizki,pemberian
hidayah dan pengaturan seluruh alam tanpa adanya sekutu,pembantu ataupun tandingan. Allah
Taalaa berfirman : saba: 22
Katakanlah: Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai Tuhan) selain Allah, mereka tidak
memiliki (kekuasaan) seberat zarrahpun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai
suatu sahampun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka
yang menjadi pembantu bagi-Nya.
2. Mengarahkan hati, akal dan anggota badan manusia untuk bergantung hanya kepada
Allah
Allah telah menjadikan bagi manusia pendengaran, penglihatan, hati, seluruh anggota badan
dan panca indra agar meraka menjadi orang-orang yang bersyukur. Bahkan seluruh apa yang
ada dilangit dan apa yang ada dibumi dijadikan untuk menjadi sarana yang akan mengantarkan
manusia kepada keridhoan Allah, dan mengantarkan mereka kepada negri kemuliaan dan
kebahagiaan dalam keluasan Allah. Dan Allah telah memerintah mereka agar mennjadi hamba
yang merdeka, ikhlas kepada Allah. Tidak ada sekutu, penolong dan tidak pula tandingan-
tandingan bersama Allah. Bahkan sebagaimana firman Allah: al baqorah: 156
Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kepada-Nya lah kita kembali
Allah telah mencatat, tidaklah Dia mewakilkan kepada akal hamba-hamba-Nya untuk beribadah
sesuai kehendaknya. Akan tetapi Allah mengutus para Rosul kepada mereka sebagai pemberi
kabar gembira dan pemberi peringatan, serta menurunkan kitab-kitab-Nya dan menjadiknnya
sebagai penjelas terhadap segala sesuatu, sebagai petunjuk dan kabar gembira bagi orang-
orang yang beriman.
Ini adalah kemerdekaan yang sebenarnya bagi manusia. Maka Allah mengharamkan bagi
mereka untuk memalingkan sesuatu dari amalan-amalan hati, amalan anggota badan terhadap
manusia yang semisalnya bagaimanapun kedudukannya, meskipun dia memiliki kekuatan.
Adapun musuh-musuh aqidah ini, mereka menjelaskan kemerdekaan manusia adalah dengan
meninggalkan hukum-hukum agama yang lurus ini, menolak aqidah yang diridhoi Allah agar
berlindung dibawah kebebasan dan berjalan mengikuti syahwat syaiton yang akan
mengantarkan kepada kejelekan, musibah akhlak yang rendah. Dan pada masa sekarang
sangat disayangkan sekali banyak orang-orang yang menyandakan dirinya kepada Islam,
mereka menyambut seruan menyesatkan yang datang dari musuh-musuh Islam ini. Mereka
mengikuti musuh-musuh Islam. Mereka menganggap syariat Allah ini adalah perkara yang
kaku, kasar, tidak berprikemanusiaan, tidak layak lagi dijaman ini dan tuduhan-tuduhan keji
lainnya. Hal ini disebabkan mereka tidak mau mempelajari agama yang lurus ini, dan tidak mau
mempelajari syariat yang mulia. Mereka juga lebih mengedepankan hawa nafsunya
dibandingkan mengedepankan apa yang datang dari wahyu Allah yaitu Al Quran dan Hadits
Nabi
3. Mengikhlaskan niat pada seluruh ibadah
Ini mencakup seluruh ibadah, baik yang dilakukan anggota badan ataupun dikerjakan dengan
harta. Seorang yang beribadah harus memaksudkan mengharap wajah Allah dan negri akhirat.
Hal ini sebagaimana sabda Nabi: sesungguhnya setiap amalan tergantung niatnya. Dan bagi
seseorang apa yang dia niatkan muttafaqun alaihi
Demikian juga ketika seseorang meninggalkan perkara yang haram atau makruh, maka harus
mengikhlaskan untuk Allah, bukan karena riya, ingin didengar, bukan pula karena cinta
ketenaran atau pula pujian. Allah Taalaa berfirman Al kahfi: 110
barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada
Tuhannya.
4. Ketenangan jiwa dan pikiran
Yang demikian karena aqidah yang benar adalah keistimewaan yang besar dan keutamaan
yang agung. Dengan aqidah yang benar akan mengantarkan hamba kepada penciptanya. Tidak
diragukan lagi, aqidah yang benar akan memberikan kelapangan jiwa, ketenangan pikiran dan
bersih serta kekokohan hati.
Berbeda dengan orang-orang yang beraqidah batil, maka kebimbangan dan keraguan
senantiasa ada pada jiwa dan pikiranya. Dan ini telah terbuktikan pada orang-orang yang
membangun aqidahnya diatas ilmu mantik, filsafat dan lain sebagainya.
5. Selamatnya niat dan amalan
Aqidah yang benar akan menyelamatkan seluruh niat dan amalan dari penyimpangan aqidah,
penyimpangan ibadah dan penyimpangan dalam muamalah. Tujuan ini tidak mungkin tercapai
kecuali dengan mentaati Allah dan Rosul-Nya. Yaitu dengan menjalankan perintah-Nya dan
meninggalkan seluruh larangan-Nya. Maka barangsiapa yang beramal dengan apa yang
dibawa Nabi, dan Nabi menyeru manusia untuk mengerjakannya, maka dia terbebas dari
penyimpangan. Akan tetapi barangsiapa berpaling dari apa yang datang dari Nabi, dan
mengikuti perkara yang tidak diajarkan Nabi serta mengikuti hawa nafsu maka dia telah
menyimpang dari jalan yang lurus.
6. Memotifasi untuk bersungguh-sungguh terhadap segala yang akan mengantarkan
kepada ridho Allah dan menjaga dari kemurkaan-Nya
Yang demikian dengan cara mendekatkan diri kepada Allah dengan menjalnkan perintah-Nya
dan menjauhi beermaksiat kepada-Nya sepanjang umurnya. Ini adalah kehidupan yang
barokah yang akan menghasilkan balasan yang baik dinegri dunia maupun negri akherat.
Sebagaimana firman Allah An nahl: 97
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang Telah mereka kerjakan.
7. Membentuk umat yang kuat dalam aqidah dan imannya
Demikian juga, aqidah islam akan menguatkan ummat pada fisik mereka, ketulusan,
keikhlasan, ibadah-ibadah, muamalah, akhlak, prilakunya dan kuaatnya usaha mereka didunia
agar mampu memakmurkan dunia sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah. Juga kuatnya
usaha mereka untuk akheratnya agar mendapat pahala Allah. Dan hal tersebut tidak akan
terwujud pada suatu ummat sampai mereka mendahulukan kebenaran dari kebatilan,
mendahulukan petunjuk atas kesesatan, mendahulukan kebaikan atas kejelekan,
mendahulukan akhlak yang terpuji atas akhlak yang rendahan, mendahulukan jihad dijalan
Allah atas seluruh kesenangan hidup, mendahulukan menampakkan kalimat kebenaran atas
diamnya ketika batasan-batasan Allah dilanggar. Allah taaala berfirman an nur;50
Apakah (ketidak datangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena)
mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku zalim kepada
mereka? Sebenarnya, mereka Itulah orang-orang yang zalim.
Dan dalam surat al hajj; 41
(yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka
mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat maruf dan mencegah dari
perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.
Itu adalah sebagian dari tujuan aqidah yang diserukan oleh seluruh para Nabi dan para Rosul
yang Allah utus kepada setiap ummat. Mudah-mudahan bisa bermanfaat dan menjadi
pendorong bagi ummat Islam untuk terus mempelajari, memperbaiki dan memperkokoh aqidah.

Anda mungkin juga menyukai