Anda di halaman 1dari 31

REFERAT HEMOPTISIS PADA PENDERITA

TUBERKULOSIS PARU

Pembimbing:
dr.Taufik Sp.P

Disusun Oleh:
Army Setia Kusuma, S.Ked
030.12.034

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 20 JUNI - 4 SEPTEMBER 2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas


kesehatan dan kemudahan yang dilimpahkan karena berkatNya penulis
dapat menyelesaikan tugas referat dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Dalam di RSUD Kota Bekasi yang berjudul Hemoptisis pada Penderita
Tuberkulosis Paru.
Tidak sedikit hambatan yang dihadapi penulis dalam penyusunan
referat ini, namun berkat bantuan berbagai pihak karya tulis ilmiah ini dapat
diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima
kasih sebesar-besarnya kepada dr. Taufik, Sp.P selaku pembimbing atas
masukan dan pengarahannya selama penulis belajar dalam kepaniteraan
klinik Ilmu Penyakit Dalam.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat terutama bagi penulis sendiri
dan para pembaca,. Penulis menyadari karya tulis ini masih perlu banyak
perbaikan oleh karena itu kritik dan saran diharapkan dari para pembaca.

Bekasi, 12 Agustus 2016

Army Setia Kusuma, S.Ked

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... 2
DAFTAR ISI ................................................................................................... 3
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... 4
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 6
2.1.1 Definisi Tuberkulosis .............................................................................. 6
2.1.2 Morfologi M. tuberculosis ...................................................................... 6
2.1.3 Patogenesis M. tuberculosis .................................................................... 7
2.1.4 Klasifikasi Tuberkulosis.......................................................................... 9
2.1.5 Diagnosis Tuberkulosis ........................................................................... 12
2.1.6 Tatalaksana Tuberkulosis ........................................................................ 15
2.2.1 Definisi Hemoptisis dan Klasifikasi ....................................................... 18
2.2.2 Epidemiologi Hemoptisis...........................................................................19
2.2.3 Anatomi Sirkulasi Paru ........................................................................... 20
2.2.4 Patogenesis Hemoptisis pada Tuberkulosis ............................................ 21
2.2.5 Diagnosis ................................................................................................. 23
2.2.6 Terapi ...................................................................................................... 26

BAB III KESIMPULAN ................................................................................ 28


DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 29

3
LEMBAR PENGESAHAN

Case Report dan Referat dengan Judul Hemoptisis pada Penderita


Tuberkulosis Paru. Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing,
sebagai syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik ilmu Penyakit
Dalam di RSUD Kota Bekasi periode 20 Juni - 4 September 2016

Bekasi, 12 Agustus 2016

(dr.Taufik Sp.P)

4
BAB I
PENDAHULUAN

Hemoptisis adalah ekspektorasi atau batuk yang mengandung darah dan berasal
dari saluran pernafasan bagian bawah sebagai akibat perdarahan sirkulasi pulmoner atau
bronkial. Homptisis merupakan gejala klinis yang dapat muncul pada berbagai mancam
penyakit paru baik ringan maupun berat yang dapat mengakibatkan perburukan kondisi
klinis bahkan sampai kematian akibat asfiksia maupun penurunan keseimbangan
hemodinamik tubuh.(1,2)
Infeksi merupakan penyebab hemoptisis terbanyak dengan presentasi 60% -
70% dari total kasus. Di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia, infeksi
Mycobacterium tuberculosis pada paru-paru merupakan penyebab terbanyak kasus
hemoptisis.(1) Bakteri M. tuberculosis merupakan penyebab infeksi kronis tuberkulosis
(TB). WHO medeklarasikan TB sebagai Global Health Emergency pada tahun 1993
karena 1/3 penduduk dunia telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis, sekitar tahun
1998 tercatat ada 3.617.047 kasus baru dengan TB di seluruh dunia dan pada tahun
2013 sekitar 9 juta orang di diagnosis mengidap TB.(3,4) Prevalensi TB di Indonesia
sendiri menempati posisi ke 6 di dunia dengan jumlah 281 kasus per 100.000 penduduk
dan angka kematian mencapai 27 kasus per 100.000 penduduk(5)
Dengan tingginya prevalensi penderita TB maka tinggi pula angka kejadian
hemoptisis di Indonesia, oleh sebab itu perlu penangan yang tepat terhadap infeksi
M. Tuberculosis dan komplikasi hemoptisis yang terjadi akibat proses patogenesisnya.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1 Definisi Tubekulosis

Tuberkulosis adalah infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri


Mycobacterium tuberculosis.(1)

2.1.2 Morfologi M. tuberculosis

M. tuberculosis merupakan bakteri berbentuk basil tahan asam


berukuran panjang 1-10 m dan lebar 0,2 0,6 m. Bakteri ini
berkembang biak secara intraseluler, bersifat aerob, non-sporing, non-
motile serta memiliki laju pertumbuhan dan mitosis yang lambat yaitu
sekitar 12-36 jam dalam medium perkembang biakan. Memiliki struktur
dinding sel yang unik, kaya akan struktur lemak yang tebal dan kompleks
terdiri dari peptidoglycolipids (mycosides), cord factor dan sulpholipids
sebagai lapisan lemak bagian luar sedangkan lapisan dalam terdiri dari
mycolic acid, arabinogalactan dan murein layer (peptidoglycan dan
lipoarabinomannan). Struktur dinding lipid yang tebal membuat M.
Tuberculosis dapat sedikit terwarnai oleh pewarnaan gram dan strutur
lemak yang kompleks pada dinding sel bakteri M. Tuberculosis
melindunginya dari destruksi ekstraseluler seperti aktivitas sistem imun
host serta menentukan derajat virulensinya.(6)

6
Gambar 1. Struktur dinding sel M. tuberculosis

2.1.3 Patogenesis Mycobacterium tuberculosis

Bakteri M. tuberculosis merupakan organisme yang sangat patogen


terhadap manusia, bakteri ini ditularkan melalui beberapa jalur yaitu melalui
inhalasi, ingesti dan implantasi langsung oleh bakteri. Jalur penularan yang paling
sering terjadi adalah melalui inhalasi droplet nuclei yang mengandung M.
tuberculosis, apabila bakteri dapat melalui mekanisme bersihan mukosiliar serta
refleks batuk maka bakteri ini akan sampai di alveolus dan bronkiolus kemudian
berimplantasi. Lipoprotein dan glikolipid M. tubercolosis menginduksi aktivasi
makrofag paru, sel T dan ekspresi sitokin. Secara cepat bakteri yang masuk paru
segera di fagosit oleh makrofag. Apabila jumlah bakteri dan virulensinya tinggi
maka akan terjadi kegagalan makrofag membunuh M. tubercolosis saat proses
fagositosis dan jika sebaliknya maka M. tuberculosis dapat dengan cepat di
eradikasi.(7)

7
Selama proses fagositosis terjadi rekrutmen sel imunitas tubuh yang
berada dalam sirkulasi darah menuju fokus infeksi. Karena mekanisme yang
dimilikinya, M. tuberculosis dapat tumbuh dan berkembang dalam fagosome
makrofag. Selama infeksi primer M. tuberculoisis, sebagian bakteri yang berada
dalam makrofag dibawa menuju kelenjar getah bening (KGB) lokal melalui
pembuluh limfe. Selama proses ini, terbentuklah respon hipersensitivitas tipe 4
sistem imun tubuh akibat M. tuberculosis yang gagal difagosit. Terbentuk suatu
fokus peradangan granulomatosa yang terdiri dari inti yang mengalami
perkejuan/nekrotik di kelilingi oleh sel epitelioid, giant cell, foam cell, sel
dendritik dan fibroblas pada parenkim paru (fokus ghon) sebagai akibat dari reaksi
hipersensitivitas pada fokus infeksi yang disertai peradangan KGB lokal paru dan
pembuluh limfe paru. Fokus ghon, limfangitis dan limfadenitis lokal disebut
sebagai kompleks primer, setelah terbentuk kompeks primer 3-6 minggu
kemudian akan ditemukan hasil positif tuberculin skin test.(7,8)

Perkembangan kondisi selanjutnya ditentukan oleh kualitas dan intensitas


imunitas seluler tubuh, makrofag dan sel T beserta sitokinnya terutama tumor
necrosis factor- (TNF-), interferon- (INF-) dan interleukin-12 (IL-12)
memegang peran penting dalam proses imunitas tubuh. Pada pasien dengan
imunitas seluler yang kuat dan kompeten, fokus Ghon, limfangitis dan
limfadenitis regional akan sembuh dengan meningalkan bekas fibrosis dan
kalsifikasi dalam beberapa minggu atau bulan. Jika imunitas tubuh kurang
kompeten maka bakteri dapat lolos dari fokus peradangan granulomatosa,
menyebar dan menginfeksi daerah lain yang kemudian difagosit ulang oleh
makrofag dan membentuk fokus peradangan granulomatosa yang baru. Proses ini
akan terus berulang apabila imunitas tubuh tidak bisa mengendalikan infeksi M.
tuberculosis dan jika sebaliknya maka akan terjadi proses penyembuhan dengan
digantikannya jaringan yang terinfeksi oleh jaringan fibrosis atau kalsifikasi.(7)

Penyebar M. tuberculosis ke tempat lain terjadi melalui beberapa cara,


yaitu secara hematogenik, limfogenik, bronkogenik dan perkontinuitatum. Melalui
mekanisme penyebaran ini, M. tuberculosis mampu mencapai berbagai organ

8
terutama yang memiliki vaskularisasi yang tinggi. Bentuk gejala dan tingkat
keparahan penyakit bergantung dari letak, luas, cara penyebaran, derajat virulensi
dan respon imun penderita.(7)

2.1.4 Klasifikasi Tuberkulosis

Terdapat beberapa pengklasifikasian Tuberkulosis yang sudah disepakati


untuk mempermudah diagnosis dan mempelajari penyakit ini. Klasifikasi tersebut
diantaranya yaitu : (9,10)

I. Berdasarkan letak infeksi :


1. Tuberkulosis paru : tuberkulosis yang menyerang jaringan
paru,
tidak termasuk pleura dan KGB paru

2. Tuberkulosis ektra paru : tuberkulosis yang menyerang organ tubuh


lain selain paru

a. TB ekstra paru ringan: TB kelenjar limfe, pleuritis


eksudativa unilateral, tulang (kecuali
tulang belakang), sendi dan kelenjar
adrenal.
b. TB ekstra paru berat : meningitis, millier, perikarditis,
peritonitis, pleuritis eksudativa
bilateral, TB tulang belakang, TB
usus, TB saluran kencing dan alat
kelamin.

9
II. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA) :
a) Tuberkulosis Paru BTA (+) :
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan
hasil BTA positif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran
tuberkulosis aktif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif dan biakan positif
b) Tuberkulosis Paru BTA (-)
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,
gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan
tuberkulosis aktif serta tidak respons dengan pemberian
antibiotik spektrum luas
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif
dan biakan M.tuberculosis positif

III. Berdasarkan tipe penderita :


Kasus baru adalah penderita yang belum pernah mendapat
pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang
dari satu bulan (30 dosis harian)
Kasus kambuh (relaps) adalah penderita tuberkulosis yang
sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah
dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian
kembalilagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif
atau biakan positif.
Kasus pindahan (Transfer In) adalah penderita yang sedang
mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian pindah
berobat ke kabupaten lain. Penderita pindahan tersebut harus
membawa surat rujukan/pindah

10
Kasus lalai berobat adalah penderita yang sudah berobat paling
kurang 1 bulan, dan berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang
kembali berobat
Kasus Gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif
atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan
sebelum akhir pengobatan)
Kasus kronik adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2
dengan pengawasan yang baik
Kasus bekas TB adalah hasil pemeriksaan dahak mikroskopik,
biakan negatif dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB
inaktif, terlebih gambaran radiologik serial menunjukkan gambaran
yang menetap. Riwayat pengobatan OAT yang adekuat akan lebih
mendukung

IV. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat :


Mono resistan (TB MR) : resistan terhadap salah satu jenis OAT
lini pertama saja
Poli resistan (TB PR) : resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT
lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara
bersamaan
Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H)
dan Rifampisin (R) secara bersamaan
Extensive drug resistan (TB XDR) : adalah TB MDR yang
sekaligus juga resisten terhadap salah satu OAT golongan
fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis
suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin)

11
2.1.5 Diagnosis Tuberkulosis

I. GAMBARAN KLINIK

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,


pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan
pemeriksaan penunjang lainnya.(10)

1. Anamnesis

Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu


gejala respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.

a) Gejala respiratorik :
batuk 3 minggu
batuk darah
sesak napas
nyeri dada
b) Gejala sistemik
Demam subfebris
malaise
keringat malam
anoreksia
berat badan menurun

Gejala respiratorik sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala


sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita
terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat
dalam proses penyakit, maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk.
Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk
diperlukan untuk membuang dahak ke luar. Gejala tuberkulosis ekstra paru

12
tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa
akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah
bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis,
sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat nyeri dada dan efusi
pleura.(10)

2. Pemeriksaan Jasmani

Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung


dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat
tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal)
perkembangan penyakit umumnya tidak atau sulit sekali menemukan
kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior
terutama daerah apex dan segmen posterior , serta daerah apex lobus
inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara
napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda
penarikan paru, diafragma & mediastinum. Pada pleuritis tuberkulosa,
kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga
pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang
melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada
limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher, kadang-kadang di daerah ketiak. (10)

3. Pemeriksaan dahak

Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung berfungsi untuk


menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan
potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis
dilakukan dengan mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang dikumpulkan
dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-
Sewaktu (SPS) :(9)

a. S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien


TB datang berkunjung pertama kali ke fasyankes. Pada

13
saat pulang, terduga pasien membawa sebuah pot dahak
untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.
b. P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari
kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan
diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.
c. S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari

4. Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto


lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-
Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran
bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang
dicurigai sebagai lesi TB aktif (9)

a. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior


lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah
b. Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular
c. Bayangan bercak milier
d. Efusi pleura unilateral atau bilateral.

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif yaitu(9)

1. Fibrotik atau kalsifikasi pada segmen apikal dan atau posterior


lobus atas
2. Kompleks ranke
3. Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan
dapat dinyatakan sebagai berikut:(9)

a. Lesi minimal : bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua
paru dengan luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di

14
atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus
spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis
5 (sela iga 2) dengan atau tanpa dijumpai kavitas yang minimal
b. Lesi luas : bila proses lebih luas dari lesi minimal.

5. Pemeriksaan biakan untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien


tertentu, misal
a. Pasien TB ekstra paru.
b. Pasien TB anak.
c. Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak
mikroskopis langsung BTA negatif.

2.1.6 Tata Laksana Tuberkulosis

Obat anti tuberkulosis (OAT) merupakan komponen terpenting dalam


pengobatan TB. Pengobatan TB adalah salah satu upaya paling efisien untuk
mencegah penyebaran lebih lanjut. Prinsip pengobatannya adalah pengobatan
diberikan dalam waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal serta lanjut untuk
mencegah kekambuhan, OAT diminum secara teratur dan diawasi hingga
pengobatan selesai, diberi dalam dosis tepat dan kombinasi obat yang benar untuk
mencegah resistensi.(9)

Tahap awal pengobatan, obat akan diberikan satu kali setiap hari. Tahap ini
dimaksudkan untuk secara aktif menurunkan jumlah kuman yang ada dan
meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang sudah resisten.
Pengobatan tahap awal berlangsung selama 2 bulan.(9)

Tahap lanjut dimaksudkan untuk eradikasi sisa kuman yang masi ada dalam
jaringan khususnya kuman yang presister sehingga pasien dapat sembuh dan
mencegah terjadinya kekambuhan.(9)

15
Tabel 1. OAT lini pertama

Tabel 2. Dosis OAT

16
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:(10)

1. Kategori 1 (TB paru kasus baru BTA positif, TB paru BTA(-) dengan
gambaran radiologi lesi luas dan TB ekstra paru berat)

Paduan obat yang diberikan : 2RHZE / 4RH atau 2RHZE / 4R3H3.


Pengobatan fase lanjutan, bila diperlukan dapat diberikan selama 7 bulan,
dengan paduan 2RHZE / 7RH atau 2RHZE/ 7R3H3, seperti pada keadaan:

a. TB dengan lesi luas

b. Disertai penyakit komorbid (Diabetes Melitus, pemakaian obat


imunosupresi / kortikosteroid)

c. TB kasus berat (milier, dll)

2. Kategori 2 (TB kasus gagal, putus obat dan relaps)

Panduan obat yang diberikan : 2SRHZE / 1RHZE / 5H3R3 atau


2SRHZE/1RHZE/5HRE

3. Kategori 3 (TB ektra paru ringan dan TB BTA(-) dengan lesi minimal)
Panduan obat yang diberikan : 2 RHZ / 4 RH atau 2 RHZ/ 4R3H3 atau
6RHE
4. Kategori 4 (TB kasus Kronik)
Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi,
berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji
resistensi (minimal terdapat 2 macam OAT lini pertama yang masih sensitif
dengan H tetap diberikan walaupun resisten) dan merujuk pasien segera ke
ahli paru. Terdapat banyak perbedaan dalam pengklasifikasian hemoptisis
karena belum adanya konsensus spesifik mengenai masalah ini.

17
2.2.1 Definisi Hemoptisis dan Klasifikasi

Hemoptisis adalah ekspektorasi atau batuk yang mengandung darah dan


berasal dari saluran pernafasan bagian bawah sebagai akibat perdarahan sirkulasi
pulmoner atau bronkial. Hemoptisis terbagi mejadi beberapa klasifikasi
berdasarkan banyaknya darah yang dibatukkan yaitu: (11)

1. Hemoptisis ringan adalah ekspektorasi darah < 200cc/24jam


2. Hemoptisis berat terbagi lagi menjadi mayor dan masif
a. Hemoptisis mayor adalah ekspektorasi darah sebanyak 200cc-
600cc dalam 24jam
b. Hemoptisis masif adalah ekpektorasi batuk > 600cc dalam 24 jam

Menurut sumber lain terdapat pembagian untuk hemoptisis yang lebih


spesifik yaitu: (12)

1. Hemoptisis ringan : volume batuk darah < 30ml/hari.


2. Hemoptisis sedang : volume batuk darah 30 250ml/hari.
3. Hemoptisis berat : volume batuk darah > 250 ml/hari tetapi tidak
memenuhi kriteria hemoptisis massif.
4. Hemoptisis masif :
a. Batuk darah > 600 ml dalam 24 jam dan dalam pengamatan batuk
darah tidak berhenti.
b. Batuk darah > 250 ml tetapi kurang dari 600 ml dalam 24 jam dan
pemeriksaan laboratorium menunjukkan hemoglobin kurang dari
10 gr/dl, dalam pengamatan batuk darah tetap berlangsung.
c. Batuk darah > 250 ml tetapi kurang dari 600 ml dalam 24 jam dan
dari pemeriksaan laboratorium hemoglobin lebih dari 10 gr/dl,
tetapi dalam pengamatan 48 jam dengan pengobatan konservatif
batuk darah tidak berhenti.

Secara klinis pembagian hemoptisis seperti yang di jelaskan pada kalimat


sebelumnya cukup sulit untuk di terapkan dalam praktik sehari-hari. Oleh karena
itu terdapat pula pembagian hemoptisis yang dilakukan berdasarkan kondisi klinis

18
pasien. Apabila pasien datang dengan keluhan batuk darah disertai tanda-tanda
gangguan hemodinamik dan asfiksia maka pasien ini sudah dimasukkan kedalam
kategori hemoptisis berat dan perlu mendapatkan terapi segera.(13)

2.2.2 Epidemiologi Hemoptisis

Penyebab tersering dari hemoptisis sangat bergantung letak demografis


suatu daerah. Secara garis besar pembagiannya terbagi dua yaitu hemoptisis pada
negara berkembang dan hemoptisis pada negara maju. Pada negara maju
penyebab tersering kasus hemoptisis adalah bronkiektasis, kanker paru dan
bronkitis. Dilaporkan dari hasil penelitian sebelumnya di beberapa negara maju
seperti Polandia diperoleh hasil analisis secara retrospektif 431 kasus pasien
hemoptisis dengan tumor sebagai penyebab paling umum (40,4%), di negara
Yunani ditemukan bahwa bronkiektasis (26%) dan bronkitis kronis (23%) sebagai
penyebab utama diikuti oleh bronkitis akut (15%) dan kanker paru-paru (13%)
dan Turki melaporkan kanker paru-paru merupakan penyebab paling umum
hemoptisis (34,3%), diikuti oleh bronkiektasis (25,0%), TB (17,6%), pneumonia
(10,2%) dan emboli paru (4,6%). Sedangkan di negara berkembang, sebagai
contoh di India, Nepal dan Libanon dilaporkan kasus hemoptisis berturut-turut
yaitu 79,2%, 60%, dan 30% disebabkan oleh tuberkulosis paru lalu di ikuti
penyebab infeksi lain dan kanker paru.(1) Di Indonesia berdasarkan hasil studi
yang dilakukan di RSUP Dr. M. Djamil Padang diperoleh TB paru aktif
merupakan penyebab utama hemoptisis (47,6%) diikuti kanker paru (13,9%) dan
bekas TB paru (10,7%).(12)

Data epidemiologi secara keseluruhan di berbagai negara di dunia


menyimpulkan bahwa infeksi merupakan penyebab hemoptisis terbanyak dengan
presentasi 60% - 70% dari total kasus dengan 5-15% nya berkembang menjadi
hemoptisis berat.(1)

19
2.2.3 Anatomi Sirkulasi Paru

Sistem pembuluh darah paru dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu: sistem


pembuluh pulmoner yang terdiri dari arteri dan vena pulmoner serta sistem
pembuluh bronkial yang terdiri dari arteri dan vena bronkial. Anatomi masing-
masing sistem tersebut memiliki kekhususan dan fungsi sehingga dalam keadaan
normal paru dapat berfungsi dengan baik.

a. Pembuluh darah pulmoner

Arteri pulmonalis merupakan arteri yang membawa darah kaya akan CO2
dari ventrikel kanan menuju paru-paru. Dinding arteri pulmonalis memiliki
lapisan muscularis yang lebih tipis dibandingkan arteri besar lainnya namun
memiliki diameter dan daya compliance yang lebih besar sehingga mampu
menampung 2/3 volume sekuncup darah yang dipompa ventrikel kanan. Arteri
pulmonalis utama memiliki panjang kurang lebih 5 cm dari apeks ventrikel kanan
yang kemudian terbagi menjadi 2 untuk memperdarahi paru-paru kanan dan kiri.
Percabangan arteri di dalam paru-paru mengikuti percabangan bronkus. Di daerah
duktus alveolaris, cabang-cabang arteri ini membentuk jalinan kapiler di dalam
septum interalveolaris yang erat dengan epitel alveolus sehingga memudahkan
pertukaran gas. Kemudian darah yang kaya akan O2 di kapiler paru di teruskan
menuju vena pulmonalis yang berjalan menjauhi jalan nafas menuju jaringan
itertisal dan pleura viseral yang kemudian bergerak mengikuti cabang-cabang
bronkus besar menuju hilus dan kembali ke atrium kiri. Tekanan sistolik arteri
paru sekitar 25 mmHg pada orang normal dan tekanan diastolik arteri paru sekitar
8 mmHg. Sedangkan tekanan arteri paru rerata adalah 15 mmHg dan tekanan
kapiler paru kurang lebih 7 mmHg serta tekanan vena pulmonalis berkisar 1-5
mmHg.(14,16)

20
b. Pembuluh darah bronkial

Arteri bronkialis merupakan arteri yang berfungsi mensuplai nutrien dan


O2 kepada jaringan paru. Arteri ini merupakan cabang langsung dari Aorta
thoracalis yang menuju paru-paru melalui hilus dan bercabang-cabang mengikuti
percabangan bronkus. Arteri bronkialis membentuk jalinan kapiler pada
bronkiulus respiratorius dan bernastomosis dengan kapiler yang berasal dari arteri
pulmonalis. Hanya 13% darah dari arteri bronkialis yang diteruskan menuju vena
bronkialis dan sisanya dialirkan menuju vena pulmonalis kembali ke atrium kiri
sedangkan darah dari vena bronkialis diteruskan menuju vena azygos dan vena
hemiazygos ke atrium kanan. Tekanan sistolik, diastolik dan tekanan arteri rerata
pembuluh bronkial sama dengan tekanan pada pembuluh darah sistemik
tubuh.(15,16)

Gambar 2. Anatomi sirkulasi paru.

21
2.2.4 Patogenesis Hemoptisis pada Tuberkulosis

Sumber perdarahan hemoptisis dapat berasal dari sirkulasi pulmoner atau


sirkulasi bronkial. Hempotisis masif sumber perdarahan umumnya berasal dari
sirkulasi bronkial ( 95% ). Sirkulasi pulmoner memperdarahi alveol dan duktus
alveol, sistem sirkulasi ini bertekanan rendah dengan dinding pembuluh darah
yang tipis. Sirkulasi bronkial memperdarahi trakea, bronkus utama sampai
bronkiolus terminalis dan jaringan penunjang paru, esofagus, mediastinum
posterior dan vasa vasorum arteri pulmoner, sedangkan bronkiolus respiratorius
diperdarahi oleh anastomosis sirkulasi bronkial dan pulmoner. Dengan kata lain
sirkulasi bronkial memperdarahi hampir 90% dari seluruh jaringan paru dan sekita
5% diperdarahi oleh sirkulasi polmoner.(16)

Pada Infeksi M. tuberculosis yang menyebabkan lesi parenkim akut,


perdarahan terjadi oleh karena nekrosis arteri/vena didekat saluran nafas yang
kemudian menyebabkan hemoptisis. Pada lesi kronik infeksi M. tuberculosis
berupa lesi fibroulseratif parenkim paru dengan kavitas, dapat memiliki tonjolan
aneurisma arteri ( aneurisma Rassmussen ) ke rongga ataupun dinding kavitas
sehingga mudah berdarah, kondisi ini yang paling sering menimbulkan hemoptisis
masif baik pada penderita TB aktif maupun pada penderita bekas TB. Pada
tuberkulosis endobronkial, hemoptisis disebabkan oleh ulserasi granulasi dari
mukosa bronkus.(17)

Dasar dari terjadinya perdarahan di setiap fokus infeksi M. tuberculosis


merupakan akibat dari respon hipersensitivitas dalam mengendalikan infeksi
bakteri tersebut. Aktivasi sitokin proinflamasi yang berlebihan menginduksi
dilatasi pembuluh darah, inflamasi mukosa dan edema yang dapat mempermudah
rupturnya pembuluh darah serta aktivitas sitokin dan terlepasnya enzim hidrolitik
intasel mengakibatkan terjadinya erosi jaringan normal disekitar fokus infeksi.(2,17)
Dengan berlalunya waktu, inti nekrotik/kaseosa akan mengalami pencairan
sebagai hasil dari terlepasnya enzim hidrolitik sel-sel imun yang mati serta

22
ditambah dengan sisa dinding sel bakteri yang mati. Inti nekrotik/kaseosa yang
mencair dapat mengikis jaringan disekitarnya. (17)

Masih terdapat beberapa mekanisme hemoptisis pada pasien tuberkulosis


paru yang belum di ketahui, namun dengan dua mekanisme yang sudah dijelaskan
dapat sedikit memberi gambaran proses patologinya.

2.2.5 Diagnosis

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Sebelum menegakkan diagnosis hemoptisis, kemungkinan sumber


perdarahan lain harus disingkirkan seperti pseudohemoptisis yang
merupakan ekspektorasi darah yang berasal dari saluran nafas bagian atas
dan hematemesis yang merupakan eksplusi atau keluarnya isi saluran
pencernaan yang mengandung darah.(18)

Pada hemoptisis akibat adanya darah dalam saluran nafas, meyebabkan


timbulnya refleks batuk untuk mengeluarkan darah yang bertujuan
menjaga aliran udara dalam saluran nafas. Sedangkan pada
pseudohemoptisis darah dapat keluar tanpa disertai rasa ingin batuk dan
dapat keluar melalui hidung, darah yang keluar pada pseudohemoptisis
pun jarang dalam bentuk bekuan-bekuan darah yang menggumpal. Untuk
membedakan hemoptisis dengan hematemesis dapat dipergunakan
petunjuk sebagai berikut: (18)

a. Pada hematemesis didahului oleh rasa mual atau tidak nyaman


pada epigastrium sedangkan pada hemoptisis didahului rasa tidak
enak ditenggorokan
b. Hematemesis, setelah darah dimuntahkan dapat disertai batuk.
Pada hemoptisis setelah batuk darah dapat disertai mual dan
muntah

23
c. Darah yang dikeluarkan pada hematemesis berwarna coklat
kehitaman, tidak berbuih, pH asam, disertai sisa makanan, selalu
terdapat anemia dan buang air besar dapat berwarna hitam (melena.
Sedangkan pada hemoptisis darah ynag dikeluarkan berwarna
merah segar, berbuih, pH basa, tidak disertai sisa makanan, tidak
selalu disertai anemia dan tidak terdapat melena.
d. Pasien dengan hematemesis biasanya memiliki riwayat masalah
pada sistem pencernaan dan kelainan hepar. Sedangkan pasien
hemoptisis sering memiliki riwayat penyakit paru-paru.

Pada anamnesis perlu ditanyakan adakah gejala-gejala TB paru


mengingat penyebab utama hemoptisis di Indonesia adalaha TB paru. Sifat
dahak juga di tanyakan, apakah dahak bersifat mukopurulen atau purulen
yang menunjukan adanya infeksi paru seperti bronkiektasis, abses paru,
pneumonia dan bronkitis. Adakah trauma sebelum batuk darah, apakah
pasien perokok, adakah perdarahan di tempat lain yang terjadinya
bersamaan dengan batuk darah yang mengarakan ke kemungkinan
kelainana pembekuan darah, apakah pasien memiliki riwayat pemijatan
varises vena tungkai, adakah riwayat penyakit jantung yang meningkatkan
kecurigaan edema paru dan ditanyakan apakah sebelumnya pernah
mengalami keluhan yang sama seperti saat pasien datang.(18)

Pemeriksaan fisik pasien hemoptsis lebih ditujukan untuk melihat


apakah ada kelainan di luar paru dan melihat kemungkinan gangguan
hemodinamika.(18)

b. Pemeriksaan laboraturium dan foto toraks

Jenis pemeriksaan lab ditentukan berdasarkan kecurigaan penyakit


yang mendasari terjadinya hemoptisis dan memantau keseimbangan

24
hemodinamika tubuh akibat hemoptisis. Pada pasien suspek TB paru maka
dilakukan pemeriksaan sputum BTA dan dapat dilakukan pemeriksaan
kultur. Pada kecurigaan infeksi kuman lain dapat dilakukan pemeriksaan
gram dan kultur bakteri. Pemeriksaan pembekuan darah meliputi
pemeriksaan PT dan APTT apabila dicurigai terdapat kelainan pembekuan
darah. Pemeriksaan sitologi sputum dilakukan pada pasien dengan
kecurigaan keganasan yaitu pasien berusia diatas 40 tahun, laki-laki,
riwayat merokok > 30 tahun meskipun pemeriksaan foto toraks normal
dan terutama bila hemoptisis sudah terjadi 1 minggu tanpa diketahui
sebab yang jelas.(18)

Pemeriksaan darah rutin selalu dilakukan untuk memantau


keseimbangan hemodinamika pasien, bila perlu juga bisa dilakukan
pemeriksaan analisis gas darah dan urin rutin. Pada keadaan gawat seperti
pada kondisi hemoptisis berat, pemeriksaan lab dapat dibatasi pada
pemeriksaan Hb saja.(18)

Berdasarkan guideline yang dikeluarkan oleh American Collage of


Radiology (ACR), perlu dilakukan pemeriksaan rontgen thorax pada
semua pasien hemoptisis untuk mengetahui lesi yang terjadi pada jaringan
paru.(13)

c. Pemeriksaan CT-scan, bronkoskopi dan angiografi

CT-scan thoraks harus disediakan untuk pasien dengan temuan


kelainan jaringan paru terutama masa, hemoptisis berulang, memiliki
faktor resiko yang tinggi untuk terjadinya kanker dan terutama pada pasien
yang ditemukan lesi paru yang tidak khas atau tidak ditemukan lesi di paru
pada pemeriksaan foto thoraks.(13)

25
Pemeriksaan bronkoskopi memiliki indikasi yang sama dengan
pemeriksaan CT-scan, namun pemeriksaan ini menurut ACR sebaiknya
dilakukan setelah pemeriksaan CT-scan dan dilakukan segera apabila
pasien mengalami hemoptisis masif. Terdapat dua jenis bronkoskopi, yaitu
bronkoskop serat optik dan bronkoskop metal yang kaku. Bronkoskop
serat optik memiliki kelebihan dalam mencari lokasi sumber perdarahan
paru sedangkan bronkoskop metal yang kaku lebih dimanfaatkan untuk
membersihkan jalan nafas dari bekuan darah dan benda asing. Pada
kondisi hemoptisis berat yang tidak dapat dilokalisir sumber perdarahan
menggunakan bronkoskop makan pemeriksaan angiografi segera perlu
dilakukan, pemeriksaan ini menggunakan metode kateterisasi arteri yang
kemudian menyeprotkan media kontras kedalam pembulu darah. (13,18)

2.2.6 Terapi

Untuk mengatasi hemoptisis, terdapat tiga prinsip tatalaksana : (18)

a. Menjaga jalan napas tetap terbuka dan stabilisasi penderita.


b. Menentukan lokasi perdarahaan dan menghentikan perdarahan.
c. Memberikan terapi sesuai etiologi.

Penanganan yang dilakukan pada kasus hemoptisis ringan-sedang, yaitu: (18)

a. Memperbaiki keadaan umum pasien dengan cara edukasi untuk tetap


membatukkan darah mencegah aspirasi, pemberian O2 jika pasien
mengalami sesak, pemberian cairan rehidrasi dan pemeberian asupan
nutrisi yang baik.
b. Mengobati penyakit yang mendasari

Penanganan hemoptisis berat harus dilakukan sesegera mungkin untuk


mencegah aspirasi dan gangguan keseimbangan hemodinamika. Penanganan
hemoptisis berat pertama ditujukan untuk menghentikan perdarahan mencakup

26
terapi bedah sebagai terapi definitif dan terapi konservatif. Terapi konservatif
hemoptisis berat mencakup: (18)

a. Mencegah asfiksia. Pada pasien yang masih sadar dapat di edukasi


untuk tetap membatukkan darah, tapi jika pasien terlalu sering batuk
dan terlalu keras dapat menyebabkan perdarahan sukar berhenti maka
diberikan kodein 15-30 mg setiap 3-4 jam . Apabila pasien tidak sadar
atau memiliki refleks batuk yang tidak adekuat maka pasien diletakkan
dalam posisi trendelenburg. Jika sudah terdapat sumbatan jalan nafas
maka dilakukan penghisapan dengan bronkoskop
b. Pemberian obat penenang jika diperlukan pada pasien gelisah agar
lebih kooperatif berupa luminal 15-60mg/hari.
c. Pemberian obat hemostatika.
d. Pemberian O2, tranfusi darah dan mengobati penyakit yang mendasari

Kriteria pasien bedah pada kasus hemoptisis adalah pasien hemoptisis


berat yang membahayakan nyawa dan telah diketahui bleeding point dari hasil
pemeriksaan bronkoskop, hasil anamnesis pasien tidak memiliki riwayat sesak
nafas pada saat olahraga atau kerja sebagai anggapan awal bahwa faal paru masih
baik, kapasitas paru kanan kira-kira 55% dan kapasitas paru kiri kira-kira 45%,
apabila memungkinkan pemeriksaan spirometri maka harus diperoleh hasil
normal pada saat dilakukan pemeriksaan faal paru serta pasien menyetujui
tindakan bedah. Terapi bedah yang akan dilakukan berupa segmentektomi atau
lobektomi atau pneumonektomi dengan atau tanpa torakoplasti. (18)

Apabila tindakan bedah tidak bisa dilakukan maka dapat dilakukan


tindakan induksi pembekuan darah pada lokasi perdarahan melalui jalur
endobronkial menggunakan bronkoskop dan embolisasi arteri melalui jalur
endovaskular menggunakan kateter arteri. Kedua terapi ini dapat dikombinasi
untuk menurunkan kemungkinan terjadinya perdarahan berulang. Tindakan
melalui jalur endobronkial setelah diketahui sumber perdarahan, dengan
menggunakan bronkoskop dimasukkan sebanyak 5-10 ml thrombin dengan kadar

27
10.000U/ml dan dikobinasi dengan cairan fibrinogen 2% sebanyak 5-10 ml tepat
di lokasi perdarahan lalu didiamkan sampai diyakini telah terjadi hemostasis.
Sedangkan terapi embolisasi, tindakan ini dilakukan pada kasus hemoptisis berat
pada kondisi dimana tidak dapat ditentukan bleeding point dengan bronkoskop,
hemoptisis rekurensi post bedah reseksi paru, penolakan tindakan bedah dan faal
paru yang kurang baik. Tidakan ini menggunakan modalitas kateterisasi
angiografi dengan penyemprotan bahan embolan yaitu gelfoam atau partikel
polyvinyl alcohol pada pembuluh darah yang ruptur.(18)

28
BAB III

KESIMPULAN

Hemoptisis masif merupakan suatu kedaruratan medis bila tidak diterapi


mempunyai angka mortaliti > 50%. Penyebab hemoptisis tersering hemoptisis di
Indonesia adalah tuberkulosis. Tatalaksana hemoptisis saat ini meliputi terapi
konservatif, pembedahan, endobronkial, endovaskular atau kombinasi dan dalam
pemeriksaan pasien hemoptisis diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
mendalam, foto toraks, CT-scan dan bronkoskopi.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Tan S, Sun D, Zhang T, Li Y, Cao Y, Moses M. Njire MM, Shaw JE, et al.
Risk factors for hemoptysis in pulmonary tuberculosis patients from Southern
China. Scientific Research Publishing 2014; 2:173-80.
2. Bidwell JL, Pachner RW. Hemoptysis: Diagnosis and Management. American
Family Physicia 2005;72(7):1253-59.
3. World Health Organization. Global tubercuosis control. WHO Report 1999.
Geneva:WHO, 1999.
4. World Health Organization. Global tubercuosis control. WHO Report 2014.
Geneva:WHO, 2014.
5. Depkes RI. Tuberkulosis Paru. Jakarta : Depkes RI. 2009.
6. Madkour MM, Al-Saif A, Al-Moutaery KR, Al-Kudwah A, editors.
Tuberculosis. 1st ed. Berlin : Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2004.p.116-
117
7. Madkour MM, Al-Saif A, Al-Moutaery KR, Al-Kudwah A, editors.
Tuberculosis. 1st ed. Berlin : Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2004.p.153-
154
8. Madkour MM, Al-Saif A, Al-Moutaery KR, Al-Kudwah A, editors.
Tuberculosis. 1st ed. Berlin : Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2004.p.139-
41
9. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.
Jakarta : Kemenkes RI 2014.p.13-20.
10. Rasjid R, Yusuf A, Tjokronegoro A. Tuberkulosis paru pedoman penataan
diagnostik dan terapi. Jakarta, Balai Penerbit FKUI, 1985:1-11
11. Song Yang S, Mai Z, Zheng X, Qiu Y. Etiology and an Integrated
Management of Severe Hemoptysis Due to Pulmonary Tuberculosis. Journal
of Tuberculosis Research, 2015; 3:p.11-18
12. Irfa I, Medison I, Iryani D. Gambaran Kejadian Hemoptisis pada Pasien di
Bangsal Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang Periode Januari 2011 Desember
2012. Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(3)
13. Earwood JS, Thompson TD. Hemoptysis: Evaluation and Management.
American Family Physician 2015;91:243-9
14. Weinberger SE, Crockrill BA. Anatomic and physiologic aspects of the
pulmonary vasculature. In: Dolores Meloni, editor. Principles of pulmonary
medicine. 5th edition. Philadelphia:Elsevier; 2008. p.172-8.
15. Presson RG, Audi SH, Hanger CC. Anatomic distribution of pulmonary
vascular compliance. J Appl Physiology. 1998;84(1):303-10.
16. Guyton AC, Hall JE. Pulmonary Circulation, Pulmonary Edema, Pleural
Fluid. Textbook of medical physiology. 11th edition. Philadelphia: Elsevier;
2006. p.483-95.

30
17. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors . Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2006.p220-1.
18. Soeroso HL, Sugito H, Parhusip RS, Sumari, Usman. Hemoptisis Masif.
Cermin Dunia Kedokteran 1992;80:90-4.

31

Anda mungkin juga menyukai