Referat Hemoptisis TB
Referat Hemoptisis TB
TUBERKULOSIS PARU
Pembimbing:
dr.Taufik Sp.P
Disusun Oleh:
Army Setia Kusuma, S.Ked
030.12.034
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... 2
DAFTAR ISI ................................................................................................... 3
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... 4
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 6
2.1.1 Definisi Tuberkulosis .............................................................................. 6
2.1.2 Morfologi M. tuberculosis ...................................................................... 6
2.1.3 Patogenesis M. tuberculosis .................................................................... 7
2.1.4 Klasifikasi Tuberkulosis.......................................................................... 9
2.1.5 Diagnosis Tuberkulosis ........................................................................... 12
2.1.6 Tatalaksana Tuberkulosis ........................................................................ 15
2.2.1 Definisi Hemoptisis dan Klasifikasi ....................................................... 18
2.2.2 Epidemiologi Hemoptisis...........................................................................19
2.2.3 Anatomi Sirkulasi Paru ........................................................................... 20
2.2.4 Patogenesis Hemoptisis pada Tuberkulosis ............................................ 21
2.2.5 Diagnosis ................................................................................................. 23
2.2.6 Terapi ...................................................................................................... 26
3
LEMBAR PENGESAHAN
(dr.Taufik Sp.P)
4
BAB I
PENDAHULUAN
Hemoptisis adalah ekspektorasi atau batuk yang mengandung darah dan berasal
dari saluran pernafasan bagian bawah sebagai akibat perdarahan sirkulasi pulmoner atau
bronkial. Homptisis merupakan gejala klinis yang dapat muncul pada berbagai mancam
penyakit paru baik ringan maupun berat yang dapat mengakibatkan perburukan kondisi
klinis bahkan sampai kematian akibat asfiksia maupun penurunan keseimbangan
hemodinamik tubuh.(1,2)
Infeksi merupakan penyebab hemoptisis terbanyak dengan presentasi 60% -
70% dari total kasus. Di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia, infeksi
Mycobacterium tuberculosis pada paru-paru merupakan penyebab terbanyak kasus
hemoptisis.(1) Bakteri M. tuberculosis merupakan penyebab infeksi kronis tuberkulosis
(TB). WHO medeklarasikan TB sebagai Global Health Emergency pada tahun 1993
karena 1/3 penduduk dunia telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis, sekitar tahun
1998 tercatat ada 3.617.047 kasus baru dengan TB di seluruh dunia dan pada tahun
2013 sekitar 9 juta orang di diagnosis mengidap TB.(3,4) Prevalensi TB di Indonesia
sendiri menempati posisi ke 6 di dunia dengan jumlah 281 kasus per 100.000 penduduk
dan angka kematian mencapai 27 kasus per 100.000 penduduk(5)
Dengan tingginya prevalensi penderita TB maka tinggi pula angka kejadian
hemoptisis di Indonesia, oleh sebab itu perlu penangan yang tepat terhadap infeksi
M. Tuberculosis dan komplikasi hemoptisis yang terjadi akibat proses patogenesisnya.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
Gambar 1. Struktur dinding sel M. tuberculosis
7
Selama proses fagositosis terjadi rekrutmen sel imunitas tubuh yang
berada dalam sirkulasi darah menuju fokus infeksi. Karena mekanisme yang
dimilikinya, M. tuberculosis dapat tumbuh dan berkembang dalam fagosome
makrofag. Selama infeksi primer M. tuberculoisis, sebagian bakteri yang berada
dalam makrofag dibawa menuju kelenjar getah bening (KGB) lokal melalui
pembuluh limfe. Selama proses ini, terbentuklah respon hipersensitivitas tipe 4
sistem imun tubuh akibat M. tuberculosis yang gagal difagosit. Terbentuk suatu
fokus peradangan granulomatosa yang terdiri dari inti yang mengalami
perkejuan/nekrotik di kelilingi oleh sel epitelioid, giant cell, foam cell, sel
dendritik dan fibroblas pada parenkim paru (fokus ghon) sebagai akibat dari reaksi
hipersensitivitas pada fokus infeksi yang disertai peradangan KGB lokal paru dan
pembuluh limfe paru. Fokus ghon, limfangitis dan limfadenitis lokal disebut
sebagai kompleks primer, setelah terbentuk kompeks primer 3-6 minggu
kemudian akan ditemukan hasil positif tuberculin skin test.(7,8)
8
terutama yang memiliki vaskularisasi yang tinggi. Bentuk gejala dan tingkat
keparahan penyakit bergantung dari letak, luas, cara penyebaran, derajat virulensi
dan respon imun penderita.(7)
9
II. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA) :
a) Tuberkulosis Paru BTA (+) :
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan
hasil BTA positif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran
tuberkulosis aktif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif dan biakan positif
b) Tuberkulosis Paru BTA (-)
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,
gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan
tuberkulosis aktif serta tidak respons dengan pemberian
antibiotik spektrum luas
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif
dan biakan M.tuberculosis positif
10
Kasus lalai berobat adalah penderita yang sudah berobat paling
kurang 1 bulan, dan berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang
kembali berobat
Kasus Gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif
atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan
sebelum akhir pengobatan)
Kasus kronik adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2
dengan pengawasan yang baik
Kasus bekas TB adalah hasil pemeriksaan dahak mikroskopik,
biakan negatif dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB
inaktif, terlebih gambaran radiologik serial menunjukkan gambaran
yang menetap. Riwayat pengobatan OAT yang adekuat akan lebih
mendukung
11
2.1.5 Diagnosis Tuberkulosis
I. GAMBARAN KLINIK
1. Anamnesis
a) Gejala respiratorik :
batuk 3 minggu
batuk darah
sesak napas
nyeri dada
b) Gejala sistemik
Demam subfebris
malaise
keringat malam
anoreksia
berat badan menurun
12
tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa
akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah
bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis,
sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat nyeri dada dan efusi
pleura.(10)
2. Pemeriksaan Jasmani
3. Pemeriksaan dahak
13
saat pulang, terduga pasien membawa sebuah pot dahak
untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.
b. P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari
kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan
diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.
c. S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari
4. Pemeriksaan Radiologik
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan
dapat dinyatakan sebagai berikut:(9)
a. Lesi minimal : bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua
paru dengan luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di
14
atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus
spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis
5 (sela iga 2) dengan atau tanpa dijumpai kavitas yang minimal
b. Lesi luas : bila proses lebih luas dari lesi minimal.
Tahap awal pengobatan, obat akan diberikan satu kali setiap hari. Tahap ini
dimaksudkan untuk secara aktif menurunkan jumlah kuman yang ada dan
meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang sudah resisten.
Pengobatan tahap awal berlangsung selama 2 bulan.(9)
Tahap lanjut dimaksudkan untuk eradikasi sisa kuman yang masi ada dalam
jaringan khususnya kuman yang presister sehingga pasien dapat sembuh dan
mencegah terjadinya kekambuhan.(9)
15
Tabel 1. OAT lini pertama
16
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:(10)
1. Kategori 1 (TB paru kasus baru BTA positif, TB paru BTA(-) dengan
gambaran radiologi lesi luas dan TB ekstra paru berat)
3. Kategori 3 (TB ektra paru ringan dan TB BTA(-) dengan lesi minimal)
Panduan obat yang diberikan : 2 RHZ / 4 RH atau 2 RHZ/ 4R3H3 atau
6RHE
4. Kategori 4 (TB kasus Kronik)
Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi,
berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji
resistensi (minimal terdapat 2 macam OAT lini pertama yang masih sensitif
dengan H tetap diberikan walaupun resisten) dan merujuk pasien segera ke
ahli paru. Terdapat banyak perbedaan dalam pengklasifikasian hemoptisis
karena belum adanya konsensus spesifik mengenai masalah ini.
17
2.2.1 Definisi Hemoptisis dan Klasifikasi
18
pasien. Apabila pasien datang dengan keluhan batuk darah disertai tanda-tanda
gangguan hemodinamik dan asfiksia maka pasien ini sudah dimasukkan kedalam
kategori hemoptisis berat dan perlu mendapatkan terapi segera.(13)
19
2.2.3 Anatomi Sirkulasi Paru
Arteri pulmonalis merupakan arteri yang membawa darah kaya akan CO2
dari ventrikel kanan menuju paru-paru. Dinding arteri pulmonalis memiliki
lapisan muscularis yang lebih tipis dibandingkan arteri besar lainnya namun
memiliki diameter dan daya compliance yang lebih besar sehingga mampu
menampung 2/3 volume sekuncup darah yang dipompa ventrikel kanan. Arteri
pulmonalis utama memiliki panjang kurang lebih 5 cm dari apeks ventrikel kanan
yang kemudian terbagi menjadi 2 untuk memperdarahi paru-paru kanan dan kiri.
Percabangan arteri di dalam paru-paru mengikuti percabangan bronkus. Di daerah
duktus alveolaris, cabang-cabang arteri ini membentuk jalinan kapiler di dalam
septum interalveolaris yang erat dengan epitel alveolus sehingga memudahkan
pertukaran gas. Kemudian darah yang kaya akan O2 di kapiler paru di teruskan
menuju vena pulmonalis yang berjalan menjauhi jalan nafas menuju jaringan
itertisal dan pleura viseral yang kemudian bergerak mengikuti cabang-cabang
bronkus besar menuju hilus dan kembali ke atrium kiri. Tekanan sistolik arteri
paru sekitar 25 mmHg pada orang normal dan tekanan diastolik arteri paru sekitar
8 mmHg. Sedangkan tekanan arteri paru rerata adalah 15 mmHg dan tekanan
kapiler paru kurang lebih 7 mmHg serta tekanan vena pulmonalis berkisar 1-5
mmHg.(14,16)
20
b. Pembuluh darah bronkial
21
2.2.4 Patogenesis Hemoptisis pada Tuberkulosis
22
ditambah dengan sisa dinding sel bakteri yang mati. Inti nekrotik/kaseosa yang
mencair dapat mengikis jaringan disekitarnya. (17)
2.2.5 Diagnosis
23
c. Darah yang dikeluarkan pada hematemesis berwarna coklat
kehitaman, tidak berbuih, pH asam, disertai sisa makanan, selalu
terdapat anemia dan buang air besar dapat berwarna hitam (melena.
Sedangkan pada hemoptisis darah ynag dikeluarkan berwarna
merah segar, berbuih, pH basa, tidak disertai sisa makanan, tidak
selalu disertai anemia dan tidak terdapat melena.
d. Pasien dengan hematemesis biasanya memiliki riwayat masalah
pada sistem pencernaan dan kelainan hepar. Sedangkan pasien
hemoptisis sering memiliki riwayat penyakit paru-paru.
24
hemodinamika tubuh akibat hemoptisis. Pada pasien suspek TB paru maka
dilakukan pemeriksaan sputum BTA dan dapat dilakukan pemeriksaan
kultur. Pada kecurigaan infeksi kuman lain dapat dilakukan pemeriksaan
gram dan kultur bakteri. Pemeriksaan pembekuan darah meliputi
pemeriksaan PT dan APTT apabila dicurigai terdapat kelainan pembekuan
darah. Pemeriksaan sitologi sputum dilakukan pada pasien dengan
kecurigaan keganasan yaitu pasien berusia diatas 40 tahun, laki-laki,
riwayat merokok > 30 tahun meskipun pemeriksaan foto toraks normal
dan terutama bila hemoptisis sudah terjadi 1 minggu tanpa diketahui
sebab yang jelas.(18)
25
Pemeriksaan bronkoskopi memiliki indikasi yang sama dengan
pemeriksaan CT-scan, namun pemeriksaan ini menurut ACR sebaiknya
dilakukan setelah pemeriksaan CT-scan dan dilakukan segera apabila
pasien mengalami hemoptisis masif. Terdapat dua jenis bronkoskopi, yaitu
bronkoskop serat optik dan bronkoskop metal yang kaku. Bronkoskop
serat optik memiliki kelebihan dalam mencari lokasi sumber perdarahan
paru sedangkan bronkoskop metal yang kaku lebih dimanfaatkan untuk
membersihkan jalan nafas dari bekuan darah dan benda asing. Pada
kondisi hemoptisis berat yang tidak dapat dilokalisir sumber perdarahan
menggunakan bronkoskop makan pemeriksaan angiografi segera perlu
dilakukan, pemeriksaan ini menggunakan metode kateterisasi arteri yang
kemudian menyeprotkan media kontras kedalam pembulu darah. (13,18)
2.2.6 Terapi
26
terapi bedah sebagai terapi definitif dan terapi konservatif. Terapi konservatif
hemoptisis berat mencakup: (18)
27
10.000U/ml dan dikobinasi dengan cairan fibrinogen 2% sebanyak 5-10 ml tepat
di lokasi perdarahan lalu didiamkan sampai diyakini telah terjadi hemostasis.
Sedangkan terapi embolisasi, tindakan ini dilakukan pada kasus hemoptisis berat
pada kondisi dimana tidak dapat ditentukan bleeding point dengan bronkoskop,
hemoptisis rekurensi post bedah reseksi paru, penolakan tindakan bedah dan faal
paru yang kurang baik. Tidakan ini menggunakan modalitas kateterisasi
angiografi dengan penyemprotan bahan embolan yaitu gelfoam atau partikel
polyvinyl alcohol pada pembuluh darah yang ruptur.(18)
28
BAB III
KESIMPULAN
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Tan S, Sun D, Zhang T, Li Y, Cao Y, Moses M. Njire MM, Shaw JE, et al.
Risk factors for hemoptysis in pulmonary tuberculosis patients from Southern
China. Scientific Research Publishing 2014; 2:173-80.
2. Bidwell JL, Pachner RW. Hemoptysis: Diagnosis and Management. American
Family Physicia 2005;72(7):1253-59.
3. World Health Organization. Global tubercuosis control. WHO Report 1999.
Geneva:WHO, 1999.
4. World Health Organization. Global tubercuosis control. WHO Report 2014.
Geneva:WHO, 2014.
5. Depkes RI. Tuberkulosis Paru. Jakarta : Depkes RI. 2009.
6. Madkour MM, Al-Saif A, Al-Moutaery KR, Al-Kudwah A, editors.
Tuberculosis. 1st ed. Berlin : Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2004.p.116-
117
7. Madkour MM, Al-Saif A, Al-Moutaery KR, Al-Kudwah A, editors.
Tuberculosis. 1st ed. Berlin : Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2004.p.153-
154
8. Madkour MM, Al-Saif A, Al-Moutaery KR, Al-Kudwah A, editors.
Tuberculosis. 1st ed. Berlin : Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2004.p.139-
41
9. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.
Jakarta : Kemenkes RI 2014.p.13-20.
10. Rasjid R, Yusuf A, Tjokronegoro A. Tuberkulosis paru pedoman penataan
diagnostik dan terapi. Jakarta, Balai Penerbit FKUI, 1985:1-11
11. Song Yang S, Mai Z, Zheng X, Qiu Y. Etiology and an Integrated
Management of Severe Hemoptysis Due to Pulmonary Tuberculosis. Journal
of Tuberculosis Research, 2015; 3:p.11-18
12. Irfa I, Medison I, Iryani D. Gambaran Kejadian Hemoptisis pada Pasien di
Bangsal Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang Periode Januari 2011 Desember
2012. Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(3)
13. Earwood JS, Thompson TD. Hemoptysis: Evaluation and Management.
American Family Physician 2015;91:243-9
14. Weinberger SE, Crockrill BA. Anatomic and physiologic aspects of the
pulmonary vasculature. In: Dolores Meloni, editor. Principles of pulmonary
medicine. 5th edition. Philadelphia:Elsevier; 2008. p.172-8.
15. Presson RG, Audi SH, Hanger CC. Anatomic distribution of pulmonary
vascular compliance. J Appl Physiology. 1998;84(1):303-10.
16. Guyton AC, Hall JE. Pulmonary Circulation, Pulmonary Edema, Pleural
Fluid. Textbook of medical physiology. 11th edition. Philadelphia: Elsevier;
2006. p.483-95.
30
17. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors . Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2006.p220-1.
18. Soeroso HL, Sugito H, Parhusip RS, Sumari, Usman. Hemoptisis Masif.
Cermin Dunia Kedokteran 1992;80:90-4.
31