Anda di halaman 1dari 36

Referat

COMPLETE SPINAL TRANSECTION

Oleh:
Desiyanti 04084821618149

Pembimbing:
dr. Billy Indra Gunawan, Sp.S

DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Referat berjudul:

COMPLETE SPINAL TRANSECTION

Oleh:
Desiyanti 04084821618149

telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik di Bagian/Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Univesitas Sriwijaya
/ RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 15 Mei s.d. 19 Juni 2017.

Palembang, Mei 2017


Pembimbing,

dr. Billy Indra Gunawan, Sp.S


KATA PENGANTAR

Segala puji penyusun haturkan kepada Tuhan YME yang selalu memberikan
rahmat kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan referat berjudul
Complete Spinal Transection ini tepat sesuai dengan jadwal yang telah diberikan.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
membantu dalam penulisan referat ini, terutama kepada dr. Billy Indra Gunawan,
Sp.S sebagai pembimbing penulisan referat ini.
Dengan penulisan referat ini, penulis berharap semua pihak yang membaca
dapat lebih memahami trauma medula spinalis sehingga dapat bermanfaat bagi
calon dokter umum khususnya serta bagi kesehatan masyarakat secara umum.

Palembang, Mei 2017

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................. iii
DAFTAR ISI ................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 3
BAB III KESIMPULAN ............................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 31
BAB I
PENDAHULUAN

Trauma medula spinalis meliputi kerusakan medula spinalis disebabkan


oleh trauma langsung atau tak langsung yang mengakibatkan gangguan fungsi
neurologis, seperti fungsi motorik, sensorik, otonom, dan refleks, baik komplet
ataupun inkomplet. Complete Spinal Transection (Transeksi Medula Spinalis)
merupakan kerusakan total medula spinalis akibat lesi transversal yang
menyebabkan hilangnya seluruh fungsi neurologis medula spinalis di bawah area
yang terkena.
Trauma medula spinalis merupakan penyebab kematian dan kecacatan pada
era modern, dengan 8.000-10.000 kasus per tahun pada populasi penduduk USA
dan membawa dampak ekonomi yang tidak sedikit pada sistem kesehatan dan
asuransi di USA.
Complete Spinal Transection (CST) memiliki efek yang merugikan pada
pasien dan keluarganya. CST merupakan salah satu penyebab gangguan fungsi
saraf yang sering menimbulkan kecacatan permanen pada usia muda. Kelainan
yang lebih banyak dijumpai pada usia produktif ini sering kali mengakibatkan
penderita harus terbaring di tempat tidur atau duduk di kursi roda karena
kelumpuhan dari anggota gerak mereka. Pasien dengan CST memerlukan
penyesuaian terhadap berbagai aspek, seperti mobilitas, psikologis, urologis,
pernafasan, kulit, disfungsi seksual, dan ketidakmampuan untuk bekerja. Selain itu,
biaya yang dikeluarkan untuk pasien dengan Trauma tersebut diestimasikan
mencapai 4 milliar dolar Amerika Serikat per tahunnya untuk pelayanan kesehatan
akut maupun kronis.
Prognosis kelumpuhan pada cedera tulang belakang termasuk buruk, karena
regenerasi neuron hampir bisa dikatakan mustahil terjadi. Penanganan cedera
medula spinalis lebih dititikberatkan pada pencegahan primer dan sekunder.
Pergerakan penderita dengan kolumna vertebralis yang tidak stabil akan
memberikan resiko kerusakan lebih lanjut sumsum tulang belakang. Cedera ini
bersifat sangat fatal dan dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup yang
menetap, maka para dokter maupun paramedis membutuhkan cara diagnosis yang
tepat dan tatalaksana yang baik dalam menghadapinya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi
Lokasi sumsum tulang belakang dalam masa embrio menempati
seluruh saluran di tulang belakang dan memanjang ke bawah sampai
bagian ekor tulang belakang. Namun selanjutnya jaringan tulang belakang
tumbuh lebih cepat daripada jaringan sarafnya sehingga selanjutnya ujung
sumsum tidak lagi mencapai bagian bawah saluran tulang belakang.
Kesenjangan dalam pertumbuhan ini terus meningkat, pada orang dewasa
ujung sumsum tepat berada di bawah daerah perlekatan tulang rusuk
terakhir (antara vertebra lurnbalis yang pertama dan kedua). 2
Sumsum tulang belakang mempunyai bagian dalam yang bentuknya
tak beraturan, bagian lebih kecil yang berisi substansia grisea (badan sel
saraf) dan daerah yang lebih besar yang berisi substansia alba (serat saraf)
yang mengelilingi substansia grisea ini. Pada potongan melintang sumsum
menunjukkan bahwa substansia grisea disusun sedemikian rupa sehingga
ada semacam tiang/kolom memanjang ke atas-bawah pada bagian dorsal
(columna dorsalis), satu pada setiap sisinya, dan kolom lainnya ditemukan
di daerah ventral (columna ventralis). Kedua pasang columna substansia
grisea ini tampak pada potongan melintang seperti dalam bentuk H.
Substansia alba berisi ribuan serat saraf yang tersusun dalam ketiga daerah
eksternal substansia grisea, yang disebut funiculus ventralis, lateralis dan
dorsalis, pada setiap sisi medula spinalis.2
Medula spinalis dimulai dari cervicomedulary junction dan berakhir
di konus medularis. Fisura dan sulkus menandai permukaan luar dari
medula spinalis; dan memiliki kepentingan klinis. Fisura median anterior
dan sulkus median posterior membagi medula spinalis menjadi dua bagian
yang simetris. Radix anterior dan posterior membentuk nervus spinalis,
yang terdiri dari 31 pasang. Ada 8 pasang nervus servikal, 12 thorakal, 5
lumbal, 5 sakral, dan 1 koksigeal. Terletak di setiap bagian dorsal radix
adalah Ganglion Radix Dorsalis (DRG).6

Gambar 2.1. Anatomi Medula Spinalis

Fungsi sumsum tulang belakang dapat dibagi dalam tiga kelompok,


yaitu:2
1. Aktifitas refleks, yang melibatkan integrasi dan transfer pesan-pesan
yang memasuki sumsum tulang belakang, sehingga memungkinkan
impuls sensorik (afferen) masuk dan pesan motorik (efferen)
meninggalkan sumsum tulang belakang tanpa melibatkan otak.
2. Konduksi impuls sensorik dari saraf afferen ke atas melalui tractus
naik menuju otak.
3. Konduksi impuls motorik (efferen) dari otak turun melalui traktus ke
saraf-saraf yang menginervasi otot atau kelenjar.
Jalur reflek melalui sumsum tulang belakang biasanya melibatkan
tiga neuron atau lebih seperti berikut:2
1. Neuron sensoris yang permulaannya pada suatu receptor dan serat
sarafnya dalam nervus yang mengarah ke sumsum.
2. Satu neuron sentral atau lebih yang keseluruhannya ada di dalam
sumsum.
3. Neuron motoris yang menerima impuls dari neuron sentral,
kemudian membawanya melalui sepanjang axon suatu saraf menuju
otot atau kelenjar yang disebut efektor.

Tractus-tractus spinalis dibagi menjadi tractus ascendens,


descendens, dan intersegmentalis serta posisi relatifnya di dalam
substantia alba. Saat memasuki medulla spinalis, serabut-serabut saraf
sensorik dengan berbagai ukuran dan fungsi di pilih dan menjadi berkas-
berkas atau tractus-tractus saraf di substansia alba.4

Gambar 2.2 Ringkasan Tractus Medulla Spinalis5

Beberapa serabur saraf berperan untuk menghubungkan segmen-


segmen medulla spinalis yang berbeda, sedangkan serabut lain naik dari
medulla spinalis ke pusat-pusat yang lebih tinggi sehingga
menghubungkan medulla spinalis dengan otak. Berkas-berkas serabut
yang berjalan ke atas ini disebut tractus ascendens. Tractus-tractus
ascendens menghantarkan informasi aferen, baik yang dapat maupun tidak
dapat disadari. Informasi ini dapat dibagi menjadi dua kelompok utama,
yaitu informasi eksteroseptif, yang berasal dari luar tubuh, seperti nyeri,
suhu, dan raba; serta informasi propioseptif, yang berasal dari dalam
tubuh, misalnya dari otot dan sendi.4
Jaras descendens dari cortex cerebri umumnya dibentuk oleh tiga
neuron. Neuron tingkat pertama mempunyai badan sel di dalam cortex
cerebri. Akson-aksonnya berjalan turun dan bersinaps dengan neuron
tingkat kedua, yaitu sebuah neuron internuncial yang terletak di columna
grisea anterior medulla spinalis. Akson-akson neuron tingkat kedua
pendek dan bersinaps dengan neuron tingkat ketiga lower motor neuron
di columna grisea anterior. Akson-akson neuron tingkat ketiga
mempersarafi otot rangka melalui radix anterior dan saraf spinal. Pada
lengkung refleks, akson neuron tingkat pertama langsung berakhir pada
neuron tingkat ketiga.
Meningen adalah tiga lapis jaringan ikat yang mengitari otak dan
sumsum tulang belakang guna membentuk pembungkusan yang lengkap.
Membran yang paling besar yaitu dura mater adalah meninges yang paling
tebal dan kasar. Di dalam tengkorak dura mater membelah dalam tempat-
tempat tertentu guna menyiapkan saluran bergurat bagi darah yang berasal
dari jaringan otak. Lapisan meninges bagian tengah ialah arachnoid.
Membran ini eampang melekat pada meninges yang paling dalam serat
yang menyerupai jaringan (weblike) yang memungkinkan suatu ruangan
bagi gerakan cairan cerebrospinal (CSF) di antara dua membran. Lapisan
yang paling dalam di sekitar otak yaitu pia mater dilekatkan pada jaringan
saraf otak dan sumsum tulang belakang serta mencelup (dips) ke dalam
seluruh depresi. Ia terbuat dari jaringan ikat yang sangat halus di mana di
dalam-nya banyak terdapat pembuluh darah. Pasokan darah ke otak
dibawa oleh pia mater.2
Cairan serebrospinalis ialah cairan bening yang dibentuk dalam
ventrikel otak, sebagian besar oleh jaringan (network) vascular yang
disebut dengan choroid plexuses. Cairan tadi dibentuk oleh filtrasi darah
dan oleh sekresi sellular. Fungsi cairan ini adalah untuk menggoncang
bantalan yang akan melukai bangunan lunak sistem saraf sentral (SSS).
Cairan ini juga membawa zat makanan pada sel dan memindahkan limbah
dari sel. Normalnya cairan serebrospinalis mengalir secara bebas dari satu
ventrikel ke ventrikel lainnya dan pada akhirnya keluar ke dalam ruangan
sub-arachnoid yang mengitari otak dan sumsum tulang belakang. Sebagian
besar cairan ini dikembalikan pada darah di dalam sinus venosus melalui
proyeksi yang dinamakan dengan arachnoid villi.2

Gambar 2.3 Suplai arteri medula spinalis

Pada beberapa individu terdapat berbagai variasi dalam suplai darah


medula spinalis. Arteri spinalis anterior dibentuk oleh pertemuan cabang
arteri yang melewatinya secara caudal dari setiap arteri vertebralis dan
bersatu di garis tengah dekat foramen magnum. Arteri ini akan turun
sepanjang sumsum tulang belakang dan terletak di atau dekat fisura
median anterior. Di bawah segmen servikal keempat atau kelima terdapat
arteri spinalis anterior yang mengaliri atau dialiri oleh ateri medula
anterior yang tidak berpasangan yang muncul dari arteri medula spinalis
lateral.6
Pembuluh darah ini memasuki kanalis vertebralis melalui foramen
intervertebralis, dan di daerah servikal merupakan percabangan dari arteri
servikalis asendens, di thorakal berasal dari interkostalis; dan di abdomen
berasal dari lumbal, iliolumbar, dan arteri sakralis lateral. Arteri-arteri ini
menembus selubung dura dari radiks medula spinalis dan dibagi menjadi
dua cabang yaitu anterior dan posterior. Arteri radikuler asimetris dan
kadang-kadang tidak ada. Arteri meduler terbesar, arteri radikuler anterior
Adamkiewicz, terletak diantara T9 dan L2, biasanya pada sisi kiri, dan
mensuplai bagian lumbal. Suplai darah ke setiap tingkat medula spinalis
sebanding dengan luas penampang area grey matter, dan kaliber arteri
spinalis anterior yang terbesar adalah di tingkat lumbal dan servikal.6
Arteri spinalis posterior merupakan saluran plexiform yang berbeda
yang terletak dekat dengan sulkus posterolateral dan pintu masuk rootlets
dari nervus spinalis posterior. Arteri ini juga berasal dari arteri vertebralis,
dan bergabung dengan arteri medula posterior. Arteri sentralis, cabang dari
arteri spinalis anterior, mensuplai bagian anterior dan bagian tengah
medula spinalis. Cabang anterior dan posterior arteri medula spinalis
membentuk anastomosis perifer, yaitu arteri vasocorona, yang mensuplai
bagian tepi medula spinalis, termasuk funiculi lateral dan ventral.6
Anastomosis ini paling tidak efisien di wilayah kolumna lateral.
Arteri spinalis posterior mensuplai cornu posterior dan sebagian besar
funikuli dorsalis; dan sisanya disuplai oleh arteri spinalis anterior. Medula
spinalis servikal dan lumbosakral lebih kaya vaskularisasi dari thorakal. 6
Drainase vena medula spinalis dari pleksus kapiler ke pleksus vena
perifer yang sesuai dengan suplai arteri. Bagian utama vena berada pada
foramen intervertebralis di bagian dada, perut, dan rongga panggul, tetapi
pleksus vena spinovertebral (pleksus Batson) juga terus naik ke dalam
rongga intrakranial dan sinus vena serta dapat menjadi sarana transportasi
sel tumor.6
2.2. Definisi
Trauma medulla spinalis merupakan kerusakan pada medulla
spinalis yang disebabkan oleh trauma langsung atau tidak langsung pada
medulla spinalis, dan dapat terjadi secara komplit maupun inkomplit.
Complete Spinal Transection (Transeksi Medula Spinalis) merupakan
kerusakan total medula spinalis akibat lesi transversal yang menyebabkan
hilangnya seluruh fungsi neurologis medula spinalis di bawah area yang
terkena. Fungsi neurologis yang dimaksud adalah sensoris, motoris, dan
otonom.

2.3. Epidemiologi
Angka kejadian tahunan trauma medula spinalis seluruh dunia
berkisar antara 11,5 hingga 57,8 kasus per 1 juta penduduk tiap tahunnya.
Di Amerika Serikat, angka kejadian trauma medula spinalis sekitar 40
kasus per 1 juta penduduk, dan sekitar 12.000 kasus baru di diagnosis
pertahun. Frekuensi tertinggi terjadi antara usia 15 hingga 29 tahun dan
yang kedua terjadi pada usia 65 tahun atau lebih. Penyebab utama
kematian pasien rawat inap dengan trauma medula spinalis umumnya
berkaitan dengan komplikasi pernapasan. Trauma medula spinalis
umumnya lebih banyak terjadi pada laki-laki di bandingkan perempuan
dengan perbandingan 4:3.

2.4. Etiologi
Complete Spinal Transection (CST) dapat disebabkan oleh
kecelakaan kendaraan bermotor, kekerasan (tembakan peluru pistol atau
luka tusuk), olahraga, kecelakaan saat menyelam, trauma akibat
kecelakaan kerja, dan trauma persalinan. Penyebab trauma medulla
spinalis dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu trauma
medulla spinalis traumatik dan non traumatik, dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Trauma medulla spinalis traumatik dan non traumatik1,6

Trauma medulla spinalis traumatik Trauma medulla spinalis non traumatik

Kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau Penyakit, infeksi atau tumor, kerusakan yang
kekerasan. terjadi pada medulla spinalis yang bukan
disebabkan oleh gaya fisik eksternal, penyakit
Hagen dkk (2009): lesi traumatik pada medulla motor neuron, myelopati spondilotik, penyakit
spinalis dengan beragam defisit motorik dan neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik
sensorik atau paralisis dan metabolik dan gangguan kongenital dan
perkembangan
American Board of Physical Medicine and
Rehabilitation Examination Outline for Spinal
Cord Injury Medicine : fraktur, dislokasi, dan
kontusio dari kolumna vertebrae

2.5. Klasifikasi
Trauma medulla spinalis dapat diklasifikasikan dengan
menggunakan standar American Spinal Injury Association (ASIA)
Impairment, atau AIS (awalnya disebut dengan skala Frankel). ASIA
digunakan untuk mendefinisikan dan memaparkan tingkat keparahan dan
luas trauma medulla spinalis dan membantu menentukan kebutuhan
rehabilitasi dan kesembuhan. Grade pada skala gangguan ASIA
didasarkan pada seberapa banyaknya sensasi yang dirasakan pada titik-
titik tertentu pada tubuh, sama baiknya dengan pemeriksaan fungsi
motorik.

Tabel 2.2 Kemampuan Fungsional Medulla Spinalis Berdasarkan Skala


Frankel/ASIA Impairment Scale7

Grade Tipe Gangguan medulla spinalis

A Komplit tidak ada fungsi sensorik atau motorik


di bawah level lesi termasuk di
segmen sacral

B Inkomplit sensorik fungsi sensorik masih bagus tetapi


fungsi motorik rusak di bawah zona
trauma
C Inkomplit motorik fungsi motorik terganggu >50%
dibawah level lesi sehingga membuat
pasien tidak dapat berjalan, tapi otot-
otot motorik utama masih memiliki
kekuatan <3 (fungsi motorik
dikurangi didefinisikan sebagai
gerakan aktif dalam berbagai gerakan
hanya jika gravitasi dihilangkan)

D Inkomplit motorik fungsi motorik terganggu <50% di


(stadium II) bawah level lesi. Pasien masih dapat
berdiri dan berjalan. Otot-otot
motorik utama memiliki kekuatan 3

E Normal fungsi motorik dan sensorik normal,


hanya refleks yang abnormal

Lesi pada medulla spinalis menurut ASIA terbagi atas:7


Paraplegi : suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan
sensorik karena kerusakan pada segmen thorakolumbosakral.
Quadriplegi : Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan
sensorik karena kerusakan pada segment cervical.

Level spesifik pada transeksi medulla spinalis:7


1. CST Cervical
CST cervical, di atas Ver. C.III fatal karena dapat
menghilangkan fungsi N. frenikus dan N. interkostales secara total
sehingga dapat menghentikan pernapasan. Pasien hanya akan dapat
bertahan apabila diberikan ventilasi buatan dalam beberapa menit
setelah trauma penyebabnya. Keadaan ini sangat jarang dijumpai.
Gejala lain: nyeri hebat di occiput dan leher, bisa diikuti oleh gejala
N. V. Transeksi pada tingkat cervical di bawahnya (C5-C6) dapat
menyebabkan quadriparesis dengan keterlibatan otot-otot intercostal,
pernapasan dapat sangat terganggu. Muscle wasting: deltoid, biceps,
brakhioradialis, infraspinatus, supraspinatus, rhomboideus.7
Autonomic dysreflexia peningkatan tekanan darah abnormal,
berkeringat, dan respon otonom lainnya terhadap gangguan sensoris.
Ketidakmampuan untuk meregulasi tekanan darah, pengeluaran
keringat, dan suhu tubuh.
2. CST Thoraks
CST Thoraks bagian atas tidak mengganggu ekstrimitas atas tapi
mengganggu pernapasan dan menimbulkan ileus paralitik melalui
keterlibatan N. splankhnikus. Cidera di atas T6 menimbulkan
autonomic dysreflexia (kehilangan regulasi kranial) hipertensi,
retensi urin/alvi, berkeringat, nyeri kepala. CST thoraks bagian bawah
tidak mengganggu otot abdomen dan pernapasan.
3. CST Lumbal
CST Lumbal sering menyebabkan gangguan yang berat karena
diikuti kerusakan arteri utama yang menyuplai medulla spinalis
bagian bawah, arteri radikularis mayor. Hasilnya adalah infark seluruh
medulla spinalis lumbalis dan sakralis. Efek cedera medula spinalis
lumbal menyebabkan disfungsi kandung kemih, usus, dan seksual.

2.6. Patofisiologi
Trauma medula spinalis dapat menyebabkan komosio, kontusio,
laserasi, atau kompresi medula spinalis. Patomekanika lesi medula spinalis
berupa rusaknya traktus pada medula spinalis, baik asenden ataupun
desenden. Petekie tersebar pada substansia grisea, mem besar, lalu
menyatu dalam waktu satu jam setelah trauma. Selanjutnya, terjadi
nekrosis hemoragik dalam 24-36 jam. Pada substansia alba, dapat
ditemukan petekie dalam waktu 3-4 jam setelah trauma. Kelainan serabut
mielin dan traktus panjang menunjukkan adanya kerusakan struktural
luas.2
Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut:2
1. Kompresi oleh tulang, ligamen, herniasi diskus intervertebralis, dan
hematoma. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi
tulang dan kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi
ke posterior dan trauma hiperekstensi.
2. Regangan jaringan berlebihan, biasanya terjadi pada hiperfl eksi.
Toleransi medula spinalis terhadap regangan akan menurun dengan
bertambahnya usia.
3. Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma
mengganggu aliran darah kapiler dan vena.
4. Gangguan sirkulasi atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior
akibat kompresi tulang.

Kerusakan medulla spinalis terbagi menjadi dua, yaitu kerusakan


primer dan sekunder. Mekanisme kerusakan primer dan sekunder medulla
spinalis berbeda. Kerusakan medulla spinalis primer ditimbulkan oleh
empat mekanisme, yaitu gaya impact dan kompresi persisten; gaya impact
tanpa kompresi; tarikan medulla spinalis; laserasi dan medulla spinalis
terpotong akibat trauma. Efek dari kerusakan primer berupa terganggunya
transmisi saraf, rusaknya sel-sel neuron, dan kekacauan proses intraseluler
dan selubung mielin. Kerusakan substansia grisea ireversibel pada satu
jam pertama setelah trauma dan substansia alba rusak ireversibel pada 42
jam setelah trauma. Kerusakan sekunder medulla spinalis disebabkan oleh
syok neurogenik, proses vaskular (perdarahan dan iskemia),
eksitotoksisitas, lesi sekunder yang dimediasi kalsium, gangguan
elektrolit, proses imunologi, apoptosis, gangguan pada mitokondria, dan
proses lain.1
Gambar 2.4 Patofisiologi kerusakan primer1

Gambar 2.5 Patofisiologi kerusakan sekunder1


Defisit neurologis yang berkaitan dengan cedera medulla spinalis
terjadi akibat dari proses cedera primer dan sekunder. Sejalan dengan
kaskade cedera berlanjut, kemungkinan penyembuhan fungsional semakin
menurun. Karena itu, intervensi terapeutik sebaiknya tidak ditunda, pada
kebanyakan kasus, window period untuk intervensi terapeutik dipercaya
berkisar antara 6 sampai 24 jam setelah cedera.6,13

2.7. Manifestasi Klinis


Transeksi Medula Spinalis menyebabkan terputusnya jaras sensoris
dari bawah level lesi dan jaras desendens dari atas lesi seperti terlihat pada
Gambar 5.8 Meskipun kelainan sensoris mencakup seluruh modalitas
terjadi di bawah level lesi, letak lesi sebenarnya dapat diketahui dari
adanya nyeri radikuler atau parestesia yang segmental.
Kelemahan, baik itu paraplegia maupun tetraplegia muncul di bawah
level lesi akibat terputusnya jaras corticospinal desenden. Awalnya
paralisis bisa berupa flaccid dan arefleksif akibat spinal shock. Selanjutnya
muncul hipertonus, hiperrefleksia, paraplegia atau tetraplegia disertai
dengan menghilangnya reflek dinding abdomen dan cremaster. Pada level
lesi muncul manifestasi Lower Motor Neuron (paresis, atrofi, fasciculasi,
dan arefleksia) pada distribusi segmentalnya.
Disfungsi sfingter rektal dan uretral yang menyebabkan
inkontinensia, disfungsi seksual dan tanda-tanda disfungsi otonom
(anhidrosis, perubahan tropis kulit, kegagalan mengontrol suhu tubuh, dan
ketidakstabilan vasomotor) dibawah level lesi juga muncul.8
Gambar 2.6. Modalitas Neurologis yang Terganggu pada Spinal Cord Injury dan Tanda
serta Gejala Klinis Spinal Cord Injury

Gambar 2.7 Letak lesi dan kelumpuhan yang terjadi


Medulla spinalis yang mengalami trauma akan mengalami gangguan
fungsi yang menyebabkan hilangnya kontrol otot dan juga hilangnya
sensasi pada saraf-saraf yang berada di daerah yang mengalami cedera dan
di bawahnya. Hilangnya kontrol otot atau sensasi dapat bersifat sementara
atau menetap, sebagian atau menyeluruh, tergantung dari beratnya cedera
yang terjadi. Cedera yang menyebabkan putusnya medulla spinalis atau
merusak jalur jalannya saraf di medulla spinalis menyebabkan hilangnya
fungsi yang menetap, tetapi trauma tumpul yang mengguncang medulla
spinalis dapat menyebabkan hilangnya fungsi sementara, yaitu bisa sampai
beberapa hari, beberapa minggu, atau beberapa bulan. Hilangnya kontrol
otot sebagian menyebabkan timbulnya kelemahan pada otot. Sedangkan
kontrol otot yang hilang seluruhnya menyebabkan kelumpuhan. Ketika
otot mengalami kelumpuhan, maka otot tersebut seringkali kehilangan
tonus ototnya sehingga menjadi lemas (flaccid). Beberapa minggu
kemudian, kelumpuhan dapat berkembang menjadi spasme otot yang
involunter (tidak disadari) dan lama (paralysis spastik).7,8,9
Kerusakan hebat dari medulla spinalis di pertengahan punggung bisa
menyebabkan kelumpuhan pada tungkai, tetapi lengan masih tetap
berfungsi secara normal. Gerakan refleks tertentu yang tidak dikendalikan
oleh otak akan tetap utuh atau bahkan meningkat. Contohnya, refleks lutut
tetap ada atau bahkan meningkat. Meningkatnya refleks ini dapat
menyebabkan spasme pada tungkai. Refleks yang tetap dipertahankan
menyebabkan otot yang terkena menjadi memendek, sehingga dapat
terjadi kelumpuhan jenis spastik. Otot yang spastik teraba kencang dan
keras dan sering mengalami kedutan. 7,8,9
Kompresi yang terjadi secara langsung pada bagian-bagian saraf
oleh fragmen-fragmen tulang, ataupun rusaknya ligamen-ligamen pada
sistem saraf pusat dan perifer. Pembuluh darah rusak dan dapat
menyebabkan iskemik. Ruptur axon dan sel membran neuron bisa juga
terjadi. Mikrohemoragik terjadi dalam beberapa menit di substansia grisea
dan meluas beberapa jam kemudian sehingga perdarahan masif dapat
terjadi dalam beberapa menit kemudian. 7,8,9
Sesaat setelah trauma, fungsi motorik dibawah tingkat lesi hilang,
otot flaksid, reflex hilang, paralisis atonik vesika urinaria dan kolon, atonia
gaster dan hipestesia. Juga dibawah tingkat lesi dijumpai hilangnya tonus
vasomotor, keringat dan piloereksi serta fungsi seksual. Kulit menjadi
kering dan pucat serta ulkus dapat timbul pada daerah yang mendapat
penekanan tulang. Spingter vesika urinaria dan anus dalam keadaan
kontraksi (disebabkan oleh hilangnya inhibisi dari pusat sistem saraf pusat
yang lebih tinggi. 7,8,9
Apabila medulla spinalis cedera secara komplit dengan tiba-tiba,
maka tiga fungsi yang terganggu antara lain seluruh gerak, seluruh sensasi
dan seluruh refleks pada bagian tubuh di bawah lesi. Keadaan yang seluruh
refleks hilang baik refleks tendon, refleks autonomic disebut spinal shock.
Kondisi spinal shock ini terjadi 2-3 minggu setelah cedera medulla
spinalis. Fase selanjutnya setelah spinal shock adalah keadaan dimana
aktifitas refleks yang meningkat dan tidak terkontrol. Pada lesi yang
menyebabkan cedera medulla spinalis tidak komplit, spinal shock dapat
juga terjadi dalam keadaan yang lebih ringan atau bahkan tidak melalui
syok sama sekali. Selain itu, gangguan yang timbul pada cedera medulla
spinalis sesuai dengan letak lesinya, dimana pada UMN, lesi akan timbul
gangguan berupa spastisitas, hiperefleksia, dan disertai hipertonus,
biasanya lesi ini terjadi jika cedera mengenai C1 hingga L1. Pada LMN,
lesi akan timbul gangguan berupa flaccid, hiporefleksia, yang disertai
hipotonus dan biasanya lesi ini terjadi jika cedera mengenai L3 sampai
cauda equina, di samping itu juga masih ada gangguan lain seperti
gangguan bladder dan bowel, gangguan fungsi seksual, dan gangguan
fungsi pernapasan. 7,8,9
Dapat dirumuskan gejala-gejala yang terjadi pada cedera medulla
spinalis, yaitu: 7,8,9
1. Gangguan sensasi menyangkut adanya anastesia, hiperestesia,
parastesia.
2. Gangguan motorik menyangkut adanya kelemahan dari fungsi otot-otot
dan reflek tendon miotom.
3. Gangguan fungsi vegetatif dan otonom menyangkut adanya flaccid dan
sapstic blader dan bowel.
4. Gangguan fungsi ADL yaitu makan, toileting, berpakaian, kebersihan
diri.
5. Gangguan mobilisasi yaitu miring kanan dan kiri, transfer dari tidur ke
duduk, duduk, transfer dari bed ke kursi roda, dan dari kursi roda ke bed.
6. Penurunan vital sign yaitu penurunan ekspansi thorax, kapasitas paru,
dan hipotensi.
7. Skin problem menyangkut adanya decubitus.
8. Nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang
terkena.
9. Paraplegia
10. Paralisis sensorik motorik total
11. Kehilangan kontrol kandung kemih (retensi urine, distensi kandung
kemih) dan disfungsi saluran pencernaan.
12. Disfungsi autonom berupa penurunan keringat dan tonus vasomotor
13. Penurunan fungsi pernapasan
14. Infertilitas

Cedera medulla spinalis juga mempengaruhi fungsi organ vital, yaitu


diantaranya disfungsi respirasi terbesar yaitu cedera setinggi C1-C4.
Cedera pada C1-C2 akan mempengaruhi ventilasi spontan tidak efektif.
Lesi setinggi C5-8 akan mempengaruhi m. intercostalis, parasternalis,
scalenus, otot-otot abdominal, otot-otot abdominal. Selain itu
mempengaruhi intaknya diafragma, trafezius, dan sebagian m. pectoralis
mayor. Lesi setinggi thoracal mempengaruhi otot-otot intercostalis dan
abdominal. Dampak umumnya, yaitu efektivitas kinerja otot pernafasan
menurun.7,8,9
Selain itu mengganggu fungsi sistem kardiovaskular dimana terjadi
karena gangguan jalur otonom, terjadi pada lesi setinggi cervical dan
thoracal. Akibat disfungsi simpatis yang mempengaruhi fungsi jantung
dan dinding vaskular, hilangnya kontrol simpatis supraspinal
mengakibatkan aktivitas simpatis menurun. Lesi setinggi cervical dan
thoracal mengakibatkan tonus vasomotor menurun sehingga
mengakibatkan hipotensi.7,8,9
Fungsi sistem urinaria terganggu saat terjadi lesi setinggi S2 dan S4.
Dimana bila terjadi lesi setinggi S2 akan mengakibatkan otot detrusor
vesika urinaria mengalami kelemahan tipe LMN sehingga otot detrusor
melemah, sedangkan S4 mengatur spingter urinaria eksterna berkontraksi
karena bersifat spastik, akan mengakibatkan retensi urin. Sedangkan bila
lesi setinggi S4 akan mengakibatkan spingter urinaria eksterna melemah
(membuka) sedangkan fungsi dari otot VU normal maka akan
mengakibatkan inkontinensia urin. 7,8,9
Lesi pada badan sel parasimpatis di conus medullaris, axon
parasimpatis di cauda equine dan axon somatic pudendus setinggi T10,
fungsi pembentukan fese terganggu, karena mempengaruhi dinding usus,
pada lesi tersebut diatas akan mengakibatkan tipe LMN, dimana feses
lebih kering dan bundar, resiko tinggi inkontinensia akibat rendahnya
tonus spingter ani. Lesi setinggi diatas conus medullaris akan
mengakibatkan lesi tipe UMN, dimana terjadi overaktivitas peristaltik
usus, retensi fecal akibat spastik spingter ani. 7,8,9
Tabel 2.3 Kondisi Patologis Saraf Spinal Akibat Cedera7,8,9
Batas Cedera Fungsi yang Hilang

C1 C 4 Hilangnya fungsi motorik dan sensorik leher ke bawah. Paralisis


pernafasan, tidak terkontrolnya bowel dan blader.

C5 Hilangnya fungsi motorik dari atas bahu ke bawah. Hilangnya sensasi


di bawah klavikula. Tidak terkontrolnya bowel dan blader.

C6 Hilangnya fungsi motorik di bawah batas bahu dan lengan. Sensasi


lebih banyak pada lengan dan jempol.

C7 Fungsi motorik yang kurang sempurna pada bahu, siku, pergelangan


dan bagian dari lengan. Sensasi lebih banyak pada lengan dan tangan
dibandingkan pada C6. Yang lain mengalami fungsi yang sama dengan
C5.

C8 Mampu mengontrol lengan tetapi beberapa hari lengan mengalami


kelemahan. Hilangnya sensai di bawah dada.

T1-T6 Hilangnya kemampuan motorik dan sensorik di bawah dada tengah.


Kemungkinan beberapa otot interkosta mengalami kerusakan.
Hilangnya kontrol bowel dan blader.

T6 T12 Hilangnya kemampuan motorik dan sensasi di bawah pinggang.


Fungsi pernafasan sempurna tetapi hilangnya fngsi bowel dan blader.

L1 L3 Hilannya fungsi motorik dari plevis dan tungkai. Hilangnya sensasi


dari abdomen bagian bawah dan tungkai. Tidak terkontrolnya bowel
dan blader.

L4 S1 Hilangnya bebrapa fungsi motorik pada pangkal paha, lutut dan kaki.
Tidak terkontrolnya bowel dan blader.

S2 S4 Hilangnya fungsi motorik ankle plantar fleksor. Hilangnya sensai pada


tungkai dan perineum. Pada keadaan awal terjadi gangguan bowel dan
blader.

2.8. Pemeriksaan Fisik


Inspeksi: deformitas pada tulang belakang (akibat trauma, proses destruktif
neoplasma atau infeksi)
Palpasi: nyeri radikuler, krepitasi, tenderness di tulang belakang (akibat
trauma, proses destruktif neoplasma atau infeksi)
Pemeriksaan khusus sensoris: menggunakan pinprick dan sentuhan ringan
pada tubuh (Gambar 6)
Pemeriksaan khusus motoris: pasien diminta menggerakan kelompok otot
sesuai dengan miotom masing-masing radiks medulla spinalis.(VIH.2001)

Gambar 2.8. Titik-titik Lokasi Pemeriksaan Pinprick dan Sentuhan Ringan Pada
Tubuh

Tabel 2.4 Otot-otot Kunci untuk Pemeriksaan Neurologis


Gambar 2.9. Bagan ASIA yang Digunakan untuk Mendeteksi Kelumpuhan
Neurologis

2.9. Pemeriksaan Penunjang


1. Plain foto: Cervical, thoraks, abdomen/lumbal (AP/Lat) untuk melihat
adanya fraktur vertebrae. Dapat ditambah posisi Odontoid (open
mouth), Swimmers view (untuk melihat C7 dan T1).
Tanda degenerasi spina:
Ruang intervertebral menyempit
Foramina intervertebral menyempit
Bentukan osteofit
Pelebaran foramina
2. Darah lengkap, urin lengkap
3. Pungsi Lumbal analisis CSF
4. MRI Vertebral: merupakan definitive imaging technique
5. Neurofisiologi: EMG (untuk memeriksa continuitas myelin dan akson)
6. Tes perspirasi menilai fungsi saraf otonom
2.10. Diagnosa
1. Anamnesa
a. Cara kejadian: trauma, riwayat infeksi
b. Usia muda: penyakit bawaan
c. Usia tua: keganasan
d. Durasi: akut (GBS, transverse myelitis, kompresi), kronis (MND,
polyneuropathy, muscle dystrophy)
e. Gangguan sfingter retensi urin/alvi
f. Nyeri radikuler
g. Keluhan unilateral/bilateral
h. Nyeri kepala
i. Nyeri punggung
2. Pemeriksaan fisik
a. Kesadaran lesi cerebral/spinal shock
b. Meningeal sign tanda infeksi meningen
c. Penilaian skor ASIA (motoris dan sensoris)
d. Pemeriksaan tonus otot, reflek fisiologis dan reflek patologis
3. Pemeriksaan penunjang
a. Tes perspirasi menilai fungsi saraf otonom
b. Analisis CSF
c. X-ray cervical, thoracal, lumbal, sacral (AP/Lat/Obl) menilai
abnormalitas tulang
d. MRI vertebrae menilai abnormalitas medula spinalis (jaringan
lunak)

2.11. Tatalaksana
Prinsip terapi Trauma spinal traumatika ditujukan untuk:
1. Meminimalkan kemungkinan terjadinya defisit neurologis
2. Mengembalikan integritas kolum spinalis semaksimal mungkin
3. Mengurangi kemungkinan terjadinya infeksi
4. Optimalisasi rehabilitasi fungsional

Pada pasien-pasien trauma kepala berat dengan penurunan


kesadaran, pasien pasca trauma yang mengeluh nyeri pada vertebra,
trauma pada supraclavicula, luka/memar pada wajah, dan/atau mengalami
defisit neurologis pada ekstremitasnya perlu dicurigai adanya trauma pada
kolum spinal. Perhatian pertama pada pasien trauma spinal ini terutama
pada area leher atas, khususnya ditujukan pada fungsi respirasi.12
Jalan napas (airway) harus bersih dan pemeriksa harus memeriksa
keadaan servikal pasien. Pada pasien yang belum jelas apakah terjadi
gangguan pada servikal atau tidak, maka perlu dipasang pelindung leher
(collar neck). Pelindung leher ini baru dilepas bila tidak terbukti adanya
trauma spinal. Berikutnya, pemeriksa harus memeriksa pernapasan pasien
(breathing). Apabila dijumpai adanya paralisa diafragma, maka perlu
segera dipasang bantuan ventilasi. Setelah itu, pemeriksaan ditujukan pada
sirkulasi (circulation) untuk melihat apakah sirkulasi pasien cukup adekuat
atau tidak. Gangguan kontrol simpatis dapat mengakibatkan hipotensi
tanpa adanya kehilangan darah. Pemberian cairan yang tepat perlu
dipertimbangkan dengan seksama pada kasus semacam ini.12
Hal berikutnya yang diperhatikan adalah mengenai disabilitas
(disability). Dalam hal ini yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran
dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi, dan tingkat level trauma spinal.
Biasanya pasien-pasien yang mengalami defisit neurologis ataupun trauma
tulang torakal atau lumbal akan mengalami retensi urin. Maka pasien perlu
dipasang kateter urin. Setelah memeriksa disabilitas pada pasien, hal yang
dilakukan selanjutnya adalah melakukan evaluasi (evaluation). Evaluasi
disini adalah memeriksa kembali keadaan pasien dari ujung rambut sampai
kaki.12
Tatalaksana medikamentosa untuk trauma medula spinalis
didasarkan pada rekomendasi National Acute Spinal Cord Injury Studies
III (NASCIS III) berdasarkan NASCIS II dan NASCIS III, pasien dengan
trauma medula spinalis akut diberikan terapi metilprednisolon dalam 8 jam
pertama setelah terjadinya trauma. Jika pasien datang kurang dari 3 jam
pertama setelah terjadinya Trauma medula spinalis, pasien diberikan dosis
methylprednisolone 30mg/kgBB bolus selama 15 menit. Berikan jeda 45
menit sebelum dilanjutkan dengan dosis 5,4mg/kgBB/jam dalam infus
selama 23 jam berikutnya. Jika pasien datang dalam rentang waktu 3-8jam
pasca trauma, maka methylprednisolone diberikan dengan dosis
30mg/kgBB bolus selama 15 menit. Kemudian di lanjutkan dengan dosis
5,4mg/kgBB/jam dalam infus selama 48 jam berikutnya.12
Pemberian methylprednisolone 8 jam pasca trauma tidak dianjurkan
karena memberikan hasil pengobatan yang lebih buruk dibandingkan
placebo. Methylprednosolon dosis tinggi memiliki efek samping berupa
perdarahan gastrointestinal, pneumonia, sepsis, ulkus peptic, dan
hiperglikemia. Pada lesi medula spinalis setinggi servikal dan torakal
dapat terjadi vasodilatasi perifer akibat terputusnya intermediolateral
kolumna medula spinalis. Akibatnya terjadi hipotensi, hal ini dapat diatasi
dengan pemberian simpatomimetik agents, seperti dopamine atau
dobutamin. Bradikardi simptomatis dapat diberikan atropine.12
Jika terjadi gangguan pernapasan pada trauma servikal, merupakan
indikasi perawatan di ICU. Pada trauma medula spinalis, rehabilitasi
ditujukan untuk mengurangi spastisitas, kelemahan otot dan kegagalan
koordinasi motorik. Terapi fisik dan strategi rehabilitasi yang lain juga
penting untuk mempertahankan fleksibilitas dan kekuatan otot dan untuk
reorganisasi fungsi saraf, penting juga memaksimalkan penggunaan serat
saraf yang tidak rusak.12

Tindakan operasi12
Tatalaksana berupa tindakan operatif paling baik dilakukan dalam jangka
waktu 24 jam sampai 3 minggu setelah terjadinya trauma. Indiksi tindakan
operatif adalah:
1. Terdapat fraktur dan pecahan tulang yang menekan medula spinalis
2. Gambaran defisit neurologis yang progresif memburuk.
3. Fraktur atau dislokasi yang tidak stabil.
4. Terjadinya herniasi diskus intervertebralis yang menekan medula
spinalis.

2.12. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pasca trauma medula spinalis antara
lain, yaitu instabilitas dan deformitas tulang vertebra, fraktur patologis,
syringomyelia pasca trauma, nyeri, dan gangguan fungsi seksual. Pada
kasus kronik, dapat pula terjadi komplikasi pada sistem respirasi
(pneumonia, efusi pleura, atelektasis), sistem kardiovaskular (hipotensi
ortostatik, disrefleksia otonom), sistem ekskresi (disfungsi vesika urinaria,
neurogenic bowel, spastisitas, nyeri, pressure ulcers, osteoporosis dan
fraktur tulang.7,14
Pencegahan komplikasi sangat berperan penting. Tindakan
rehabilitasi medik merupakan kunci utama dalam penanganan pasien
Trauma medula spinalis. fisioterapi, terapi okupasi, dan bladder training
harus dilakukan sedini mungkin. Tujuan utama fisioterapi adalah untuk
mempertahankan ROM (Range of Movement) dan kemampuan mobilitas,
dengan memperkuat fungsi otot-otot. Terapi okupasional terutama
ditujukan untuk memperkuat dan memperbaiki fungsi ekstremitas atas,
serta mempertahankan kemampuan aktivitas hidup sehari-hari.
Pembentukan kontraktur harus dicegah seoptimal mungkin.15

2.13. Prognosis
Prognosis lebih baik pada trauma medula spinalis yang tidak
komplit, 90% penderita trauma medula spinalis dapat membaik dan hidup
mandiri. Kurang dari 5% pasien dengan trauma medula spinalis yang
komplit dapat sembuh. Jika paralisis komplit bertahan sampai 72 jam
setelah trauma, kemungkinan pulih adalah 0%. Perbaikan fungsi motorik,
sensorik dan otonom dapat kembali dalam 1 minggu samapi 6 bulan pasca
trauma medula spinalis. Kemungkinan pemulihan spontan menurun
setelah 6 bulan.16
BAB III
KESIMPULAN

Medulla spinalis merupakan salah satu organ saraf penting pada tubuh
manusia. Hantaman kuat yang mengenai tulang belakang dapat menyebabkan
trauma pada medulla spinalis yang akan mengganggu fungsi dari medulla spinalis.
Trauma medulla spinalis dapat diklasifikasikan menjadi lima kelompok
berdasarkan kemampuan fungsional medulla spinalis yang tersisa. Kecelakaan
menjadi penyebab utama terjadinya trauma pada medulla spinalis.
Trauma medulla spinalis menyebabkan kompresi, regangan, edema, dan
gangguan sirkulasi pada medulla spinalis dan organ sekitarnya sehigga fungsi
medulla spinalis (motorik, sensorik, otonom, dan reflek) terganggu tergantung letak
lesi yang terjadi. Hal ini sering dialami laki-lagi usia SMA dengan rentang usia 16
30 tahun.
Diagnosis ditegakkan dari anamnesa singkat mengenai cara kejadian
(trauma), progresifitas keluhan, dan riwayat penyakit dahulu, dilanjutkan
pemeriksaan fisik yang berfokus untuk mencari tinggi level cedera neurologis
dengan pemeriksaan sensoris (pinprick dan raba halus) dan motoris sesuai miotom,
dan pemeriksaan radiologis. Namun, untuk lebih memudahkan pemeriksa untuk
menentukan level trauma medula spinalis yang dialami oleh seseorang, maka
digunakan ASIA (American Spinal Injury Association) Score.
Tatalaksana medikamentosa untuk trauma medula spinalis didasarkan pada
rekomendasi National Acute Spinal Cord Injury Studies III (NASCIS III)
berdasarkan NASCIS II dan NASCIS III, pasien dengan trauma medula spinalis
akut diberikan terapi metilprednisolon dalam 8 jam pertama setelah terjadinya
trauma. Prognosis pada trauma medula spinalis bergantung pada cepat atau
tidaknya dilakukan tatalaksana awal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Norbert, dan Max. Spinal Disorders. Switzerland: Springer. 2008.


2. Gondowardaja, Yoanes, dan Eko Thomas. Trauma medula Spinalis:
Patobiologi dan Tata Laksana Medikamentosa.Bali: Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana. 2014.
3. Freidberg SR, Magge SN. Chapter 60. Trauma to the Spine and Spinal Cord.
In: Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. 2nd Edition. Elsevier,
Saunders. 2012.
4. Dummont et al. Acute Spinal Cord Injury, Part 1:Patophysiologic mechanisms.
Clin Neuropharmacol. 2001.
5. George, Wita, Budi, dan Yuda. Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit
Saraf.Jakarta: EGC. 2009.
6. DeJongs, Section E.The Neurologic Examination. In:The Motor System, The
Spinal Cord Section. 7th Edition.William W.Champbell,MD. Bathesda,
Maryland. 2013.
7. American College of Surgeon. 2012. Spine and Spinal Cord Trauma dalam:
Advanced Trauma Life Support (ATLS). Ed 9th Chicago, USA.
8. Satyanegara, Ilmu bedah Saraf, Ed.3. Gramedia. 1998.
9. National Institute of Neurological Disorder ang stroke. Spinal Cord Injury,
Emerging Concepts. Juli 2001.
10. Ropper AH, Samuels MA. Chapter 44. Dessease of the Spinal Cord. In: Adams
and Victors Principles of Neurology. 9th Ed. New York: McGraw-Hill; 2009.
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=3640625.
11. Sezer N, Akkus S, Ugurlu FG. Chronic Complication of Spinal Cord Injury.
World Journal of Orthopedics. 2015
12. Robbert BD, Joseph J, John CM, Scot LP. Trauma of the Nervous System,
Spinal Cord Trauma. In: Bradleys Neurology in Clinical Practice.7th
Edition.Elsevier, Phila delphia. 2012.
13. Chin LS. Spinal Cord Injuries. Emedicine Medscape 2013.
http://emedicine.medscape.com/article/79382-overview#showall
14. Sadowsky C, McDonald JW. Spinal Cord Injury. The Lancet. 2002
15. Soopramanien A, Grundy D. 2002. Spinal Cord Injury in the Developing World
dalam : Grundy D, Swain A. ABC of Spinal Cord Injury. Ed 4th. BMJ
Publishing Group. London.
16. Yeon HB, Sethi RK, and Harris MB, Evaluation and Early Management of
Spinal Injury ina polytrauma patient. In Atlas of Spine Trauma Adult and
Pediatric. WB Saunders. 2008.

Anda mungkin juga menyukai