DI RUMAH SAKIT .X
1
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penanggulangan Tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman
penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu saja yang ditandai dengan berdirinya
fasilitasdiagnostik dan sanatorium di kota-kota besar. Dengan dukungan dari pemerintahBelanda,
diagnosis TB dilakukan dengan pemeriksaan Rontgen, diikuti denganpenanganan TB melalui
hospitalisasi.
Studi prevalensi TB pertama kali dilakukanpada tahun 1964 di karesidenan Malang dan
kota Yogyakarta. lima tahun kemudian(1969), program pengendalian TB nasional dengan pedoman
penatalaksanaanTB secara baku dimulai di Indonesia. Pada periode 1972-1995 penanganan
TBtidak lagi berbasis hospitalisasi, akan tetapi melalui diagnosis dan pelayanan TB difasilitas kesehatan
primer, yaitu di Puskesmas.
Setelah keberhasilan uji coba di dua provinsi ini, akhirnya Kementerian Kesehatanmengadopsi
strategi DOTS untuk diterapkan secara nasional pada tahun 1995. Pada tahun 1995-2000, pedoman
nasional disusun dan strategi DOTS mulai diterapkandi Puskesmas. Seperti halnya dalam
implementasi sebuah strategi baru, terdapatberbagai tantangan di lapangan dalam melaksanakan
kelima strategi DOTS. Untukmendorong peningkatan cakupan strategi DOTS dan pencapaian
targetnyadilakukan dua Joint External Monitoring Mission oleh tim pakar internasional.
Rencana strategi nasional Pengendalian TB disusun pertama kali pada periode tahun
2000 - 2005 sebagai pedoman bagi provinsi dan kabupaten/kota untuk merencanakan
danmelaksanakan program pengendalian TB. Pencapaian utama selama periode iniadalah:
2
5. Pelatihan perencanaan dan anggaran di tingkat daerah.
7. Keterlibatan BP4 dan rumah sakit pemerintah dan swasta dalam melaksanakanstrategi DOTS
melalui ujicoba HDL di Jogjakarta.
Keberhasilan target global tingkat deteksidini dan kesembuhan dapat dicapai pada
periode tahun 2006 - 2010. Selain itu, berbagai tantangan baru dalamimplementasi strategi DOTS
muncul periode ini.Tantangan tersebut antara lain penyebaran ko-infeksi TB-HIV, peningkatan
resistensiobat TB, jenis penyedia pelayanan TB yang sangat beragam, kurangnya
pengendalianinfeksi TB di fasilitas kesehatan, serta penatalaksanaan TB yang bervariasi. Mitrabaru
yang aktif berperan dalam pengendalian TB pada periode ini antara lain DirektoratJenderal Bina
Upaya Kesehatan di Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia,dan Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia.
Untuk akselerasi DOTS di rumah sakit, sekitar 750 dari 1645 RS telah dilatih. Koordinasi
di tingkat pusatdengan Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan semakin intensif. Selain
ituDirektorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan juga melakukan penilaian ke beberaparumah sakit
yang telah menerapkan DOTS. Penguatan aspek regulasi dalamimplementasi strategi DOTS di
rumah sakit akan diintegrasikan dengan kegiatanakreditasi rumah sakit.
Untuk meningkatkan mutu pelayanan medis TB di Rumah Sakit Royal Progress melalui penerapan
strategi DOTS secara optimal dengan mengupayakan kesembuhan dan pemulihan pasien melalui
prosedur dan tindakan yang dapat dipertanggung jawabkan serta memenuhi etika kedokteran.
Dasar Hukum
Undang Undang republic Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
3
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Peraturan MEnteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis
Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal.
4
BAB II URAIAN
TIM DOTS
Ketua Tim adalah seorang dokter spesialis paru dan merangkap sebagai anggota.
Sekretaris Tim adalah seorang dokter umum dan merangkap sebagai anggota.
Kualifikasi :
Kualifikasi :
Menjamin terselenggaranya pelayanan TB dengan membentuk unit DOTS di rumah sakit sesuai
dengan strategi DOTS termasuk sistem jejaring internal dan eksternal.
5
Uraian tugas
Menyusun laporan hasil pertemuan dan hasil monitoring evaluasi dan disampaikan secara
tertulis kepada Direktur Rumah Sakit X setiap triwulan untuk diketahui atau
ditindaklanjuti.
6
BAB III
STANDAR FASILITAS
Fasilitas yag cukup harus tersedia bagi staf medis sehingga dapat tercapai tujuan dan
fungsi pelayanan DOTS yang optimal bagi pasien TB.
Kriteria :
1. Tersedia ruangan khusus pelayanan pasien TB (Unit DOTS) yang berfungsi sebagai
pusat pelayanan TB di RS meliputi kegiatan diagnostik, pengobatan, pencatatan dan
pelaporan, serta menjadi pusat jejaring internal/eksternal DOTS.
LEMARI
MEJA
TEMPAT PERAWAT + KIE
TIDUR
PERIKSA
PASIEN
MEJA DOKTER
TIMBANGAN
7
Daftar Inventaris Ruang DOTS
3. Kursi 6 unit
6. Stetoskop 1 unit
7. Handschoen 1 box
8. Masker 1 box
9. Timbangan 1 unit
8
BAB III
Salah satu unsur penting dalam penerapan DOTS di rumah sakit adalah komitmen yang kuat
antara pimpinan rumah sakit, komite medik dan profesi lain yang terkait termasuk administrasi
dan operasionalnya. Untuk tu perlu dipenuhi kebutuhan sumber daya manusia, sarana dan
prasarana penunjang, antara lain :
Dibentuk Tim DOTS RS yang terdiri dari seluruh komponen yang terkait dalam
penanganan pasien tuberkulosis ( dokter, perawat, petugas laboratorium, petugas
farmasi, rekam medik dan PKRS ).
Disediakan ruangan untuk kegiatan Tim DOTS yang melakukan pelayanan DOTS.
Pendanaan untuk pengadaan sarana, prasarana dan kegiatan disepakati dalam MoU
antara rumah sakit dan dinas kesehatan setempat.
Sumber pendanaan diperoleh dari rumah sakit.
Program Nasional Penanggulangan TB memberikan kontribusi dalam hal pelatihan,
OAT, mikroskop dan bahan-bahan laboratorium.
Formulir pencatatan dan pelaporan yang digunakan pada penerapan DOTS 01,02,03
UPK, 04,05,06,09,10 dan buku registrasi pasien tuberkulosis di rumah sakit.
Untuk menanggulangi masalah TB, strategi DOTS harus diekspansi dan diakselerasi pada
seluruh unit pelayanan kesehatan dan berbgai institusi terkait termasuk rumah sakit pemerintah
dan swasta, dengan mengikutsertakan secara aktif semua pihak dalam kemitraan yang bersinergi
untuk penanggulangan TB.
1. Melakukan penilaian dan analisa situasi untuk mendapatkan gambaran kesiapan rumah sakit
dan dinas keehatan setempat.
2. Mendapatkan komitmen yang kuat dari pihak manajemen rumah akit dan tenaga medis serta
paramedis dan seluruh petugas terkait.
3. Penyusunan nota kesepahaman antara rumah sakit dan dinas kesehatan.
4. Memyiapkan tenaga medis, paramedis, laboratorium, rekam medis, farmasi dan PKRS
untuk dilatih DOTS.
9
5. Membentuk Tim DOTS di rumah sakit yang meliputi unit-unit terkait dalam penerapan
strategi DOTS di rumah sakit.
6. Menyediakan tempat untuk Tim DOTS di dalam rumah sakit sebagai tempat koordinasi dan
pelayanan terhadap pasien tuberkulosis secara komprehensif ( melibatkan semua unit di
rumah sakit yang menangani pasien tuberkulosis ).
7. Menyediakan tempat / rak penyimpanan OAT di ruang DOTS.
8. Menyiapkan laboratorium untuk pemeriksaan mikrobiologis dahak sesuai standar.
9. Mrnggunakan format pencatatan sesuai program tuberkulosis nasional untuk memantau
pelaksnaan pasien.
10. Menyediakan biaya operasional.
Pembentukan Jejaring
Rumah sakit memiliki potensi besar dalam penemuan pasien tuberkulosis (case finding), namun
memiliki keterbatasan dalam menjaga keteraturan dan keberlangsungan pengobatan pasien (case
holding) jika dibandingkan dengan puskesmas. Karena itu perlu dikembangkan jejaring rumah sakit
baik internal maupun eksternal.
Suatu sistem jejaring dapat dikatakan berfungsi secara baik pabila angka default rate <5% pada tiap
rumah sakit.
10
10
Fungsi masing-masing unit dalam jejring internal RS :
1. Tim DOTS berfungsi sebagai tempat penanganan seluruh pasien TB di rumah sakit dan pusat
informasi tentang TB. Kegiatannya meliputi konseling, penentuan klasifikasi dan tipe,
kategori pengobatan, pemberian OAT, penentan PMO, follow up hasil pengobatan dan
pencatatan.
2. Poli umum, UGD dan poli spesialis berfungsi menjaring tersangka pasien TB, menegakkan
diagnosis dan mengirim pasien ke Tim DOTS RS.
3. Rawat inap berfungsi sebagai pendukung Tim DOTS dalam melakukan penjaringan
tersangka serta perawatan dan pengobatan.
4. Laboratorium berfungsi sebagai sarana diagnostik.
5. Rradiologi berfungsi sebagai sarana penunjang diagnostik.
6. Farmasi berfungsi sebagai unit yang bertanggungjawab terhadap ketersediaan OAT.
7. Rekam medis berfungsi sebagai pendukung Tim DOTS dalam pencatatan dan pelaporan.
8. PKRS berfungsi sebagai pendukung Tim DOTS dalam kegiatan penyuluhan.
Suspek TB atau pasien TB dapat datang ke poli umum/ UGD atau langsung ke poli
spesialis (Penyakit Dalam, Paru, Anak, Syaraf, Kulit, Bedah, Obsgyn, THT, Mata, Bedah
Saraf, Urologi)
Suspek TB dikirim untuk dilakukan pemeriksaan penunjang (Laboratorium Mikrobiologi,
PK, PA dan Radiologi)
11
11
Hasil pemeriksaan penunjang dikirim ke dokter yang bersngkutan. Diagnosis dan dan
klasifikasi dilakuka oleh dokter poliklinik masing atau Tim DOTS.
Setelah diagnosis TB ditegakkan pasien dikirim ke Tim DOTS untuk registrasi (bila
pasien meneruskan pengobatan di rumah sakit), penentuan PMO, penyuluhan dan
pengambilan obat, pengisian kartu pengobatan TB (TB-01). Bila pasien tidak
menggunakan obat paket, pencatatan dan pelaporan dilakukan dipoliklinik masing-masing
dan kemudian dilaporkan ke Tim DOTS.
Bila ada pasien TB yang dirawat di rawat inap, petugas rawat inap menghubungi Tim
DOTS untuk registrasi pasien (bila pasien meneruskan pengobatan di rumah sakit). Paket
OAT dapat diambil di Tim DOTS.
Pasien TB yang dirawat inap, saat akan keluar dari RS harus melalui Tim DOTS untuk
konseling dan penanganan lebih lanjut dalam pengobatannya.
Rujuk (pindah) dari/ ke UPK lain, berkoordinasi dengan Tim DOTS (lihat pada gambar
alur rujukan).
b. Jejaring Eksternal
Jejaring eksternal adalah jejaring yang dibangun antara dinas kesehatan, rumah sakit,
puskesmas dan UPK lainnya dalam penanggulangan TB dengan strategi DOTS.
12
12
Mekanisme rujukan dan pindah pasien ke UPK lain :
1. Apabila pasien sudah mendapatkan pengobatan di rumah sakit, maka harus dibuatkan kartu
pengobatan TB (TB-01) di rumah sakit.
2. Untuk pasien yang dirujuk dari rumah sakit surat pengantar atau formulir (TB-09) dengan
menyertakan TB-01 dan OAT (bila telah dimulai dibuat pengobatan).
3. Formulir TB-09 diberikan kepada pasien beserta sisa OAT untuk diserahkan kepada UPK yang
dituju.
4. Rumah sakit memberikan informasi langsung (telepon atau SMS) ke koordinator HDL tentang
pasien yang dirujuk.
5. UPK yang telah menerima pasien rujukan segera mengisi dan mengirimkan kembali TB-09
(lembar bagian bawah) ke UPK asal.
6. Koordinator HDL memastikan semua pasien yang dirujuk melanjutkan pengobatan di UPK
yang dituju (dilakukan konfirmasi melalui telepon atau SMS).
7. Bila pasien tidak ditemukan di UPK yang dituju, petugas TB UPK yag dituju melacak sesuai
alamat pasien.
8. Koordinator HDL memberikan umpan balik kepada UPK asal tentang pasien yang dirujuk.
Alur Rujukan Pasien TB antar UPK dalam Satu Unit Registrasi (1Kab/Kota)
13
13
3. Bila pasien tidak dtemukan maka koordinator HDL Propinsi harus menginformasikan kepada
koordinator HDL Kab/Kota untuk melakukan pelacakan pasien.
Pasien dikatakan mangkir berobat bila yang bersangkutan tidak datang untuk periksa ulang/
mengambil obat pada waktu yang telah ditentukan.
Bila keadaan ini masih berlanjut hingga 2 hari pada fase awal atau 7 hari pada fase lanjutan, maka
Tim DOTS RS segera melakukan tindakan di bawah ini :
Rumah sakit mempunyai beberapa pilihan dalam penanganan pasien TB sesuai dengan kemampuan
masing-masing seperti terlihat di bawah ini :
Semua unit pelayanan yang menemukan suspek TB, memberikan informasi kepada yang
bersangkutan untuk membantu menentukan pilihan dalam mendapatkan pelayanan (diagnosis dan
pengobatan), serta menawarkan pilihan yang sesuai dengan beberapa pertimbangan :
14
14
Biaya transportasi
Kemampuan RS
Pilihan 1 : RS menjaring suspek TB, menentukan diagnosis dan klasifikasi pasien serta melakukan
pengobatan, kemudian merujuk ke puskesmas/ UPK lain untuk melanjutkan pengobatan tetapi
pasien kembali ke RS untuk konsultasi keadaan klinis/ periksa ulang.
Pilihan 2 : RS menjaring suspek TB dan menentukan diagnosis dan klasifikasi, kemudian merujuk
ke puskesmas.
Pilihan 3 : RS menjaring suspek TB dan menentukan diagnosis dan klasifikasi pasien serta
memulai pengobatan, kemudian merujuk ke puskesmas.
15
15
BAB V
LOGISTIK
Logistik penanggulangan TB terdiri dari 2 bagian besar yaitu logistik Obat Anti TB (OAT)dan logistik
lainnya.
Logistik OAT.
Paket OAT anak dan dewasa terdapat 2 macam jenis dan kemasan yaitu :
OAT dalam bentuk obat kombinasi dosis tetap (KDT) atau Fixed Dose Combination(FDC) yang
dikemas dalam blister, dan tiap blister berisi 28 tablet.
OAT dalam bentuk Kombipak yang dikemas dalam blister untuk satu dosis,kombipak ini
disediakan khusus untuk pengatasi efek samping KDT.Khusus untuk dewasa terdiri dari kategori
1, kategori 2 dan sisipan.
Mikroskop, slide box, pot sputum, kaca sediaan, rak pewarna dan pengering, lampu spiritus, ose,
botol plastik bercorong pipet, kertas pembersih lensa mikroskop,kertas saring, dan lain lain.
Bahan diagnostik terdiri dari :
Reagensia Ziehl Neelsen, eter alkohol, minyak imersi, lysol, tuberkulin PPD RT 23dan lain lain.
Barang cetakan seperti buku pedoman, formulir pencatatan dan pelaporan sertabahan KIE.
UPK menghitung kebutuhan tahunan, triwulan dan bulanan sebagai dasarpermintaan ke Kabupaten/Kota.
Tingkat Kabupaten/Kota
Perencanaan kebutuhan OAT di kabupaten/kota dilakukan oleh TimPerencanaan Obat Terpadu daerah
kabupaten/kota yang dibentukdengan keputusan Kadinkes atas nama Bupati/Walikota yang
anggotanyaminimal terdiri dari unsur Program, Farmasi, Bagian Perencanaan DinasKesehatan dan
Instalasi Farmasi Kab/Kota (IFK).
Disamping rencana kebutuhan OAT KDT, perlu juga direncanakan OATdalam bentuk paket kombipak
atau lepas untuk antisipasi efek sampingKDT sebanyak 25 % dari perkiraan pasien yang akan diobati.
Tingkat Propinsi
Tingkat Pusat
Kebutuhan kabupaten/kota
Buffer stok propinsi
Buffer stok ditingkat pusat.
Pengadaan OAT
Kabupaten/Kota maupun Propinsi yang akan mengadakan OAT perluberkoordinasi dengan pusat (Dirjen
PPM dan PL Depkes RI) sesuaidengan peraturan yang berlaku.
Pengadaan OAT menjadi tanggungjawab pusat mengingat OATmerupakan Obat yang sangat-sangat
esensial (SSE).
17
17
OAT yang telah diadakan, dikirim langsung oleh pusat sesuai denganrencana kebutuhan masing-masing
daerah, penerimaan OAT dilakukanoleh Panitia Penerima Obat tingkat kabupaten/ kota maupun
tingkatpropinsi.
OAT disimpan di IFK maupun Gudang Obat Propinsi sesuai persyaratanpenyimpanan obat. Penyimpanan
obat harus disusun berdasarkan FEFO(First Expired First Out), artinya, obat yang kadaluarsanya lebih
awalharus diletakkan didepan agar dapat didistribusikan lebih awal.
Pendistribusian buffer stock OAT yang tersisa di propinsi dilakukan untukmenjamin berjalannya system
distribusi yang baik. Distribusi OAT dari IFKke UPK dilakukan sesuai permintaan yang telah disetujui
oleh DinasKesehatan Kabupaten/Kota. Pengiriman OAT disertai dengan dokumenyang memuat jenis,
jumlah, kemasan, nomor batch dan bulan serta tahunkadaluarsa.
Pemantauan OAT dilakukan dengan menggunakan Laporan Pemakaiandan Lembar Permintaan Obat
(LPLPO) yang berfungsi ganda, untukmenggambarkan dinamika logistik dan merupakan alat pencatatan
/pelaporan.
Dinas Kesehatan kabupaten/kota bersama IFK mencatat persediaan OATyang ada dan melaporkannya ke
propinsi setiap triwulan denganmenggunakan formulir TB-13. Pengelola program bersama
FarmakminPropinsi, melaporkan stock yang ada di Propinsi termasuk yang ada digudang IFK ke pusat
setiap triwulan.
Pembinaan teknis dilaksanakan oleh Tim Pembina Obat Propinsi. Secarafungsional pelaksana program
Tuberkulosis propinsi dan Kabupaten /Kota juga melakukan pembinaan pada saat supervisi.
Pengawasan Mutu
Pengawasan dan pengujian mutu OAT mulai dengan pemeriksaansertifikat analisis pada saat pengadaan.
Setelah OAT sampai di Propinsi,Kabupaten/Kota dan UPK, pengawasan dan pengujian mutu
OATdilakukan secara rutin oleh Badan/Balai POM dan Ditjen Binnfar.
18
18
Pengujian laboratorium dilaksanakan oleh Balai POM dan meliputi aspekaspeksebagai berikut:
1. Identitas obat
2. Pemberian
3. Keseragaman bobot/ keseragaman kandungan
4. Waktu hancur atau disolusi
5. Kemurnian/ kadar cemaran
6. Kadar zat aktif
7. Uji potensi
8. Uji sterilitas
Bila OAT tersebut rusak bukan karena penyimpanan dan distribusi,maka akan dilakukan bacth
re-call (ditarik dari peredaran).
Dilakukan tindakan sesuai kontrak
Dimusnahkan sesuai aturan yang berlaku.
Perhitungan berdasarkan pada perkiraan pasien BTA positif yang akandiobati dalam 1 tahun.
Logistik penunjang lainnya (seperti: buku Pedoman TB, ModulPelatihan, Materi KIE) dihitung
berdasarkan kebutuhan.
19
19
BAB VII
Pemantauan dan evaluasi merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menilaikeberhasilan
pelaksanaan program. Pemantaun dilaksanakan secara berkala danterus menerus, untuk dapat segera
mendeteksi bila ada masalah dalampelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan, supaya dapat
dilakukan tindakanperbaikan segera. Evaluasi dilakukan setelah suatu jarak-waktu (interval) lebihlama,
biasanya setiap 6 bulan s/d 1 tahun. Dengan evaluasi dapat dinilai sejauhmana tujuan dan target yang
telah ditetapkan sebelumnya dicapai. Dalam mengukurkeberhasilan tersebut diperlukan indikator. Hasil
evaluasi sangat berguna untukkepentingan perencanaan program.
Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi, diperlukan suatu sistem pencatatandan pelaporan baku yang
dilaksanakan dengan baik dan benar.
Salah satu komponen penting dari survailans yaitu pencatatan dan pelaporandengan maksud mendapatkan
data untuk diolah, dianalisis, diinterpretasi,disajikan dan disebarluaskan untuk dimanfaatkan. Data yang
dikumpulkan padakegiatan survailans harus valid (akurat, lengkap dan tepat waktu)
sehinggamemudahkan dalam pengolahan dan analisis. Data program Tuberkulosis dapatdiperoleh dari
pencatatan di semua unit pelayanan kesehatan yang dilaksanakandengan satu sistem yang baku.
UPK (Puskesmas, Rumah Sakit, BP4, klinik dan dokter praktek swasta dll)dalam melaksanakan
pencatatan menggunakan formulir:
Khusus untuk dokter praktek swasta, penggunaan formulir pencatatan TBdapat disesuaikan selama
informasi survailans yang dibutuhkan tersedia.
Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota menggunakan formulir pencatatan danpelaporan sebagai berikut:
Indikator Program TB
Angka Penemuan Pasien baru TB BTA positif (Case Detection Rate = CDR)dan
Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate = SR).
Disamping itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai indikator Nasionaltersebut di atas, yaitu:
21
21
Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara Suspek yang diperiksadahaknya
Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara seluruh pasien TB paru
Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien
Angka Notifikasi Kasus (CNR)
Angka Konversi
Angka Kesembuhan
Angka Kesalahan Laboratorium
Untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat ukurkemajuan (marker of progress).
Sahih (valid)
Sensitif dan Spesifik (sensitive and specific)
Dapat dipercaya (realiable)
Dapat diukur (measureable)
Dapat dicapai (achievable)
Membandingkan data antara satu dengan yang lain untuk melihat besarnyaperbedaan.
Melihat kecenderungan (trend) dari waktu ke waktu.
Adalah jumlah suspek yang diperiksa dahaknya diantara 100.000 pendudukpada suatu wilayah tertentu
dalam 1 tahun. Angka ini digunakan untukmengetahui upaya penemuan pasien dalam suatu wilayah
tertentu, denganmemperhatikan kecenderungannya dari waktu ke waktu (triwulan/tahunan)
Jumlah suspek yang diperiksa bisa didapatkan dari buku daftar suspek (TB.06). UPK yang tidak
mempunyai wilayah cakupan penduduk, misalnya rumahsakit, BP4 atau dokter praktek swasta, indikator
ini tidak dapat dihitung.
22
22
Adalah prosentase pasien BTA positif yang ditemukan diantara seluruhsuspek yang diperiksa dahaknya.
Angka ini menggambarkan mutu dariproses penemuan sampai diagnosis pasien, serta kepekaan
menetapkankriteria suspek.
Rumus: Jumlah pasien TB BTA positif yg ditemukan
X 100%
Jumlah seluruh suspek TB yg diperiksa
Angka ini sekitar 5 - 15%. Bila angka ini terlalu kecil ( < 5 % ) kemungkinandisebabkan :
Penjaringan suspek terlalu longgar. Banyak orang yang tidak memenuhikriteria suspek, atau
Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium ( negatif palsu ).
Tercatat/diobati
Adalah prosentase pasien Tuberkulosis paru BTA positif diantara semuapasien Tuberkulosis paru tercatat.
Indikator ini menggambarkan prioritaspenemuan pasien Tuberkulosis yang menular diantara seluruh
pasienTuberkulosis paru yang diobati.
Rumus:
Jumlah pasien TB BTA positif (baru + kambuh)
X 100%
Jumlah seluruh pasien TB (semua tipe)
Angka ini sebaiknya jangan kurang dari 65%. Bila angka ini jauh lebih rendah, itu berarti mutu
diagnosis rendah, dan kurang memberikan prioritasuntuk menemukan pasien yang menular (pasien BTA
Positif).
Adalah prosentase pasien TB anak (<15 tahun) diantara seluruh pasien TBtercatat.
Rumus :
Jumlah pasien TB Anak (<15 thn) yg ditemukan
X 100%
Jumlah seluruh pasien TB yg tercatat
Angka ini sebagai salah satu indikator untuk menggambarkan ketepatandalam mendiagnosis TB pada
anak. Angka ini berkisar 15%. Bila angka initerlalu besar dari 15%, kemungkinan terjadi overdiagnosis.
23
23
Adalah prosentase jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dandiobati dibanding jumlah pasien
baru BTA positif yang diperkirakan adadalam wilayah tersebut.Case Detection Rate menggambarkan
cakupan penemuan pasien baruBTA positif pada wilayah tersebut.
Rumus:
Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA positif diperoleh berdasarkanperhitungan angka insidens kasus TB
paru BTA positif dikali dengan jumlahpenduduk.Target Case Detection Rate Program Penanggulangan
TuberkulosisNasional minimal 70%.
Adalah angka yang menunjukkan jumlah pasien baru yang ditemukan dantercatat diantara 100.000
penduduk di suatu wilayah tertentu.Angka ini apabila dikumpulkan serial, akan
menggambarkankecenderungan penemuan kasus dari tahun ke tahun di wilayah tersebut.
Rumus :
Jumlah pasien TB (semua tipe) yg dilaporkan dlm TB.07
X 100.000
Jumlah penduduk
Angka ini berguna untuk menunjukkan kecenderungan (trend) meningkatatau menurunnya penemuan
pasien pada wilayah tersebut.
Angka konversi adalah prosentase pasien baru TB paru BTA positif yangmengalami perubahan menjadi
BTA negatif setelah menjalani masapengobatan intensif. Indikator ini berguna untuk mengetahui secara
cepathasil pengobatan dan untuk mengetahui apakah pengawasan langsungmenelan obat dilakukan
dengan benar.
Contoh perhitungan angka konversi untuk pasien baru TB paru BTA positif :
24
24
Di UPK, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengancara mereview seluruh kartu
pasien baru BTA Positif yang mulai berobatdalam 3-6 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa
diantaranya yanghasil pemeriksaan dahak negatif, setelah pengobatan intensif (2 bulan).
Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dapatdihitung dari laporan
TB.11.Angka minimal yang harus dicapai adalah 80%.
Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasienbaru TB paru BTA positif yang
sembuh setelah selesai masa pengobatan,diantara pasien baru TB paru BTA positif yang tercatat.
Angka kesembuhan dihitung juga untuk pasien BTA positif pengobatanulang dengan tujuan:
Di UPK, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengancara mereview seluruh kartu
pasien baru BTA Positif yang mulai berobatdalam 9 - 12 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa
diantaranyayang sembuh setelah selesai pengobatan.
Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dapat dihitung darilaporan TB.08. Angka minimal
yang harus dicapai adalah 85%. Angkakesembuhan digunakan untuk mengetahui hasil pengobatan.
Walaupun angka kesembuhan telah mencapai 85%, hasil pengobatanlainnya tetap perlu diperhatikan,
yaitu berapa pasien dengan hasilpengobatan lengkap, meninggal, gagal, default, dan pindah.
Angka default tidak boleh lebih dari 10%, karena akan menghasilkanproporsi kasus retreatment
yang tinggi dimasa yang akan datang yangdisebabkan karena ketidak-efektifan dari
pengendalian Tuberkulosis.
Menurunnya angka default karena peningkatan kualitaspenanggulangan TB akan menurunkan
proporsi kasus pengobatanulang antara 10-20 % dalam beberapa tahun
25
25
Sedangkan angka gagal untuk pasien baru BTA positif tidak boleh lebih dari4% untuk daerah yang belum
ada masalah resistensi obat, dan tidak bolehlebih besar dari 10% untuk daerah yang sudah ada masalah
resistensi obat.
Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasienbaru TB paru BTA positif yang
menyelesaikan pengobatan (baik yangsembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien baru TB paru
BTApositif yang tercatat.
Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan dari angkakesembuhan dan angka pengobatan
lengkap.
JumlahpasienbaruTBBTApositif(sembuh+pengobatan lengkap)
X 100%
Jumlah pasien baru TB BTA positif yg diobati
Pada saat ini Penanggulangan TB sedang dalam uji coba untuk penerapanuji silang pemeriksaan dahak
(cross check) dengan metode Lot SamplingQuality Assessment (LQAS) di beberapa propinsi. Untuk masa
yang akandatang akan diterapkan metode LQAS di seluruh UPK.
Metode LQAS
Perhitungan angka kesalahan laboratorium metode ini digunakan olehpropinsi propinsi uji coba.
Selain kesalahan besar dan kesalahan kecil, kesalahan juga dapat berupatidak memadainya kualitas
sediaan, yaitu : terlalu tebal atau tipisnyasediaan, pewarnaan, ukuran, kerataan, kebersihan dan kualitas
spesimen.
Mengingat sistem penilaian yang berlaku sekarang berbeda dengan yangterbaru, petugas pemeriksa slide
harus mengikuti cara pembacaan danpelaporan sesuai buku Panduan bagi petugas laboratorium
mikroskopis TBInterpretasi dari suatu laboratorium berdasarkan hasil uji silang dinyatakanterdapat
kesalahan bila :
26
26
Penampilan setiap laboratorium harus terus dimonitor sampai diketemukanpenyebab kesalahan. Setiap
UPK agar dapat menilai dirinya sendiri denganmemantau tren hasil interpretasi setiap triwulan.
Sebagian besar propinsi masih menerapkan metode uji silang perhitungansebagai berikut :
Error Rate
Error rate atau angka kesalahan baca adalah angka kesalahan laboratoriumyang menyatakan prosentase
kesalahan pembacaan slide/ sediaan yangdilakukan oleh laboratorium pemeriksa pertama setelah di uji
silang (crosscheck) oleh BLK atau laboratorium rujukan lain.
Angka ini menggambarkan kualitas pembacaan slide secara mikroskopislangsung laboratorium pemeriksa
pertama.
Rumus :
Jumlah sediaan yang dibaca salah
X 100 %
Jumlah seluruh sediaan yang diperiksa
Angka kesalahan baca sediaan (error rate) ini hanya bisa ditoleransimaksimal 5%.
Apabila error rate 5 % dan positif palsu serta negatif palsu keduanya 5%berarti mutu pemeriksaan
baik.
Error rate ini menjadi kurang berarti bila jumlah slide yang di uji silang(cross check) relatif sedikit. Pada
dasarnya error rate dihitung pada masingmasinglaboratorium pemeriksa, di tingkat kabupaten/ kota.
Kabupaten / kota harus menganalisa berapa persen laboratorium pemeriksayang ada diwilayahnya
melaksanakan cross check, disamping menganalisaerror rate per PRM/PPM/RS/BP4, supaya dapat
mengetahui kualitaspemeriksaan slide dahak secara mikroskopis langsung.
27
27