Anda di halaman 1dari 13

Judul : New insights into acne pathogenesis: Exploring the role of acne-

associated microbial populations


Penulis : Bipul Kumar, Rajiv Pathak, P. Bertin Mary, Diksha Jha, Kabir
Sardana, Hemant K. Gautam
Diambil dari : Dermatologica Sinica: 34 (2016) 67-73. Taiwanese Dermatological
Association. Published by Elsevier Taiwan LLC
http://www.derm-sinica.com
Penerjemah : Nur Camelia

PANDANGAN BARU DALAM PATOGENESIS JERAWAT:


MENGEKSPLORASI PERAN POPULASI MIKROBA YANG
BERHUBUNGAN DENGAN JERAWAT

ABSTRAK

Akne vulgaris, suatu kelainan umum pada kulit, ditemukan meningkatkan insiden gagasan bunuh
diri pada pasien jerawat (1-7%). Hal ini menciptakan dilema dalam pikiran, apakah jerawat
merupakan penyakit yang mengancam nyawa pada manusia. Pencetus utama dari penyakit multi
faktorial ini adalah fluktuasi mikroba pada mikroba normal yang umumnya terdapat di kulit dimana
masing-masing mikroba memiliki tujuan dan gaya sendiri dalam melindungi tubuh manusia. Untuk
perkembangan jerawat, populasi mikroba harus mampu mengatasi hambatan pertahanan dari kulit
pejamu dan mampu melawannya untuk bertahan hidup. Hal ini dapat teratasi dengan siklus hidup
patogen mereka dan faktor virulensi terkait yang ditranskripsi dalam kelompok patogen mereka
dalam kromosom tunggal dan melingkar. Ulasan ini membahas populasi mikroba berbeda yang
berada di dalam lesi jerawat dan mencetuskan jerawat dengan menekankan mekanisme patogen
mereka dan gen yang berhubungan dengan faktor virulensi yang terlibat dalam perkembangan
jerawat. Sistem model seperti model hewan dan model kultur sel dalam mempelajari gaya hidup
patogen mikroba juga dibahas.

PENDAHULUAN
Tersusun atas dua lapisan utama dari kulit mamalia -epidermis dan dermis-
organ kulit merupakan penghalang yang tangguh memberikan pertahanan kulit
pejamu dengan menghasilkan molekul seperti protease, lisozim, dan peptida
antimikroba. Epidermis membentuk lapisan terluar kulit yang mencegah penetrasi
mikroba dan racun potensial ke dalam tubuh. Pada lapisan dermis terdapat beberapa
substruktur seperti folikel rambut, kelenjar minyak, apokrin, serta kelenjar keringat
ekrin, sehingga membuat permukaan kulit terlihat tidak rata, dengan garis, tonjolan,
dan cekungan. Kelenjar minyak terdapat dalam kulit yang tebal menghasilkan
sebum yang dikeluarkan di dalam folikel rambut. Kelenjar keringat apokrin

1
menghasilkan zat lemak, sedangkan kelenjar keringat ekrin menghasilkan cairan
asin yang membantu menjaga pengaturan suhu tubuh. Dengan demikian, kulit
didominasi oleh faktor-faktor seperti pH, suhu, kelembaban, keringat dan
kandungan minyak, menjadikannya habitat yang kompleks untuk berbagai macam
kelompok mikroorganisme yang melebihi jumlah sel-sel tubuh manusia sendiri.
Menjadi rumah dari berbagai kelompok mikroorganisme, kulit merupakan
ekosistem yang kompleks. Dari seluruh kompleks beragam mikroba pada kulit,
triliunan bakteri, jamur, dan arthropoda kecil telah diisolasi, diidentifikasi, dan
dipelajari dengan menggunakan basis kultur seperti metode kultur-independen
(kultur tergantung). Spesies bakteri yang mendominasi kulit, umumnya terdiri atas
empat filum : Actinobacteria, Proteobacteria, Bacteroidetes, dan Firmicutes
dimana lebih dari 60% spesies bakteri terdiri atas tiga genus : Staphylococcus,
Corynebacterium, dan Propionibacterium. Fluktuasi mikroba pada ekosistem kulit
menyebabkan gangguan dan akhirnya menimbulkan penyakit. Walaupun mikroba
melindungi pejamu manusia, mereka juga terlibat dalam patogenesis beberapa
penyakit kulit.
Siklus hidup patogenik bakteri dimediasi oleh virulensi gen yang mengkode
faktor virulensi dalam kelompok patogeniknya. Gen virulen, tidak seperti gen
penjaga, ditandai dengan produksi toksin, adhesin, invasi, atau faktor jenis lain
umumnya tampak pada mikroorganisme patogen. Produk-produk tersebut secara
langsung terlibat dalam kerusakan patologis pada pejamu dengan mencetuskan
interaksi antara pejamu dan organisme dan juga merusak dan menurunkan kualitas
jaringan pejamu. Sebagai contoh, camp5, gehA, tly, syalidase, neuraminidase, dan
endoglycoceramidase adalah beberapa faktor virulensi Propionibacterium acnes
yang menyebabkan akne vulgaris. Lipase, enzim modifikasi asam lemak,
Polysaccharide Intercellular Adhesion (PIA), dan asam poliglutamat merupakan
faktor virulensi Staphylococcus epidermidis. Adhesin, Fibronectin binding protein
(FnBp)-A, FnBp-B, protease, lipase, dan hialuronidase merupakan faktor virulensi
Staphylococcus aureus. Dengan demikian, setiap patogen memiliki strategi patogen
sendiri, dengan gen/faktor yang unik dan beragam beroperasi dengan cara bersama
untuk menyebabkan penyakit pada pejamu.

2
Ulasan ini menitikberatkan pada mekanisme patogenesis yang membuat
kuman patogen menimbulkan jerawat. Secara khusus, siklus hidup patogen
mikroorganisme dan faktor virulensi terkait yang dikodekan di dalam genomnya
akan dibahas. Berdasarkan literatur yang ada, kami telah berusaha mengeksplorasi
bagaimana populasi mikroba melekat dan bertahan dalam kulit pejamu untuk
menghasilkan jerawat. Namun, tidak seperti hal di atas, ketersediaan model sistem
yang sesuai untuk mempelajari patogenesis jerawat kurang dipahami. Dalam ulasan
ini, semua model sistem yang mungkin seperti kultur sel serta model sistem berbasis
hewan juga akan dibahas.

Akne vulgaris
Akne vulgaris, penyakit yang menyerang kelenjar minyak kulit, merupakan
salah satu kelainan kulit yang umum. Memiliki angka yang signifikan dari populasi
manusia yang rentan jerawat. Meskipun penyakit ini tidak mengancam nyawa, hal
ini mempengaruhi kualitas hidup dengan menciptakan beban psikologis karena
terlihat berbagai lesi pada wajah, dada, bahu, dan punggung. Prevalensi akne
vulgaris sekitar 65-75% pada remaja dan usia muda. Akumulasi sebum (minyak)
dan sel kulit mati dalam folikel sebaseus meningkatkan jumlah mikroba yang
masuk, yang merusak dinding folikel menimbulkan peradangan pada kulit yang
disebut jerawat. Produksi sebum (minyak) dan perubahan hormon merupakan
faktor endogen, sementara perubahan aktivitas mikroflora kulit merupakan faktor
yang paling berperan dalam patogenesis jerawat. Flora mikroba yang diisolasi dari
pasien jerawat yang tampaknya mengakibatkan patogenesis jerawat meliputi:
P.acnes, S.epidermidis, S.aureus, Klebsiella pneumoniae, Streptococccus,
Enterobacter, dll. (Tabel 1 dan 2).

Tabel 1. Fungsi dari faktor virulensi berkontribusi terhadap siklus hidup patogen dari
Propionibacterium acnes dan Staphylococcus epidermidis, memainkan peran langsung dalam
perkembangan jerawat.
Faktor virulensi/ gen yang
Mikroorganisme terlibat dalam patogenesis Fungsi
jerawat
Propionibacterium Faktor Christie, Atkins, Mengikat imunoglobulin, racun pembentuk
acnes Munch-Peterson pori
Triasil gliserol lipase (gehA) Menghidrolisis trigliserida sebum
Hemolisin-tly Kerusakan sel darah
Sialidase Degradasi jaringan pejamu

3
Porfirin Kerusakan jaringan kulit
Endoglikoseramidase Mengganggu komponen permukaan sel
Hialuronat liase Memotong matriks ekstraseluler jaringan ikat
Adesi Dermatan Sulfat Diduga adhesi
Staphylococcus Asam Glutamat Poli--DL Osmoproteksi untuk organisme
epidermidis Adhesi Polisakarida Penempelan di permukaan kulit
Interseluler
Poli N-Suksinil Glukosamid Penempelan di permukaan kulit
Autolisin (Atl E) Faktor penempelan pertama
Autolisin (Aae) Bakteriolisis dan properti penempelan
Protein Biofilm Pembentukan biofilm
Akumulasi protein terkait Adhesin pada kolonisasi kulit
Bakteriosin Menghambat kolonisasi
Enzim pengubah asam Menonaktifkan asam lemak bakterisidal
lemak dengan cara mengubahnya menjadi
kolesterol

Tabel 2. Ikhtisar ukuran genom, GC%, gen virulensi / faktor diproduksi di kelompok patogenisitas
bakteri, dan penyakit terkait lainnya dari organisme yang terkait dengan perkembangan jerawat.
Ukuran
Konten Gen virulen/faktor Penyakit lain yang
Mikroorganisme Genom Referensi
GC (%) yang penting berhubungan
(Mb)
Propionibacterium 2.56 60 GehA,lipase, Akne vulgaris, 62-64
acne porfirin,sialidase, endokarditis,
endoglikoseramidase, osteomyelitis, kanker
CAMP5,tly, hialuronat prostat,sarkoidosis,
liase, DsA, HtaA,endo- infeksi sendi anggul
-N- buatan, pustulosis,
asetilglukosaminidase, hiperostosis dan
Adhesi putatif, dan osteitis, akne inversa
protein permukaan,
protease
Staphylococcus -2.8 32.8 Spingomyelinase (- Bakteremia, 13,34,
aureus toksin), OatA,-,-,-,- pneumonia nekrotik, 65-68
hemolisin, LukFs, EntB, endokarditis,
Aur,SspA,SspB,geh1, dermatitis atopik,
stafilokinase, aureolisin, impetigo, infeksi
enterotoksin A-E, PVL, jaringan lunak,
toxin toxic shock septikemia,keracunan
syndrome-1, ETA, B&D, makanan,
Leukosidin E-D konjungtivitis,
infeksi kulit
Staphylococcus -2.6 32.1 PGA,PIA,AtlE adhesin, Sepsis nyata, 13,30,
epidermidis Aae autolisin, PNSG, bakteremia primer, 69
glutanil endopeptidase infeksi pyogenik,
(Esp) infeksi nosokomial
Streptococcus 1.8 39.1 Emm, Scl A, sof, Faringitis, impetigo, 39,40,
pyogenes sagA,speB,ska,Sdb,Fnb,F- streptococcus toxic 70
protein,hyaluronidase, shock sindrom,
DNAse, lipoproteinase, purpura sepsis,
scpC,C5a peptidase, streptococcal
hyaluronidase,SLO, myositis, bakteremia
superantigen
streptococcus
(SpoA,SpeC,SmeZ)

4
scpB, antigen C,
Streptococcus -2 35.6 protein, Lmb, CspA, Kulit, infeksi 71-73
agalactiae antigen R, -H/C-ClyE, jaringan lunak dan
CAMP, cps, PI-1dan 2a, saluran kemih,
hialuronat liase pneumonia,
meningitis, sepsis
bakterial neonatus
dan obstetri,
MagA, RmpA, aerobactin, peritonitis
Klebsiella 5.2 57.7 Cps, Pili, K-antigen, Folikulitis gram 52,53,
pneumonia adhesin tipe 1 dan 2, negatif, pneumonia, 74-76
Enterobaktin infeksi saluran kemih
dan jaringan ikat,
abses di otak dan
hepar.
CAMP= Christie, Atkins, Munch Peterson factor; PGA= poliglutamik acid; PIA= adhesi
polisakarida interseluler; PNSG= Poly-N-Suksinil -1-6glukosamin; PVL= Panton Valentine
leukosidin
*Konten GC : kandungan guanin dan sitosin pada mikroorganisme individul.

Propionibacterium acnes
P.acnes, patogen oportunistik yang memainkan peranan penting dalam
perkembangan inflamasi akne vulgaris, berada dalam folikel sebasea kulit manusia.
Bakteri penyebab jerawat ini umumnya gram positif, non-motil (tidak bergerak),
mikroorganisme pemecah lemak, memiliki kemampuan untuk berkembang di
bawah kondisi tekanan oksigen yang berbeda. Menjadi penghuni khusus kanalis
folikel, bila terjadi sumbatan pada folikel rambut, bakteri membantu memecah
dinding folikel, menggunakan enzim sekretorik dengan sifat degradative (Gambar
1).

5
Gambar 1 Representasi skematik yang menunjukkan langkah-langkah yang terlibat dalam
patogenesis Propionibacterium acnes dalam perkembangan penyakit jerawat: (A) Faktor penting
dalam P.acnes yang berkontribusi dalam patogenesis jerawat; (B) penempelan dan masuk ke dalam
folikel rambut; (C) P.acnes menimbun dan mensekresi faktor virulensi; (D) Mekanisme yang terlibat
dalam pembentukan lesi jerawat; (E) Jerawat meradang.

Bakteri ini juga mengincar sel kulit lain, sebut saja, keratinosit, dan sel
fagositik seperti makrofag, merangsang sel-sel menghasilkan sitokin pro-inflamasi
termasuk interleukin (IL)-1b, IL-8, IL-12, dan tumor necrosis factor-,
menyebabkan penyakit peradangan jerawat. Informasi genomik jelas menyoroti
bahwa produk-produk dari P. aknes berdampak besar pada proses jerawat, tapi tidak
pada kemampuan invasi organisme. Gen virulensi penting yang terlibat dalam
patogenesis jerawat yaitu camp5, gehA, tly, sialidase, neuraminidase,
endoglycoceramidase, lipase, dan hemolisin (Tabel 1dan 2). Kapsul sel berbasis
lipoglikan dan ekstraselulernya mensekresi lipase, terutama lipase triasilgliserol,
dikode oleh gen gehA membantu dalam perlekatan dan kolonisasi bakteri di folikel
sebasea. Produk lainnya yang membantu proses jerawat dengan menghancurkan
jaringan pejamu termasuk porfirin, hialuronat liase, endogikoseramidase,
sialidase/neuramidase, kardiolipin sintetase, dan calcineurin like phosphoesterase
(Tabel 1 dan 2). Selanjutnya organisme mengolah beberapa protein yang

6
berhubungan dengan invasi sel, yang disekresi oleh gen, diantaranya Pamce,
Pap60, dan antigen permukaan sel, yang diproduksi oleh htaA dan hsp20. Hal ini
membantu bakteri patogen menyerang sel inang lebih jauh dan membuatnya lebih
imunoreaktif, berakibat virulensinya tinggi. Logis untuk berpikir pada titik faktor
virulensi disekresi/diproduksi memenuhi fungsinya, mikroorganisme menjadi
berbahaya bagi pejamu, dimana sebenarnya merupakan bakteri komensal pada
kulit.

Staphylococcus epidermidis
S. epidermidis merupakan mikrobiota kulit fakultatif anaerob yang terletak
di lesi jerawat. Mikroba ini merupakan flora non patogen dari kulit manusia pada
titik tertentu berubah menjadi infeksius karena faktor ekstrinsik seperti defisiensi
sistem imun. Faktor virulensi pertama dan utama yang dihasilkan mikroorganisme
ini adalah enzim pengubah asam lemak yang mengester asam lemak di kulit
menjadi kolesterol, dimana asam lemak bersifat bakterisidal terhadap organisme
untuk bertahan hidup. Bakteri memiliki beberapa faktor adhesi untuk perlekatannya
pada permukaan kulit, seperti protein permukaan kulit, protein pengikat fibrinogen,
protein autolisin, PIA, dan poli-N-succinyl-glucosamine, mungkin membantu
sebagai faktor penempelan. S. epidermidis virulen potensial juga memiliki
kemampuan membentuk biofilm dan merupakan reservoir gen resisten antibiotik,
yang ditransfer ke organisme lain secara horizontal. Dalam proses perkembangan
jerawat, lipase (gen geh1) dan delta-haemolysin (gen hld ) adalah dua faktor virulen
yang memiliki dampak pada peradangan jerawat (Tabel 1 dan 2). Meskipun gen
tersebut memiliki karakteristik virulensi, gen tersebut ditemukan jarang merusak
keratinosit di kulit. Hal ini menunjukkan S.epidermidis mensekresi
exopolysaccharide intercellular adhesin (PIA), yang bertanggung jawab dalam
pembentukan biofilm dan melindungi gen tersebut dari komponen utama
pertahanan tubuh pejamu. Biofilm ini menyediakan kondisi anaerobik yang ideal
untuk P.acne dapat tumbuh dengan mudah.
Menurut Pathak dkk, populasi S.epidermidis dan P.acnes ditemukan
meningkat sampai 70% dan 82%, pada pasien jerawat dibandingkan kontrol.
Jumlah mikroba ini ditemukan meningkat terus menerus pada kasus jerawat, yang

7
mengindikasikan beberapa peran penting dua bakteri ini dalam perkembangan dan
regulasi penyakit jerawat. Berdasarkan bukti di atas, dapat dikatakan bahwa
S.epidermidis memiliki peran penting dalam patogenesis jerawat tidak secara
langsung, tetapi secara tidak langsung. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa
strain S.epidermidis mensekresi faktor virulen sampai batas tertentu, namun
aktivitas menguntungkan mikroorganisme ini harus tetap dipertimbangkan.
Ditemukan dalam jumlah banyak pada pasien jerawat dibandingkan dengan kulit
normal menimbulkan pertanyaan apakah bakteri ini merupakan sumber penyakit
atau sebagai pertahanan. Penelitian potensial termasuk RNA sequencing dan
analisis kuantitatif proteoma sel S.epidermidis serta jaringan yang terkena pada
tingkatan perkembangan penyakit yang berbeda mungkin membantu memahami
peran bakteri ini pada patogenesis jerawat.

Staphylococcus aureus
S. aureus, anggota yang paling menonjol dari mikrobiota kulit, berperan
sebagai patogen pada banyak infeksi kulit seperti folikulitis dan impetigo dan ko-
eksisten dengan mikroba lainnya pada lesi jerawat telah banyak dilaporkan. Agar
bisa menyerang sel inang, S. aureus menghasilkan matriks ekstraselular dan serum
pengikat protein seperti adhesin [protein permukaan (SasG)] dan protein pengikat
fibronektin FnBP-A dan FnBP-B. Faktor-faktor ini membantu dalam internalisasi
bakteri ke dalam sel inang dengan menghubungkan bakteri ke integrin selular.
Setelah menyerang kulit manusia sebagai patogen, S. aureus mulai memproduksi
beberapa enzim ekstraseluler seperti protease, lipase (geh1), hialuronidase, dan
kolagenase, yang membantu merusak jaringan dan dengan demikian membantu
patogen menyebar ke jaringan yang lebih dalam. Selanjutnya, dalam siklus hidup
patogen, bakteri ini dikenal karena produksi toksin eksfoliatif, seperti enterotoksin
A-E, toxic shock syndrome toxin-1, Panton-Valentine leucocidin, leukocidin E-D,
S. aureus eksotoksin, dan sitotoksin seperti a-, b- , hemolisin (Tabel 2). Organisme
menghasilkan enzim, yaitu stafilokinase (sak) dan aureolisin: enzim pertama
mengikat defensin mencegah organisme tersebut untuk bertindak melawan
patogen, sedangkan yang kedua mengikat dan memotong cathelicidin human LL-

8
37, menawarkan perlindungan lebih lanjut untuk patogen untuk membangun
patogenisitasnya dalam tubuh manusia.
Meskipun pada tingkat tertentu interaksi bakteri dengan pejamu pada
tingkat molekul telah dipahami, tantangan untuk memajukan penelitian dalam
memahami peran masing-masing interaksi dalam mekanisme patogenik harus
dipahami. Levy dkk menunjukkan bahwa pola prevalensi dan resistensi S. aureus
dan Streptococcus pyogenes di orofaring individu dengan jerawat lebih tinggi
dibandingkan dengan mereka yang tidak berjerawat, yang menunjukkan bahwa
kedua bakteri tersebut berkaitan dengan jerawat tetapi mekanisme yang tepat masih
belum terbukti.

Staphylococcus pyogenes
S. pyogenes, terdapat pada permukaan kulit, merupakan jenis -hemolitik
dan katalase negatif dan ditemukan dihambat oleh asam lemak bebas yang
dilepaskan oleh P. acnes, yang memecah sel inang. Patogenisitas dikarenakan
ekspresi berbagai faktor virulensi oleh mikroba. Dalam inisiasi mekanisme
patogen, organisme mengikat sel-sel epitel kulit dan berinteraksi dengan pejamu
menggunakan adhesin dan kapsul asam hialuroniknya. Penempelan, kolonisasi, dan
interaksi dengan pejamu dimediasi oleh M-protein, antigen yang virulen pada
permukaannya. M-protein ini dikodekan oleh gen emm di kelompok
patogenesisnya. Lebih jauh, migrasi bakteri melalui matriks ekstraselular pejamu
dipromosikan oleh sekresi enzim seperti, hialuronidase, streptokinase, dan DNase,
yang membantu penyebaran organisme dengan menurunkan dan menghidrolisis
jaringan ikat/matriks host. Eksotoksin piogenik bernama sistein protease dikodekan
oleh gen speB memainkan peran utama dalam sistem fasilitator, penyebaran bakteri,
dan kematian pejamu secara tidak langsung. Eksotoksin lainnya seperti SpeA, SpeC,
dan SmaZ, bertindak sebagai superantigen, merupakan molekul proinflamasi yang
mengembangkan sekresi sitokin dengan mengikat major histokompatibility
kompleks-II dan reseptor T-sel dan menghasilkan ruam pada kulit (Tabel 2). Gen
SpeB dan SpeA ditekan oleh Nra seperti regulator transkripsi, yang diekspresi lebih
selama fase stasioner pertumbuhan mikroorganisme. Ada laporan yang
menunjukkan bahwa dalam kasus demam nifas S. pyogenes mendiami kulit dan

9
jerawat yang menunjukkan hubungan S. pyogenes dengan jerawat. Dilaporkan juga
bahwa S. pyogenes dalam orofaring individu dengan jerawat menunjukkan pola
prevalensi dan resistensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak
jerawat. Berdasarkan penelitian di atas, hubungan S. pyogenes dengan jerawat
menunjukkan hubungan dalam patogenesis P.acnes langsung atau tidak langsung.
Memahami jalur regulasi yang terlibat dalam ekspresi produk virulensi pada
kondisi yang berbeda mungkin memajukan pengetahuan kita tentang patogenesis
S. pyogenes pada penyakit kulit termasuk akne vulgaris.

Streptococcus agalactiae
Seperti mikroorganisme lainnya, S. agalactiae juga ditemukan pada
permukaan kulit manusia yang menyebabkan penyakit berat seperti septikemia,
pneumonia, dll. Dua faktor virulensi utama, yaitu toxin pori dan polisakarida
kapsuler, akan dibahas di sini di mekanisme patogenesis. Toxin pori seperti -
hemolisin/sitolisin dan faktor CAMP dihasilkan selama siklus hidup patogen, yang
menjembatani mereka masuk ke dalam sel inang seperti sel epitel dan endotel,
dengan membentuk pori-pori ke dalam sel inang. -hemolisin/sitolisin dikodekan
oleh gen cyIE dan dapat menyebabkan respon inflamasi dalam sel inang, karena
kemampuan mereka membentuk pori. Sedangkan faktor CAMP, dikodekan oleh
gen cfb, menyebabkan sitolisis (Tabel 2). Faktor lain yang memberikan kontribusi
virulensi adalah polisakarida kapsuler dari agalactiae patogen diperkaya dengan
residu asam sialat, dimana sistem kekebalan tubuh inang gagal untuk
mengidentifikasi penyerang. Dikodekan oleh gen cps, mereka mencegah fagositosis
dan juga menghambat aktivasi jalur alternatif komplemen dengan mencegah
pengendapan faktor komplemen C3. C5a peptidase (scpB) memotong dan
menonaktifkan chemoattractant utama dari sel fagosit, C5a manusia dan
hialuronidase membantu penyebaran infeksi streptokokus Grup B. Mekanisme
molekuler di balik faktor virulensi yang terlibat dalam patogenesis akan
memberikan ide untuk mengembangkan strategi pengobatan penyakit. P. acnes
memiliki faktor virulensi CAMP, yang menunjukkan reaksi kohemolitik mirip
dengan eritrosit manusia dan domba. Pada S. agalactiae, ada lima gen dengan
urutan homologi (~32%) dengan faktor kohemolitik CAMP. Selain itu, telah

10
dilaporkan bahwa faktor CAMP S. agalactiae bertindak sebagai toxin pembentuk
pori. Telah diamati bahwa baik faktor CAMP P. acnes dan S. agalactiae dan -
toxin dari S. aureus menggambarkan sinergi hemolisis dari eritrosit domba. Atas
dasar bukti di atas, kita dapat memprediksi bahwa S. agalactiae mungkin terlibat
dalam perkembangan patogenesis P. acnes. Namun, transisi dari organisme
komensal ke patogen invasif harus dicari untuk menjawab kondisi lingkungan di
mana organisme menghentikan represi faktor virulensi nya.

Klebsiella pneumoniae
K. pneumoniae adalah bakteri gram-negatif pada flora kulit dan yang
menyebabkan infeksi pada pasien jerawat yang menjalani terapi antibiotik jangka
panjang. Memamerkan berbagai faktor virulensi seperti polisakarida kapsuler,
adhesin, siderophores, dll, faktor virulensi ini bertanggung jawab untuk
menghasilkan papula dan pustula pada pasien jerawat, disebut sebagai folikulitis
gram negatif. Studi evolusi dari faktor virulensi di K. pneumoniae dapat membantu
dalam mengembangkan langkah-langkah untuk mencegah infeksi sistemik yang
disebabkan karena patogen, dengan deteksi dini dari strain. Kami telah mengisolasi
begitu banyak K. pneumoniae strain dari lesi jerawat dibandingkan dengan sampel
kulit normal di laboratorium kami dan strain ini telah disampaikan kepada Pusat
Nasional untuk database Informasi Bioteknologi (misalnya, nomor aksesi
KF268364, KF268365, KF268372, dan KF268374). Atas dasar kehadiran strain K.
pneumoniae hanya pada lesi jerawat dan tidak dalam kulit yang sehat, kita dapat
berhipotesis bahwa bakteri ini secara langsung atau tidak langsung terkait dengan
patogenesis jerawat.

Sistem Model yang Tersedia Untuk Mempelajari Patogenesis Jerawat


Sistem Model Berbasis Sel
Sebosit, keratinosit, dan kultur sel makrofag terutama digunakan dalam
penelitian jerawat, dimana kulit ini dan sel-sel kekebalan datang segera ke wilayah
mikroba patogen yang diikuti oleh kerusakan dinding folikel setelah gangguan itu.
SZ95, SEB-1, dan SEBE6E7 adalah kelenjar sebasea manusia yang diawetkan
yang disukai di antara komunitas ilmiah dalam studi regulasi dan aktivitas kelenjar

11
sebasea dan dalam pemahaman tentang mekanisme patofisiologi jerawat. Tentu,
sebosit menyerupai kelenjar sebasea mampu menghasilkan lipid proinflamasi,
sitokin, kemokin, peptida antimikroba, dan neuropeptida selama perkembangan
jerawat karena stimulasi reseptor mereka oleh sekresi faktor patogen. Fungsi
biologis sebosit ini menyebabkan peradangan pada penyakit jerawat. Dalam cara
yang sama, garis sel sebosit (SZ95) memiliki beberapa reseptor seperti reseptor
Peroksisom proliferator, Toll reseptor (TLRs)-2, TLR-4, TLR-6, CD 14, histamine-
1 reseptor, dan liver X reseptor, yang pada stimulasi oleh faktor kemotaktik seperti
faktor sekresi/faktor virulensi melepaskan faktor inflamasi seperti sitokin IL-8,
histamines, dll. Keratinosit, yang merupakan epidermis luar, berpartisipasi aktif
dalam respon imun bawaan karena ekspresi peptida antimikroba, human beta
defensin (HBD) faktor-1, HBD-2, HBD-3, dan cathelicidin LL-37, IL-6, dan IL-8
melalui TLR-2, epidermal growth factor receptor, dan aktivasi faktor-kappa-B
yang disebabkan oleh rangsangan bakteri patogen. Sel-sel imun ini adalah tanda
lain untuk mikroorganisme penginvasi seperti P. aknes selama patogenesis jerawat.
HaCaT keratinosit dan murine RAW 264.7 jalur sel makrofag yang umum
digunakan selama studi mekanisme patogen. Beberapa tes yang digunakan dalam
sistem model berbasis sel untuk mempelajari peran patogenik dari mikroba dalam
mediasi jerawat dengan pengujian pelepasan agen-agen inflamasi.

Sistem Model Berbasis Hewan


Mekanisme patogen mikroba yang terlibat dalam jerawat dapat dengan
mudah dipelajari dengan menggunakan sistem berbasis model hewan. Memilih
model hewan yang tepat adalah tugas yang rumit, seperti binatang (tikus, kelinci,
dan hamster) dikenal untuk menghasilkan trigliserida tingkat rendah yang
cenderung tidak mengganggu mikroorganisme seperti P. acnes. Model tikus lebih
disukai, karena ukurannya yang kecil dan ketersediaan yang tinggi. Biasanya
mikroorganisme perlu disuntikkan subkutan di telinga tikus untuk mempelajari
potensi inflamasi mikroba selama siklus hidup patogen mereka. Tikus badak dan
tikus telanjang lebih umum digunakan dalam studi patogenesis jerawat. Marmut
juga dipertimbangkan dalam studi patogenesis jerawat seperti yang ditemukan
terdapat populasi P. acnes yang signifikan di daerah sebasea. Meskipun anjing

12
ditemukan tidak menghasilkan trigliserida dalam daerah sebaceous mereka, anjing
Meksiko dapat digunakan untuk mempelajari aktivitas komedolitik, karena kulit
yang tertutup dengan komedo.

Kesimpulan
Kulit manusia, didapatkan saat lahir, akan terus menghadapi tantangan
mikroba untuk memberikan perlindungan ke sistem manusia dengan
mempertahankan homeostasis dengan mikroba residen. Di samping perannya,
mikroba tertentu berubah menjadi patogen oportunistik dalam kondisi tertentu dan
menyebabkan gangguan kulit seperti jerawat. Meskipun lebih dari 75% orang
menghadapi wabah jerawat, pengetahuan dari mikroba yang menyebabkan jerawat
masih kurang, menarik perhatian kita ketika lisosom ada, apakah kita benar-benar
harus berpikir tentang mikroba eksternal? Beberapa mikroba, seperti P. acnes,
Enterobacter, S. pyogenes, dan K. pneumoniae diisolasi dari lesi jerawat. P. acnes
adalah mikroorganisme yang dilaporkan menyebabkan jerawat, tetapi kehadiran
mereka dengan mikroba lainnya pada lesi jerawat tampaknya menjadi teka-teki,
karena mereka memiliki peran sendiri dalam menyebabkan penyakit lainnya.
Pengetahuan tentang mekanisme patogen dari mikroorganisme dalam
menyebabkan peradangan jerawat akan memberikan jawaban untuk
mengembangkan strategi pengobatan, pencegahan, dan pemahaman peran mereka
dalam penyakit jerawat. Banyak detail perlu digali selama pekerjaan selanjutnya,
dibangun dari pertanyaan pada kondisi apa gen virulen aktif dan gen/faktor virulen
diproduksi. Selanjutnya, mengingat masa hidup dari mikroba setelah masuk dalam
lesi jerawat, faktor apa yang bertanggung jawab mengubah identitas patogen
oportunistik mereka? Pertanyaan ini yang dapat ditujukan oleh sistem model yang
tepat yang dapat memberikan jawaban yang efektif untuk menghasilkan strategi
terapi dengan menargetkan gen tertentu.

Telah dibacakan tanggal 14 Maret 2017


Moderator

dr. Widyawati, Sp.KK

13

Anda mungkin juga menyukai