Oleh:
Helena Azhar Ainun
1102012111
PENDAHULUAN
Infeksi dapat terjadi pada luka operasi atau dalam sistem organ lain. Keadaan ini awalnya dapat
disebabkan oleh perubahan kondisi fisiologik pernapasan, genitourinaria, atau sistem kekebalan
tubuh yang berhubungan dengan pembedahan. Faktor risiko komplikasi infeksi pascabedah dapat
dikelompokkan menjadi faktor risiko yang muncul dari pembedahannya sendiri atau faktor risiko
khusus pasien. Faktor risiko pembedahan meliputi jenis prosedur, derajat kontaminasi luka, lama
pembedahan, dan tingkat kedaruratan. Faktor risiko khusus pada pasien meliputi usia, riwayat
diabetes, obesitas, penggunaan imunosupresan, malnutrisi, infeksi yang telah ada sebelumnya, dan
penyakit kronis.
Pada umumnya tiap tambahan jam operasi akan mengakibatkan naiknya angka infeksi menjadi 2
kali lipat. Pada penelitian prospektif mengenai faktor risiko infeksi pascahisterektomi, terdapat
hubungan antara peningkatan jangka waktu operasi dan penurunan efek antibiotik profilaksis
dalam mencegah infeksi luka operasi. Manfaat antibiotik profilaksis yang bermakna secara
statistik pada operasi yang berlangsung 1 jam jadi hilang jika operasi berlangsung lebih dari 3 jam.
Temuan ini berhubungan dengan farmakokinetik antibiotik dan peningkatan kolonisasi bakteri
dalam luka pada operasi yang berlarut-larut dan rumit. Jadi, operasi yang berlangsung lebih dari 3
jam harus dianggap sebagai operasi terkontaminasi.
Risiko infeksi pascabedah meningkat pada penderita usia lanjut, penderita penyakit kronis seperti
diabetes melitus, anemia, penderita malnutrisi, dan obesitas. Pada kontaminasi berat seperti patah
tulang terbuka atau cedera tembus di saluran cerna, pemberian antibiotic sebaiknya dimulai segera
setelah penderita masuk rumah sakit. Pencegahan infeksi dengan strategi non-antimikroba seperti
teknik asepsis yang ketat, mempertahankan suhu tubuh normal, mempertahankan kadar glukosa
darah normal, dan hiperoksigenasi, terbukti menurunkan risiko infeksi pascabedah. Antibiotik
profilaksis berperan menurunkan tingkat infeksi luka superfisial.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Antibiotik
Menurut definisinya, antibiotik adalah zat kimia yang mempunyai kemampuan dalam larutan
encer untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Antibiotik dengan toksisitas
minimal terhadap hospes dan toksisitas maksimal terhadap bakteri patogen adalah antibiotik yang
dipilih sebagai agen kemoterapi pada penyakit infeksi. Pada awalnya antibiotik hanya dibatasi
pada zat yang dihasilkan oleh bakteri alami, tetapi sekarang zat sintetik dan semisintetik dengan
efek serupa juga dapat digolongkan sebagai antibiotik.
Kemampuan antibiotik untuk memberikan efek toksik pada bakteri namun tidak pada manusia
disebut toksisitas selektif, hal ini disebabkan karena manusia struktur sel manusia berbeda dengan
struktur sel bakteri. Contohnya antibiotik jenis Beta lactam berfungsi menghambat sintesis
peptidoglycan pada dinding sel bakteri yang merupakan komponen penting untuk menjaga
integritas dinding sel bakteri, sedangkan manusia tidak memerlukan peptidoglycan untuk menjaga
integritas dinding sel.
Berdasarkan spektrum aktivitasnya, antibiotik dibagi menjadi dua kelompok yaitu antibiotik
dengan spektrum sempit (narrow spectrum) yaitu antibiotik yang dapat membunuh bakteri tertentu
tanpa membunuh bakteri flora normal, contohnya streptomisin dan antibiotik dengan spektrum
luas (broad spectrum) yaitu antibiotik yang dapat membunuh bermacam macam bakteria termasuk
bakteri flora normal, contohnya tetracycline dan chloramphenicol.
2
c) Antibiotik yang menghambat sintesis protein sel mikroba (contohnya tetracycline,
erythromycin, clindamycin, chloramphenicol dan aminoglycoside)
d) Antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat (contohnya rifampin dan quinolone)
e) Agen yang menghambat metabolime sel mikroba (contohnya trimethoprim dan sulfonamide)
3
Tabel 1. Dosis Rekomendasi dan Interval Antimikroba pada Profilaksis Bedah
4
2.2. Antibiotik Profilaksis
Pemberian antibiotik profilaksis harus disertai dengan pertimbangan yang benar, yakni indikasi,
waktu, dan lama pemberian, serta pilihan antibiotiknya. Karena bertujuan mencegah infeksi
pascabedah, antibiotik profilaksis hanya diberikan dalam jangka waktu pendek, yaitu untuk
melindungi penderita selama dilakukan tindakan bedah dan pada masa segera setelah pembedahan,
ketika daya pertahanan penderita masih tertekan.
Pada pembedahan bersih, hampir tidak ada kontaminasi kuman, sehingga antibiotik profilaksis
tidak perlu diberikan. Pada pembedahan bersih terkontaminasi, perlu diberikan antibiotik
profilaksis karena kontaminan bakteri yang ada di bed luka dikhawatirkan dapat berkembang
menjadi infeksi. Pada pembedahan terkontaminasi dan kotor, hampir pasti akan terjadi infeksi
5
sehingga antibiotik harus diberikan, dalam hal ini pemberian antibiotik lebih disebut sebagai
antibiotik terapeutik dini.
Berbagai antibiotik membutuhkan waktu yang berbeda-beda untuk mencapai kadar dalam darah
yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan kuman. Kadar ini biasanya 3-4 kali kadar
hambat minimal, yaitu konsentrasi terendah antibiotik yang diberikan untuk menghambat
pertumbuhan suatu organisme dengan nama lain minimal inhibitory concentration (MIC). Oleh
karena itu, antibiotik profilaksis biasanya diberikan secara parenteral. Untuk mencapai kadar di
jaringan yang cukup tinggi pada waktu pembedahan, antibiotik profilaksi harus diberikan 1-2 jam
prabedah. Pemberian antibiotik pascabedah yang dilanjutkan lebih lama ternyata tidak
menurunkan risiko infeksi lebih lanjut, kecuali pada pembedahan tertentu, bahkan cenderung
menimbulkan resistensi kuman yang akan menjadi masalah bila timbul infeksi nosokomial.
Antibiotik perlu diberikan kepada penderita yang mengalamai penurunan imunitas, misalnya
karena infeksi HIV atau terapi steroid jangka lama, demikian pula pada operasi yang lama dan
berat yang menyebabkan depresi faali yang besar. Antibiotik juga diberikan bila dampak infeksi
yang mungkin terjadi sangat serius meskipun kemungkinannya kecil. Sebagai contoh, infeksi pada
prosthesis sendi bersemen atau pada prosthesis katup jantung karena infeksi di sekitar benda asing
sangat sukar diatasi.
6
Pada pemberian antibiotik profilaksis, harus diperhatikan kuman yang diperkirakan akan
menyebabkan infeksi, dan antibiotik yang dipilih disesuaikan dengan kuman tersebut. Misalnya,
infeksi pada bedah vaskular biasanya disebabkan oleh Kokus gram positif sehingga dapat
digunakan penisilin dan sefalosporin, sedangkan penyebab infeksi bedah usus biasanya kuman
anaerob sehingga diperlukan antibiotik yang membunuh kuman anaerob.
Untuk operasi elektif perlu dikakukan pembersihan kolon diikuti dengan pemberian antibiotik oral.
Pembersihan kolon dimulai dengan pemberian diet cair 5 hari prabedah dan diakhiri dengan
pembersihan kolon secara mekanis dengan pencahar atau klisma. Cara lain adalah lavase usus yang
dilakukan dengan minum air (atau melalui pipa lambung) selama beberapa jam sampai saluran
cerna kosong.
Antibiotik umumnya diberikan secara oral dan digunakan antibiotik yang dapat mencegah infeksi
oleh kuman anaerob maupun aerob dan tidak diserap di usus sehingga tetap berada di kolon.
Penggunaan antibiotik untuk persiapan kolon dapat menyebabkan colitis pseudomembranosa.
Kelainan ini timbul karena gangguan keseimbangan antara berbagai golongan bakteri tertentu di
usus besar. Oleh karena itu, antibiotik harus dipilih dengan seksama untuk mencegah penyulit yang
berbahaya ini. Antibiotik yang terkenal sering menyebabkan kolitis pseudomembranosa adalah
golongan linkomisin.
7
2.2.3. Bedah Apendiks
Pada apendisitis tanpa perforasi, kejadian infeksi pascabedah jarang sekali terjadi, sedang pada
apendisitis perforata, infeksi sering terjadi sehingga antibiotik profilaksis golongan penisilin,
sefalosporin, atau tertrasiklin parenteral, atau metronidazole intravena atau rektal sangat
diperlukan. Bila ternyata tidak ada apendisitis perforata, antibiotic prabedah tidak diteruskan,
tetapi bila ditemukan apendisitis gangrenosa, antibiotic diteruskan 1-2 hari. Bila terdapat
peritonitis, antibiotic harus diberikan lebih lama karena sifatnya sebagai terapi.
8
kateter urin, dan kateter intravena dicabut. Prosthesis pembuluh yang sering digunakan merupakan
benda asing sehingga infeksi yang ditimbulkannya dapat berdampak berat.
Kuman penyebab infeksi adalah S.aureus dan S.epidermidis diikuti dengan kuman Gram negatif,
seperti E.coli dan klebsiela. Antibiotik golongan sefalosporin sering digunakan dengan hasil baik.
Kuman tersering penyebab infeksi saluran kemih adalah E.coli disusul dengan Proteus mirabilis,
Enterobacter sp., dan Pseudomonas. Antibiotik yang dipakai disesuaikan dengan kuman yang
ditemukan. Untuk antibiotik oral, dapat dipakai sediaan nitrofurantoin dan ampisilin.
9
10
11
Tabel 3. Rekomendasi Antimikroba Profilaksis Bedah
12
BAB III
KESIMPULAN
Profilaksis antibiotik yang diberikan dengan tepat mengurangi insidensi infeksi luka bedah.
Profilaksis direkomendasikan secara seragam untuk semua prosedur luka yang terkontaminasi,
terkontaminasi dan kotor. Hal ini dianggap opsional untuk sebagian besar prosedur bersih,
walaupun dapat diindikasikan untuk pasien tertentu dan prosedur bersih yang memenuhi kriteria
risiko spesifik.
Waktu pemberian antibiotik sangat penting untuk keberhasilan. Dosis pertama harus selalu
diberikan sebelum prosedur, sebaiknya dalam 30 menit sebelum sayatan. Readministrasi pada satu
sampai dua masa paruh antibiotik direkomendasikan selama prosedur berlangsung. Secara umum,
administrasi pasca operasi tidak disarankan.
Seleksi antibiotik dipengaruhi oleh organisme yang paling sering menyebabkan infeksi luka pada
prosedur spesifik dan dengan biaya relatif dari agen yang tersedia. Dalam prosedur gastrointestinal
tertentu, pemberian agen oral dan intravena dengan aktivitas melawan bakteri gram negatif dan
anaerob diperlukan, dan juga persiapan mekanis usus. Cefazolin menyediakan cakupan yang
memadai untuk kebanyakan jenis prosedur lainnya.
13
DAFTAR PUSTAKA
de Jong dan Sjamsuhidajat. 2012. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi 3. EGC: Jakarta.
Mohabir, MD Paul K. dan MD Jennifer Gurney. 2015. Antibiotic Prophylaxis for Surgical
Procedures. University of Health Sciences: Bethesda. Available at:
http://www.merckmanuals.com/professional/special-subjects/care-of-the-surgical-
patient/antibiotic-prophylaxis-for-surgical-procedures
Waridiarto, DS. 2015. Penggunaan Antibiotik pada Kasus Bedah Orthopedi. Universitas
Diponogoro: Semarang.
Woods, M.D. Ronald K dan M.D. E. Patchen Dellinger. 1998. Current Guidelines for Antibiotic
Prophylaxis of Surgical Wounds. University of Washington Medical Center: Seattle, Washington.
American Family Physician. Available at: http://www.aafp.org/afp/1998/0601/p2731.html
14