Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA

PTERIGIUM

Oleh:

Nama : Azlin Nur Suliany Sujali


NIM : 2012730016
Pembimbing : dr. Hasri Darni, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA

RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

TAHUN 2017

BAB I

1
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. D
Umur : 65 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jakarta Pusat
MRS : 21 Juni 2017

B. ANAMNESIS
Autoanamnesis pada tanggal 21 Juni 2017 Pukul 11.00 WIB di Poli Mata RSIJ
Cempaka Putih.

Keluhan Utama
Mata kiri terasa mengganjal sejak 1 bulan SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke RSIJ Cempaka Putih dengan keluhan mata kiri terasa
mengganjal sejak 1 bulan yang lalu. Pasien juga mengatakan mata kiri terasa
perih, sedikit berair dan kadang merah terutama jika terkena debu atau cahaya
matahari. Pasien tidak mengeluhkan adanya kotoran mata yang dirasakan
berlebihan dan tidak ada perlengketan kotoran dipagi hari, gatal, tidak ada
gangguan penglihatan, ataupun silau jika melihat cahaya.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien pernah mengalami keluhan yang sama hilang timbul sejak 3 tahun tapi
tidak pernah diobati. Riwayat hipertensi, diabetes mellitus disangkal.

2
Riwayat Penyakit Dalam Keluarga
Tidak ada keluarga yang pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya, Riwayat
hipertensi, diabetes mellitus dalam keluarga disangkal.

Riwayat Pengobatan
Pasien sebelumnya membeli insto di apotek terdekat, dan memberikannya sehari
sekali sebelum tidur. Namun pasien mengaku bahwa belum ada perubahan pada
matanya.

Riwayat Alergi
Riwayat alergi makanan, debu, obat-obatan, dan lain lain disangkal.

Riwayat Psikososial
Pasien sebagai ibu rumah tangga yang sehari-hari kegiatannya di rumah dan pergi
ke pasar untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Pasien sering terpapar debu dan
sinar matahari jika pergi ke pasar menggunakan motor.

C. PEMERIKSAAN FISIK UMUM


KeadaanUmum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda Vital
- TekananDarah : 120 / 90 mmHg
- Nadi : 82x / menit
- Pernafasan : 18x / menit
- Suhu : 36. 7 o C

D. STATUS OFTALMIKUS

OCULAR DEXTRA PEMERIKSAAN OCULAR SINISTRA

6/30 VISUS 6/30

Ortoforia KEDUDUKAN
Ortoforia
BOLA MATA

Baik ke segala arah PERGERAKAN Baik ke segala arah


BOLA MATA

3
Madarosis (-) SUPRA SILIA Madarosis (-)

Madarosis (-) Madarosis (-)


SILIA
Trikiasis (-) Trikiasis (-)

Edema (-) Edema (-)

Hiperemis (-) Hiperemis (-)


PALPEBRA
Nyeri Tekan (-) Nyeri Tekan (-)
SUPERIOR
Vesikel (-) Vesikel (-)

Krusta (-) Krusta (-)

Edema (-) Edema (-)

Hiperemis (-) PALPEBRA Hiperemis (-)

Nyeri Tekan (-) INFERIOR Nyeri Tekan (-)

Vesikel (-) Vesikel (-)

Hiperemis (-) CONJUNGTIVA Hiperemis (-),

Papil (-), Papil (-),

Folikel (-) Folikel (-)

Injeksi konjungtiva (-) Injeksi konjungtiva (-)

Injeksi siliar (-) Injeksi siliar (-)

Injeksi episkleral (-) Injeksi episkleral (-)

Terdapat jaringan
fibrovaskular yang
berbentuk segitiga di

4
daerah nasal ke arah
kornea

- Jernih (+)
- Infiltrate (-)
- Edema (-)
- Ulkus (-)
- Jernih (+) - Hipopion (-)
- Infiltrate (-) - Terdapat jaringan
- Edema (-) fibrofaskular
Kornea
- Ulkus (-) berbentuk segitiga
- Hipopion (-) dari sklera yang
berlanjut ke daerah
kornea, tetapi tidak
melebihi
pinggiran pupil mata

Sedang KAMERA OKULI


Sedang
ANTERIOR

Warna coklat, Warna coklat,

Kripte normal IRIS Kripte normal

Sinekia (-) Sinekia (-)

Bulat, Bulat,

Diameter 3 mm PUPIL Diameter 3 mm

Reflex cahaya (+) Reflex Cahaya (+)

Jernih LENSA Jernih

Tidak dilakukan VITREOUS HUMOR Tidak dilakukan

E. RESUME

5
Pasien datang ke RSIJ Cempaka Putih dengan keluhan mata kiri terasa
mengganjal sejak 1 bulan yang lalu. Pasien juga mengatakan mata kiri terasa
perih, sedikit berair dan kadang merah terutama jika terkena debu atau cahaya
matahari. Riwayat psikososial pasien sering terpapar debu dan sinar matahari jika
pergi ke pasar menggunakan motor. Status generalis pasien masih dalam batas
normal. Status oftalmikus visus OD 6/30 visus OS 6/30, pada konjungtiva os
terdapat jaringan fibrovaskular yang berbentuk segitiga di daerah nasal kearah
kornea , tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata.

F. DIAGNOSIS
Pterigium grade III Okuli Sinistra

G. PENATALAKSANAAN
- Pembedahan
- Edukasi : hindari pencetus seperti sinar matahari dan debu dengan
kacamata pelindung atau kacamata hitam.

H. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : bonam

Quo ad Functionam : dubia ad bonam

6
BAB II
PEMBAHASAN

I. Pterigium
Definisi
Menurut kamus kedokteran Dorland, pterygium adalah bangunan mirip sayap,
khususnya untuk lipatan selaput berbentuk segitiga yang abnormal dalam fisura
interpalpebralis, yang membentang dari konjungtiva ke kornea, bagian puncak
(apeks) lipatan ini menyatu dengan kornea sehingga tidak dapat digerakkan
sementara bagian tengahnya melekat erat pada sclera, dan kemudian bagian
dasarnya menyatu dengan konjungtiva.
Menurut American Academy of Ophthalmology, pterygium adalah poliferasi
jaringan subconjunctiva berupa granulasi fibrovaskular dari (sebelah) nasal
konjuntiva bulbar yang berkembang menuju kornea hingga akhirnya menutupi
permukaannya.
Pterigium adalah suatu penebalan konjungtiva bulbi yang berbentuk segitiga, mirip
daging yang menjalar ke kornea, pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif .
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi
geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari 2%
untuk daerah diatas 40olintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-
36o. Terdapat hubungan antara peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena
paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan
penurunan angka kejadian di lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di
lintang bawah.

Mortalitas/Morbiditas
Pterygium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi visual
atau penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi inflamasi sehingga
menyebabkan iritasi okuler dan mata merah.

Berdasarkan beberapa faktor diantaranya :


1. Jenis Kelamin
Pterygium dilaporkan bias terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih
banyak dibandingkan wanita.
2. Umur
Jarang sekali orang menderita pterygium umurnya di bawah 20 tahun.Untuk
pasien umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang tertinggi,
sedangkan pasien yang berumur 20-40 tahun dilaporkan mempunyai insidensi
pterygium yang paling tinggi.

Etiologi
Pterigium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari, dan
udara panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu
neoplasma, radang, dan degenerasi.
Pterygium diduga merupakan fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet,
pengeringan dan lingkungan dengan angin banyak. Faktor lain yang menyebabkan
pertumbuhan pterygium antara lain uap kimia, asap, debu dan benda-benda lain
yang terbang masuk ke dalam mata. Beberapa studi menunjukkan adanya
predisposisi genetik untuk kondisi ini.

Patofisiologi
Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan
ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan
pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea.

Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang
sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran
pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum
lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior.

Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih
banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di samping
kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara
tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasal
konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium dibandingkan dengan bagian
temporal.

Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan


proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium,
Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan
basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat
dengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan elastic yang
sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.

Histologi, pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi subepitel


yang basofilik dengan karakteristik keabu-abuan di pewarnaan H & E . Berbentuk
ulat atau degenerasi elastotic dengan penampilan seperti cacing bergelombang dari
jaringan yang degenerasi. Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan
fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin
acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering menunjukkan area
hiperplasia dari sel goblet.
Gejala Klinis
Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa
keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien
antara lain:
Mata sering berair dan tampak merah
Merasa seperti ada benda asing
Timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium
tersebut, biasanya astigmatisme with the rule ataupun astigmatisme irregular
sehingga mengganggu penglihatan
Pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan aksis
visual sehingga tajam penglihatan menurun.

Pemeriksaan Fisik
Adanya massa jaringan kekuningan akan terlihat pada lapisan luar mata (sclera)
pada limbus, berkembang menuju ke arah kornea dan pada permukaan kornea.
Sclera dan selaput lendir luar mata (konjungtiva) dapat merah akibat dari iritasi
dan peradangan.
Cap: Biasanyadatar, terdiriataszonaabu-abupadakornea yang kebanyakanterdiriatas fibroblast,
A.
menginvasidanmenghancurkanlapisan bowman padakornea

Whitish: Setelah cap, lapisan vaskuler tipis yang menginvasi kornea


B.
Badan: Bagian yang mobile dan lembut, area yang vesikuler pada konjunctiva bulbi, area paling ujung
C.

Berbentuk segitiga yang terdiri dari kepala (head) yang mengarah ke kornea dan
badan. Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang
tertutup oleh pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis
menurut Youngson ):
Derajat 1 : Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
Derajat 2 : Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak
lebih dari 2 mm melewati kornea
Derajat 3 : Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak
melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil
sekitar 3-4 mm)
Derajat 4 : Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.

Diagnosa
Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada salah satu atau
kedua mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak. Kondisi ini mungkin
telah ada selama bertahun-tahun tanpa gejala dan menyebar perlahan-lahan, pada
akhirnya menyebabkan penglihatan terganggu, ketidaknyamanan dari peradangan
dan iritasi. Sensasi benda asing dapat dirasakan, dan mata mungkin tampak lebih
kering dari biasanya. penderita juga dapat melaporkan sejarah paparan berlebihan
terhadap sinar matahari atau partikel debu.
Test: Uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat apakah visus
terpengaruh. Dengan menggunakan slitlamp diperlukan untuk memvisualisasikan
pterygium tersebut. Dengan menggunakan sonde di bagian limbus, pada pterigium
tidak dapat dilalui oleh sonde seperti pada pseudopterigium.

Diagnosa Banding
1. Pinguekula
Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang berwarna
kekuningan.

2 Pseudopterigium

Pterigium umumnya didiagnosis banding dengan pseudopterigium yang


merupakan suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus kornea. Pada
pengecekan dengan sonde, sonde dapat masuk di antara konjungtiva dan
kornea.
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat
akibat ulkus. Sering terjadi saat proses penyembuhan dari ulkus kornea,
dimana konjungtiva tertarik dan menutupi kornea. Pseudopterigium dapat
ditemukan dimana saja bukan hanya pada fissura palpebra seperti halnya pada
pterigium. Pada pseudopterigium juga dapat diselipkan sonde di bawahnya
sedangkan pada pterigium tidak. Pada pseudopterigium melalui anamnesa
selalu didapatkan riwayat adanya kelainan kornea sebelumnya, seperti ulkus
kornea. Selain pseudopterigium, pterigium dapat pula didiagnosis banding
dengan pannus dan kista dermoid.

Beda pterigium dengan pseudopterigium

Pterigium Pseudopterigium

Sebab Proses degeneratif Reaksi tubuh penyembuhan


dari luka bakar, GO, difteri,
dll.

Sonde Tak dapat dimasukkan di Dapat dimasukkan


bawahnya dibawahnya

Kekambuhan Residif Tidak

Usia Dewasa Anak

Terapi

1. Konservatif
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2
yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi
antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa
penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan
intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea.

2. Bedah
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium.
Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas
pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari
konjugntiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan
utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara
kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mungkin, angka kekambuhan
yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus
pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga
cukup berat.

A. IndikasiOperasi
1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi
pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan
silau karena astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.

B. TeknikPembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan,
dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea.
Banyak teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima
secara universal karena tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari
teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah langkah pertama untuk
perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung
pterigium dari kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk
epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang minimal dan halus dari
permukaan kornea.
1. Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara
memungkinkan sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi,
antara 24 persen dan 89 persen, telah didokumentasikan dalam
berbagai laporan.
2. Teknik Autograft Konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan
setinggi 40 persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini
melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar
superotemporal, dan dijahit di atas sclera yang telah di
eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil
yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati
jaringan Tenon's dari graft konjungtiva dan penerima, manipulasi
minimal jaringan dan orientasi akurat dari grafttersebut. LawrenceW.
Hirst, MBBS, dari Australia merekomendasikan menggunakan
sayatan besar untuk eksisi pterygium dan telah dilaporkan angka
kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.

3. Cangkok Membran Amnion

Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah


kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan
membran amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti
telah menyatakan bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor
penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis dan epithelialisai.
Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi yang
ada,diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterygia primer dan
setinggi 37,5 persen untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan
dari teknik ini selama autograft konjungtiva adalah pelestarian bulbar
konjungtiva. Membran Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera ,
dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap
ke bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan
lem fibrin untuk membantu cangkok membran amnion menempel
jaringan episcleral dibawahnya. Lemfibrin juga telah digunakan
dalam autografts konjungtiva.

C. Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi
masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke
dalam pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat
rekurensi telah jatuh cukup dengan penambahan terapi ini, namun ada
komplikasi dari terapi tersebut.

MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena


kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan
iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum
ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi intraoperative
MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat
tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang
menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi
toksisitas.

Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena


menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun
tidak ada data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia. Namun,
efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis dan
pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk
tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.

Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan


dengan pemberian:
1. Mitomycin C 0,02% tetesmata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5
hari, bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1
tetes/hari kemudian tappering off sampai 6 minggu.
2. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari,
diberikan bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
3. Sinar Beta.
4. Topikal Thiotepa (triethylenethiophosphasmide) tetesmata : 1 tetes/ 3
jam selama 6 minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik
Chloramphenicol, dan steroid selama 1 minggu.

Komplikasi
1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut
Gangguan penglihatan-Mata kemerahan
Iritasi
Gangguan pergerakan bola mata.
Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea
Dry Eye sindrom.
2. Komplikasi post-operatif bias sebagai berikut:
Infeksi
Ulkus kornea
Graft konjungtiva yang terbuka
Diplopia
Adanya jaringan parut di kornea.

Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah kekambuhan. Eksisi
bedah memiliki angka kekambuhan yang tinggi, sekitar 50-80%. Angka ini bisa
dikurangi sekitar 5-15% dengan penggunaan autograft dari konjungtiva atau
transplant membran amnion pada saat eksisi.

Pencegahan

Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti nelayan, petani
yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan memakai
kacamata pelindung sinar matahari.

Follow up

Menilai adanya komplikasi post operasi, seperti diplopia akibat terpotongnya


musculus rectus oculi medial, ditemukan adanya perforasi kornea, penilaian
strabismus dari gerakan bola mata, pada graft konjuntivanya ada yang terbuka atau
tidaknya, dan tanda-tanda peradangan pada intraokuler akibat otot terpotong.

Prognosis
Pterigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya prognosis baik.
Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes mata
atau beta radiasi.

Eksisi pada pterigium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik. Prosedur yang
baik dapat ditolerir pasien dan disamping itu pada beberapa hari post operasi
pasien akan merasa tidak nyaman, kebanyakan setelah 48 jam pasca operasi pasien
bisa memulai aktivitasnya. . Pasien dengan pterygia yang kambuh lagi dapat
mengulangi pembedahan eksisi dan grafting dengan konjungtiva / limbal autografts
atau transplantasi membran amnion pada pasien tertentu.
Daftar Pustaka

1. ArdalanAminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. Management
of Pterygiumhttp://www.aao.org/aao/publications/eyenet/201011/pearls.cfm?
2. Ilyas S. IlmuPenyakit Mata. Edisi 3. Jakarta :BalaiPenerbit FKUI ; 2007.
hal:2-6, 116 117
3. Jerome P Fisher, PTERYGIUM. 2009
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
4. Pedoman Diagnosis danTerapi. Bag/SMF IlmuPenyakit Mata. Edisi III
penerbitAirlangga Surabaya. 2006. hal: 102 104
5. Voughan& Asbury. Oftalmologiumum , Paul Riordan-eva, John P.
Whitcheredisi 17Jakarta : EGC, 2009 Hal 119
6. www.mdguidelines.com/pterygium18
7. Anderson, Dauglas M., et all. 2000. Dorlands Illistrated Medical Dictionary.
29th. Philadelphia: W.B. Saunders Company.
8. ArdalanAminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. 2012.
Management of Pterygium.
http://www.aao.org/aao/publications/eyenet/201011/pearls.cfm

Anda mungkin juga menyukai