Anda di halaman 1dari 17

KEDARURATAN PSIKIATRI

Kegawatdaruratan psikiatri adalah suatu keadaan gangguan dan perubahan tingkah laku,
alam pikiran atau alam perasaan yang dapat dicegah (preventable) atau dapat diatasi (treatable)
yang membuat pasien sendiri, teman, keluarga, lingkungan, masyarakat, atau petugas profesional
merasa perlu meminta pertolongan medik psikiatri segera , cepat dan tepat karena kondisi itu
dapat mengancam integritas fisik pasien, integritas fisik orang lain, integritas psikologik pasien,
integritas keluarga atau lingkungan sosialnya. Algoritma kegawatdaruratan di IGD:

Pada proses evaluasi, menilai kondisi pasien yang sedang dalam krisis secara cepat dan
tepat aadalah tujuan utama dalam melakuka evaluasi kedaruratan psikiatrik. Tindakan segera
yang harus dilakukan secara tepat adalah menentukan diagnosis awal , melakukan identifikasi
faktor-faktor presipitasi dan kebutuhan segera pasien , memulai terapi atau merujuk pasien ke
fasilitas yang sesuai
Dalam proses evaluasi, dilakukan:
1. Wawancara Kedaruratan Psikiatrik
Wawancara dilakukan lebih terstruktur, secara umum fokus wawancara ditujukan
pada keluhan pasien dan alasan dibawa ke unit gawat darurat. Keterangan tambahan dari
pihak pengantar, keluarga, teman atau polisi dapat melengkapi informasi, terutama pada
pasien mutisme, tidak kooperatif, negativistik atau inkoheren. Hubungan dokter-pasien
sangat berpengaruh terhadap informasi yang diberikan. Karenanya diperlukan 2
kemampuan mendengar, melakukan observasi dan melakukan interpretasi terhadap apa
yang dkatakan ataupun yang tidak dikatakan oleh pasien, dan ini dilakukan dalam waktu
yang cepat.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan psikiatrik standar meliputi: riwayat perjalanan penyakit,
pemeriksaan status mental, pemeriksaan status fisik/neurologik dan jika perlu
pemeriksaan penunjang. Yang pertama dan terpenting yang harus dilakukan oeh seorang
dokter di unit gawat darurat adalah menilai tanda-tanda vital pasien. Tekanan ddarah,
suhu, nadi adalah sesuatu yang mudah diukur dan dapat memberikan informasi
bermakna. Misalnya seorang yang gaduh gelisah dan mengalami halusinasi, demam,
frekuensi nadi 120 per menit dan tekanan darah meningkat, kemungkinan besar
mengalami delirium dibandingkan dengan suatu gangguan psikiatrik. Lima hal yang
harus ditentukan sebelum menangani pasien selanjutnya:
a. Keamanan pasien
Sebelum mengevaluasi pasien, dokter harus dapat memastikan bahwa situasi di
UGD, jumlah pasien di ruangan tersebut aman bagi pasien. Jika intervensi verbal tidak
cukup atau kontraindikasi, perlu dipikirkan pemberian obat atau pengekangan.
b. Medik atau psikiatrik
Penting bagi dokter untuk menilai apakah kasusnya medik, psikiatrik atau
kombinasi keduanya, sebab penanganannya akan jauh berbeda. Kondisi medik umum
seperti trauma kepala, infeksi berat dengan demam inggi, kelainan metabolisme,
intoksikasi atau gejala putus zat seringkali menyebabkan gangguan fungsi mental yang
menyerupai gangguan psikiatrik umumnya. Dokter gawat darurat tetap harus
menelusuri semua kemungkinan penyebab gangguan fungsi mental yang tampak.
c. Psikosis
Yang penting bukanlah penegakan diagnosisnya, tetapi seberapa jauh
ketidakmampuannya dalam menilai realita dan buruknya tilikan. Hal ini dapat
mempengaruhi sikapnya terhadap pertolongan yang kita berikan serta kepatuhannya
dalam berobat.
d. Suicidal atau homicidal
Semua pasien dengan kecenderungan bunuh diri harus dobservasi secara ketat.
Perasaan-perasaan yang berkaitan dengan tindak kekerasan atau pikiran bunuh diri
harus selalu ditanyakan kepada pasien.
e. Kemampuan merawat diri sendiri
Sebelum memulangkan pasien, harus dipertimbangkan apakah pasien mampu
merawat dirinya sendir, mampu menjalankan saran yang dianjurkan. Ketidakmampuan
pasien dan atau keluarganya untuk merawat pasien di rumah merupakan salah asatu
indikasi rawat inap.

Adapun indikasi rawat inap antara lain adalah bila pasien membahayakan diri sendiri atau
orang lain, bila perawatan di rumah tidak memadai, dan perlu observasi lebih lanjut.
Kasus kedaruratan psikiatri meliputi gangguan pikiran, perasaan dan perilaku yang
memerlukan intervensi terapeutik segera, antara lain:
A. Kondisi gaduh gelisah
B. Tindak kekerasan (violence)
C. Tentamen suicidum/percobaan bunuh diri
D. Gejala ekstrapiramidal akibat penggunaan obat
E. Delirium1

A. KEADAAN GADUH GELISAH1


Keadaan gaduh gelisah bukanlah diagnosis dalam arti kata sebenarnya, tetapi hanya
menunjuk pada suatu keadaan tertentu, suatu sindrom dengan sekelompok gejala tertentu.
Keadaan gaduh gelisah dipakai sebagai sebutan sementara untuk suatu gambaran psikopatologis
dengan ciri-ciri utama gaduh dan gelisah.
Etiologi
Keadaan gaduh gelisah merupakan manifestasi klinis salah satu jenis psikosis.
1. Psikosis karena gangguan mental organik: delirium
Pasien dengan keadaan gaduh-gelisah yang berhubungan dengan sindroma otak organik
akut menunjukkan kesadaran yang menurun. Sindroma ini dinamakan delirium. Istilah
sindroma otak organik menunjuk kepada keadaan gangguan fungsi otak karena suatu penyakit
badaniah.
Penyakit badaniah ini yang menyebabkan gangguan fungsi otak itu mungkin terdapat di
otak sendiri dan karenanya mengakibatkan kelainan patologik-anatomik (misalnya meningo-
ensefalitis, gangguan pembuluh darah otak, neoplasma intracranial, dan sebagainya), atau
mungkin terletak di luar otak (umpamanya tifus abdominalis, pneumonia, malaria, uremia,
keracunan atropine/kecubung atau alcohol, dan sebagainya) dan hanya mengakibatkan
gangguan fungsi otak dengan manifestasi sebagai psikosa atau keadaan gaduh-gelisah, tetapi
tidak ditemukan kelainan patologik-anatomik pada otak sendiri.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pada sindrom otak organik akut biasanya
terdapat kesadaran menurun sedangkan pada sindrom otak organik menahun biasanya
terdapat dementia. Akan tetapi suatu sindrom otak organik menahun (misalnya tumor otak,
demensia paralitika, aterosklerosis otak, dan sebagainya) dapat saja pada suatu waktu
menimbulkan psikosis atau pun keadaan gaduh gelisah. Untuk mengetahui penyebabnya
secara lebih tepat, perlu sekali dilakukan evaluasi internal dan neurologis yang teliti.

2. Skizofrenia dan gangguan skizotipal


Bila kesadaran tidak menurun, maka biasanya keadaan gaduh gelisah itu merupakan
manifestasi suatu psikosis dari kelompok ini, yaitu psikosis yang tidak berhubungan atau
sampai sekarang belum diketahui dengan pasti adanya hubungan dengan suatu penyakit
badaniah seperti pada gangguan mental organik.
Skizofrenia merupakan psikosis yang paling sering didapat di negara kita. Secara mudah
dapat dikatakan bahwa bila kesadaran tidak menurun dan terdapat inkoherensi serta afek-
emosi yang inadequate, tanpa frustasi atau konflik yang jelas maka hal ini biasanya suatu
skizofrenia. Diagnosa kita diperkuat bila kelihatan juga tidak ada perpaduan (disharmoni)
antara berbagai aspek kepribadian seperti proses berpikir, afek-emosi, psikomotorik dan
kemauan (kepribadian yang retak, terpecah-belah atau bercabang = schizo; jiwa = phren),
yaitu yang satu meningkat, tetapi yang lain menurun. Pokok gangguannya terletak pada proses
berpikir. Dari berbagai jenis skizofrenia, yang sering menimbulkan keadaan gaduh-gelisah ialah
episode skizofrenia akut dan skizofrenia jenis gaduh-gelisah katatonik. Di samping psikomotor
yang meningkat, pasien menunjukkan inkoherensi dan afek-emosi yang inadequate. Proses
berpikir sama sekali tidak realistik lagi.
3. Gangguan psikotik akut dan sementara
Gangguan ini timbul tidak lama sesudah terjadi stress psikologik yang dirasakan hebat
sekali oleh individu. Stress ini disebabkan oleh suatu frustasi atau konflik dari dalam ataupun
dari luar individu yang mendadak dan jelas, umpamanya dengan tiba-tiba kehilangan seorang
yang dicintainya, kegagalan, kerugian dan bencana.Gangguan psikotik akut yang biasanya
disertai keadaan gaduh-gelisah adalah gaduh-gelisah reaktif dan kebingungan reaktif.
4. Psikosis bipolar
Psikosisbipolar termasuk dalam kelompok psikosa afektif karena pokok gangguannya
terletak pada afek-emosi. Tidak jelas ada frustasi atau konflik yang menimbulkan gangguan
mental ini. Belum ditemukan juga penyakit badaniah yang dianggap berhubungan dengan
psikosa bipolar, biarpun penelitian menunjuk kearah itu. Tidak ditemukan juga disharmoni
atau keretakan kepribadian seperti pada skizofrenia; pada jenis depresi ataupun mania, bila
aspek afek-emosinya menurun, maka aspek yang lain juga menurun, dan sebaliknya.
Pada psikosa bipolar jenis mania tidak terdapat inkoherensi dalam arti kata yang
sebenarnya, tetapi pasien itu memperlihatkan jalan pikiran yang meloncat-loncat atau
melayang (flight of ideas). Ia merasa gembira luar biasa (efori), segala hal dianggap mudah
saja. Psikomotorik meningkat, banyak sekali berbicara (logorea) dan sering ia lekas tersinggung
dan marah.
5. Amok
Amok adalah keadaan gaduh-gelisah yang timbul mendadak dan dipengaruhi oleh faktor-
faktor sosiobudaya. Karena itu PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa
ke-III di Indonesia) memasukkannya ke dalam kelompok Fenomena dan Sindrom yang
Berkaitan dengan Faktor Sosial Budaya di Indonesia (culture bound phenomena). Efek
malu (pengaruh sosibudaya) memegang peranan penting. Biasanya seorang pria, sesudah
periode meditasi atau tindakan ritualistic, maka mendadak ia bangkit dan mulai mengamuk.
Ia menjadi agresif dan destruktif, mungkin mula-mula terhadap yang menyebabkan ia
malu,tetapi kemudian terhadap siapa saja dan apa saja yang dirasakan menghalanginya.
Kesadaran menurun atau berkabut (seperti dalam keadaan trance). Sesudahnya terdapat
amnesia total atau sebagian. Amok sering berakhir karena individu itu dibuat tidak berdaya
oleh orang lain, karena kehabisan tenaga atau karena ia melukai diri sendiri, dan mungkin
sampai ia menemui ajalnya.

Tatalaksana
Bila seorang dalam keadaan gaduh gelisah dibawa kepada kita, penting sekali kita harus
bersikap tenang. Dengan sikap yang meyakinkan, meskipun tentu waspada, dan kata-kata yang
dapat menenteramkan pasien maupun para pengantarnya, tidak jarang kita sudah dapat
menguasai keadaan.
Bila pasien masih diikat, sebaiknya ikatan itu disuruh dibuka sambil tetap berbicara
dengan pasien dengan beberapa orang memegangnya agar ia tidak mengamuk lagi. Biarpun
pasien masih tetap dipegang dan dikekang, kita berusaha memeriksanya secara fisik. Sedapat-
dapatnya tentu perlu ditentukan penyebab keadaan gaduh gelisah itu dan mengobatinya secara
etiologis bila mungkin.
Suntikan intramuskular suatu neuroleptikum yang mempunyai dosis terapeutik tinggi
(misalnya chlorpromazine HCL), pada umumnya sangat berguna untu mengendalikan
psikomotorik yang meningkat. Bila tidak terdapat, maka suntikan neuroleptikum yang
mempunyai dosis terapeurik rendah, misalnya trifluoperazine, haloperidol (5 10 mg), atau
fluophenazine dapat juga dipakai, biarpun efeknya tidak secepat neuroleptikum kelompok dosis
terapeutik tinggi. Bila tidak ada juga, maka suatu tranquailaizer pun dapat dipakai, misalnya
diazepam (5 10 mg), disuntik secara intravena, dengan mengingat bahwa tranquilaizer bukan
suatu antipsikotikum seperti neuroleptika, meskipun kedua-duanya mempunyai efek antitegang,
anticemas dan antiagitasi.
Efek samping neuroleptika yang segera timbul terutama yang mempunyai dosis
terapeutik tinggi, adalah hipotensi postural, lebih-lebih pada pasien dengan susunan saraf
vegetatif yang labil atau pasien lanjut usia. Untuk mencegah jangan sampai terjadi sinkop, maka
pasien jangan langsung berdiri dari keadaan berbaring, tetapi sebaiknya duduk dahulu kira-kira
satu menit (bila pasien sudah tenang).
Penjagaan dan perawatan yang baik tentu juga perlu, mula-mula agar ia jangan
mengalami kecelakaan, melukai diri sendiri, menyerang orang lain atau merusak barang-barang.
Bila pasien sudah tenang dan mulai kooperatif, maka pengobatan dengan neuroleptika
dilanjutkan per oral (bila perlu suntikan juga dapat diteruskan). Pemberian makanan dan cairan
juga harus memadai. Kita berusaha terus mencari penyebabnya, bila belum diketahui, terutama
bila diduga suatu sindrom otak organik yang akut. Bila ditemukan, tentu diusahakan untuk
mengobatinya secara etiologis.

B. TINDAK KEKERASAN (VIOLANCE)


Violence atau tindak kekrasan adalah agresi fisik yang dilakukan oleh seseorang terhadap
orang lain. Jika hal itu diarahkan kepada dirinya sendiri, disebut mutilasi diri atau tingkah laku bunuh
diri (suicidal behavior). Tindak kekerasan dapat timbul akibat berbagai gangguan psikiatrik, tetapi
dapat pula terjadi pada orang biasa yang tidak dapat mengatasi tekanan hidup sehari-hari dengan cara
yang lebih baik. Tindakan kekerasan dapat disebabkan oleh gangguan psikotik dan non psikotik.

Gangguan Psikotik
1. Gangguan psikotik akut
2. Gangguan mental organik
3. Skizofrenia
4. Gangguan bipolar dengan ciri psikotik
5. Gangguan waham
6. Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat

Non Psikotik
1. Kecemasan
2. Depresi
3. Gangguan stress pasca trauma
4. Gangguan kepribadian antisosial
Gejala
1. Marah-marah
2. Mengancam
3. Menyerang
4. Merusak/membanting barang
5. Berpikir irrasional
6. Tidak kooperatif
7. Waham
8. Halusinasi
9. Paranoid2

Talaksana

Terapi obat tergantung diagnosisnya. Biasanya untuk menenagkan pasien diberikan obat
antipsikotik atau benzodiazepin:
Flufenazine, trifluoperazine atau haloperidol 5mg per oral atau IM,
Olanzapine 2,5-10 mg per IM, maksimal 4 injeksi per hari, dengan dosis rata-rata per hari
13-14mg,
Atau lorazepam 2-4 mg, diazepam 5-10mg per IV secara pelahan (dalam 2 menit).
Bila dalam 20-30 menit kegelisahan tidak berkurang, ulangi dengan dosis yang sama. Hindari
pemberian antipsikotik pada pasien yang mempunyai risiko kejang. Utnuk penderia epilepsi,
mula-mula berikan antikonvulsan misalnya carbamazepine lalu berikan benzodiazepine. Pasien
yang menderita ganggauan organik kronik seringkali memberikan respon yang baik dengan
pemberian -blocker seperti propanolol.3

C. BUNUH DIRI

Definisi

Definisi bunuh diri / suicide (percobaan bunuh diri), dari bahasa latin: tentamen
suicide, dari bahasa Inggris suicide attempt. Percobaan bunuh diri ialah segala perbuatan
dengan tujuan untuk membinasakan dirinya sendiri dan dengan disengaja dilakukan oleh
seseorang yang tahu akan akibatnya yang mungkin pada waktu sangat singkat. Secara umum
didefinisikan yaitu percobaan bunuh diri ialah segala perbuatan seseorang yang dapat mengakhiri
hidupnya sendiri dalam waktu yang sangat singkat.1

Gambaran Klinis
Dalam mengenali pasien yang cenderung bunuh diri merupakan satu tugas yang penting
namun sulit dilaksanakan. Penelitian menunjukkan bahwa resiko bunuh diri yang berhasil akan
meningkat pada jenis pria berkulit putih, umur lanjut dan isolasi sosial. Pasien dengan riwayat
keluarga percobaan bunuh diri atau bunuh diri yang berhasil membuat resiko tambah semakin
tinggi. 80% pasien yang melaksanakan bunuh diri dan berhasil, biasanya mengidap gangguan
afektif dan 25% bergantung pada alkohol. Bunuh diri merupakan 15% sebab kematian,
kelompok diatas skozofrenia yang jarang terjadi, namun 10% pasien skizofrenik meninggal
akibat bunuh diri.1

Macam Macam Bunuh Diri dan Percobaan Bunuh Diri Emile Derkheim
1. Bunuh Diri Egoistik
Individu itu tidak mampu berintegrasi dengan masyrakat. Hal ini disebabkan oleh
kondisi kebudayaan atau masyarakat yang menjadikan individu itu seolah olah tidak
berkepribadian.
Kegagalan integrasi dalam keluarga dapat menerangkan mengapa mereka yang
tidak menikah lebih rentan untuk melakukan bunuh diri daripada mereka yang sudah
menikah. Masyarakat daerah pedesaan mempunyai integrasi sosial yang lebih baik
daripada daerah perkotaan sehingga angka suicide juga lebih sedikit.
2. Bunuh Diri Altruistik
Individu itu terikat pada tuntutan tradisi ataupun ia cenderung untuk bunuh diri
karena identifikasinya terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia merasa bahwa kelompok
tersebut sangat mengharapkannya.
Contohnya : Harakiri di Jepang , puputan di Bali beberapa ratus tahun lalu, dan
dibeberapa masyarakat primitif yang lain. Suicide mencari ini mencari dalam zaman
sekarang jarang terjadi.
3. Bunuh Diri Anomik
Hal ini terjadi bila terdapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu
dengan masyarakat, sehingga individu tersebut meninggalkan norma norma yang
kelakuan yang biasa.
Individu itu kehilangan pegangan dan tujuan, masyarakat atau kelompoknya tidak dapat
memberikan kepuasan kepadanya karena tidak ada pengaturan dan pengawasan terhadap
kebutuhan kebutuhannya. Hal ini menerangkan mengapa percobaan bunuh diri pada
orang cerai pernikahan lebih banyak daripada mereka yang tetap dalam pernikahan.
Golongan manusia yang mengalami perubahan ekonomi yang drastis juga lebih mudah
melakukan percobaan bunuh diri.1

Faktor Faktor yang Mempengaruhi Bunuh Diri


Berikut ini faktor-faktor resiko untuk bunuh diri (Sadock, et al, 2007):

l. Jenis kelamin

Perempuan lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri dibanding laki-laki. Akan tetapi,
keberhasilan bunuh diri lebih tinggi pada laki-laki. Hal ini berkaitan dengan metode bunuh diri
yang dipilih. Laki-laki lebih banyak dengan gantung diri, meloncat dari tempat tinggi, dengan
senjata api. Perempuan lebih banyak dengan overdosis obat-obatan atau menggunakan racun.
2. Usia
Kasus bunuh diri meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pada laki-laki, angka bunuh
diri tertinggi pada usia di atas 45 tahun sedangkan pada perempuan angka bunuh diri tertinggi
pada usia di atas 55 tahun. Orang yang lebih tua lebih jarang melakukan percobaan bunuh diri,
tetapi lebih sering berhasil.
3. Ras
Di Amerika Serikat ras kulit putih lebih banyak melakukan bunuh diri dibanding ras kulit
hitam.
4. Status perkawinan
Pernikahan menurunkan angka bunuh diri, terutama jika terdapat anak di rumah. Orang yang
tidak pernah menikah dua kali lebih beresiko untuk bunuh diri. Perceraian meningkatkan resiko
bunuh diri. Janda atau duda yang pasangannya telah meninggal juga memiliki angka bunuh diri
yang tinggi.
5.Pekerjaan
Semakin tinggi status sosial semakin tinggi resiko bunuh diri, tetapi status sosial yang rendah
juga meningkatkan resiko bunuh diri. Pekerjaan sebagai dokter memiliki resiko bunuh diri
tertinggi dibanding pekerjaan lain. Spesialisasi psikiatri memiliki resiko tertinggi, disusul
spesialis mata dan spesialis anestesi. Pekerjaan lain yang memiliki resiko tinggi untuk bunuh diri
adalah pengacara, artis, dokter gigi, polisi, montir, agen asuransi. Orang yang tidak memiliki
pekerjaan memiliki resiko lebih tinggi untuk bunuh diri.

6.Kesehatan fisik
Satu dari tiga orang yang melakukan bunuh diri memiliki masalah kesehatan dalam 6 bulan
sebelum bunuh diri. Hilangnya mobilitas fisik, nyeri hebat yang kronik, pasien hemodialisis
meningkatkan resiko bunuh diri.
7. Gangguan mental
Sekitar 95% dari semua orang yang mencoba atau melakukan bunuh diri memiliki gangguan
mental. Gangguan mental tersebut terdiri dari depresi 80%, skizofrenia 10%, dan demensia atau
delirium 5%. Di antara semua pasien dengan gangguan mental, 25% kecanduan juga kepada
alkohol.
8. Kecanduan alkohol
Sekitar 15% pasien kecanduan alkohol melakukan bunuh diri. Sekitar 80% pasien bunuh diri
akibat kecanduan alkohol adalah laki-laki. Sekitar 50% dari pasien kecanduan alkohol yang
bunuh diri mengalami kehilangan anggota keluarga atau pasangan dalam satu tahun terakhir.
9. Gangguan kepribadian
Sebagian besar orang yang bunuh diri memiliki gangguan kepribadian. Gangguan kepribadian
merupakan faktor predisposisi untuk gangguan depresi. Selain itu juga merupakan faktor
predisposisi untuk kecanduan alkohol. Gangguan kepribadian juga dapat menyebabkan konflik
dengan keluarga dan orang lain.4
Mengenali pasien yang berpotensi bunuh diri
Kemungkinan bunuh diri dapat terjadi apabila (Tomb, 2004):
1. Pasien pernah mencoba bunuh diri

2. Keinginan bunuh diri dinyatakan secara terang-terangan maupun tidak, atau berupa ancaman:
kamu tidak akan saya ganggu lebih lama lagi (sering dikatakan pada keluarga)

3. Secara objektif terlihat adanya mood yang depresif atau cemas

4. Baru mengalami kehilangan yang bermakna (pasangan, pekerjaan, harga diri, dan lain-lain)

5. Perubahan perilaku yang tidak terduga: menyampaikan pesan-pesan, pembicaraan serius dan
mendalam dengan kerabat, membagi-bagikan harta/barang-barang miliknya.

6. Perubahan sikap yang mendadak: tiba-tiba gembira, marah atau menarik diri.5

Panduan Wawancara dan Psikoterapi


1. Pada waktu wawancaa, pasien mungkin secara spontan menjelaskan adanya ide bunuh diri.
Bila tidak, tanyakan langsung.

2. Mulailah dengan menanyakan:

- Apakah anda pernah merasa ingin menyerah saja?

- Apakah anda pernah merasa bahwa lebih baik kalau anda mati saja?

3. Tanyakan isi pikiran pasien:

Berapa sering pikiran ini muncul?

Apakah pikiran tentang bunuh diri ini meningkat?

4. Selidiki :

Apakah pasien bisa mendapatkan alat dan cara untuk melaukan rencana bunuh dirinya?

Apakah mereka sudah mengambilkah aktif, isalnya mengumpulkan obat?

Seberapa pesimiskah mereka?

Apakah mereka bisa memikirkan bahwa kehidupannya akan membaik?


Tatalaksana

1. Keadaan yang mengancam nyawa

a. Periksa tanda vital

b. Keadaan umum menurun atau syol: segera berikan infus NaCl

c. Identifikasi cara bunuh diri (racun/obat, bahan peledak, meloncat dari tempat tinggi,
memotong organ tubuh, menggantung diri, tenggelam) dan tindakan life saving.

d. Konsultasi ke dokter spesialis yang sesuai dengan cara bunuh diri.

e. Setelah nyawa pasien tertolong, evaluasi tindakan bunuh diri selama 2 kali 24 jam
terutama potensi bunuh diri ulang.

f. Tempatkan pasien pada ruang perawatan yang aman dan jauhkan dari benda-benda yang
dapat dipakai untuk bunuh diri.

g. Awasi secara terus menerus selama 24 jam.

h. Ciptakan dan bina rasa percaya pasien pada petugas kesehatan.

i. Berikan bimbingan, pengawasan dan perhatian.

2. Psikofarmaka

a. Antidepresan

Fluoxetine Dosis awal: 20 mg/hari PO dosis tunggal


pada pagi hari lalu dinaikkan perbulan 20
Sediaan: Tablet 10 mg, 20 mg
mg hingga mencapai:

Dosis maximal: 80 mg/hari PO dosis


tunggal

Dosis pada lanjut usia: 5-40 mg/hari

Sertraline Dosis awal: 50 mg/hari PO dosis tunggal


pada pagi hari lalu dinaikkan per bulan 50
Sediaan: Tablet 50 mg mg hingga mencapai:

Dosis maximal: 200 mg/hari PO dosis


tunggal

Dosis pada lanjut usia: 25-150 mg/hari

Fluoxamine Dosis awal: 50 mg/hari PO dosis tunggal


pada pagi hari lalu dititrasi hingga
Sediaan: Tablet 50 mg, 100 mg
mencapai:

Dosis maximal: 300 mg/hari/PO dosis


tunggal

Dosis pada lanjut usia: 25-150 mg/hari

Escitalopram Dosis awal: 10 mg/hari PO dosis tunggal


pada pagi hari lalu ditambah hingga
Sediaan: Tablet 10 mg
mencapai dosis maximal

Dosis pada lanjut usia: 5-10 mg/hari

b. Gelisah tapi tidak psikotik: injeksi diazepam 10 mg IM atau IV bisa diulang.

c. Keadaan psikotik: Injeksi klorpromazin 100 mg IM atau injeksi haloperidol5


Skema Penatalaksanaan Percobaan Diri

Percobaan bunuh diri

Penatalaksanaan medik

Perbaikan kondisi fisik

YA
TIDAK
Penatalaksanaan
RUJUK RSU
psikiatrik

Resiko tinggi

Penilaian MAS SALAD

Resiko Tinggi: Resiko Rendah:


RUJUK
Berobat jalan
D. SINDROMA NEUROLEPTIK MALIGNA

Gambaran Klinis dan Diagnosis


Ditandai oleh demam tinggi (dapat mencapai 41,5C), kekakuan otot yang nyata sampai
seperti pipa (lead-pipe rigidity), instabilitas otonomik (takikardia, tekanan darah yang labil,
keringat berlebih) dan gangguan kesadaran. Kekakuan yang parah dapat menyebabkan
rhabdomyolysis, myaglobinuria dan akhirnya gagal ginjal. Penyulit lain dapat berupa tombosis
vena, emboli paru dan kematian. Biasanya terjadi dalam hari-hari pertama pengguanaan
antipsikotik pada saat dosis mulai ditingkatkan, umunya dalam 10 hari pertama pengobatan
antipsikotik. Sindrom neuroleptik maligna paling mungkin terjadi pada pasien yang
menggunakan antipsikotik potensi tinggi dalam dosis tinggi atau dosis yang meningkat cepat.

Evaluasi dan Penatalaksanaan


Pertimbangkan kemungkinan sindrom neuroleptik maligna pada pasien yang mendapat
antipsikotik yang mengalami demam serta kekakuan otot.
Bila terdapat rigiditas rinan yang tidak berespon terhdap antikolinergik biasa dan bila
demamnya tak jelas sebabnya, buatlah diagnosis sementara sindroma neuroleptik
maligna.
Hentikan pemberian antipsikotik segera.
Monitor tanda-tanda vital secara berkala.6
DAFTAR PUSTAKA

1. Maramis, W.F. dan Maramis, A.A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya:
Airlangga University Press.
2. Supriyanto dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Kegawatdaruratan Psikiatrik. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
3. Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto ed. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI
4. Sadock, B.J., Sadock, V.A., et al. 2007. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York: Lippincott Williams & Wilkins.
5. Tomb, D.A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. Jakarta: EGC.
6. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. 2rd rev. ed. Kusuma M, translator. Jakarta:
Erlangga; 2010, 56-67 p.

Anda mungkin juga menyukai