Anda di halaman 1dari 46

ANALISIS JURNAL PENGARUH TEHNIK RELAKSASI OTOT

PROGRESIF TERHADAP KADAR GULA DARAH PADA


PASIEN DM TIPE 2

Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok Stase Keperawatan Gerontik


Profesi Ners Angkatan XVIII Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Surya Global Yogyakarta

Disusun Oleh :

Syabib Mustaqim A. ( 24.16.0932)


Zainatul Wafiroh ( 24.16.0933)
Isna Nur Rahayu ( 24.16.0934)
Nyoman Hariadi ( 24.16.0935)
Yuliani ( 24.16.0936)
Nur Himam Falih ( 24.16.0937)
Gustiani Wokas ( 24.16.0938)
Nurul Izzah ( 24.16.0939)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS ANGKATAN XVIII


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SURYA GLOBAL
YOGYAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes melitus atau pada bahasa awam dikenal dengan nama penyakit
kencing manis merupakan penyakit yang ditandai dengan kelainan metabolik
akibat dari kurangnya produksi insulin oleh pankreas atau bisa juga karena
kurangnya respon tubuh terhadap insulin, atau bisa juga akibat dari adanya
pengaruh hormon lain yang menghambat kinerja insulin (Id Medis, 2015).
Dari berbagai penelitian epidemiologis di Indonesia didapatkan
prevalensi DM sebesar 1,5 2,3 % pada penduduk usia lebih dari 15 tahun,
bahkan pada suatu penelitian epidemiologis di Manado didapatkan prevalensi
DM adalah 6,1 %. Penelitian yang dilakukan di Jakarta, Surabaya, Makasar
dan kota-kota lain di Indonesia membuktikan adanya kenaikan prevalensi
dari tahun ketahun (WHO, 2009).
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau keduanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes
berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan
beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh
darah.
DM merupakan penyebab utama dari penyakit ginjal stadium akhir dan
Nefropati Diabetik (ND) merupakan 30 40% dari penderita Penyakit Ginjal
Kronik (PGK) dan merupakan resiko tinggi dari Cardio Vascular Disease
(CVD) (Sasso et al., 2006).
Pada diabetes, terjadi gangguan pengolahan glukosa darah oleh tubuh,
yang menyebabkan kerusakan pada ginjal dan akhirnya dapat menyebabkan
gagal ginjal terminal. Pada Penderita gagal ginjal kronik dengan DM terjadi
perubahan antara lain : peningkatan viskositas darah, peningkatan kadar
fibrinogen, penurunan aktivitas fibrinolitik, hiperaktifitas trombosit dan
peningkatan koagulabilitas plasma. Pada makrovaskuler juga terjadi keadaan
protombik diantaranya : hiperaktivitas trombosit, penurunan produksi
prostasiklin, disfungsi endotel yang memacu terbentuknya ateroma lebih awal
dibandingkan non DM. Penderita gagal ginjal kronik mempunyai resiko
hiperkoagulasi yang disebabkan oleh karena beberapa sebab, antara lain
defisiensi AT-III, hiperhomosistein dan penyakit kronis. Insiden trombosis
arteri dan vena pada pasien gagal ginjal kronik cendrung meningkat (10-40
%). Beberapa penelitian memeriksa aktifitas hemostasis diantaranya kadar
fibrinopeptide A di plasma yang berasal dari pemecahan fibrin oleh trombin
dan diperkirakan sebagai penyebab terjadinya koagulasi yang berlebihan
pada pasien gagal ginjal kronik yang asimtomatik, mengapa hal ini terjadi
masih belum jelas.
Salah satu faktor terjadinya hiperglikemia pada pasien DM tipe 2 adalah
stres. Stres dapat menyebabkan kadar gula darah seseorang meningkat, ini
disebabkan oleh pengeluaran epinefrin. Epinefrin menghambat sekresi
insulin, memacu pelepasan glukagon, mengaktivasi pemecahan glikogen dan
mengganggu kerja insulin pada jaringan target sehingga produksi gula hati
meningkat dan kapasitas mengatur beban gula eksogen terganggu. Media
Ilmu Kesehatan Vol. 2, No. 1, April 2013
Penanganan DM di rumah sakit yang ada selama ini masih sebagian besar
berfokus pada pengobatan konvensional yang telah diprogramkan oleh
dokter, belum memperhatikan penanganan stress pasien, sedangkan faktor
psikologis sangat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan pasien. Apabila
stres yang dialami penderita diabetes dibiarkan saja, dengan kadar gula darah
tetap tinggi dan tidak dikelola dengan baik, ditakutkan komplikasi akut
(ketoasidosis diabetes/ KAD, asidosis laktat, koma hiperosmolar
hiperglikemik non ketotik) sampai komplikasi kronik (retinopati, nefropati,
jantung koroner) dapat terjadi. Sehingga dengan itu perlu penanganan secara
holistik pada pasien DM. Banyak cara yang dapat digunakan dalam
penanganan stres diantaranya teknik relaksasi nafas dalam, teknik relaksasi
otot progresif, terapi musik, terapi respon emosirasional, yoga, dan
pendekatan agamis. Berbagai teknik tersebut merupakan suatu upaya
meredakan ketegangan emosional sehingga individu dapat berpikir lebih
rasional. Dengan demikian produksi gula hati dapat terkontrol dengan baik,
dengan begitu gula darah dapat stabil normal. Salah satu bentuk cara
meredakan ketegangan emosional yang cukup mudah dilakukan adalah
relaksasi otot progresif. Teknik ini memaksa individu untuk berkonsentrasi
pada ketegangan ototnya dan kemudian melatihnya untuk relaks. Orang yang
stres, secara emosional tegang dan mengalami ketegangan otot. Teknik ini
berusaha meredakan ketegangan otot dengan harapan bahwa ketegangan
emosionalpun berkurang, maka dari itu teknik relaksasi otot progresif ini
dapat digunakan untuk mendampingi teknik konvensional yang biasa
diberikan (Singh, 2013).
Selain mudah dan praktis dilakukan, relaksasi otot progresif dapat
digunakan untuk terapi sehari-hari yang digunakan penderita DM. Kita
ketahui pula bahwa penyakit DM merupakan penyakit kronis yang tidak
dapat disembuhkan, sehingga perlu penanganan yang terus menerus untuk
mengontrol hiperglikemi (Mathangi, 2013).
Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh relaksasi
otot progresif terhadap gula darah pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2.
Tujuan Khususnya antara lain: 1) Untuk mengetahui kadar gula darah pada
saat pengobatan tidak didampingi dengan intervensi teknik relaksasi otot
progresif; 2) Untuk mengetahui kadar gula darah pada saat pengobatan
didampingi dengan intervensi teknik relaksasi otot progresif; 3) Untuk
membandingkan kadar gula darah antara pengobatan dengan tidak
didampingi intervensi relaksasi otot progresif dan pengobatan dengan
didampingi intervensi teknik relaksasi otot progresif pada orang yang sama
(Singh, 2013).

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan penulisan makalah ini untuk mengetahui dan mempelajari
tentang kasus yang terjadi pada Ny. K dengan diagnosa DM Tipe II
beserta intervensi asuhan keperawatan sesuai dengan Evidance Based
Nursing.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui konsep dasar diabetes melitus
b. Untuk mengetahui penanganan kasus DM Tipe II sesuai dengan
Evidance Based Nursing.
c. untuk mengetahi validitas jurnal yang didapat.
d. Untuk mengetahui apakah jurnal dapat diaplikasikan di rumah sakit.

C. Manfaat
1. Bagi Penulis
Hasil makalah ini diharapkan dapat mengembangkan asuhan
keperawatan pada kasus DM Tipe II sesuai dengan Evidance Based
Nursing
2. Bagi Perawat
Sebagai bahan masukan dan acuan asuhan keperawatan pada kasus
DM Tipe II sesuai dengan Evidance Based Nursing yang telah didapat.

BAB II
TINJAUAN TEORI

I. KONSEP PENYAKIT DIABETES MILITUS


A. Defenisi
Diabetes Mellitus adalah sekelompok kelainan heterogen (gangguan
multi sistem) yang disebabkan oleh defesiensi insulin atau kerja insulin
yang tidak adekuat yang ditandai dengan kenaikan kadar glukosa dalam
darah atau hiperglikemia.

B. Etiologi
Diabetes Mellitus terjadi karena organ pankreas tidak mampu
memproduksi hormon insulin sesuai dengan kebutuhan tubuh. Di bawah
ini beberapa etiologi/sebab sehingga organ pankreas tidak mampu
memproduksi insulin berdasarkan tipe/klasifikasi penyakit diabetes
mellitus tersebut:
a. Diabetes Mellitus Tipe I
1. Faktor Genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe 1 itu sendiri; tetapi
mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetic ke arah
terjadinya diabetes tipe 1. Kecenderungan genetic ini ditemukan
pada individu yang memiliki tipe antigen HLA (human leococite
antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang
bertanggung jawab atas antigen transplantasi dan proses imun
lainnya.
2. Faktor Imunologi
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal
dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara
bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah
sebagai jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau
Langerhans dan insulin endogen

3. Faktor Lingkungan
Penyelidikan juga sedang dilakukan terhadap kemungkinan faktor-
faktor esternal yang dapat memicu dekstruksi sel beta. Sebagai
contoh hasil penyelidikan yang menyatakan bahwa virus atau
toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan
dekstruksi (hilangnya) sel beta. Virus penyebab DM adalah
Rubela, Mumps, dan Human coxsackievirus B4. Melalui
mekanisme infeksi sitolitik dalam sel beta, virus ini
mengakibatkan destruksi atau perusakan sel. Bisa juga, virus ini
menyerang melalui reaksi otoimunitas yang menyebabkan
hilangnya otoimun (aktivasi limfosit T reaktif terhadap antigen sel
pulau kecil) dalam sel beta.

b. Diabetes Mellitus Tipe II


Mekanisme yang tepat menyebabkan resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin pada diabetes tipe 2 masih belum diketahui. Faktor
genetik diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya
resistensi insulin. Selain itu tedapat pula faktor-faktor resiko tertentu
yang berhubungan dengan proses terjadinya diabetes tipe 2.
Faktor-faktor ini adalah :
a) Usia
Resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun.
b) Obesitas
c) Orang yang mengalami obesitas,tubuhnya memiliki kadar lemak
yang tinggi atau berlebihan sehingga jumlah cadangan energy
dalam tubuhnya banyak begitupun dengan yang tersimpan dalam
hati dalam bentuk glikogen. Insulin merupakan hormon yang
bertugas untuk menurunkan kadar glukosa dalam darah
mengalami penurunan fungsi akibat dari kerja kerasnya dalam
melakukan tugas sebagai pendistribusian glukosa sekaligus
pengkompensasi dari peningkatan glukosa darah, sehingga
menyebabkan resistensi insulin dan berdampak terjadinya DM tipe
2.
d) Riwayat keluarga

c. Diabetes Mellitus Gestasional


Diabetes gestational terjadi karena kelainan yang dipicu oleh
kehamilan, diperkirakan karena terjadinya perubahan pada
metabolisme glukosa (Hiperglikemia akibat sekresi hormone-hormon
plasenta). Teori yang lain mengatakan bahwa diabetes tipe 2 ini
disebut sebagai unmasked atau baru ditemukan saat hamil dan patut
dicurigai pada wanita yang memiliki ciri gemuk, riwayat keluarga
diabetes, riwayat melahirkan bayi > 4 kg, riwayat bayi lahir mati, dan
riwayat abortus berulang.

C. Patofisiologi
1. Diabetes mellitus Tipe I
Diabetes tipe I disebabkan oleh beberapa faktor antara lain
a. Faktor genetik
Diabetes mellitus cenderung diturunkan atau diawariskan,
bukan ditularkan. Anggota keluarga penderita DM (diabetisi)
memiliki kemungkinan lebih besar terserang penyakit ini
dibandingkan dengan anggota keluarga yang tidak menderita DM.
Para ahli kesehatan juga menyebutkan DM merupakan penyakit
yang terpaut kromosom seks atau kelamin. Biasanya kaum laki-
laki menjadi penderita sesungguhnya, sedangkan kaum perempuan
sebagai pihak yang membawa gen untuk diwariskan kepada anak-
anaknya
b. Faktor Imunologi.
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal
dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara
bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah
sebagai jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau
Langerhans dan insulin endogen),
c. Faktor lingkungan
Virus penyebab DM adalah rubela, mumps, dan human
coxsackievirus B4. Melalui mekanisme infeks sitolitik dalam sel
beta, virus ini mengakibatkan destruksi atau perusakan sel. Bisa
juga, virus ini menyerang melalui reaksi otoimunitas yang
menyebabkan hilangnya otoimun dalam sel beta. Diabetes mellitus
akibat bakteri masih belum bisa dideteksi. Namun, para ahli
kesehatan menduga bakteri cukup berperan menyebabkan DM.
Dimana faktor ini berdampak pada kerusakan sel beta pada
pangkreas. Ini terjadi ketika sel beta pangkreas melakukan suatu
aktivitas biokimia dalam hal ini proses peningkatan kadar insulin
untuk menurunkan kadar glukosa dalam tubuh, oleh sistem imun
membaca/menterjemahkannya sebagai virus (benda asing)
sehingga terjadilah proses autoimunitas (pengrusakan) terhadap sel
beta pangkreas tersebut yang mengakibatkan terjadinya defesiensi
insulin (ketidakmampuan menghasilkan insulin).
Akibat hal tersebut maka pengkompensasian terhadap
peningkatan glukosa dalam sirkulasi darah terganggu hasilnnya
terjadilah hiperglikemia (glukosa dalam darah tinggi). Jika
konsentrasi gukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat
menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya
glukosa tersebut muncul dalam urine yang disebut dengan
glukosuria. Ketika glukosa diekskresikan ke dalam urine, ekskresi
ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan.
Keadaan ini dinamakan dengan diuresis osmotic. Sebagai akibat
dari kehilangan cairan yang berlebihan, pasien akan mengalami
peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia)
Defesiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein
lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat
mengalami peningkatan selera makan (polifaglia) akibat
menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan
dan kelemahan. Dalam keadaan normal insulin mengendalikan
glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan
glukoneogenesis (pemecahan glukosa baru dari asamasam amino
serta substansi lain), namun pada penderita defiisiensi insulin
proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut turut
menimbulkan hiperglikemia. Di samping itu akan terjadi
pemecahan lemak yang mengakibatkan produksi badan keton yang
merupakan produk samping pemecahan lemak. Badan keton
merupakan asam yang menggaanggu keseimbangan asambasa
tubuh apabila jumlahnya berlebihan.
Ketoasidosis diabetik yang diakibatkannya dapat
menyebabkan tanda-tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual,
muntah, hiperventilasi, napas berbau aseton dan bila tidak
ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma bahkan
kematian.

2. Diabetes mellitus Tipe II


Diabetes tipe II disebabkan oleh beberapa faktor juga antara lain
Usia, Obesitas,dan Riwayat Keluarga. Dimana faktor tersebut akan
mempengaruhi proses peningkatan kadar glukosa dalam tubuh.
Peningkatan kadar glukosa dalam darah secara terus-menerus
menyebabkan penurunan fungsi terhadap hormon insulin dimana
tugas dari insulin ini berfungsi untuk mengedarkan glukosa
kepermukaan sel untuk metabolisme sel tersebut. Sehingga yang
seharusnya glukosa tersebut diedarkan kesetiap sel malah berkurang
akibat penurunan fungsi insulin sebagai akibatnya kadar glukosa
secara terus-menerus mengalami penigkatan.
Ginjal merupakan tempat penyaring hasil dari sekresi dalam tubuh
tidak mampu lagi menyerap glukosa akibat dari hiperglikemia tersebut
dan akibatnya glukosa tersebut terekskresi bersama dengan urine
( glukosuria). Untuk meringankan kerja dari dari ginjal dalam
pengeluaran glukosa maka terjadi penyerapan air dan elektrolik dalam
ginjal untuk mengencerkan glukosa, sehingga urine keluar secara
encer bersama air, elektronik dan zat-zat yang lainnya. Karena urine
keluar secara terus menerus bersama dengan air dan elektrolik maka
tubuh mengalami kekurangan cairan akibatnya terjadi dehidrasi. Efek
dari dehidrasi tersebut menyebabkan volume cairan dalam vaskuler
berkurang sehingga darah bersifat lebih kental sehingga
mempengaruhi proses sirkulasi darah dalam tubuh.
Gangguan fungsi insulin itu juga mengakibatkan gangguan
metabolisme lemak (dislipidemia). Hal tersebut dapat dilihat dari
terjadinya peningkatan kadar kolesterol total, kolesterol-kolesterol
jahat (LDL), trigliserida, namun disertai penurunan kolesterol HDL
(kolesterol baik). Akibat dari peningkatan kolesterol jahat tersebut
mengakibatkan terdapatnya plak-plak berupa lemak yang mengendap
dalam pembuluh darah arteri yang berefek pada gangguan pada
sirkulasi darah atau yang biasa disebut dengan aterosklerosis. Akibat
dari aterosklerosis tersebut berdampak pada perubahan dan gangguan
pada daerah makrovaskuler dan microvaskuler. Untuk daerah
makrovaskuler (pembuluh darah besar) yang berpengaruh adalah
organ jantung, serebral dan daerah ekstremitas (pergerakan). Khusus
untuk organ jantung, aterosklerosis menyebabkan penyakit arteri
koroner dalam hal ini infark miokard (gagal jantung) ini disebabkan
karena kurangnya suplai oksigen terhadap sel-sel jantung akibat dari
sumbatan pada daerah pembuluh darah arteri koronaria. Dan untuk
daerah cerebral, akan berdampak pada penyakit stroke. Ini disebabkan
karena perubahan aterosklerosis dalam pembuluh darah serebral atau
pembentukan embolus di tempat lain dalam sistem pembuluh darah
yang kemudian terbawa aliran darah sehingga terjepit dalam
pembuluh darah serebral yang menimbulkan serangan iskemia
sepintas (tidaknya adanya aliran darah) dan menyebabkan stroke.

Sedangkan untuk daerah ekstremitas (pergerakan), akan


berdampak pada pembentukan gangren yang disebabkan oleh sirkulasi
yang buruk akibat dari sumbatan pada saluran peredaran darah yang
mengarah pada daerah ekstremitas khususnya bagian bawah (distal)
selain itu pula adanya gangguan kemampuan leukosit terhadap
penghancuran bakteri yang berpengaruh terhadap proses
penyembuhan luka yang lama dan akibatnya akan terjadi gangren
serta berpotensi untuk diamputasi.
Untuk daerah mikrovaskuler yang berpengaruh adalah daerah
retina (penglihatan) dan daerah ginjal. Khusus untuk daerah retina
(penglihatan), akan berdampak pada penyakit retinopati ini
disebabkan oleh perubahan dalam pembuluh-pembuluh darah kecil
pada retina mata di mana retina merupakan bagian mata yang
menerima bayangan dan mengirimkan informasi tentang bayangan
tersebut ke otak. Bagian ini mengandung banyak sekali pembuluh
darah dari berbagai jenis seperti pembuluh darah arteri serta vena yang
kecil, arteriol, venula dan kapiler. Dan pembuluh darah inilah yang
merupakan pusat sumbatan sehingga berpengaruh terhadap gangguan
penglihatan dan jika ini berlangsung lama tanpa ada tindakan yang
progresif maka akan berpotensi terhadap kebutaan. Sedangkan untuk
daerah ginjal, akan berdampak pada penyakit nefropati ini disebabkan
oleh glukosuria yang terus menerus sehingga mekanisme filtrasi ginjal
mengalami stress yang menyebabkan kebocoran protein darah ke
dalam urine. Sebagai akibatnya, tekanan dalam pembuluh darah ginjal
meningkat. Kenaikan tekanan tersebut diperkirakan diperkirakan
berperan sebagai stimulus untuk terjadinya nefropati. Jika tubuh
membentuk zat keton lalu terjadi nefropati maka ginjal akan
berdampak pada penurunan fungsi yang berpotensi pada gagal ginjal.

PATHWAY

Diabetes Mellitus
Tipe 1 tipe 2
defesiensi insulin resistensi insulin

Hiperglikemia

glykosuria

diuresis osmotik

Osmotic diuresis Ggn vol. cairan (-)

Dehidrasi P3(poliuria,polidipsi,polfagia)

Hemokonsentrasi ketoasidosis

Ateroskerosis ph menurun

Mual dan muntah


Ggn. Perfusi jaringan
Resiko ggn nutrisi (-) dr kbuthn

makrovaskuler mikrovaskuker

jantung cerebral ekstremitas retina ginjal

infark stroke gangrene


Gangrene retinopati nefropati diabetik
miokard
nyeri gangguan penglihatan

Ggn integritas jar. resiko injury (sekarat)

Ggn intoleransi fisik Ggn gambaran diri


Potensial penyb. infeksi
D. Tanda dan Gejala
Penderita kencing manis umumnya menampakkan tanda dan gejala
dibawah ini meskipun tidak semua dialami oleh penderita :
1. Polyuria
2. Polydipsia
3. Polyphagia
4. Glykosuria
5. Penurunan berat badan
6. Kesemutan/mati rasa pada ujung syaraf ditelapak tangan dan kaki
(parestesia).
7. Cepat lelah dan lemah setiap waktu
8. Mengalami rabun penglihatan secara tiba-tiba
9. Apabila luka/tergores (korengan) lambat penyembuhannya
10. Mudah terkena infeksi terutama pada kulit.

E. Pemeriksaan Penunjang/Diagnostik
Tujuan pemeriksaan laboratorium pada DM adalah : menetapkan
diagnosa, mengikuti perjalanan penyakit, kontrol terapi dan deteksi dini
adanya kelainan akibat DM.
1. Pemeriksaan kadar gula darah
Cara yang dianjurkan adalah cara enzimatik, dan yang banyak
digunakan dalam laboratorium adalah cara glukosa oksidase. Cara lain
adalah cara o-toluidine. Kedua cara ini dianggap memberi hasil yang
mendekati kadar glukosa sesungguhnya

Interpretasi Hasil Tes


Bukan DM Belum pasti DM
Tes Sampel (mg/dl) DM (mg/dl) (mg/dl)
Plasma Vena < 110 110-199 200
GDS Darah Kapiler < 90 90-199 200
Plasma Vena < 110 110-125 126
GDP Darah Kapiler < 90 90-199 110
Plasma Vena < 140 140-200 > 200
GD2PP Darah Kapiler <200 120-200 > 200

2. Tes toleransi glukosa (TTG)


3. Pemeriksaan gula urin.
4. Penetapan albumin urin

F. Komplikasi
1. Akut :
ketoasidosis diabetik
Sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar non ketotis
Hipoglikemia
2. Kronik:
Umumnya terjadi pada 10-15 tahun setelah awitan.
a. Makrovaskuler (penyakit pembuluh darah besar):
Pembuluh coroner
Vaskilar perifer
Vaskular otak
b. Mikrovaskuler (penyakit pembuluh darah kecil) :
Mengenai mata (Retinopati)
Mengenai ginjal (Nefropati)
Penyakit Neuropati (merupakan saraf sensorik-motorik) yang
anatomi serta menunjang masalah seperti impotensi dan ulkus
pada kaki.

G. Penatalaksanaan
Diabetes Melitus jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan
berbagai penyakit dan diperlukan kerja sama semua pihak di tingkat
pelayanan kesehatan.
Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan berbagai usaha dan akan
diuraikan sebagai berikut :
a. Perencanaan makan.
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi seimbang
dalam hal karbohidrat, protein dan lemak yang sesuai dengan
kecukupan gizi yang baik yaitu :
1.) Karbohidrat sebanyak 60 70 %.
2.) Protein sebanyak 10 15 %.
3.) Lemak sebanyak 20 25 %.
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur,
stress akut, dan kegiatan jasmani.
b. Latihan jasmani
Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3 4 kali seminggu) selama
kurang lebih 30 menit yang disesuaikan dengan kemampuan dan
kondisi penyakit penyerta.
Sebagai contoh olahraga ringan adalah berjalan kaki biasa selama 30
menit, olahraga sedang adalah berjalan cepat selama 20 menit dan
olahraga berat misalnya jogging.
c. Pengelolaan farmakologis
Sarana pengelolaan farmakologis Diabetes berupa :
1.) Obat hipoglikemia oral (OHO).
a.) Golongan sulfonilurea.
Obat golongan ini sudah dipakai sejak tahun 1957 dan tidak
dipakai pada tipe Diabetes Melitus tipe I. Mekanisme kerja
obat golongan sulfoniluera :
Menstimulasi pelepasan insulin yang tersimpan.
Menurunkan ambang sekresi insulin.
Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan
glukosa.
b.) Golongan biguanid
Saat ini dari golongan ini yang masih dipakai adalah
Metformin. Metformin ini menurunkan kadar glukosa darah
pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular, distal
dari reseptor insulin serta efeknya juga berefek menurunkan
kadar glukosa hati. Metformin mencapai kadar puncak dalam
darah setelah 2 jam.
c.) Alga glukosidase inhibitor acarbose.
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat enzim alfa
glukodosidase di dalam saluran cerna sehingga dapat
menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan
hiperglikemia post prandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan
tidak menyebabkan hiperglikemia dan juga tidak berpengaruh
pada kadar insulin.

d.) Insulin sensitizing agent.


Thiazolidinediones adalah golongan obat baru yang
mempunyai efek farmakologis meningkatkan sensitivitas
insulin. Golongan ini bekerja meningkatkan glukosa disposal
pada sel dan mengurangi produksi glukosa di hati.
Tetapi baru mulai dicoba dan belum beredar di pasaran
Indonesia.
Insulin
Dosis insulin oral atau suntikan dimulai dengan dosis
rendah dan dinaikkan perlahan-lahan sesuai dengan hasil
glukosa darah pasien. Bila sulfoniluera atau metformin
telah diterima sampai dosis maksimal tetapit dak tercapai
sasaran glukosa darah maka dianjurkan penggunaan
kombinasi sulfoniluera dengan metformin. Dan bila masih
belum berhasil, dipakai kombinasi sulfoniluera dan insulin.
Tabel I. Kategori Insulin

Perjalanan
Preparat Awitan Puncak Durasi Indikasi
Waktu

Kerja singkat Reguler - 1 jam 2-3 jam 4-6 jam Biasanya diberikan
20-30 menit sebelum
makan ; dapat diguna-
kan sendiri atau di-
campur dengan insu-
lin kerja lama.

Kerja sedang NPH (ne 3-4 jam 4-12 jam 16-20 Biasanya diberikan
utral Pro- jam setelah makan.
tamin Ha-
gedorn) ;
Lente (L)

Kerja lama Ultratelente 6-8 jam 12-16 jam 20-30 Digunakan terutama
(UL) jam untuk mengontrol
kadar glukosa puasa.
H. Pencegahan
Adapun yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit Diabetes mellitus
adalah sebagai berikut :
Makan seimbang artinya yang dimakan dan yang dikeluarkan
seimbang disesuiakan dengan aktifitas fisik dan kondisi tubuh, dengan
menghindari makanan yang mengandung tinggi lemak karena bisa
menyebabkan penyusutan konsumsi energi. Mengkonsusmsi makanan
dengan kandungan karbohidrat yang berserat tinggi dan bukan olahan.
Meningkatkan kegiatan olah raga yang berpengaruh pada sensitifitas
insulin dan menjaga berat badan agar tetap ideal.
II. PROSES PENUAAN
A. Pengertian Lansia
Masa tua (lansia) dimulai setelah pensiun, biasanya antara 65-75
tahun (Potter & Perry, 2005).Pengertian lansia (Lanjut Usia) adalah fase
menurunnya kemampuan akal dan fisik, yang di mulai dengan adanya
beberapa perubahan dalam hidup. Sebagai mana di ketahui, ketika manusia
mencapai usia dewasa, ia mempunyai kemampuan reproduksi dan
melahirkan anak. Ketika kondisi hidup berubah, seseorang akan
kehilangan tugas dan fungsi ini, dan memasuki selanjutnya, yaitu usia
lanjut, kemudian mati. Bagi manusia yang normal, siapa orangnya, tentu
telah siap menerima keadaan baru dalam setiap fase hidupnya dan
mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi lingkunganya (Darmojo, 2004
dalam Psychologymania, 2013).

B. Proses Menua
Proses menua merupakan suatu proses yang wajar, bersifat alami dan
pasti akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai umur panjang
(Nugroho, 2000).
Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang
dapat diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka
mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu (Stanley and
Patricia, 2006).

C. Teori Proses Menua


Teori proses menua menurut Potter dan Perry (2005) yaitu sebagai berikut:
Teori Biologis
1. Teori radikal bebas
Radikal bebas merupakan contoh produk sampah metabolisme yang
dapat menyebabkan kerusakan apabila terjadi akumulasi.
Normalnya radikal bebas akan dihancurkan oleh enzim pelindung,
namun beberapa berhasil lolos dan berakumulasi di dalam organ
tubuh. Radikal bebas yang terdapat di lingkungan seperti kendaraan
bermotor, radiasi, sinar ultraviolet, mengakibatkan perubahan
pigmen dan kolagen pada proses penuaan. Radikal bebas tidak
mengandung DNA. Oleh karena itu, radikal bebas dapat
menyebabkan gangguan genetik dan menghasilkan produk-produk
limbah yang menumpuk di dalam inti dan sitoplasma. Ketika radikal
bebas menyerang molekul, akan terjadi kerusakan membran sel;
penuaan diperkirakan karena kerusakan sel akumulatif yang pada
akhirnya mengganggu fungsi. Dukungan untuk teori radikal bebas
ditemukan dalam lipofusin, bahan limbah berpigmen yang kaya
lemak dan protein. Peran lipofusin pada penuaan mungkin
kemampuannya untuk mengganggu transportasi sel dan replikasi
DNA. Lipofusin, yang menyebabkan bintik-bintik penuaan, adalah
dengan produk oksidasi dan oleh karena itu tampaknya terkait
dengan radikal bebas.
2. Teori cross-link
Teori cross-link dan jaringan ikat menyatakan bahwa molekul
kolagen dan elastin, komponen jaringan ikat, membentuk senyawa
yang lama meningkatkan regiditas sel, cross-linkage diperkirakan
akibat reaksi kimia yang menimbulkan senyawa antara melokul-
melokul yang normalnya terpisah (Ebersole & Hess, 1994 dalam
Potter & Perry, 2005).
3. Teori imunologis
Teori imunitas berhubungan langsung dengan proses penuaan.
Selama proses penuaan, sistem imun juga akan mengalami
kemunduran dalam pertahanan terhadap organisme asing yang
masuk ke dalam tubuh sehingga pada lamsia akan sangat mudah
mengalami infeksi dan kanker.perubahan sistem imun ini
diakibatkan perubahan pada jaringan limfoid sehingga tidak adanya
keseimbangan dalam sel T intuk memproduksi antibodi dan
kekebalan tubuh menurun. Pada sistem imun akan terbentuk
autoimun tubuh. Perubahan yang terjadi merupakan pengalihan
integritas sistem tubuh untuk melawan sistem imun itu sendiri.
Teori Psikososial
1. Teori Disengagement (Penarikan Diri)
Teori ini menggambarkan penarikan diri oleh lansia dari
peran masyarakat dan tanggung jawabnya. Lansia akan
dikatakan bahagia apabila kontak sosial telah berkurang dan
tanggungjawab telah diambil oleh generasi yang lebih muda.
Manfaat dari pengurangan kontak sosial bagi lansia adalah
agar dapat menyediakan eaktu untuk mengrefleksi kembali
pencapaian yang telah dialami dan untuk menghadapi
harapan yang belum dicapai.
2. Teori Aktivitas
Teori ini berpendapat apabila seorang lansia menuju
penuaan yang sukses maka ia harus tetap
beraktivitas.kesempatan untuk turut berperan dengan cara
yang penuh arti bagi kehidupan seseorang yang penting bagi
dirinya adalah suatu komponen kesejahteraan yang penting
bagi lansia. Penelitian menunjukkan bahwa hilangnya fungsi
peran lansia secara negatif mempengaruhi kepuasan hidup,
dan aktivitas mental serta fisik yang berkesinambungan akan
memelihara kesehatan sepanjang kehidupan.
3. Teori Kontinuitas
Teori kontinuitas mencoba menjelaskan mengenai
kemungkinan kelanjutan dari perilaku yang sering dilakukan
klien pada usia dewasa. Perilaku hidup yang membahayakan
kesehatan dapat berlangsung hingga usia lanjut dan akan
semakin menurunkan kualitas hidup.

D. Tugas Perkembangan Lansia


Menurut Patricia Gonce Morton dkk, 2011 tugas perkembangan keluarg
yaitu:
1. Memutuskan dimana dan bagaimana akan menjalani hidup selama sisa
umurnya.
2. Memelihara hubungan yang suportif, intim dan memuaskan dengan
pasangan hidupnya, keluarga, dan teman.
3. Memelihara lingkungan rumah yang adekuat dan memuaskan terkait
dengan status kesehatan dan ekonomi
4. Menyiapkan pendapatan yang memadai
5. Memelihara tingkat kesehatan yang maksimal
6. Mendapatkan perawatan kesehatan dan gigi yang komprehensif
7. Memelihara kebersihan diri
8. Menjaga komunikasi dan kontak yang adekuat dengan keluarga dan
teman
9. Memelihara keterlibatan social, sipil dan politisi
10. Memulai hobi baru (selain kegiatan sebelumnya) yang meningkatkan
status
11. Mengakui dan merasakan bahwa ia dibutuhkan
12. Menemukan arti hidup setelah pension dan saat menghadapi penyakit
diri dan pasangan hidup dan kematian pasangan hidup dan orang yang
disayangi; menyesuaikan diri dengan orang yang disayangi
13. Membangun filosofi hidup yang bermakna dan menemukan
kenyamanan dalam filosofi atau agama.

E. Batasan Lanjut Usia


Menurut Organisasi Kesehatan Dunia WHO dalam Psychologymania,
2013 batasan lanjut usia meliputi :
1. Usia pertengahan (middle age) adalah kolompok usia 45-59 tahun.
2. Lanjut usia (elderly) antara usia 60-74 tahun.
3. Lanjut usia tua (old) antara 75-90 tahun.
4. Usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun

F. Pathway Proses Menua

Proses Menua

Fase 1 subklinik Fase 2 transisi Fase 3 klinik

Usia 25-35 Penurunan hormon Usia 35-45 Usia 45 produksi hormon


(testosteron, growt hormon, Penurunan hormon 25 sudah berkurang
estrogen) % hingga akhirnya berhenti

Polusi udara, diet yang tak sehat dan stres

Peningkatan radikal
bebas

Kerusakan sel-seDNA
(sel-sel tubuh)

Sistem dalam tubuh mulai


terganggu spti : penglihatan
menurun, rambut beruban,
stamina & enegi berkurang,
wanita (menopause),pria
(andopause).
Penyakit degeneratif
(DM, osteoporosis,
hipertensi, penyakit
jantung koroner)

G. Tanda dan Gejala


Tanda dan Gejala menurut Patricia Gonce Morton dkk, 2011 yaitu:
1. Perubahan Organik
a) Jumlah jaringan ikat dan kolagen meningkat.
b) Unsur seluler pada sistem saraf, otot, dan organ vital lainnya
menghilang.
c) Jumlah sel yang berfungsi normal menurun.
d) Jumlah lemak meningkat.
e) Penggunaan oksigen menurun.
f) Selama istirahat, jumlah darah yang dipompakan menurun.
g) Jumlah udara yang diekspirasi paru lebih sedikit.
h) Ekskresi hormon menurun.
i) Aktivitas sensorik dan persepsi menurun
j) Penyerapan lemak, protein, dan karbohidrat menurun.
k) Lumen arteri menebal

2. Sistem Persarafan
Tanda:
a) Penurunan jumlah neuron dan peningkatan ukuran dan jumlah sel
neuroglial.
b) Penurunan syaraf dan serabut syaraf.
c) Atrofi otak dan peningkatan ruang mati dalam kranim
d) Penebalan leptomeninges di medulla spinalis.
Gejala:
a) Peningkatan risiko masalah neurologis; cedera serebrovaskuler,
parkinsonisme
b) Konduksi serabut saraf melintasi sinaps makin lambat
c) Penurunan ingatan jangka-pendek derajad sedang
d) Gangguan pola gaya berjalan; kaki dilebarkan, langkah pendek, dan
menekukke depan
e) Peningkatan risiko hemoragi sebelum muncul gejala

3. Sistem Pendengaran.
Tanda :
a) Hilangnya neuron auditorius
b) Kehilangan pendengaran dari frekuensi tinggi ke frekuensi rendah
c) Peningkatan serumen
d) Angiosklerosis telinga
Gejala
a) Penurunan ketajaman pendengaran dan isolasi social (khususnya,
penurunan kemampuan untuk mendengar konsonan)
b) Sulit mendengar, khususnya bila ada suara latar belakang yang
mengganggu, atau bila percakapan cepat.
c) Impaksi serumen dapat menyebabkan kehilangan pendengaran

4. Sistem Penglihatan
Tanda :
a) Penurunan fungsi sel batang dan sel kerucut
b) Penumpukan pigmen.
c) Penurunan kecepatan gerakan mata.
d) Atrofi otot silier.
e) Peningkatan ukuran lensa dan penguningan lensa
f) Penurunan sekresi air mata.
Gejala :
a) Penurunan ketajaman penglihatan,lapang penglihatan, dan adaptasi
terhadap terang/gelap
b) Peningkatan kepekaan terhadap cahaya yang menyilaukan
c) Peningkatan insiden glaucoma
d) Gangguan persepsi kedalaman dengan peningkatan kejadian jatuh
e) Kurang dapat membedakan warna biru, hijau,dan violet
f) Peningkatan kekeringandan iritasi mata.

5. Sistem Kardiovaskuler
Tanda :
a) Atrofi serat otot yang melapisi endokardium
b) Aterosklerosis pembuluh darah
c) Peningkatan tekanan darah sistolik.
d) Penurunan komplian ventrikel kiri.
e) Penurunan jumlah sel pacemaker
f) Penurunan kepekaan terhadap baroreseptor.
Gejala:
a) Peningkatan tekanan darah
b) Peningkatan penekanan pada kontraksi atrium dengan S4 terdengar
c) Peningkatan aritmia
d) Peningkatan resiko hipotensi pada perubahan posisi
e) Menuver valsava dapat menyebabkan penurunan tekanan darah
f) Penurunan toleransi

6. Sistem Respirasi
Tanda:
a) Penurunan elastisitas jaringan paru.
b) Kalsifikasi dinding dada.
c) Atrofi silia.
d) Penurunan kekuatan otot pernafasan.
e) Penurunan tekanan parsial oksigen arteri (PaO2).
Gejala:
a) Penurunan efisiensi pertukaran ventilasi
b) Peningkatan kerentanan terhadap infeksi dan atelektasis
c) Peningkatan resiko aspirasi
d) Penurunan respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapnia
e) Peningkatan kepekaan terhadap narkotik

7. Sistem Gastrointestinal
Tanda:
a) Penurunan ukuran hati.
b) Penurunan tonus otot pada usus.
c) Pengosongan esophagus makin lambat
d) Penurunan sekresi asam lambung.
e) Atrofi lapisan mukosa
Gejala:
a) Perubahan asupan akibat penurunan nafsu makan
b) Ketidaknyamanan setelah makan karena jalannya makanan
melambat
c) Penurunan penyerapan kalsium dan besi
d) Peningkatan resiko konstipasi, spasme esophagus, dan penyakit
divertikuler

8. Sistem Reproduksi
Tanda:
a) Atrofi dan fibrosis dinding serviks dan uterus
b) Penurunan elastisitas vagina dan lubrikasi
c) Penurunan hormone dan oosit.
d) Involusi jaringan kelenjar mamae.
e) Poliferasi jaringan stroma dan glandular
Gejala :
a) kekeringan vagina dan rasa terbakar dan nyeri saat koitus
b) penurunan volume cairan semina dan kekuatan ejakulasi
c) penurunan elevasi testis
d) hipertrofi prostat
e) jaringan ikat payudara digantikan dengan jaringan lemak, sehingga
pemeriksaan payudara lebih mudah dilakukan

9. Sistem Perkemihan
Tanda:
a) Penurunan masa ginjal
b) Tidak ada glomerulus
c) Penurunan jumlah nefron yang berfungsi
d) Perubahan dinding pembuluh darah kecil
e) Penurunan tonus otot kandung kemih
Gejala:
a) Penurunan GFR
b) Penurunan kemampuan penghematan natrium
c) Peningkatan BUN
d) Penurunan aliran darah ginjal
e) Penurunan kapasitas kandung kemih dan peningkatan urin residual
f) Peningkatan urgensi
10. Sistem Endokrin
Tanda:
a) Penurunan testosterone, hormone pertumbuhan, insulin, androgen,
aldosteron, hormone tiroid
b) Penurunan termoregulasi
c) Penurunan respons demam
d) Peningkatan nodularitas dan fibrosis pada tiroid
e) Penurunan laju metabolic basal
Gejala:
a) Penurunan kemampuan untuk menoleransi stressor seperti
pembedahan
b) Penurunan berkeringat dan menggigil dan pengaturan suhu
c) Penurunan respons insulin, toleransi glukosa
d) Penurunan kepekaan tubulus ginjal terhadap hormone antidiuretik
e) Penambahan berat badan
f) Peningkatan insiden penyakit tiroid

11. Sistem Kulit Integumen


Tanda:
a) Hilangnya ketebalan dermis dan epidermis
b) Pendataran papilla
c) Atrofi kelenjar keringat
d) Penurunan vaskularisasi
e) Cross-link kolagen
f) Tidak adanya lemak sub kutan
g) Penurunan melanosit
h) Penurunan poliferasi dan fibroblas
Gejala:
a) Penipisan kulit dan rentan sekali robek
b) Kekeringan dan pruritus
c) Penurunan keringat dan kemampuan mengatur panas tubuh
d) Peningkatan kerutan dan kelemahan kulit
e) Tidak adanya bantalan lemak yang melindungi tulang dan
menyebabkan timbulnya nyeri
f) Penyembuhan luka makin lama
12. Sistem Muskuloskletal
Tanda:
a) Penurunan massa otot
b) Penurunan aktivitas myosin adenosine tripospat
c) Perburukan dan kekeringan pada kartilago sendi
d) Penurunan massa tulang dan aktivitas osteoblast
Gejala:
a) Penurunan kekuatan otot
b) Penurunan densitas tulang
c) Penurunan tinggi badan
d) Nyeri dan kekakuan pada sendi
e) Peningkatan risiko fraktur
f) Perubahan cara berjalan dan postur
H. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Stanley dan Patricia, 2011 Pemeriksaan laboatorium rutin yang
perlu diperiksa pada pasien lansia untuk mendeteki dini gangguan
kesehatan yang sering dijumpai pada pasien lansia yang belum diketahui
adanya gangguan / penyakit tertentu (penyakit degeneratif) yaitu :
1. Pemerikasaan hematologi rutin
2. Urin rutin
3. Glukosa
4. Profil lipid
5. Alkalin pospat
6. Fungsi hati
7. Fungsi ginjal
8. Fungsi

III. CKD (Chronic Kidney Disease)


A. Definisi
CKD atau biasa dikenal sebagai gagal ginjal kronik adalah
progresifitas lambat dari fungsi ginjal selama beberapa tahun yang
akhirnya pasien memiliki gagal ginjal permanen. Menurut Kidney
Disease Outcome Quality Initiative (KDOQI), gagal ginjal kronik
adalah kerusakan pada organ ginjal dimana terjadi penurunan tingkat
filtraasi glomerulus (Glomerular Filtration Rate - GFR) kurang dari 60
ml/min/1,73 m2 dalam kurun waktu 3 bulan atau lebih.

B. Patofisiologi
Menurut Smeltzer, dan Bare (2001) proses terjadinya CKD
adalah akibat dari penurunan fungsi renal, produk akhir metabolisme
protein yang normalnya diekresikan ke dalam urin tertimbun dalam
darah sehingga terjadi uremia yang mempengarui sistem tubuh.
Semakin banyak timbunan produk sampah, maka setiap gejala semakin
meningkat, sehingga menyebabkan gangguan kliren renal. Banyak
masalah pada ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah glomerulus
yang berfungsi, sehingga menyebabkan penurunan klirens subtsansi
darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dapat dideteksi
dengan mendapatkan urin 24 jam untuk pemeriksaaan kliren kreatinin.
Menurunya filtrasi glomelurus atau akibat tidak berfungsinya
glomeluri klirens kreatinin. Sehingga kadar kreatinin serum akan
meningkat selain itu, kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya
meningkat. Kreatinin serum merupakan indikator paling sensitif dari
fungsi renal karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh.
BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal tahap akhir, tetapi
juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme dan medikasi
seperti steroid.

Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) juga berpengaruh


pada retensi cairan dan natrium. Retensi cairan dan natrium tidak
terkontol dikarenakan ginjal tidak mampu untuk mengonsentrasikan
atau mengencerkan urin secara normal pada penyakit ginjal tahap
akhir, respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan
dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Natrium dan cairan sering
tertahan dalam tubuh yang meningkatkan resiko terjadinya oedema,
gagal jantung kongesti, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi
akibat aktivasi aksis renin angiotensin dan kerjasama keduanya
meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien lain mempunyai
kecenderungan untuk kehilangan garam, mencetuskan resiko hipotensi
dan hipovolemia. Episode muntah dan diare menyebabkan penipisan
air dan natrium, yang semakin memperburuk status uremik.
Asidosis metabolik terjadi akibat ketidakmampuan ginjal
mensekresikan muatan asam (H+) yang berlebihan. Sekresi asam
terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal untuk mensekresi
amonia (NH3) dan mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3).
Penurunan sekresi fosfat dan asam organik lain juga terjadi.
Kerusakan ginjal pada CKD juga menyebabkan produksi
eritropoetin menurun dan anemia terjadi disertai sesak napas, angina
dan keletihan. Eritropoetin yang tidak adekuat dapat memendekkan
usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk
mengalami perdarahan karena status pasien, terutama dari saluran
gastrointestinal sehingga terjadi anemia berat atau sedang. Eritropoitin
sendiri adalah subtansi normal yang diproduksi oleh ginjal untuk
menstimulasi sum-sum tulang untuk menghasilkan sel darah merah.
Abnormalitas utama yang lain pada CKD menurut Smeltzer,
dan Bare (2001) adalah gangguan metabolisme kalsium dan fosfat
tubuh yang memiliki hubungan saling timbal balik, jika salah satunya
meningkat yang lain menurun. Penurunan LFG menyebabkan
peningkatan kadar fosfat serum dan sebaliknya penurunan kadar serum
menyebabkan penurunan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid.
Namun pada CKD, tubuh tidak berespon secara normal terhadap
peningkatan sekresi parathormon, dan akibatnya kalsium di tulang
menurun, menyebabkan perubahan pada tulang dan menyebabkan
penyakit tulang, selain itu metabolik aktif vitamin D (1,25
dihidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat didalam ginjal
menurun, seiring dengan berkembangnya CKD terjadi penyakit tulang
uremik dan sering disebut Osteodistrofienal. Osteodistrofienal terjadi
dari perubahan komplek kalsium, fosfat dan keseimbangan
parathormon. Laju penurunan fungsi ginjal juga berkaitan dengan
gangguan yang mendasari ekresi protein dan urin, dan adanya
hipertensi. Pasien yang mengekresikan secara signifikan sejumlah
protein atau mengalami peningkatan tekanan darah cenderung akan
cepat memburuk dari pada mereka yang tidak mengalimi kondisi ini.
Gambar 1. Patogenesis Chronic kidney disease dan
komplikasinya terhadap sistem kardiovaskuler.
Pada PGK stage 1 dan 2 terdapat hubungan yang erat antara
merokok, obesitas, hipertensi, dislipidemia, homocysteinemia,
inflamasi kronik dengan faktor resiko, nefropati primer, dan diabetes
mellitus. Hal ini dapat menyebabkan suatu inflamasi kronik pada
sistem kardiovaskuler. PGK yang memburuk dimana telah terjadi
kerusakan glumerulus atau jaringan interstisial disebut dengan PGK
stage 3-4. Pada keadaan ini akan terjadi anemia, toksin uremik,
abnormalitas dari kalsium dan fosfat, dan overload natrium dan air. Hal
ini juga dapat menyebabkan inflamasi kronik pada sistem
kardiovaskuler. Pada PGK stage 5 terjadi sklerosis dan fibrosis pada
glomerulus. Hal ini dapat meningkatkan terjadinya inflamasi kronik
pada sistem kardiovaskuler dan stimulasi monosit. Hal ini akan
meningkatkan resistensi insulin, metabolisme otot, dan adipositokin.
Selain itu, stimulasi monosit juga akan menyebabkan reaktan fase akut,
menurunkan appetite, remodeling tulang, dan disfungsi endotel
(Dikutip dari Nitta, 2011)

C. MANIFESTASI KLINIS
1. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit
ginjal yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum
memberikan gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus
(Markum, 1998). Berdasarkan sumber terjadinya kelainan,
glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis
primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan
glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat
penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus
sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis (Prodjosudjadi,
2006).
2. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam
Soegondo (2005) diabetes melitus merupakan suatu kelompok
penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator,
karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan
menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi.
Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien
tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi
lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang
menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan,
sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar
glukosa darahnya (Waspadji, 1996).
3. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg dan
tekanan darah diastolik 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat
antihipertensi (Mansjoer, 2001). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi
dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi
primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi
sekunder atau disebut juga hipertensi renal (Sidabutar, 1998).
4. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi
cairan atau material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista.
Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua
ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan
genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit.
Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering
didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit
ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena
sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun
(Suhardjono, 1998).

D. FAKTOR RESIKO
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan
diabetes melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari
50 tahun, dan individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus,
hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga (National Kidney
Foundation, 2009).
E. KLASIFIKASI

Pada tahun 2002, KDOQI menerbitkan klasifikasi tahapan


penyakit gagal ginjal kornis sebagai berikut:
1. Tahap 1 : kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat
(>90ml/min/1,73m2)
2. Tahap 2 : penurunan ringan pada GFR (60-89 ml/min/1,73m2)
3. Tahap 3 : penurunan moderat pada GFR (30-59 ml/min/1,73m2)
4. Tahap 4 : penurunan berat pada GFR (15-29 ml/min/1,73m2)
5. Tahap 5 : gagal ginjal (GFR <15 ml/min/1,73m2 atau dialisis)
Pada tahap 1 dan tahap 2 penyakit gagal ginjal kronis, GFR saja
tidak dapat dilakukan diagnosis. Tanda lain dari kerusakan ginjal, termasuk
kelainan dalam komposisi darah atau urin atau kelainan pada studi
pencitraan, juga harus ada dalam menetapkan diagnosis tahap 1 dan tahap
2 penyakit ginjal kronis.
Pasien dengan penyakit ginjal kronis stadium 1-3 umunya
asimptomatik, manifestasi klinis biasanya muncul dalam tahap 4-5.
Diagnosis dini, pengobatan dan penyebab atau tindakan pencegahan
sekunder sangat penting pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Hal ini
dapat menunda atau menghentikan kemungkinan atau kemajuan gagal
ginjal.
F. GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom
azotemia sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ
seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa,
kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular (Sukandar, 2006).
1. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94
CU), sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang
terjadi sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau
bersihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit.
2. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari
sebagian pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal.
Patogenesis mual dam muntah masih belum jelas, diduga mempunyai
hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk
amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan
mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini
akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan
antibiotika.
3. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada
sebagian kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang
setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang
adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan
gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina
(retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang
sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau
deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye
syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin
juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit
hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
4. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum
jelas dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder.
Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi.
Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan
kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost.
5. Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering
dijumpai pada gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal.
Kelainan selaput serosa merupakan salah satu indikasi mutlak untuk
segera dilakukan dialisis.
6. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi,
insomnia, dan depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik.
Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan
gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan
mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau
tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya
(personalitas).
7. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal
kronik sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi,
aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat
menyebabkan kegagalan faal jantung. Pendekatan diagnosis mencapai
sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan yang terarah dan
kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan
pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus (Sukandar, 2006).

G. PENATALAKSANAAN
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya
faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat
akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal
dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
a) Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk
mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama
dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
b) Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus
adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan
positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
c) Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat
supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
d) Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual
tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal
disease).
2. Terapi simtomatik
a) Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan
serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati
asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali
(sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH 7,35
atau serum bikarbonat 20 mEq/L.
b) Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan
salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi
pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat
menyebabkan kematian mendadak.
c) Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang
sering dijumpai pada CKD. Keluhan gastrointestinal ini merupakan
keluhan utama (chief complaint) dari CKD. Keluhan gastrointestinal
yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus.
Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat
dan obat-obatan simtomatik.
d) Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis
keluhan kulit.
e) Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi
hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi
subtotal paratiroidektomi.
f) Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
g) Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan
kardiovaskular yang diderita.
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik
stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut
dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal
(Suwitra, 2006).

a) Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah
gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh
terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan
memperburuk faal ginjal (LFG).
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan
indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu
perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan
kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi
refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120
mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan
8 mL/menit/1,73m , mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat
(Sukandar, 2006).
b) Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory
Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di
Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua
(umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit
sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami
perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV
shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal)
dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai
co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan
pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri
(mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).

c) Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi
dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh
(100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih
70-80% faal ginjal alamiah
2) Kualitas hidup normal kembali
3) Masa hidup (survival rate) lebih lama
4) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan
dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
5) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi.
BAB III

PEMBAHASAAN JURNAL

A. Skenario Kasus

Ny K, 60 th. Memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus sejak 10 th


yang lalu, serta mengalami gagal ginjal dan saat ini sudah melakukan HD 1
x/minggu, semenjak 4 tahun yang lalu.
Saat pengkajian pada tanggal 19-06-2017 di dapatkan Data Subjektif,
Klien mengeluh bengkak pada kedua kakinya, Klien mengatakan ibu klien
memiliki riwayat penyakit yang sama yaitu diabetes mellitus.
Dari di dapatkan Data objektif : amputatum jari kelingking kaki kanan,
dan ibu jari kaki kiri, arah sejka 4th yang lalu. Didapatkan TD: 140/80 mmHg,
Nadi: 80 x/mnt, Suhu : 36,60C, RR : 18 x/mnt. Dan Telah di berikan
intervensi keperawatan yaitu pengajaran perawatan kaki.
B. Rumusan Masalah

P (Problem) Pasien dengan diagnosa diabetes melitus type 2 dengan


gagal ginjal kronik

I (intervensi) Pasien dengan diagnosa medis diabetes melitus type 2


diberikan pendidikan kesehatan tentang

C (comperasion) Dalam jurnal ini

O (outcome) Dalam penelitian ini setelah diberikan tentang senam


relaksasi otot progresif menunjukkan penurunan gula darah
yang lebih besar. Dari pada pengobatan tanpa teknik
relaksasi otot progresif pada penderita diabetes melitus type
2

C. Metode Atau Strategi Penulusuran Bukti


a. Masuk ke website www.google.co.id
b. Ketikan pada kontak pencarian Google Scholar
c. Kemudian di bagian pencarian Google Scholar ketikan Jurnal Relaksasi
DM
d. Kemudian muncul berbagai macam, pilih Jurnal Pengaruh Teknik
Relaksasi Otot Progresif Terhadap Kadar Gula Darah Pasien DM Tipe 2
e. Kemudian Download PDF
f. Telaah Kritis

Telaah Pembahasan Kritik dan Saran


Validity
Desain Penelitian : Penelitian quasi eksperimen Menurut pembaca
dapat diartikan sebagai tetap apa yang
Quasy Eksperiment
penelitian yang mendekati sudah ada di
menggunakan rancangan sampel
eksperimen atau dalam jurnal.
berpasangan.
eksperimen semu.
Sampel : Menurut Sugiyono (2010) Saran dari penulis
Pengambilan sampel dilakukan adalah teknik untuk tetap apa yang
dengan teknik Purposive sampling. menentukan sampel ada di jurnal.
Jumlah sampel penelitian dengan beberapa
adalah 12 responden, dengan 2 hari tanpa pertimbangan tertentu yang
pemberian teknik relaksasi otot progresif bertujuan agar data yang
dan 2 hari pengobatan dengan teknik relaksasi diperoleh nantinya bisa
otot progresif. lebih representatif
Subyek
dalam penelitian ini yaitu pasien DM
yang memenuhi kriteria inklusi.

Kriteria Inklusi dan Eksklusi : kriteria inklusi adalah Saran dari penulis
Kriteria Inklusi :
kriteria atau ciri-ciri yang perlu ditambah
1. Pasien rawat inap dengan lama rawat
harus dipenuhi setiap kriteria eksklusi
inap selama 5 hari dengan diagnosa
masing-masing anggota karena dalam
Diabetes Mellitus tipe 2
populasi yang akan jurnal tidak ada
2. Pasien yang memiliki kadar gula darah
dijadikan smapel kriteria eksklusi,
lebih dari nilai normal atau lebih dari 145
hanya kriteria
Kriteria eksklusi adalah
mg/dL
inklusi
kriteria atau ciri-ciri
3. obat pengontrol gula darah pasien dengan
anggota populasi yang tidak
obat oral/OHO
bisa dijadikan sebagai
4. pasien memiliki pola makan terkontrol,
sampel penelitian
pasien dewasa dengan usia 18 tahun
(notoadmodjo, 2010)
sampai usia 60 tahun
5. Kondisi pasien memungkinkan dilakukan
teknik relaksasi otot progresif.

Lokasi dan Waktu Penelitian :


Penelitian
ini dilakukan tanggal 24 Mei sampai
28 Juni 2012 di RSUD Panembahan Senopati
Bantul.

Uji Statistik : Uji paired simpel t test Saran dari


Uji statistik yang digunakan adalah adalah merupakan uji beda pembaca tetap
paired sample t test untuk melihat dua sampel berpasangan. seperti yang ada
perbandingan Sampel berpasangan dalam jurnal
kadar gula darah antara pengobatan merupakan subjek yang
yang didampingi dengan teknik relaksasi sama namun mengalami
otot progresif dengan pengobatan yang perlakuan yang berbeda.
tidak didampingi dengan teknik relaksasi
otot progresif. Tingkat kemaknaan
menggunakan
p<0,05 dengan kepercayaan 95%.
2. importance Saran untuk
a. Karakteristik subjek
peneliti
Subyek dalam jurnal berjumlah 12
selanjutnya agar
responden. Dengan periode 24 mei
mengunakan
sampai 28 juni 2012 di RSUD
subjek yang lebih
Panembahan Senopati Bantul.
banyak.
Pengambilan subyek ini menggunakan
kriteria inklusi eksklusi

b. . Nilai hasil Tetap


Berdasarkan analisis pengelolaan data
dipertahankan
yang dilakukan pada penelitian ini
didapatkan hasil bahwa 91,7% pada
kategori 40-59 tahun. Jenis kelamin
perempuan 83,3 % dosis obat sehari 1
kali (1-0-0), pada saat pagi hari ada 8
responden (66,7%)
Berdasarkan kadar gula darah pagi
sebelum makan pada hari pertama tanpa
tekhnik relaksasi otot progresif nilai
terendah 180 mg/dl dan nilai kadar gula
darah tertinggi 339 mg/dl dengan nilai
rata-rata 263,7. Pada hari pertama pagi
sebelum makan tanpa tekhnik relaksasi
otot progresif didapatkan kadar gula
terendah 149 mg/dl dan nilai kadar gula
tertinggi 318 mg/dl dengan nilai rat-rata
240,83.
Pada hari pertama sebelum makan
dengan tekhnik relaksasi otot progresif
didapatkan nilai terendah 126 mg/dl dan
nilai tertinggi 298 mg/dl dengan nilai
rata-rata 227,85.pada hari kedua sebelum
makan dengan tekhnik relaksasi otot
progresif nilai terendah 103 mg/dl dan
nilai tertinggi 273 mg/dl dengan nilai
rata-rata 192,17.
Jadi dari 12 responden terdapat 3
responden yang mengalami kenaikan
kadar gula darah, responden dengan
nomer responden 3 mengalami kenaikan
gula darah sebesar 10 mg/dl. Sebelum
diberikan tekhnik relaksasi otot progresif
dan 2 responden yaitu responden nomer
9 dan 12 mengalami kenaikan kadar gula
darah setelah di berikan tekhnik relaksasi
otot progresif dengan penyakit lain
hipertensi. Adapun yang mengalami
kenaikan adalah perempuan.
Dari hasil analisa bivariabel
menunjukkan rata-rata kadar gula darah
sebelum diberikan teknik relaksasi otot
progresif pada pre intervensi adalah 22,8
mg/dL, dengam nilai p= 0,003.Rata-rata
KGD setelah diberikan teknik relaksasi
otot progresif adalah 35,6 mg/dL dengan
nilai p=0 ,000.
3. applicability Latihan tekhnik relaksasi Saran dari
Dapat diaplikasikan sebagai terapi pada
otot progresif terbukti pembaca,
pasien diabetes mellitus untuk mengurangi
efektif dalam mengurangi sebaiknya latihan
kadar gula darah
kadar gula darah akan tetapi terapi relaksasi
dalam kenyataannya pasien otot progresif ini
belum mengerti dan digunakan dalam
memahami tentang tekhnik salah satu terapi
relaksasi otot progresif yang dapat
tersebut. dilakukan di
rumah untuk
mengurangi kadar
gula darah pada
pasien diabetes
mellitus

BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan jurnal penelitian tentang pengaruh teknik relaksasi otot


progresif terhadap kadar gula darah pada pasien dm tipe 2 diperoleh hasil sebagai
berikut: rata-rata kadar gula darah sebelum diberikan teknik relaksasi otot
progresif pada pre intervensi adalah 22,8 mg/dL, dengam nilai p= 0,003. Rata-rata
kadar gula darah setelah diberikan teknik relaksasi otot progresif adalah 35,6
mg/dL dengan nilai p =0,000.
Pada jurnal Ada penurunan kadar gula darah pada pengobatan hari pertama
rawat inap yang tidak didampingi teknik relaksasi otot progresif. Penurunan kadar
gula darah saat pengobatan didampingi teknik relaksasi otot progresif
menunjukkan penurunan yang lebih besar. Terjadi penurunan kadar gula darah
yang lebih besar pada pasien DM tipe 2 setelah diberikan teknik relaksasi otot
progresif dibandingkan pengobatan yang tidak didampingi teknik relaksasi otot
progresif.
Teknik relaksasi otot progresif dapat menurunkan kadar gula darah
dengan lebih efektif pada pasien DM tipe 2 jika dibandingkan pengobatan tanpa
teknik relaksasi otot progresif.
BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan analisa jurnal dapat disimpulkan Teknik relaksasi otot
progresif dapat menurunkan kadar gula darah dengan lebih efektif pada
pasien DM tipe 2 jika dibandingkan pengobatan tanpa teknik relaksasi otot
progresif.

B. SARAN
Petugas kesehatan agar memberikan penyuluhan mengenai relaksasi otot
progresif, sehingga klien dapat mengetahui terapi pendamping yang dapat
dilakukan bersamaan pengobatan pada biasanya.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai