Disusun Oleh :
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan penulisan makalah ini untuk mengetahui dan mempelajari
tentang kasus yang terjadi pada Ny. K dengan diagnosa DM Tipe II
beserta intervensi asuhan keperawatan sesuai dengan Evidance Based
Nursing.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui konsep dasar diabetes melitus
b. Untuk mengetahui penanganan kasus DM Tipe II sesuai dengan
Evidance Based Nursing.
c. untuk mengetahi validitas jurnal yang didapat.
d. Untuk mengetahui apakah jurnal dapat diaplikasikan di rumah sakit.
C. Manfaat
1. Bagi Penulis
Hasil makalah ini diharapkan dapat mengembangkan asuhan
keperawatan pada kasus DM Tipe II sesuai dengan Evidance Based
Nursing
2. Bagi Perawat
Sebagai bahan masukan dan acuan asuhan keperawatan pada kasus
DM Tipe II sesuai dengan Evidance Based Nursing yang telah didapat.
BAB II
TINJAUAN TEORI
B. Etiologi
Diabetes Mellitus terjadi karena organ pankreas tidak mampu
memproduksi hormon insulin sesuai dengan kebutuhan tubuh. Di bawah
ini beberapa etiologi/sebab sehingga organ pankreas tidak mampu
memproduksi insulin berdasarkan tipe/klasifikasi penyakit diabetes
mellitus tersebut:
a. Diabetes Mellitus Tipe I
1. Faktor Genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe 1 itu sendiri; tetapi
mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetic ke arah
terjadinya diabetes tipe 1. Kecenderungan genetic ini ditemukan
pada individu yang memiliki tipe antigen HLA (human leococite
antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang
bertanggung jawab atas antigen transplantasi dan proses imun
lainnya.
2. Faktor Imunologi
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal
dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara
bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah
sebagai jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau
Langerhans dan insulin endogen
3. Faktor Lingkungan
Penyelidikan juga sedang dilakukan terhadap kemungkinan faktor-
faktor esternal yang dapat memicu dekstruksi sel beta. Sebagai
contoh hasil penyelidikan yang menyatakan bahwa virus atau
toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan
dekstruksi (hilangnya) sel beta. Virus penyebab DM adalah
Rubela, Mumps, dan Human coxsackievirus B4. Melalui
mekanisme infeksi sitolitik dalam sel beta, virus ini
mengakibatkan destruksi atau perusakan sel. Bisa juga, virus ini
menyerang melalui reaksi otoimunitas yang menyebabkan
hilangnya otoimun (aktivasi limfosit T reaktif terhadap antigen sel
pulau kecil) dalam sel beta.
C. Patofisiologi
1. Diabetes mellitus Tipe I
Diabetes tipe I disebabkan oleh beberapa faktor antara lain
a. Faktor genetik
Diabetes mellitus cenderung diturunkan atau diawariskan,
bukan ditularkan. Anggota keluarga penderita DM (diabetisi)
memiliki kemungkinan lebih besar terserang penyakit ini
dibandingkan dengan anggota keluarga yang tidak menderita DM.
Para ahli kesehatan juga menyebutkan DM merupakan penyakit
yang terpaut kromosom seks atau kelamin. Biasanya kaum laki-
laki menjadi penderita sesungguhnya, sedangkan kaum perempuan
sebagai pihak yang membawa gen untuk diwariskan kepada anak-
anaknya
b. Faktor Imunologi.
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal
dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara
bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah
sebagai jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau
Langerhans dan insulin endogen),
c. Faktor lingkungan
Virus penyebab DM adalah rubela, mumps, dan human
coxsackievirus B4. Melalui mekanisme infeks sitolitik dalam sel
beta, virus ini mengakibatkan destruksi atau perusakan sel. Bisa
juga, virus ini menyerang melalui reaksi otoimunitas yang
menyebabkan hilangnya otoimun dalam sel beta. Diabetes mellitus
akibat bakteri masih belum bisa dideteksi. Namun, para ahli
kesehatan menduga bakteri cukup berperan menyebabkan DM.
Dimana faktor ini berdampak pada kerusakan sel beta pada
pangkreas. Ini terjadi ketika sel beta pangkreas melakukan suatu
aktivitas biokimia dalam hal ini proses peningkatan kadar insulin
untuk menurunkan kadar glukosa dalam tubuh, oleh sistem imun
membaca/menterjemahkannya sebagai virus (benda asing)
sehingga terjadilah proses autoimunitas (pengrusakan) terhadap sel
beta pangkreas tersebut yang mengakibatkan terjadinya defesiensi
insulin (ketidakmampuan menghasilkan insulin).
Akibat hal tersebut maka pengkompensasian terhadap
peningkatan glukosa dalam sirkulasi darah terganggu hasilnnya
terjadilah hiperglikemia (glukosa dalam darah tinggi). Jika
konsentrasi gukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat
menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya
glukosa tersebut muncul dalam urine yang disebut dengan
glukosuria. Ketika glukosa diekskresikan ke dalam urine, ekskresi
ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan.
Keadaan ini dinamakan dengan diuresis osmotic. Sebagai akibat
dari kehilangan cairan yang berlebihan, pasien akan mengalami
peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia)
Defesiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein
lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat
mengalami peningkatan selera makan (polifaglia) akibat
menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan
dan kelemahan. Dalam keadaan normal insulin mengendalikan
glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan
glukoneogenesis (pemecahan glukosa baru dari asamasam amino
serta substansi lain), namun pada penderita defiisiensi insulin
proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut turut
menimbulkan hiperglikemia. Di samping itu akan terjadi
pemecahan lemak yang mengakibatkan produksi badan keton yang
merupakan produk samping pemecahan lemak. Badan keton
merupakan asam yang menggaanggu keseimbangan asambasa
tubuh apabila jumlahnya berlebihan.
Ketoasidosis diabetik yang diakibatkannya dapat
menyebabkan tanda-tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual,
muntah, hiperventilasi, napas berbau aseton dan bila tidak
ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma bahkan
kematian.
PATHWAY
Diabetes Mellitus
Tipe 1 tipe 2
defesiensi insulin resistensi insulin
Hiperglikemia
glykosuria
diuresis osmotik
Dehidrasi P3(poliuria,polidipsi,polfagia)
Hemokonsentrasi ketoasidosis
Ateroskerosis ph menurun
makrovaskuler mikrovaskuker
E. Pemeriksaan Penunjang/Diagnostik
Tujuan pemeriksaan laboratorium pada DM adalah : menetapkan
diagnosa, mengikuti perjalanan penyakit, kontrol terapi dan deteksi dini
adanya kelainan akibat DM.
1. Pemeriksaan kadar gula darah
Cara yang dianjurkan adalah cara enzimatik, dan yang banyak
digunakan dalam laboratorium adalah cara glukosa oksidase. Cara lain
adalah cara o-toluidine. Kedua cara ini dianggap memberi hasil yang
mendekati kadar glukosa sesungguhnya
F. Komplikasi
1. Akut :
ketoasidosis diabetik
Sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar non ketotis
Hipoglikemia
2. Kronik:
Umumnya terjadi pada 10-15 tahun setelah awitan.
a. Makrovaskuler (penyakit pembuluh darah besar):
Pembuluh coroner
Vaskilar perifer
Vaskular otak
b. Mikrovaskuler (penyakit pembuluh darah kecil) :
Mengenai mata (Retinopati)
Mengenai ginjal (Nefropati)
Penyakit Neuropati (merupakan saraf sensorik-motorik) yang
anatomi serta menunjang masalah seperti impotensi dan ulkus
pada kaki.
G. Penatalaksanaan
Diabetes Melitus jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan
berbagai penyakit dan diperlukan kerja sama semua pihak di tingkat
pelayanan kesehatan.
Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan berbagai usaha dan akan
diuraikan sebagai berikut :
a. Perencanaan makan.
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi seimbang
dalam hal karbohidrat, protein dan lemak yang sesuai dengan
kecukupan gizi yang baik yaitu :
1.) Karbohidrat sebanyak 60 70 %.
2.) Protein sebanyak 10 15 %.
3.) Lemak sebanyak 20 25 %.
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur,
stress akut, dan kegiatan jasmani.
b. Latihan jasmani
Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3 4 kali seminggu) selama
kurang lebih 30 menit yang disesuaikan dengan kemampuan dan
kondisi penyakit penyerta.
Sebagai contoh olahraga ringan adalah berjalan kaki biasa selama 30
menit, olahraga sedang adalah berjalan cepat selama 20 menit dan
olahraga berat misalnya jogging.
c. Pengelolaan farmakologis
Sarana pengelolaan farmakologis Diabetes berupa :
1.) Obat hipoglikemia oral (OHO).
a.) Golongan sulfonilurea.
Obat golongan ini sudah dipakai sejak tahun 1957 dan tidak
dipakai pada tipe Diabetes Melitus tipe I. Mekanisme kerja
obat golongan sulfoniluera :
Menstimulasi pelepasan insulin yang tersimpan.
Menurunkan ambang sekresi insulin.
Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan
glukosa.
b.) Golongan biguanid
Saat ini dari golongan ini yang masih dipakai adalah
Metformin. Metformin ini menurunkan kadar glukosa darah
pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular, distal
dari reseptor insulin serta efeknya juga berefek menurunkan
kadar glukosa hati. Metformin mencapai kadar puncak dalam
darah setelah 2 jam.
c.) Alga glukosidase inhibitor acarbose.
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat enzim alfa
glukodosidase di dalam saluran cerna sehingga dapat
menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan
hiperglikemia post prandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan
tidak menyebabkan hiperglikemia dan juga tidak berpengaruh
pada kadar insulin.
Perjalanan
Preparat Awitan Puncak Durasi Indikasi
Waktu
Kerja singkat Reguler - 1 jam 2-3 jam 4-6 jam Biasanya diberikan
20-30 menit sebelum
makan ; dapat diguna-
kan sendiri atau di-
campur dengan insu-
lin kerja lama.
Kerja sedang NPH (ne 3-4 jam 4-12 jam 16-20 Biasanya diberikan
utral Pro- jam setelah makan.
tamin Ha-
gedorn) ;
Lente (L)
Kerja lama Ultratelente 6-8 jam 12-16 jam 20-30 Digunakan terutama
(UL) jam untuk mengontrol
kadar glukosa puasa.
H. Pencegahan
Adapun yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit Diabetes mellitus
adalah sebagai berikut :
Makan seimbang artinya yang dimakan dan yang dikeluarkan
seimbang disesuiakan dengan aktifitas fisik dan kondisi tubuh, dengan
menghindari makanan yang mengandung tinggi lemak karena bisa
menyebabkan penyusutan konsumsi energi. Mengkonsusmsi makanan
dengan kandungan karbohidrat yang berserat tinggi dan bukan olahan.
Meningkatkan kegiatan olah raga yang berpengaruh pada sensitifitas
insulin dan menjaga berat badan agar tetap ideal.
II. PROSES PENUAAN
A. Pengertian Lansia
Masa tua (lansia) dimulai setelah pensiun, biasanya antara 65-75
tahun (Potter & Perry, 2005).Pengertian lansia (Lanjut Usia) adalah fase
menurunnya kemampuan akal dan fisik, yang di mulai dengan adanya
beberapa perubahan dalam hidup. Sebagai mana di ketahui, ketika manusia
mencapai usia dewasa, ia mempunyai kemampuan reproduksi dan
melahirkan anak. Ketika kondisi hidup berubah, seseorang akan
kehilangan tugas dan fungsi ini, dan memasuki selanjutnya, yaitu usia
lanjut, kemudian mati. Bagi manusia yang normal, siapa orangnya, tentu
telah siap menerima keadaan baru dalam setiap fase hidupnya dan
mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi lingkunganya (Darmojo, 2004
dalam Psychologymania, 2013).
B. Proses Menua
Proses menua merupakan suatu proses yang wajar, bersifat alami dan
pasti akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai umur panjang
(Nugroho, 2000).
Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang
dapat diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka
mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu (Stanley and
Patricia, 2006).
Proses Menua
Peningkatan radikal
bebas
Kerusakan sel-seDNA
(sel-sel tubuh)
2. Sistem Persarafan
Tanda:
a) Penurunan jumlah neuron dan peningkatan ukuran dan jumlah sel
neuroglial.
b) Penurunan syaraf dan serabut syaraf.
c) Atrofi otak dan peningkatan ruang mati dalam kranim
d) Penebalan leptomeninges di medulla spinalis.
Gejala:
a) Peningkatan risiko masalah neurologis; cedera serebrovaskuler,
parkinsonisme
b) Konduksi serabut saraf melintasi sinaps makin lambat
c) Penurunan ingatan jangka-pendek derajad sedang
d) Gangguan pola gaya berjalan; kaki dilebarkan, langkah pendek, dan
menekukke depan
e) Peningkatan risiko hemoragi sebelum muncul gejala
3. Sistem Pendengaran.
Tanda :
a) Hilangnya neuron auditorius
b) Kehilangan pendengaran dari frekuensi tinggi ke frekuensi rendah
c) Peningkatan serumen
d) Angiosklerosis telinga
Gejala
a) Penurunan ketajaman pendengaran dan isolasi social (khususnya,
penurunan kemampuan untuk mendengar konsonan)
b) Sulit mendengar, khususnya bila ada suara latar belakang yang
mengganggu, atau bila percakapan cepat.
c) Impaksi serumen dapat menyebabkan kehilangan pendengaran
4. Sistem Penglihatan
Tanda :
a) Penurunan fungsi sel batang dan sel kerucut
b) Penumpukan pigmen.
c) Penurunan kecepatan gerakan mata.
d) Atrofi otot silier.
e) Peningkatan ukuran lensa dan penguningan lensa
f) Penurunan sekresi air mata.
Gejala :
a) Penurunan ketajaman penglihatan,lapang penglihatan, dan adaptasi
terhadap terang/gelap
b) Peningkatan kepekaan terhadap cahaya yang menyilaukan
c) Peningkatan insiden glaucoma
d) Gangguan persepsi kedalaman dengan peningkatan kejadian jatuh
e) Kurang dapat membedakan warna biru, hijau,dan violet
f) Peningkatan kekeringandan iritasi mata.
5. Sistem Kardiovaskuler
Tanda :
a) Atrofi serat otot yang melapisi endokardium
b) Aterosklerosis pembuluh darah
c) Peningkatan tekanan darah sistolik.
d) Penurunan komplian ventrikel kiri.
e) Penurunan jumlah sel pacemaker
f) Penurunan kepekaan terhadap baroreseptor.
Gejala:
a) Peningkatan tekanan darah
b) Peningkatan penekanan pada kontraksi atrium dengan S4 terdengar
c) Peningkatan aritmia
d) Peningkatan resiko hipotensi pada perubahan posisi
e) Menuver valsava dapat menyebabkan penurunan tekanan darah
f) Penurunan toleransi
6. Sistem Respirasi
Tanda:
a) Penurunan elastisitas jaringan paru.
b) Kalsifikasi dinding dada.
c) Atrofi silia.
d) Penurunan kekuatan otot pernafasan.
e) Penurunan tekanan parsial oksigen arteri (PaO2).
Gejala:
a) Penurunan efisiensi pertukaran ventilasi
b) Peningkatan kerentanan terhadap infeksi dan atelektasis
c) Peningkatan resiko aspirasi
d) Penurunan respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapnia
e) Peningkatan kepekaan terhadap narkotik
7. Sistem Gastrointestinal
Tanda:
a) Penurunan ukuran hati.
b) Penurunan tonus otot pada usus.
c) Pengosongan esophagus makin lambat
d) Penurunan sekresi asam lambung.
e) Atrofi lapisan mukosa
Gejala:
a) Perubahan asupan akibat penurunan nafsu makan
b) Ketidaknyamanan setelah makan karena jalannya makanan
melambat
c) Penurunan penyerapan kalsium dan besi
d) Peningkatan resiko konstipasi, spasme esophagus, dan penyakit
divertikuler
8. Sistem Reproduksi
Tanda:
a) Atrofi dan fibrosis dinding serviks dan uterus
b) Penurunan elastisitas vagina dan lubrikasi
c) Penurunan hormone dan oosit.
d) Involusi jaringan kelenjar mamae.
e) Poliferasi jaringan stroma dan glandular
Gejala :
a) kekeringan vagina dan rasa terbakar dan nyeri saat koitus
b) penurunan volume cairan semina dan kekuatan ejakulasi
c) penurunan elevasi testis
d) hipertrofi prostat
e) jaringan ikat payudara digantikan dengan jaringan lemak, sehingga
pemeriksaan payudara lebih mudah dilakukan
9. Sistem Perkemihan
Tanda:
a) Penurunan masa ginjal
b) Tidak ada glomerulus
c) Penurunan jumlah nefron yang berfungsi
d) Perubahan dinding pembuluh darah kecil
e) Penurunan tonus otot kandung kemih
Gejala:
a) Penurunan GFR
b) Penurunan kemampuan penghematan natrium
c) Peningkatan BUN
d) Penurunan aliran darah ginjal
e) Penurunan kapasitas kandung kemih dan peningkatan urin residual
f) Peningkatan urgensi
10. Sistem Endokrin
Tanda:
a) Penurunan testosterone, hormone pertumbuhan, insulin, androgen,
aldosteron, hormone tiroid
b) Penurunan termoregulasi
c) Penurunan respons demam
d) Peningkatan nodularitas dan fibrosis pada tiroid
e) Penurunan laju metabolic basal
Gejala:
a) Penurunan kemampuan untuk menoleransi stressor seperti
pembedahan
b) Penurunan berkeringat dan menggigil dan pengaturan suhu
c) Penurunan respons insulin, toleransi glukosa
d) Penurunan kepekaan tubulus ginjal terhadap hormone antidiuretik
e) Penambahan berat badan
f) Peningkatan insiden penyakit tiroid
B. Patofisiologi
Menurut Smeltzer, dan Bare (2001) proses terjadinya CKD
adalah akibat dari penurunan fungsi renal, produk akhir metabolisme
protein yang normalnya diekresikan ke dalam urin tertimbun dalam
darah sehingga terjadi uremia yang mempengarui sistem tubuh.
Semakin banyak timbunan produk sampah, maka setiap gejala semakin
meningkat, sehingga menyebabkan gangguan kliren renal. Banyak
masalah pada ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah glomerulus
yang berfungsi, sehingga menyebabkan penurunan klirens subtsansi
darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dapat dideteksi
dengan mendapatkan urin 24 jam untuk pemeriksaaan kliren kreatinin.
Menurunya filtrasi glomelurus atau akibat tidak berfungsinya
glomeluri klirens kreatinin. Sehingga kadar kreatinin serum akan
meningkat selain itu, kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya
meningkat. Kreatinin serum merupakan indikator paling sensitif dari
fungsi renal karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh.
BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal tahap akhir, tetapi
juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme dan medikasi
seperti steroid.
C. MANIFESTASI KLINIS
1. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit
ginjal yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum
memberikan gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus
(Markum, 1998). Berdasarkan sumber terjadinya kelainan,
glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis
primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan
glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat
penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus
sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis (Prodjosudjadi,
2006).
2. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam
Soegondo (2005) diabetes melitus merupakan suatu kelompok
penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator,
karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan
menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi.
Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien
tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi
lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang
menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan,
sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar
glukosa darahnya (Waspadji, 1996).
3. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg dan
tekanan darah diastolik 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat
antihipertensi (Mansjoer, 2001). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi
dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi
primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi
sekunder atau disebut juga hipertensi renal (Sidabutar, 1998).
4. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi
cairan atau material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista.
Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua
ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan
genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit.
Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering
didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit
ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena
sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun
(Suhardjono, 1998).
D. FAKTOR RESIKO
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan
diabetes melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari
50 tahun, dan individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus,
hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga (National Kidney
Foundation, 2009).
E. KLASIFIKASI
G. PENATALAKSANAAN
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya
faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat
akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal
dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
a) Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk
mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama
dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
b) Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus
adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan
positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
c) Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat
supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
d) Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual
tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal
disease).
2. Terapi simtomatik
a) Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan
serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati
asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali
(sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH 7,35
atau serum bikarbonat 20 mEq/L.
b) Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan
salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi
pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat
menyebabkan kematian mendadak.
c) Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang
sering dijumpai pada CKD. Keluhan gastrointestinal ini merupakan
keluhan utama (chief complaint) dari CKD. Keluhan gastrointestinal
yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus.
Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat
dan obat-obatan simtomatik.
d) Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis
keluhan kulit.
e) Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi
hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi
subtotal paratiroidektomi.
f) Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
g) Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan
kardiovaskular yang diderita.
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik
stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut
dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal
(Suwitra, 2006).
a) Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah
gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh
terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan
memperburuk faal ginjal (LFG).
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan
indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu
perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan
kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi
refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120
mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan
8 mL/menit/1,73m , mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat
(Sukandar, 2006).
b) Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory
Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di
Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua
(umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit
sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami
perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV
shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal)
dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai
co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan
pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri
(mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).
c) Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi
dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh
(100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih
70-80% faal ginjal alamiah
2) Kualitas hidup normal kembali
3) Masa hidup (survival rate) lebih lama
4) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan
dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
5) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi.
BAB III
PEMBAHASAAN JURNAL
A. Skenario Kasus
Kriteria Inklusi dan Eksklusi : kriteria inklusi adalah Saran dari penulis
Kriteria Inklusi :
kriteria atau ciri-ciri yang perlu ditambah
1. Pasien rawat inap dengan lama rawat
harus dipenuhi setiap kriteria eksklusi
inap selama 5 hari dengan diagnosa
masing-masing anggota karena dalam
Diabetes Mellitus tipe 2
populasi yang akan jurnal tidak ada
2. Pasien yang memiliki kadar gula darah
dijadikan smapel kriteria eksklusi,
lebih dari nilai normal atau lebih dari 145
hanya kriteria
Kriteria eksklusi adalah
mg/dL
inklusi
kriteria atau ciri-ciri
3. obat pengontrol gula darah pasien dengan
anggota populasi yang tidak
obat oral/OHO
bisa dijadikan sebagai
4. pasien memiliki pola makan terkontrol,
sampel penelitian
pasien dewasa dengan usia 18 tahun
(notoadmodjo, 2010)
sampai usia 60 tahun
5. Kondisi pasien memungkinkan dilakukan
teknik relaksasi otot progresif.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan analisa jurnal dapat disimpulkan Teknik relaksasi otot
progresif dapat menurunkan kadar gula darah dengan lebih efektif pada
pasien DM tipe 2 jika dibandingkan pengobatan tanpa teknik relaksasi otot
progresif.
B. SARAN
Petugas kesehatan agar memberikan penyuluhan mengenai relaksasi otot
progresif, sehingga klien dapat mengetahui terapi pendamping yang dapat
dilakukan bersamaan pengobatan pada biasanya.
DAFTAR PUSTAKA