Anda di halaman 1dari 24

UNIVERSITAS DIPONEGORO

PEMODELAN 3D DAN DESKRIPSI RESERVOIR LOW RESISTIVITY


CONTRAST BATUPASIR X FORMASI CISUBUH CEKUNGAN
JAWA BARAT UTARA PADA LAPANGAN TEGAR

RINGKASAN TUGAS AKHIR

ADI DANU SAPUTRA


21100112130049

FAKULTAS TEKNIK
DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI

SEMARANG
MEI 2017

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i


DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 1
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 4
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 5
BAB VI KESIMPULAN ..................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 20

ii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berdasarkan Pertamina EP (2000), Cekungan Jawa Barat Utara merupakan
salah satu cekungan belakang busur yang dikenal sebagai hydrocarbon province
penting penghasil minyak dan gas bumi di Pulau Jawa dan secara khusus dikelola
oleh Pertamina EP Asset 3. Hingga kini penemuan-penemuan potensi migas di
cekungan ini masih menargetkan reservoir utama batuan silisiklastik Formasi
Talang Akar dan batuan karbonat dari Formasi Parigi dan Baturaja.
Akan tetapi, penemuan minyak pada sumur JRR-2 dan JRR-3 Lapangan
Jatibarang dan sumur KTG-1 berdasarkan Pertamina EP (2000) membuktikan
bahwa Formasi Cisubuh yang selama ini dianggap sebagai batuan penudung
regional dapat berfungsi baik sebagai reservoir dan perangkap hidrokarbon.
Minimnya sumur pemboran yang menargetkan formasi ini menjadi kendala untuk
eksplorasi sehingga perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai potensi
hidrokarbon pada formasi ini.
Penelitian ini membahas lebih mendalam mengenai pemodelan 3D reservoir
Formasi Cisubuh pada Cekungan Jawa Barat Utara meliputi lingkungan
pengendapan, litofasies, dan petrofisika. Penelitian dilakukan pada batuan sedimen
silisiklastik Formasi Cisubuh pada lapangan TEGAR.
Data yang digunakan untuk menghasilkan model 3D merupakan integrasi
wireline log, mud log, dan peta struktur kedalaman untuk menggambarkan
distribusi dan stratigrafi reservoir secara vertikal maupun horisontal.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


Geologi Regional
Menurut Suyono dkk. (2005), Cekungan Jawa Barat Utara (Gambar 1)
dipengaruhi oleh sistem block faulting yang berarah Utara-Selatan. Patahan yang
berarah Utara-Selatan berumur Pra-Tersier yang membagi cekungan menjadi
graben atau beberapa sub-basin yaitu Jatibarang, Pasir Putih, Ciputat, Rangkas
Bitung, dan beberapa tinggian basement seperti Arjawinangun, Cilamaya,
Pamanukan, Kandanghaur-Waled, Rengasdengklok dan Tangerang. Ketiga sub-

1
cekungan tersebut dibatasi tinggian yang merupakan blok naik dari sesar-sesar
utama yaitu: Tinggian Tangerang, Tinggian Rengasdengklok dan Tinggian
Kendanghaur Gantar dengan demikian sub-cekungan tersebut merupakan blok-
blok turun dari sesar utama. Secara tektonik daerah cekungan Jawa Barat Utara
merupakan bagian dari busur belakang dari sistem subduksi di selatan Pulau Jawa.

Gambar 1.1. Lokasi Cekungan Jawa Barat Utara (Patra Nusa Data, 2006).

Stratigrafi Regional
Menurut Bishop (2000), secara umum stratigrafi regional Jawa Barat Utara
dapat dibagi dua yaitu stratigrafi Paleogen dan Neogen. Stratigrafi umum Jawa
Barat Utara berturut-turut dari tua ke muda yaitu batuan dasar yang menurut
Sinclair dkk. (1995), adalah batuan beku andesit dan basalt yang berumur Kapur
Tengah sampai Kapur Atas dan batuan metamorf yang berumur Pra-Tersier. Diatas
batuan dasar diendapkan secara tidak selaras Formasi Jatibarang yang merupakan
endapan early syn-rift. Menurut Budiyani dkk. (1991), formasi ini terdiri dari tufa,
breksi, aglomerat, dan konglomerat alas (basal). Umur formasi ini adalah dari Kala
Eosen Akhir sampai Oligosen Awal. Kemudian terendapkan Formasi Talang Akar
pada fase syn-rift berikutnya secara tidak selaras di atas Formasi Jatibarang.
Litologi formasi ini diawali oleh perselingan sedimen batupasir dengan serpih
nonmarine dan diakhiri oleh perselingan antara batugamping, serpih, dan batupasir
dalam fasies marine. Adapun terendapkannya formasi ini terjadi dari Kala Oligosen
sampai dengan Miosen Awal. Formasi Baturaja terendapkan secara selaras di atas
Formasi Talang Akar. Pengendapan Formasi Baturaja yang terdiri dari
batugamping, baik yang berupa paparan maupun yang berkembang sebagai reef
buildup manandai fase post-rift yang secara regional menutupi seluruh sedimen

2
klastik Formasi Talang Akar di Cekungan Jawa Barat Utara. Formasi ini
terendapkan pada Kala Miosen Awal-Miosen Tengah berdasarkan asosiasi
foraminifera Spriroclypens sp. Selanjutnya terendapkan Formasi Cibulakan Atas
terdiri dari perselingan antara serpih dengan batupasir dan batugamping.
Batugamping ini dikenali sebagai Mid Main Carbonate (MMC). Formasi ini
terendapkan pada Kala Miosen Awal-Miosen Akhir. Formasi ini terbagi menjadi 3
Anggota, yaitu Massive, Main, dan Pre-Parigi. Diatasnya terendapkan Formasi
Parigi secara selaras. Litologi penyusunnya sebagian besar adalah batugamping
klastik maupun batugamping terumbu. Kemudian diendapkan Formasi Cisubuh
secara selaras di atas Formasi Parigi (Arpandi dan Patmosukismo, 1975). Litologi
penyusunnya berupa batulempung berselingan dengan batupasir dan serpih
gampingan. Menurut Martodjojo (2003), yang termasuk kedalam Formasi Cisubuh
adalah Formasi Subang, Formasi Kaliwungu, Formasi Cigadung, Formasi
Canyatan, dan formasi lain yang ekivalen atau lebih muda dari formasi tersebut.
Secara umur formasi ini merupakan formasi paling muda yang berumur Miosen
Akhir (>N13) sampai resen, (Gambar 2.2).

Gambar 2.2. Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Suyono dkk., 2005).

3
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah kombinasi dari
metode deskriptif yakni meliputi metode studi kasus dan studi pustaka. Selain itu,
metode analisis meliputi analisis data sumur sebanyak 13 sumur, analisis 4 lintasan
seismik 2D, interpretasi elektrofasies, dan perhitungan petrofisik yang digunakan
sebagai masukan dalam pemodelan 3D reservoir. Tabel 3.1 merangkum data-data
sedangkan Gambar 3.1 menggambarkan langkah kerja yang dilakukan dalam
penelitian ini.
Tabel 3.1 Kelengkapan data yang digunakan dalam penelitian.
Data Primer
No Log GR SP Tahanan Pef DT Neutron Densitas Well Jenis Sumur
Sumur Jenis Header
1 TGR-01 GR SP HLLD, Pef DT TNPH, RHOB, - Vertical
HLLS, RXOZ NPHI HDRA
2 TGR-50 GR SP LLD, LLS, Pef DT NPHI RHOB - Directional
MSFL,
3 TGR-47 GR SP ILD, ILM, Pef DT NPHI RHOB - Vertical
MSFL
4 TGR-43 - SP ILD, ILM - - - - - Directional
5 TGR-42 - SP ILD, ILM, - - - - Vertical
PROX
6 TGR-45 - SP SN, PROX - DT - - - Directional
7 TGR-40 - SP PROX, SN, - - - - - Vertical
ILD
8 TGR-41 GR SP SN, PROX, - DT NPHI RHOB - Vertical
ILD
9 TGR-35 GR SP ILD, PROX, - DT NEUT, - - Vertical
SN, MSFL NPHI
10 TGR-39 - SP MSFL, ILD, - DT - - - Vertical
ILM
11 TGR-44 - SP MSFL, ILD, - - - - Directional
ILM,
12 TGR-38 GR SP ILD, ILM, - DT NPHI RHOB Vertical
PROX
13 TGR-33 GR SP LLS, SN - - NEUT - - Vertical
Data Sekunder
TGR-01 Mud Log (0-800 meter MD)

Line Seismik (Two Way Time)


Inline 2368 Crossline 10553 Lintasan TGR 56-TGR 42, TGR 01-TGR 47-TGR 39

4
Peta Struktur Kedalaman Top Reservoir Fm. Cisubuh

Diagram Alir Penelitian

Gambar 3.1 Diagram alir penelitian.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisis Kualitatif Wireline Log
Interval reservoir X memiliki jenis litologi berupa batupasir perselingan
serpih. Dari log gamma ray litologi reservoir memiliki kisaran nilai GR 60-90 gAPI

5
(Gambar 4A) kemudian dari log spontaneous potential menunjukkan nilai SP
negatif terhadap garis dasar serpih (3 MV) menunjukkan lapisan permeabel yang
diinterpretasi merupakan lapisan batupasir (Gambar 4B).

Gambar 2.1 Log GR (kiri) dan SP (kanan) beserta interpretasi litologi interval
reservoir yaitu batupasir perselingan serpih. Garis hitam putus-putus adalah baseline
serpih (GR90 API, SP3 MV).

Interval reservoir X Formasi Cisubuh dicirikan dengan nilai log densitas


antara 2,2 g/cc 2,7 g/cc, log neutron menujukan nilai 0,3 v/v 0,4 v/v (Gambar
4.2), log sonik dengan interval waktu tempuh antara 75 us/f 80 us/f pada batupasir
sedangkan pada batulempung antara 90 us/f 100 us/f. Nilai log Pef menunjukkan
nilai kurang lebih 2 barn/electron-8 barn/electron, (Gambar 4.3) sedangkan nilai
log resistivitas antara 1 Ohmm-4 Ohmm. Dari data mud log formasi ini tersusun
atas litologi batupasir karbonatan, batulanau, dan batulempung dengan sifat argilik.

Lapisan batupasir dengan


keterdapatan
hidrokarbon (crossover Porositas
log porositas dan nilai
resistivitas meningkat)

Gambar 4.2 Crossover log neutron dan densitas (540-593 m) dengan separasi kurva
yang sempit menunjukkan adanya porositas.

6
Batupasir serpihan
karbonatan. Log Pef
6 barn/e.

Gambar 4.3 Interval reservoir batupasir Formasi Cisubuh dengan nilai pef tinggi.

Karakterisitik reservoir ini yaitu batupasir serpihan karbonatan dan low


resistivity low contrast (Gambar 4.4) berdasarkan log resistivitas dan gamma ray
dicirikan nilai resisvitas pada zona hidrokarbon yang tidak terlalu tinggi
dibandingkan nilai dari resistivitas zona air dan shale disekitarnya.

Zona
Hidrokarbon
Baseline
serpih

Gambar 4.4 Interval reservoir X Formasi Cisubuh pada sumur TGR-01. Nilai
resistivitas pada zona reservoir tidak begitu tinggi defleksinya dari garis dasar serpih.

Sifat ini dapat terjadi karena beberapa hal seperti interkalasi sand-shale
dengan ketebalan lapisan batupasir yang tidak signifikan, ukuran klastika sedimen
yang halus, terdapat mineral diagenesis seperti pirit dan glaukonit yang bersifat
konduktif, dan adanya komposisi mineral lempung yang cukup signifikan
menyebabkan batupasir bersifat argilik. Dari komposisi mineralogi litologi

7
reservoir sangat heterogen dimana terdapat mineral lempung, karbonat, pirit, dan
glaukonit. Heterogenitas reservoir tersebut akibat pengaruh lingkungan
pengendapan reservoir dan proses diagenesis. Zona air dengan zona hidrokarbon
sulit untuk dibedakan hanya dari wireline log saja. Air formasi yang terdapat pada
reservoir terikat dengan mineral lempung dan butiran sedimen yang halus sehingga
menurunkan nilai resistivitas zona hidrokarbon secara drastis atau menutupi efek
keterdapatan hidrokarbon pada pembacaan log.

Identifikasi Litologi dan Mineral


Crossplot log densitas dengan neutron dimana titik-titik litologi interval yang
dijadikan penelitian berada pada garis sandstone sampai dolomite yang menunjukan
heterogenitas komposisi reservoir (Gambar 4.5A). Diagram selanjutnya yaitu
diagram tersier MID (matrix identification). Hasil crossplot pada Gambar 4.5B
menunjukan komposisi litologi tersebar antara kuarsa, kalsit, dolomit dan illit
dengan litologi tersebar antara titik sandstone dengan limestone. Nilai matriks
batuan sebesar 2.698-2.722 gr/cc antara nilai densitas kuarsa dengan kalsit.
Heterogenitas mineralogi reservoir tidak lepas dari lingkungan pengendapanya.
FERG (2015), merekomendasikan nilai ma 2.71-2.73 g/cc daripada 2.65 g/cc
sebagai nilai ma untuk perhitungan porositas.

541.14-604.5 m MD

Gambar 4.5. (A) Crossplot neutron-densitas sumur TGR-01. Titik sampel tersebar
karena litologi tidak murni tersusun oleh kuarsa melainkan kuarsa, kalsit, dan mineral
lempung (shaly sandstone) dan (B) Plot MID (matrix identification) pada sumur TGR-50.
Titik mineral berada diantara kuarsa, kalsit, dan lempung. Densitas matrik=2,722 gr/cc.

8
Menurut Serra (1989), merupakan hal yang umum pada batupasir dan
batulempung yang terendapkan pada lingkungan shallow marine karena
keterdapatan material karbonatan seperti cangkang moluska atau foraminfera yang
disekresikan oleh organisme dan mineral lempung/serpih yang ikut terendapkan.
Heterogenitas mineralogi reservoir tidak lepas dari lingkungan pengendapanya.
Pada lingkungan shoreface, akan sangat mungkin terbentuk endapan shaly sand,
mineral kalsit, dan mineral lempung.
Perhitungan volume serpih berdasarkan nilai log gamma ray. Hasil perhitungan
menunjukkan nilai volume serpih reservoir termasuk tinggi berikisar 30%-40%
yang merupakan ciri dari shaly sand reservoir. Berdasarkan pendekatan
menggunakan diagram Thomas dan Stieber (1975) menunjukkan serpih pada
reservoir lebih cenderung jenis serpih laminasi atau lapisan serpih diantara
batupasir dengan volume 20%-30% (Gambar 4.6A). Akan tetapi, hasil plot ini
masih harus dibuktikan dengan data batuan inti dan petrografi litologi reservoir
dimana pada penelitian ini data tersebut tidak tersedia. Porositas batuan dihitung
menggunakan log densitas (RHOB) dan neutron (NPHI). Parameter perhitungan
yaitu densitas matriks, densitas serpih, densitas serpih kering, porositas neutron
matrik, porositas neutron shale, porositas neutron serpih kering, densitas fluida,
poritas total serpih, dan volume serpih. Parameter ditentukan menggunakan
diagram segitiga Batman dan Konen (1977). Dalam diagram ini ditentukan jenis
matriks, jenis shale, jenis dry shale, dan jenis fluida, (Gambar 4.6B)

558.8-623.6 m MD

Gambar 4.6. (A) Diagram Thomas dan Stieber (1975) sumur TGR-01. Mayoritas serpih
tersebar pada garis serpih laminasi (20%-30%) dan (B) Segitiga Bateman dan Konen,
(1977) pada reservoir.

9
Diperoleh jenis dry shale daerah telitian berupa illit dengan nilai densitas
sebesar 2700 kg/m3, shale nilai densitasnya 2313,329 kg/m3 sedangkan matrik
batuan dengan densitas sebesar 2722 kg/m3 dari plot MID sedangkan densitas fluida
sebesar 1000 kg/m3 (Gambar 4.6B). Hasil perhitungan porositas reservoir berkisar
0.01 0.24 v/v dan rata-rata 0.15 v/v. Karena efek serpih yang cukup signifikan
dalam batupasir perhitungan saturasi air menggunakan model saturasi Indonesia
dan Simandoux untuk membandingkan nilai hasil perhitungan. Dari hasil
interpretasi resisitivitas air didapat 0,13 Ohmm pada suhu 48 Celcius di sumur
TGR-50 berdasarkan metode Pickett plot pada zona hidrokarbon (Gambar 4.7).
Didapatkan nilai eksponen saturasi (n)=2, faktor sementasi (m)=2 dan faktor
turtoisity (a)= 1. Saturasi reservoir berkisar 34%-74%. Hasil perhitungan
permeabilitas menggunakan formula Wylie-Rose (1950) pada sumur TGR-01 dan
TGR-50 nilai permeabilitas reservoir berkisar 1-117 mD dengan rata-rata 29 mD.

Gambar 4.7. (A) Zona hidrokarbon pada sumur TGR-50. (B) Parameter Picket Plot.

Lingkungan Pengendapan dan Diagenesis


Analisis lingkungan pengendapan pada data-data log su mur menggunakan analisis
elektrofasies. Log yang dipakai yaitu log gamma ray dan SP. Pola dasar tersebut
terdiri dari pola tabung (cylindrical), pola corong (funnel shaped), lonceng (bell
shaped), simetris (symmetrical shaped), ataupun pola bergerigi (serrated). Selain
dari pola log, interpretasi ini juga didukung oleh data litologi yang berasal dari data
mud log. Formasi Cisubuh merupakan formasi batuan dengan litologi berupa
perselingan shale dengan batupasir. Studi fosil foraminifera bentonik oleh Noor dan

10
Turmudzi (2013) Formasi Cisubuh ditemukan fosil Textularia sp, Robulus sp,
Quinquecolina sp, Bolivina sp, Robulus sp, Cibicides sp, dan Lagena sp
menunjukkan lingkungan neritik.
Berdasarkan data mud log interval penelitian terdapat mineral glaukonit dan
karbonatan, serta berdasarkan log gamma ray memperlihatkan pola funnel shape,
hal tersebut dapat diinterpretasikan sebagai endapan shoreface dimana semakin ke
atas batupasir semakin bersih dan semakin menebal sedangkan bagian bawah
didominasi oleh lapisan tipis batupasir dengan perselingan serpih. Selain itu
terdapat juga beberapa pola bergerigi. Interval reservoir bagian bawah dari hasil
analisis pola log gamma ray, SP, dan reistivitas diinterpretasi terendapkan pada
lingkungan lower shoreface-offshore transition karena nilai log gamma ray yang
tidak terlalu jauh antara batupasir dengan serpih membentuk pola bergerigi. Hal ini
disebabkan karena semakin mengecilnya ukuran butir sedimen dan semakin
meningkat juga komposisi lempung pada sedimen yang merupakan karakterisitik
dari lingkungan pengendapan lower shoreface-offshore transition. Pada lingkungan
pengendapan ini geometri batupasir yang mungkin terbentuk yaitu sand ridge, sand
waves, dan sand lobe.
Semakin jauh dari pantai ukuran butir sedimen akan mengecil dan lempung
semakin mendominasi. Secara vertikal semakin ke atas suksesi ini menunjukkan
semakin berkurangnya komposisi lempung (semakin bersih batupasir) dan semakin
menebalnya batupasir yang diinterpretasikan sebagai lingkungan pengendapan
upper shoreface dimana pada log GR suksesi tersebut terlihat membentuk pola
lonceng (funnel shape) yang jelas dengan batas atas yang tegas. Gambar 4.8
menunjukkan suksesi lingkungan pengendapan reservoir secara vertikal. Menurut
FERG (2015), karakteristik low resistivity-low contrast reservoir merupakan salah
satu ciri reservoir silisiklastik yang terendapkan pada lingkungan shoreface sesuai
Gambar 4.9. Pada lingkungan pengendapan ini dapat terbentuk mineral konduktif
yang dalam penelitian ini pirit dan glaukonit, perlapisan batupasir tipis yang
berukuran butir halus (fine grained thinly-laminated sand-shale). Batupasir dengan
ukuran butir halus-sangat halus mempunyai nilai saturasi air irreducible (Swir) yang
tinggi. Semakin kecil ukuran butir, maka semakin besar juga nilai S wir. Hal inilah

11
yang menyebabkan rendahnya nilai resistivitas pada reservoir meskipun terdapat
hidrokarbon di dalam pori-pori. Serpih atau lempung pada batuan sedimen dapat
mengurangi nilai resistivitas reservoir karena sifatnnya yang bersifat konduktif
dengan permukaan pengikat air yang luas (clay bound water).

Gambar 4.8. Analisis elektrofasies. Pola log membentuk funnel shape dan serrated.

Gambar 4.9. (A) Model lingkungan pengendapan shoreface dan potensinya menjadi
reservoir low resistivity-low contrast pada middle shoreface-offshore (FERG, 2015). (B)
Gambaran lingkungan pengendapan dan respon log gamma ray interval penelitian (Slatt,
2006)

Litostratigrafi dan Interpretasi Stratigrafi Sikuen


Analisis Formasi Cisubuh bagian bawah menggunakan satuan yang dibatasi
oleh permukaan genangan (flooding surface) untuk memetakan dan menentukan
satuan stratigrafi genetik secara detail dan batas sikuen seperti flooding surface,

12
maximum flooding surface, dan sequence boundary. Analisis dimulai pada
parasikuen paling bawah dan menggunakan sumur TGR-01 yang memiliki data
mud log juga TGR-50 dan TGR-47 yang terletak tidak jauh dari sumur sebelumnya
dan terdapat log yang mendukung (GR, SP, dan resistivitas).
Urutan pengendapan Formasi Cisubuh bawah dimulai dari pengendapan
suksesi parasikuen laut dangkal (shelf) sampai lepas laut (offshore) tersusun oleh
batupasir dan batulempung karbonatan kemudian terendapkan shale nonkarbonatan
yang diinterpretasikan terendapkan pada lingkungan transisi. Pada fase naik-turun
air laut selanjutnya terendapkan sedimen laut dangkal kembali sampai pengendapan
berhenti. Dari analisis stracking pattern interval reservoir diinterpretasi
terendapkan pada fase HST atau LST karena regresi normal (Gambar 4.10B). Pada
penampang seismik Gambar 4.10A Formasi Cisubuh bagian bawah menunjukkan
konfigurasi internal pararel-subpararel. Menurut Veeken (2004), fasies seismik ini
menggambarkan keadaan pengendapan yang homogen, litologi batupasir, serpih,
atau perselingan batupasir-serpih tanpa ada batuan karbonat.

(A) (B)
Gambar 4.10. (A) Interpretasi fasies sesmik interval penelitian. (B) Ilustrasi penumpukan
parasikuen karena regresi normal (Amjad, 2014)

Pemodelan Reservoir
Pemodelan fasies merupakan penggambaran atau ilustrasi dari fasies yang
berada pada lapangan penelitian. Metode yang digunakan dalam pemodelan fasies
adalah metode Truncated Gaussian Simulation (TGS). Metode ini digunakan untuk
menggambarkan fasies yang memiliki arah orientasi berupa sabuk fasies (fasies
belt). Hasil pemodelan fasies pada Gambar 4.11A terlihat ke arah tenggara fasies
berubah dari upper shoreface menjadi lower shoreface atau dikatakan semakin ke

13
arah laut (seaward) sebaliknya makin ke baratdaya semakin kearah pantai atau
menuju daratan (landward). Oleh karena itu, pasokan sedimen didapat dari arah
relatif barat-baratlaut sedangkan pengendapan diinterpretasi menuju ke arah
tenggara-selatan.
Dalam reservoir silisiklastik, potensi reserovir ditentukan oleh proses
sedimentasi pada lingkungan pengendapan. Oleh karena itu, dapat juga dilakukan
pemodelan litofasies untuk melihat penyebaran litologi reservoir. Batupasir dibagi
menjadi batupasir upper shorface, batupasir lower shoreface dan shale sebagai
litofasies background. Pemodelan litofasies ini dilakukan dengan menggunakan
metode Sequential Indicator Simulation (SIS). Dari hasil pemodelan litofasies pada
Gambar 4.11B terlihat bahwa batupasir shoreface tersebar memanjang dari utara
selatan dan diselingi oleh perlapisan shale sehingga kemungkinan lapisan reservoir
ini tidak saling terhubung secara vertikal. Menurut Slatt (2006) tubuh batupasir
yang terendapkan pada lingkungan shelf bervariasi pelamparan lateralnya dan
tertutup oleh shale sehingga shale ini bersifat menutup (enclosing shale). Keadaan
ini membuat batupasir tersebut sangat berpotensi sebagai jebakan minyak.
Model volume serpih dibuat dengan metode Gaussian Random Function
Simulation (GRFS). Hasil pemodelan pada Gambar 4.12 menunjukkan tidak adanya
variasi nilai volume serpih pada batupasir di lapangan TEGAR yang cukup signikan
diinterpretasi karena karakteristik shaly sand dari reservoir meskipun bagian tengah
lapangan menunjukkan batupasir yang relatif lebih bersih dimana log GR lebih
rendah atau volume serpih lebih kecil daripada yang lain.
Model porositas dikondisikan terhadap fasies agar menghasilkan model yang
konsisten terhadap konsep geologi lapangan. Hasil pemodelan porositas pada
Gambar 4.13 batupasir tersebut menerus hampir diseluruh lapangan TEGAR ciri
dari batupasir shoreface yang menunjukkan kemenerusan lateral yang luas. Akan
tetapi, nilai porositasnya bervariasi pada arah horisontal.
Hasil pemodelan permeabilitas pada Gambar 4.14 menunjukkan paling baik
didapat pada bagian tengah dan utara lapangan misalnya disekitar sumur TGR-47,
TGR 42, TGR-43, dan TGR-01 pada kisaran nilai 79-120 mD.

14
(A)
(B)

Gambar 4.11. (A) Hasil pemodelan fasies lingkungan pengendapan metode TGS. (B)
Pemodelan litofasies reservoir. Reservoir diperkirakan membentuk sand ridge/sand lobe
sesuai konsep batupasir shoreface-offshore oleh Cibaj dkk. (2015).

(A) (B)

Gambar 4.12. (A) Hasil pemodelan volume serpih (A) 3D. (B) Sayatan model volume
serpih (barat-timur).

(B)
(A)
Gambar 4.13. Model porositas (A) 3D dan (B) sayatan model porositas.

15
(B)
. (A)
Gambar 4.14 Model permeabilitas (A) 3D dan (B) Sayatan model permeabilitas.

Interpretasi Sedimentologi dan Petrofisik Reservoir dari Analisis Wireline Log


Hasil perhitungan petrofisik dan pemodelan diperkirakan terdapat hubungan
antara fasies batuan dengan potensi reservoir. Porositas pada batupasir lower
shoreface berkisar 0,01-0,22 v/v dengan rata-rata porositas 0,15 v/v dan standar
deviasi 0.03 sedangkan nilai permeabilitasnya berkisar 1 mD sampai 83 mD dengan
nilai rata-rata 29 mD dan standar deviasi 19.41 mD. Porositas pada batupasir upper
shoreface berkisar 0.01-0.24 v/v rata-rata 0.16 v/v dan standar deviasi 0.04
sedangkan nilai permeabilitasnya berkisar 2 mD sampai maksimal 117 mD dengan
nilai rata-rata 29 mD dan standar deviasi 20 mD. Selain itu fasies upper shoreface
nilai saturasi airnya cenderung lebih kecil dari fasies lower shoreface. Pada fasies
lower shoreface rata-rata saturasi air 74% dengan nilai Sw terendah 43% sedangkan
pada fasies upper shoreface saturasi air rata-rata 72% dengan nilai Sw terendah
34%, Gambar 17. Nilai resistivitas log LLD atau ILD pada batupasir fasies lower
shoreface juga lebih kecil (1,072-2,37 Ohmm) dibandingkan 1,55-4,9 Ohmm pada
fasies upper shoreface. Batupasir yang terendapkan pada lingkungan upper
shoreface, nilai porositas dan permeabilitasnya (16% dan 29 mD) relatif lebih besar
dibanding fasies lower shoreface (15% dan 29 mD). Batupasir yang terendapkan
pada lingkungan ini porositas dan permeabilitasnya relatif lebih besar daripada
fasies lower shoreface. Geometri batupasir secara lateral menerus dengan sifat
petrofisik yang berubah. Sifat petrofisik yang relatif paling baik di lapangan
terdapat pada batupasir A, E, dan F pada bagian tengah lapangan seperti pada sumur
TGR-42, TGR-43, TGR-47.

16
Batupasir yang terendapkan pada lingkungan lower shoreface-offshore nilai
porositasnya rata-rata 15% dengan volume serpih berkisar 0,40-0,57 v/v. Pada log
GR dan SP lingkungan pengendapan ini menunjukkan pola log serrated yang
cenderung lebih shaly sedangkan fasies upper shoreface menunjukkan kurva
gamma ray yang membentuk pola funnel shape dan diinterpretasikan lebih bersih
dari komposisi lempung dibandingan fasies lower shoreface dan batupasir yang
lebih tebal. Batupasir yang terendapkan di lingkungan upper shoreface
menunjukann nilai log gamma ray yang lebih kecil berkisar 67-101 gAPI
diinterpterasikan nilai porositas dan permeabilitasnya meningkat (0.01-0.24 v/v)
dan volume serpih yang lebih rendah (0,34-0,57 v/v) dibanding fasies lower
shoreface dengan nilai gamma ray 76-115 gAPI dengan nilai volume serpih 0,40-
0,57 v/v, porositas 0,01-0,22 v/v dan permeabilitas 1-83 mD, Gambar 4.15

Gambar 4.15 Hasil perhitungan petrofisik dan korelasinya dengan interval reservoir yang
direkomendasikan.

Lingkungan shoreface berpotensi membentuk batupasir dengan komposisi


lempung yang tinggi dengan ukuran butir pasir halus-sangat halus. Keadaan ini
berpotensi menghasilkan reservoir batupasir low resistivity. Reservoir interval X
sangat heterogen dari komposisi mineralogi dimana terdapat kalsit, kuarsa, dan
mineral lempung. Heterogenitas ini dihasilkan dari proses-proses di lingkungan
pengendapan dan diagenesis.

17
Menurut Reineck dan Singh (1980; dalam Suzuki dkk., 2009) batupasir
shoreface walaupun ketebalanya tipis miemiliki pelamparan yang luas secara lateral
dengan ukuran lebar 3,3-43 km pada skala parasikuen sehingga perlu dibuktikan
pelamparan reservoir batupasir misalnya melalui metode atribut seismik untuk lebih
meyakinkan potensi cadangan migas di reservoir ini dan OWC dari reservoir belum
diketahui. Reservoir memiliki saturasi air yang tinggi yaitu berkisar 50%-78%
sehingga keekonomisan reservoir ini masih perlu dibuktikan lebih lanjut. Menurut
FERG (2015), reservoir low resistivity low contrast di Lapangan B Cekungan
Jawa Barat Utara dapat memproduksi minyak sebesar 1212 BOPD tanpa air pada
nilai SW>70%. Menurut Pratama dkk. (2016), minyak di lapangan S di Cekungan
Kutai dapat diproduksi dari reservoir dengan nilai resistivitas sekitar 6,55 m dan
5,88 m sedangkan gas diproduksi dari reservoir dengan resistitas sekitar 7,6 m.
Resistivitas reservoir penelitian berkisar 1 m-5 m sehingga tidak menutup
prospek reservoir ini untuk dieksplorasi lebih lanjut karena kisaran nilai resistivitas
yang mirip dengan contoh reservoir yang sebelumnya dijelaskan. Sesar mayor di
lapangan ini merupakan jalur yang menyebabkan minyak bermigrasi dimana
minyak yang sebelumnya telah berada di suatu perangkap kemudian kembali
bermigrasi mengisi interval reservoir Formasi Cisubuh (Pertamina EP, 2000).
Sesar-sesar besar yang memotong batupasir memberikan jalur migrasi secara
efektif dengan kecenderungan migrasi bersamaan dengan fase tektonik aktif atau
reaktifasi struktur (Pertamina EP, 2000), Gambar 4.16

Gambar 4.16 Ilustrasi konfigurasi jebakan minyak lapangan TEGAR. Batupasir terisi
oleh minyak dan tertahan migrasinya oleh lapisan shale disamping batupasir.

18
BAB IV KESIMPULAN
Interval X reservoir Formasi Cisubuh tersusun atas litologi perselingan
batupasir shaly sand karbonatan dan serpih karbonatan dan terendapkan pada
lingkungan laut dangkal. Tersusun atas parasikuen laut dangkal yang menunjukan
coarsening upward. Karakterisitik reservoir X yaitu low resistivity low contrast
karena beberapa hal seperti interkalasi sand-shale dengan ketebalan lapisan
batupasir yang tidak signifikan (thinly laminated sand), kehadiran mineral
diagenesis seperti pirit dan glaukonit yang bersifat konduktif, dan adanya komposisi
mineral lempung/shale yang cukup signifikan menyebabkan batupasir bersifat
argilik.
Hasil analisa elektrofasies, fasies reservoir dimulai dari lower
shoreface/offshore sampai upper shoreface. Fasies upper shoreface pada umumnya
dicirikan dengan pola lonceng pada log GR dan SP menunjukan pengkasaran
ukuran butir sedimen semakin ke atas, fasies lower shoreface dicirikan dengan pola
bergerigi pada log GR dan SP menunjukan adanya percampuran ukuran butir yang
sudah sangat halus (fine sand-very fine sand-mud). Geometrinya berupa sand ridge
atau sand bar yang secara vertikal tertutup oleh serpih laut dangkal pada bagian
atas dan bawah.
Formasi Cisubuh memiliki prospek sebagai reservoir hidrokarbon selain
sebagai batuan penudung di Cekungan Jawa Barat Utara ditunjukan dari
meningkatnya konsentrasi gas C1-C5 mencapai 1000 ppm dan adanya oil show pada
kedalaman 556 m, 608 m, dan 653 m. Hasil pemodelan 3D menunjukan porositas
dan permeabilitas paling bagus terdapat pada batupasir fasies upper shoreface.
Porositas pada batupasir lower shoreface rata-rata 0.15. Permeabilitasnya
berkisar 1 mD sampai 83 mD rata-rata 29 mD dan standar deviasi 19.41 mD
sedangkan saturasi air fasies ini rata-rata 74% dengan nilai Sw terendah 43%.
Porositas pada batupasir upper shoreface berkisar 0.01-0.28 rata-rata 0.16 dan
standar deviasi 0.04 sedangkan nilai permeabilitasnya berkisar 2 mD-117 mD rata-
rata 29 mD dan standar deviasi 20 mD. Saturasi air fasies ini rata-rata 70% dengan
nilai Sw terendah 34%. Fasies upper shoreface memiliki porositas dan permeabilitas
yang lebih bagus.

19
Arah eksplorasi Formasi Cisubuh dapat diarahkan menuju ke utara
berdasarkan lingkungan pengendapanya. Kearah utara batupasir diperkirakan akan
menebal dan semakin clean sedangkan kearah tenggara batupasir semakin halus
ukuran butirnya. Bagian atas reservoir yang terendapkan pada lingkungan upper
shoreface direkomendasikan untuk eksplorasi lebih lanjut karena batupasir yang
tebal, porositas-permeablitas yang lebih bagus, dan saturasi air yang lebih kecil.

REFERENSI

Abdurrokhim. 2013. Hubungan Formasi Jatiluhur dan Formasi Cibulakan di Jawa


Barat. Seminar Nasional FTG Universitas Padjadjaran, Bandung.
Archie, G. E. 1942. The Electrical Resistivity Log as an Aid in Determining Some
Reservoir Characteristics. SPE-942054-G. Trans., AIME 146: 5462.
Amjad, M. 2014. Imaging Reservoir Geology of the Troll West Field in the North
Sea by 3D Seismic Interpretation. Tesis. Norwegia: NTNU.
Arpandi, D., dan Patmosukismo, S. 1975. The Cibulakan Formation as One of the
Most Prospective Stratigraphic Units in the Nort-West Java Basinal Area,
Proceeding lndonesia Petroleum. Association 4th Ann. Conv. hal 181-209.
Asquith, George B., Krygowski. 2006. Basic Well Log Analysis for Geologists, AAPG
Method in Exploration Series. The American Association of Petroleum
Geologists. Tulsa, Oklahoma.
Bateman, R.M., dan Konen, C.E. 1977. The Log Analyst and the Programmable
Pocket Calculator. Part II - Crossplot Porosity and Water Saturation. The
Log Analyst, Nov-Dec 1977.
Bishop, M. G. 2000. Petroleum Systems of the Northwest Java Province, Java, and
Southwest Sumatra, Indonesia. U.S. Geological Survey Report.
Budiyani, S., Priambodo, D. Haksana, B.W. Sugianto, P. 1991. Konsep Eksplorasi
Untuk Formasi Parigi di Cekungan Jawa Barat Utara. Makalah IAGI. Vol
20th, Indonesia. hal: 45-67.
Cibaj, I., Ashari, U., Dal, J.A., Mazingue, M. 2015. Sedimentology and Stratigraphic
Stacking Pattern of Sisi-Nubi Field Producing Interval, Lower Kutei Basin,
East Kalimantan, Indonesia. IPA Proceedings, 39th Annual Convention,
Jakarta.
Etnyre, L. M. dan Mullarkey, J. C. 1996. Low contrast, low resistivity reservoirs -
causes, pitfalls, environment of deposition. AAPG.
Formation Evaluation Research Group. 2015. Low Resistivity Low Contrast Pay.
Forum E&P SKKMIGAS, Jakarta.
Hakim, M. R., dan Gultom, L. P. 2013. Improving performance in a mature field:
integrated analysis for identification and optimization of low resistivity
hydrocarbon-bearing sand reservoir in Semberah Field, Mahakam Delta.
IPA Proceedings, 37th Annual Convention, Jakarta.

20
Hamilton, W. 1979. Tectonics of the Indonesian Region. USGS Professional Paper,
1078.
Harsono, Adi. 1997. Evaluasi Formasi dan Aplikasi Log. Schlumberger Oilfield
Services: Jakarta.
Martodjojo, S. 2003. Evolusi Cekungan Bogor Jawa Barat. ITB Press: Bandung.
Noor, Djauhari dan Riza Turmudzi. 2013. Geologi Daerah Banngalamulya dan
Sekitarnya Kecamatan Kaluat Kabupaten Subang Jawa Barat. Jurusan
Teknik Geologi Universitas Pakuan, Bandung.
Pertamina EP. 2000. Potensi Formasi Cisubuh Sebagai Batuan Reservoir di
Cekungan Jawa Barat Utara dan Cekungan Jawa Tengah Utara.
Proceeding IAGI 55th Annual Convex.
Pertamina, BPPKA. 1996. Petroleum Geology of Indonesian Basins; Principles,
Methods and Application, Volume III, West Java Sea Basins.
Pratama, I. P., Didit, P. K., Andry, H., Rizky, T. A. 2016. Integrated Analysis of the
Low Resistivity Hydrocarbon Reservoir in The S Field. Proceedings IPA
40th Annual Convention, Jakarta.
Reineck, H.E., and Singh, I.B., 1975. Depositional Sedimentary Environments-with
Reference to Terrigenous Clastics: Springer-Verlag, 439 pp.
Rider, Malcolm. 2002. The Geological Interpretation of Well Log. Scotland:
Whittless Publishing.
Selley, R.C. 1985. Ancient Sedimentary Environments and Their Subsurface
Diagnostics, 3rd ed. Chapman & Hall: London.
Serra, O. 1989. Sedimentary Environment from Wireline Log. Serralog Publishing:
Mry Corbon.
Serra, O., dan Serra, L. 2004. Well Logging Data Acquisition and Applications.
Serralog Publishing: Mry Corbon.
Shepstone, Keith dkk. 2009. Low Resisitivity Low Contrast Pay in Complex Miocene
Reservoirs of the Malaysia Thailand Joint Development Area (MTJDA).
Proceedings IPA 33rd Annual Convention, Jakarta.
Slatt, R. M. 2006. Stratigraphic Reservoir Characterization for Petroleum Geologist,
Geophysicist, and Engineers. Elsevier: Oklahoma.
Suyono, Prasetya, I., dan Khozin, S. 2005. Exploration in West Java: Play Concept
in the Past, Present, and Future, Effort to Maintain Reserves Growth.
Proceeding lndonesia Petroleum Association 33rd Annual Conv. hal 267-
281.
Suzuki, I., Zushi, T., Takano, S. 2009. Reservoir Architechture of the Abadi Field.
Proceedings IPA 33rd Annual Convention, Jakarta.
Thomas, E.C., dan Stieber. 1975. The Distribution of Shale in Sandstones and Its
Effect upon Porosity. SPWLA 16th Annual Logging Symposium
Transactions.
Veeken, P.P. 2004. Seismic Stratigraphy, Basin Analysis, and Reservoir
Characterization. Handbook of Geophysical Exploration Vol 37. Elsevier:
Le Ban St Martin, Perancis.

21
22

Anda mungkin juga menyukai