Anda di halaman 1dari 14

PENDAHULUAN

LAPORAN KASUS

SEORANG PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE-2 DENGAN


KOMPLIKASI CHRONIC KIDNEY DISEASE
Kadek Ayu Shinta Dewi Saraswati
SMF Ilmu Penyakit Dalam
FKIK Universitas Warmadewa / RSUD Sanjiwani Gianyar

Pendahuluan
Indonesia berada pada urutan ke tujuh di dunia dengan jumlah pasien diabetes mellitus
(DM) sebesar 7,6 juta. Diabetes Mellitus merupakan sekelompok penyakit metabolik
menahun yang disandang seumur hidup. Prevalensi DM diperkirakan akan meningkat
dengan cepat di seluruh dunia. Wolrd Helath Organization (WHO) memperkirakan bahwa
jumlah orang dewasa dengan DM akan meningkat dua kali lipat di seluruh dunia yaitu dari
177 juta pada tahun 2000 menjadi 370 juta pada tahun 2030. Sementara itu, WHO
memprediksikan kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun
2000 menjadi 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan ini menunnjukkan adanya peningkatan
jumlah penyandang DM sebanyak dua sampai tiga kali lipat pada tahun 2030 di
Indonesia.1,2,3
Gula darah yang tidak terkontrol dalam jangka waktu yang lama pada pasien DM
dapat menimbukan komplikasi baik mikrovaskular maupun makrovaskular. Nefropati
diabetik merupakan salah satu komplikasi mikrovaskular yang terjadi pada 20% - 40% dari
seluruh penderita DM tipe 1 dan 2. Diagnosis nefropati diabetik ditegakkan apabila kadar
albumin dalam urin >30 mg/24 jam pada 2 dari 3 kali pemeriksaan dalam kurun waktu tiga
sampai enam bulan. Angka kejadian nefropati diabetik pada DM tipe 1 dan 2 sebanding,
tetapi insiden pada DM tipe 2 sering lebih besar dibandingkan DM tipe 1. Hal ini
disebabkan karena jumlah penyandang DM tipe 2 lebih banyak dibandingkan DM tipe
1.Selain itu, nefropati diabetik merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi diantara
semua komplikasi DM. Komplikasi tersebut merupakan penyebab utama dalam
perkembangan penyakit ginjal kronis atau chronic kidney disease (CKD) dan penyebab
utama terjadinya penyakit ginjal stadium akhir atau end stage renal disease (ESRD).3,4,5
Orang dengan CKD memiliki angka morbiditas, mortalitas, rawat inap dan
penggunaan pelayanan kesehatan lebih tinggi dibandingkan dengan orang lainnya.

1
Prevalensi CKD stage 2 5 terus meningkat sejak tahun 1988 yang disebabkan karena DM
sebesar 40 % dan hipertensi sebesar 25%. Prevalensi masing-masing stage CKD menurut
National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) pada tahun 2003-2006
adalah stage 1 sebesar 4,1%, satge 2 sebesar 3,2%, stage 3 sebesar 6,5% serta stage 4 dan 5
sebesar 0,6%. Berdasarkan usianya, prevalensi CKD tertinggi terjadi pada usia 60 tahun
(39,4%) dan terendah pada usia 20-30 tahun (8,5%). Penderita CKD sebanyak 22,1%
memiliki tingkat pendidikan menengah dan sebanyak 15,7 % memiliki tingkat pendidikan
tinggi. Prevalensi CKD pada penderita diabetes (40,2%) lebih tinggi dibandingkan dengan
nondiabetes (15,4%). Perjalanan penyakit CKD menjadi ESRD pada pasien ras Afrika
Amerika (3,7 kali) lebih sering terjadi dibandingkan dengan penduduk asli Amerika (1,9
kali) dan Asia (1,3 kali).6
Survey yang dilakukan oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia pada tahun 2009
menunjukkan bahwa prevalensi penyakit ginjal kronis di Indonesia mencapai 12,5% yaitu
sebanyak 18 juta orang dewasa di Indonesia menderita penyakit ginjal kronis. Yayasan
peduli ginjal memperkirakan penderita penyakit ginjal kronis di Indonesia akan meningkat
yaitu dari 40.000 penderita pada tahun 2008 menjadi 70.000 pada tahun 2010. Menurut
WHO, penyakit ginjal kronis dan saluran kemih telah menyebabkan kematian sebesar
850.000 orang tiap tahunnya. Berdasarkan penellitian yang dilakukan oleh Maryam et al
(2013), angka mortalitas pasien DM tanpa disertai penyakit ginjal sebesar 11,5% dan
pasien DM disertai penyakit ginjal sebesar 31,1%. Hal ini menunjukkan bahwa angka
mortalitas pasien DM semakin meningkat dengan adanya komplikasi pada ginjal. 5,7
Komplikasi pada pasien DM umumnya dapat dicegah dengan diagnosis cepat,
kepatuhan terhadap pengobatan, keteraturan diet dan latihan jasmani. Berikut akan
dilaporkan salah satu kasus DM tipe 2 dengan komplikasi CKD yang ada di RSUD
Sanjiwani Gianyar. Kasus ini dipilih oleh karena sering terjadi sehingga penting untuk
mengetahui definisi, etiologi, manifestasi klinis, diagnosis, serta penatalaksanaan dari
kasus ini.

2
Kasus
Seorang pasien perempuan dengan inisial DAPM, usia 52 tahun, asal Kedewatan-Ubud,
perawakan sedang dengan berat badan 50 kg dan tinggi 160 cm datang ke Poli Interna
RSUD Sanjiwani Gianyar pada tanggal 2 Mei 2016 pukul 07.54 WITA diantar oleh
suaminya dengan keluhan lemas. Pasien merasa lemas sejak dua hari yang lalu dan
sekarang semakin memberat. Keluhan lain adalah mual, muntah, dan sesak. Mual
dirasakan pasien sudah sejak tujuh hari yang lalu. Paisen akan merasa mual saat melihat
makanan. Selain itu, pasien juga mengeluh muntah sudah sejak tujuh hari yang lalu setiap
diberi makanan. Pasien muntah sebanyak dua kali yang berisi makanan yang dimakannya
dan ludah sekitar setengah gelas sejak tadi pagi sebelum masuk rumah sakit. Muntah yang
berwarna merah atau hitam disangkal pasien. Kebiasan makan dan minum pasien
dikatakan mulai menurun sejak pasien merasa mual dan muntah sehingga pasien merasa
lemas dan tidak bertenaga. Sesak dirasakan pasien sejak 4 jam sebelum datang ke rumah
sakit. Sesak yang dirasakan pasien akan bertambah berat saat pasien beraktivitas. Pasien
mengatakan buang air besar dan buang air kecilnya masih dalam batas normal. Tidak ada
warna kehitaman atau kemerahan pada kotoran pasien. Warna urin pasien kuning seperti
biasanya. Keluhan lain seperti demam, nyeri perut, nnyeri kepala dan nyeri persendian
disangkal oleh pasien.
Pasien memiliki riwayat DM tipe 2 sejak 15 tahun yang lalu. Pasien mengatakan
bahwa dulu sering merasa haus, sering buang air kecil saat malam hari, sering merasa lapar
sehingga pasien makan banyak yaitu 4 sampai 5 kali sehari, tetapi berat badan pasien tidak
bertambah. Selama sakit diabetes, pasien merasakan beberapa perubahan dalam dirinya
yaitu berat badan yang semakin menurun yaitu dari 63 kg menjadi 55 kg. Pasien sempat
melakukan pemeriksaan glukosa darah dan hasilnya glukosa darah sewaktu pasien
mencapai 329 mg/dL. Saat pasien didiagnosis menderita DM tipe 2, pasien diberikan 2
jenis obat anti diabetes oleh dokter yang memeriksa yaitu metformin dan glibenclamide.
Pasien mengaku hanya meminum obat tersebut saat dia merasa kondisi kesehatannya tidak
baik. Selain itu, pasien juga tidak pernah memeriksakan kadar glukosa darahnya. Pasien
sempat dirawat inap selama empat hari mulai dari tanggal 26 sampai dengan 29 April 2016
di RSU Negara karena pasien merasa badannya lemas. Saat dirawat inap di RSU Negara,
pasien didiagnosis dengan DM tipe 2, CKD stage 5 dan hipertensi stage 2. Obat di rumah
yang diberikan dari RSU Negara yang diingat pasien adalah captopril dan asam folat.
Pasien diminta untuk kontrol kembali dan merencanakan hemodialisis pada tanggal 2 Mei
2016 di RSU Negara.

3
Pasien mengatakan bahwa ibu kandungnya memiliki kadar glukosa darah yang tinggi
sebelum meninggal. Adik kandung pasien juga menderita DM. Anak dan suami pasien
tidak ada yang menderita DM, penyakit jantung, hipertensi, asma maupun alergi. Pasien
hanya tinggal bersama suaminya. Pasien dan suaminya sudah tidak bekerja. Seharihari,
pasien hanya memasak saja. Kegiatan rumah tangga lainnya seperti menyapu, mencuci
pakaian dan lain-lain dikerjakan oleh suami pasien. Riwayat mengkonsumsi rokok dan
minuman beralkohol disangkal oleh pasien.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik terhadap pasien. Keadaan umum sakit
sedang dengan kesadaran compos mentis (GCS = E4V5M6). Pada tanda vital didapatkan
tekanan darah 180/100 mmHg, nadi 80 kali/menit, nafas 28 x/menit, suhu aksila 360C.
Kepala dalam keadaan normocephali dengan wajah tampak pucat, mata anemis, tidak
terdapat ikterus dengan reflek pupil positif isokor. Pada pemeriksaan leher tidak terdapat
pembesaran kelenjar getah bening, kelenjar tiroid tidak teraba dan JVP PR +2 cm H2O.
Pemeriksaan dada untuk paru-paru didapatkan bentuk dada normal, simetris kiri kanan
baik saat statis maupun dinamis serta tidak ada jejas maupun kelainan pada kulit. Saat
dipalpasi, gerakan dada simetris dan vocal fremitus sama pada kedua lapang dada kiri-
kanan, tidak terdapat benjolan dan nyeri tekan pada dada. Pada perkusi didapatkan bunyi
sonor. Suara nafas didapatkan suara vesikuler pada kedua lapang paru tanpa disertai
dengan suara nafas tambahan. Pemeriksaan fisik jantung didapatkan iktus kordis tidak
terlihat, tidak terdapat jejas dan tidak ada kelainan pada kulit. Palpasi iktus kordis tidak
teraba. Perkusi didapatkan batas atas pada sternal line ICS 2 sinistra, batas kanan pada
parasternal line ICS 4 dextra dan batas kiri pada midclavicula line ICS 5 sinistra. Pada
auskultasi didapatkan suara jantung S1 S2 tunggal regular tanpa disertai dengan murmur.
Pada pemeriksaan abdomen tidak tampak distensi, tidak terlihat bekas luka operasi ataupun
benjolan. Auskultasi didapatkan bising usus normal. Palpasi tidak ada nyeri tekan pada
seluruh region abdomen, hepar dan lien teraba normal. Pada perkusi didapatkan bunyi
timpani. Pemeriksaan ekstrimitas didapatkan akral hangat dan tidak terdapat edema.
Pemeriksaan penunjang laboratorium yang dilakukan pada tanggal 2 Mei 2016
adalah pemeriksaan darah lengkap (DL) ditemukan WBC 6,4 103/L (N), Lymph% 22,5%
(N), Gran% 65,1% (N), RBC 2,95 106/L (L), HGB 8,2 g/Dl (L), HCT 25% (L), MCV84,7
fL (N), MCH 27,8 pg (N) dan PLT 257 103/L (N). Pemeriksaan HBsAg didapatkan hasil
negatif. Pemeriksaan elektrolit didapatkan hasil natrium 141 mmol/L (N), kalium 5,7
mmol/L (H), dan klorida 115 mmol/L (H). Pemeriksaan kimia darah didapatkan hasil gula

4
darah sewaktu 109 mg/dL (N), ureum 151 mg/dL (H) dan kreatinin 12,3 mg/dL (H). Laju
filtrasi glomerulus (LFG) pasien adalah 4,2 ml/min/1,73 m2.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, pasien didiagnosis
menderita DM Tipe-2 dengan komplikasi CKD stage 5, gastropati uremikum, hipertensi,
dan anemia sedang. Pasien kemudian diberikan terapi NaCl 8 tetes per menit, CaCO 3 3x1
tablet, asam folat 2x2 tablet, ondancentron 3x1 ampul, ranitidine 2x1 ampul dan captopril
2x50 mg.
Pada hari ke 2 MRS (3 Mei 2016), pasien mengeluh batuk, sudah tidak merasa mual
lagi, tidak muntah, masih merasa sesak, namun masih merasa lemas, makan dan minum
pasien sedikit. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 160/100 mmHg. Hasil
pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada hari ke 2 MRS yaitu RBC 2,77 106/L (L),
HGB 7,6 g/dL (L), HCT 22,4% (L), MCV 80,8 fL (L), GDA 149 mg/dL (N), ureum 106
mg/dL (H), dan kreatinin 10,7 mg/dL (H). Terapi yang sebelumnya lanjut dan terapi
tambahan yang diberikan adalah O2 2 liter per menit dengan nasal kanul dan sirup
ambroxol 3xCI.
Pada hari ke 3 MRS (4 Mei 2016), pasien masih merasa sesak, lemas, sakit kepala
dan nafsu makan menurun. Tekanan darah pasien 200/90 mmHg, RBC 2,8 106/L (L),
HGB 7,6 g/dL (L), HCT 22,3% (L), MCV 79,8 fL (L), GDA 98 mg/dL (N), ureum 60
mg/dL (H), kreatinin 7,3 mg/dL (H). Terapi sebelumnya lanjut.
Pada hari ke 4 MRS (5 Mei 2016), pasien masih merasa sesak, lemas, dan nafsu
makan mulai meningkat. Tekanan darah pasien 130/90 mmHg dan GDA 146. Terapi
sebelumnya lanjut.
Pada hari ke 5 MRS (6 Mei 2016), keluhan sesak mulai berkurang, sudah tidak
lemas, dan kebiasaan makan serta minum meningkat. Tekanan darah pasien 130/80 mmHg
dan GDA 163.Terapi lanjut.
Pada hari ke 6 MRS (7 Mei 2016), pasien sudah tidak merasa sesak, kebiasaan
makan dan minum pasien masih sedikit. Tekanan darah pasien 170/90 mmHg, RBC 3,77
106/L (N), HGB 10,3 g/dL (N), HCT 32% (L), MCV 86 fL (N), natrium 143 mmol/L (N),
kalium 4,7 mmol/L (N), klorida 114 mmol/L (H), ureum 40 mg/dL (N), dan kreatinin 6,2
mg/dL (H). Terapi sebelumnya lanjut.
Pada hari ke 7 MRS (8 Mei 2016), pasien sudah tidak sesak. Tekanan darah pasien
130/80 mmHg dan GDA 214.Terapi lanjut.

5
Pada hari ke 8 MRS (9 Mei 2016), makan dan minum pasien meningkat. Tekanan
darah pasien 190/90 mmHg, RBC 2,8 106/L (L), HGB 7,6 g/dL (L), HCT 22,3% (L),
MCV 79,8 fL (L), GDA 160, ureum 60 mg/dL (H), kreatinin 7,3 mg/dL (H). Terapi lanjut.
Pada hari ke 9 MRS (10 Mei 2016), kondisi pasien sudah mulai membaik. Tekanan
darah pasien 160/80 mmHg, RBC 2,8 106/L (L), HGB 7,6 g/dL (L), HCT 22,3% (L),
MCV 79,8 fL (L), GDA 203, ureum 60 mg/dL (H), kreatinin 7,3 mg/dL (H). Terapi lanjut
dan pasien menjalani hemodialisis.
Pada hari ke 10 MRS (11 Mei 2016), pasien sudah tidak ada keluhan. Tekanan darah
pasien 160/90 mmHg, RBC 3,74 106/L (N), HGB 10,1 g/dL (L), HCT 29,5% (L), MCV
78,8 fL (L), GDA 170, natrium 139 mmol/L (N), kalium 4,8 mmol/L (N), klorida 109
mmol/L (H). Terapi lanjut.
Pada hari ke 11 MRS (12 Mei 2016), keadaan umum pasien sudah membaik.
Tekanan darah pasien 110/70 mmHg, GDA 188 mg/dL (H) dan pasien diperbolehkan
pulang.

6
Pembahasan
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.
Diabetes mellitus dapat diklasifikasikan menjadi 4 jenis yaitu (1) Diabetes mellitus tipe 1,
(2) Diabetes mellitus tipe 2, (3) Diabetes mellitus tipe lain dan (4) Diabetes mellitus
gestasional. Sebanyak 90% kasus diabetes di seluruh dunia merupakan DM tipe 2. Secara
garis besar pathogenesis DM tipe 2 disebabkan oleh delapan hal yang disebut dengan
omnious octet. Adapun yang termasuk dalam omnious octet tersebut antara lain (1) sel beta
pankreas: penurunan sekresi insulin, (2) sel alfa pankreas: peningkatan sekresi glucagon,
(3) usus: penurunan efek incretin, (4) hati: peningkatan produksi glukosa hati, (5) otot:
penurunan ambilan glukosa, (6) ginjal: peningkatan reabsorpsi glukosa, (7) sel lemak:
peningkatan lipolysis, dan (8) otak: disfungsi neurotransmiter.2,7
Kriteria diagnosis DM tipe 2 dapat ditegakkan adanya keluhan klasik dan keluhan
lainnya serta pemeriksaan glukosa darah. Pada anamnesis dapat ditemukan adanya keluhan
klasik DM yaitu polifagi, poliuri, polidipsi dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang biasanya dirasakan pasien adalah badan lemah,
kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria dan pruritus vulva pada wanita.
Pada anamnesis kasus, didapatkan bahwa pasien dulu sering merasa haus (polidipsi),
sering buang air kecil saat malam hari (poliuri), dan sering merasa lapar sehingga pasien
makan banyak yaitu 4 sampai 5 kali sehari (polifagi).2,5,6 Pasien mengaku berat badannya
akibat makan banyak, tetapi berat badan pasien turun drastis, dari 63 kg menjadi 55 kg.
Selain itu, pasien juga mengeluh sering merasa lemas sehari-harinya.
Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan untuk menegakkan diagnosis pasti DM
adalah pemeriksaan glukosa darah. Diagnosis DM tipe 2 dapat ditegakkan apabila
memenuhi salah satu kriteria ini yaitu (1) glukosa plasma puasa 126 mg/dL, (2) glukosa
plasma 200 mg/dL 2 jam setelah TTGO dengan beban 75 gr, (3) glukosa plasma sewaktu
200 mg/dL dengan keluhan klasik atau (4) HbA1C 6,5% dengan menggunaka metode
High-Performance liquid Chromatography (HPLC) yang terstandarisasi oleh National
Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).2,6 Pada kasus didapatkan hasil
pemeriksaan glukosa darah sewaktu sebesar 329 mg/dL.
Penatalaksanaan DM tipe 2 terdiri dari empat pilar yaitu (1) Edukasi, (2) Terapi
Nutrisi Medis (TNM), (3) Latihan Jasmani, dan (4) Terapi Farmakologis. Materi edukasi
yang diberikan terdiri dari (1) materi tingkat awal yang dilaksanakan di Pelayanan
Kesehatan Primer kepada kelompok masyarakat risiko tinggi dan (2) materi tingkat lanjut

7
yang dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan Sekuder dan atau Tersier kepada kelompok
pasien DM dan kelompok pasien DM dengan komplikasi kronis. Terapi nutrisi medis yang
dianjurkan antara lain karbohidrat sebesar 45%-65% dari total asupan energi, lemak 20%-
25% kebutuhan kalori, protein sebesar 10%-20% dari total asupan energi, serat sebanyak
20-35 gr per hari, natrium <2300 mg per hari dan pemakaian pemanis alternative
diperbolehkan selama tidak melebihi batas aman. Latihan jasmani yang dianjurkan bersifat
aerobik secara teratur sebanyak 3-5 kali dalam seminggu selama 30-45 menit. Sebelum
latihan jasmani, pasien dianjurkan untuk memeriksa glukosa darah. Jeda antar latihan tidak
lebih dari 2 hari berturut-turut. Kontraindikasi latihan jasmani ini adalah pasien DM
dengan osteoatritis, hipertensi yang tidak terkontrol, retinopati dan nefropati.2
Terapi farmakologis yang diberikan kepada pasien DM tipe 2 terdiri dari obat
antihiperglikemia oral dan bentuk suntikan. Obat antihiperglikemia oral berdasarkan cara
bekerjanya dibedakan menjadi 5 golongan yaitu (1) pemacu sekresi insulin (insulin
secretagogue): sulfonilurea dan glinid, (2) peningkat sensitivitas terhadap insulin: biguanid
dan tiazolidindion (TZD), (3) penghambat absorpsi glukosa disaluran cerna: penghambat
glukosidase alfa, penghambat dipeptidyl peptidase IV (DPP-IV) dan (4) penghambat
sodium glucose co-transporter 2 (SGLT-2). Sementara itu, Obat antihiperglikemia suntik
terdiri dari (1) insulin: kerja cepat, kerja pendek, kerja menengah, kerja panjang dan kerja
ultra panjang serta (2) agonis GLP-1 atau incretin mimetic.2 Pada kasus, pasien diberikan
obat oral yaitu metformin yang diminum 3 kali sehari sesudah makan dan glibenclamide
yang diminum 1 kali sehari sebelum makan.
Diabetes mellitus yang tidak dikelola dengan baik atau tidak terkontrol akan
berlanjut menjadi komplikasi baik akut maupun kronis. Komplikasi akut DM terdiri dari
krisis hiperglikemia atau ketoasidosis diabetic (KAD) dan hipoglikemia. Komplikasi
kronis terdiri dari mikroangiopati (retinopati, neuropati dan nefropati) dan makroangiopati
(penyakit jantung koroner, penyakit arteri perifer dan stroke). Nefropati diabetik
merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi pada penderita diabetes. Nefropati
diabetik merupakan faktor utama dalam perkembangan CKD dan penyebab utama
terjadinya ESRD.2,5,6
Chronic kidney disease menurut KDIGO (2012) adalah kelainan pada struktur atau
fungsi ginjal selama > 3 bulan yang berdampak pada kesehatan. Kriteria CKD yaitu (1)
adanya kerusakan ginjal dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG)
dengan manifestasi klinis kelainan patologi serta terdapat kelainan ginjal termasuk
kelainan dalam komposisi darah, urin atau kelainan dalam tes pencitraan dan (2) LFG < 60

8
ml/menit/1,73m2 dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Chronic kidney disease dapat
diklasifikasi berdasarkan etiologi, LFG dan albuminuria. Klasifikasi CKD berdasarkan
etiologinya dilihat dari ada atau tidaknya penyakit sistemik, lokasinya di ginjal dan temuan
patologis-anatomis yang dicurigai.Berdasarkan LFG, CKD terdiri atas lima yaitu stage 1
(LFG normal atau meningkat: 90 ml/menit/1,73m2), stage II (LFG menurun ringan: 60-
89 ml/menit/1,73 m2), satge IIIa (LFG menurun ringan sampai sedang: 45-59
ml/menit/1,73 m2), stage IIIb (LFG menurun sedang sampai berat: 30-44 ml/menit/1,73
m2), stage IV (LFG menurun berat: 15-29 ml/menit/1,73 m2) dan stage V (gagal ginjal,
LFG: 15 ml/menit/1,73m2). Sementara itu berdasarkan albuminuria yang terjadi terdiri dari
tiga yaitu A1( albuminuria normal atau meningkat ringan: < 30mg/g atau < 3 mg/mmol),
A2 (albuminuria sedang sampai berat: 30-300 mg/g atau 3-30 mg/mmol) dan A3
(albuminuria meningkat berat: >300 mg/g atau > 30 mg/mmol). Cara menghitung LFG
dengan rumus Cockroft Gault yaitu:6,8
(140 ) ()
=
72 (/)

LFG Wanita = 0,85 x LFG Pria


Keterangan:
LFG = Laju Filtrasi Glomerulus (mg/menit/1,73m2)
BB = Berat badan (kg)
Pada CKD stage I, didapattkan LFG meningkat sampai dengan 40% di atas normal
yang disertai pembesaran ukuran ginjal. Albuminuria belum nyata dan tekanan darah
biasanya normal. Stage ini masih reversibel dan berlangsung 0 5 tahun sejak awal
diagnosis DM ditegakkan. Stage II Terjadi setelah 5 -10 tahun diagnosis DM tegak, saat
perubaan struktur ginjal berlanjut, dan LFG masih tetap meningkat. Stage III Ini adalah
biasanya terjadi 10-15 tahun setelah diagnosis DM tegak dan tahap awal nefropati
(insipient diabetic nephropathy), saat mikroalbuminuria telah nyata. LFG mulai menurun
dan tekanan darah masih tetap ada dan mulai meningkat. Stage IV Ini merupakan tahapan
yang terjadi setelah 15 20 tahun setelah diagnosis DM tegak, saat nefropati diabetik
bermanifestasi secara klinis dengan proteinuria yang nyata, tekanan darah sering
meningkat dan LFG di bawah normal. Ini. Stage V Ini adalah tahap gagal ginjal, saat LFG
<15 sehingga penderita menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik, dan memerlukan
tindakan khusus yaitu terapi pengganti, dialisis maupun cangkok ginjal.6,8
Pasien pada kasus sekarang berusia 52 tahun dan sudah menderita DM sejak 15
tahun yang lalu. Pasien hanya meminum obat antihiperglikemianya saat kondisi badannya

9
tidak baik. Selain itu, pasien juga jarang kontrol ke dokter untuk memeriksakan kadar
glukosa darahnya. Saat pasien di rawat inap di RSU Negara pada tanggal 26-29 April
2016, pasien didiagnosis menderita DM tipe 2, CKD stage 5 dan hipertensi stage 2. Pada
pemeriksaan kimia darah, kadar kreatinin pasien tinggi yaitu 12,3 mg/dL. Berdasarkan
rumus Cockroft-Gault didapatkan LFG pasien sebesar 4,2 mg/menit/1,73m2 dan pasien
disarankan untuk melakukan hemodialisis oleh dokter di RSU Negara.
Manifestasi klinis CKD tidak spesifik dan biasanya ditemukan pada tahap akhir
penyakit. Pada stadium awal, CKD biasanya asimtomatik. Tanda dan gejala CKD
melibatkan berbagai sistem organ yaitu gangguan keseimbangan cairan (edema perifer,
efusi pleura, hipertensi, peningkatan JVP dan asites), gangguan elektrolit dan asam basa
(tanda dan gejala hiperkalemia, asidosis metabolik, hiperfosfatemia), gangguan
gastrointestinal dan nutrisi (mual, muntah, gastritis, ulkus peptikum, malnutrisi), kelainan
kulit (pucat, kering, pruritus, pigmentasi kulit, ekimosis), gangguan neuromuskular
(kelemahan otot, fasikulasi, gangguan memori, ensefalopati uremikum), gangguan
metabolik endokrin (dislipidemia, gangguan metabokisme glukosa, gangguan hormon
seks) dan gangguan hematologi (anemia mikrositik hipokrom atau normosotik sormokrom
dang gangguan hemostasis).5,11 Pada anamnesis kasus, pasien mengeluh lemas, mual,
muntah, nafsu makan menurun, dada berdebar, dan sesak. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan tekanan darah 180/100 mmHg, nafas 28 x/menit, wajah pucat dan mata anemis.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien CKD adalah pemeriksaan
darah lengkap (ureum dan serum kreatinin meningkat), elektrolit (hiperkalemia,
hipokalsemia, hiperfosfatemia), kadar gula darah, analisa gas darah (asidosis metabolik),
urinalisis serta pemeriksaan albumin, sedimen urin, USG ginjal, BNO-IVP, EKG, foto
thoraks dan elektrografi.6,8 Pada pasien dilakukan pemeriksaan darah lengkap dengan hasil
terjadi peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum dan pemeriksaan elektrolit ditemukan
hiperkalemia.
Penatalaksanaan CKD bertujuan untuk mencegah progresifitas CKD dan mengatasi
komplikasinya. Tata laksana untuk mencegah progresifitas CKD dilakukan sesuai dengan
etiologinya, salah satunya mengontrol kadar gula darah pada pasien DM dengan empat
pilar tatalaksana DM tipe 2 dan target HbA1C < 7%. Insulin merupakan terapi farmakologi
yang digunakan dalam mengontrol glukosa darah pasien karena proses metabolisme dan
ekskresi pada ginjal terganggu. Hindari penggunaan metformin karena dapat menyebabkan
hipoglikemia.6,8 Pasien kasus diberikan novorapid 3x4 iu untuk mengontrol glukosa

10
darahnya. Novorapid merukan insulin analog kerja cepat (rapid-acting) dengan onset 5-15
menit dan puncak efeknya adalah 1-2 jam.
Uremia biasanya terjadi apabila LFG < 10-20 mg/menit/1,73m2 yang ditandai dengan
mual, muntah, lemas, anoreksia, penurunan berat badan, pruritus, dan rasa haus. Pada
uremia berat dapat terjadi perdarahan tersembunyi pada saluran cerna pasien dan biasanya
ditandai dengan mual serta muntah.5,11 Pasien pada kasus mengeluh mual dan muntah.
Selain itu, pasien juga memiliki kadar ureum yang tinggi yaitu 151 mg/dL. Pasien pada
kasus medapatkan ranitidin 2x1 ampul.
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien CKD antara lain anemia, hipertensi,
hiperfosfatemia, hiperkalemia serta asidosis metabolik. Ginjal berperan dalam produksi
hormon eritopoietin ke dalam darah yang berfungsi merangsang eritropoiesis dalam
sumsum tulang. Para peneliti mengatakan bahwa sel- sel peritubular yang menghasilkan
eritropoietin rusak sebagian atau seluruhnya seiring dengan progresivitas penyakit
ginjlanya. Defisiensi eritropoietin merupakan penyebab utama terjadi anemia pada pasien
CKD. Anemia pada orang dewasa dan anak diatas 15 tahun dengan CKD dapat
didefinisikan dengan kadar Hb <13 g/dL pada laki-laki dan Hb < 12 g/dL pada perempuan.
Faktor lain yang dapat menimbulkan anemia pada CKD adanya perdarahan yang
menyebabkan defisiensi zat besi, defisiensi vitamin seperti vitamin B12 dan folat atau
proses inflamasi yang menyebabkan regulasi hepsidin, protein yang disintesis oleh hati
guna mengurangi absorpsi zat besi pada usus dan menghalangi pelepasan zat besi dari
sistem retikuloendotelial yang berfungsi dalam perkembangan eritron. Terapi yang Dapat
diberikan adalah sulfat ferosus 200 mg, iron dextran 500 1000 mg intravena, asam folat,
apoetin alfa 10-40.000 unit subkutan.6,8 Pada anamnesis pasien kasus mengeluh lemas dan
pada pemeriksaan fisik ditemukan wajah pucat serta mata anemis. Sementara itu, pada
pemeriksaan darah lengkap, didapatkan kadar Hb pasien pada kasus adalah 8,2 g/dL.9
Pasien mendapatkan terapi asam folat 2x2 tablet dalam satu hari untuk mengatasi anemia
yang dideritanya dengan membantu pembentukan sel darah merah.
Hipertensi pada pasien CKD ditandai dengan peningkatan tekanan darah 140/90
mmHg. Penatalaksanaan hipertensi pada pasien CKD terdiri terapi farmakologi dan
nonfarmakologi. Pilihan terapi farmakologi antihipertensi yang dapat diberikan pada
pasien diabetes dan CKD dengan kadar albumin pada urin 30 mg/24 jam dalah
pengahmbat angiotensin receptor blocker (ACE) dan angiotensin receptor blocker (ARB).
Target tekanan darah yang diharapkan pada pasien diabetes dengan CKD setelah
pemberian obat antihipertensi adalah sistolik 140 mmHg dan diastolik 90 mmHg pada

11
pasien dengan kadar albumin urin <30 mg/24 jam serta sistolik 130 mmHg dan diastolik
80mmHg pada pasien dengan kadar albumin urin >30 mg/24 jam. Terapi
nonfarmakologi yang dimaksud adalah dengan modifikasi gaya hidup seperti mengurangi
asupan garam (< 90 mmol atau < 2 g per hari), melakukan latihan jasmani minimal 30
menit selama 5 kali seminggu, menjaga indeks masa tubuh sebesar 20 sampai 25, dan
membatasi konsumsi alkohol.6,8,10 Pasien kasus diberikan captopril dengan dosis 3 x 50 mg
(po) untuk menurunkan tekanan darahnya.
Osteo distrofi renal merupakan salah satu komplikasi penyakit ginjal kronis yang
sering terjadi. Penatalaksanaan osteodistrofi dilaksanakan dengan mengatasi
hiperfosfatemia dan pemberian hormone kalsitriol. Penatalaksanaan hiperfosfatemia
meliputi pembatasan asupan fosfat dan pemberian pengikat fosfat. Diet yang dianjurkan
yaitu diet rendah fosfat dengan asupan fosfat dibatasi yaitu 600-800 mg/hari. Pengikat
fosfat yang banyak digunakan adalah garam kalsium, aluminium hidroksida dan garam
magnesium. Garam kalsium yang banyak digunakan adalah kalsium karbonat (CaCO3)
dan calcium asetat. Selain itu juga dapat diberikan bahan kalsium mimetic yang dapat
menghambat reseptor Ca pada kelenjar paratiroid dengan nama sevelamer.8,11 Pasien pada
kasus diberikan CaCO3 3x1 tablet. Tujuan pemberian pengikat fosfat adalah untuk
menghambat absorpsi fosfat di saluran cerna.
Pada pasien CKD stage 5 biasanya dilakukan terapi pengganti ginjal berupa
hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.11 Pasien pada kasus menjalani
hemodialisis.

12
Simpulan
Pasien perempuan usia 52 tahun asal Kedewatan Ubud yang didiagnosis dengan DM tipe-2
dengan komplikasi CKD stage 5, hipertensi stage 2, gastropati uremikum dan anemia
sedang. Didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sudah
sesuai dengan teori. Penatalaksanaan pada kasus adalah dengan mencegah progresifitas
dan mengatasi komplikasi dari CKD. Hal ini cukup sesuai dengan teori tetapi
penatalaksanaan untuk kondisi kekuarangan lainnya belum dapat untuk dikoreksi. Faktor
pencetus terjadinya CKD stage 5, hipertensi, gastropati uremikum dan anemia sedang pada
pasien didapatkan oleh karena rendahnya pengetahuan pasien mengenai manajemen serta
komplikasi DM tipe 2. Oleh karena itu edukasi mengenai perjalanan dan penatalaksanaan
penyakit sangat berguna bagi pasien.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Ozougwu, J.C. et al. 2013. The Pathogenesis and pathophysiology of type 1 and
type 2 Diabetes Mellitus. Journal of Physiology and Pathophysiology. Vol 4(4): 46-
57.
2. PERKENI. 2015. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe
2 di Indonesia. PERKENI.
3. Soewondo P, Ferrario A, Tahapary DL. 2013. Challenges in Diabetes Management
in Indonesia: a Literature Review. Globalization and Health. Vol 9(63): 1-17.
4. Hahr AJ & Molitch ME. 2015. Management of Diabetes Mellitus in Patient with
Chronic Kidney Disease. Clinical Diabetes and Endocrinology. Vol 1(2): 1-9.
5. Rivandi J & Yonata A. 2015. Hubungan Diabetes Mellitus dengan Kejadian Gagal
Ginjal Kronik. Majority. Vol 4(9): 27-34.
6. Divisions of Nephrology & Hipertension and General Internal Medicine. 2011.
Chronic Kidney Disease (CKD): Clinical Practice Reccomendation for Primary
Care Physicians and Health Care Providers 6th ed. Henry Ford Health System: Los
Angeles. pp 1-70.
7. Afkarian M, Sachs MC, Kestenbaum B, et al. 2013. Kidney Disease and Increased
Mortality Risk in Type 2 Diabetes. J Am Soc Nephrol . Vol 24: 1-6.
8. Kidney Disease Improving Global Outcomes. 2013. KDIGO 2012 Clinical Practice
Guideline for The Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease.
9. Kidney Disease Improving Global Outcomes. 2012. KDIGO Clinical Practice
Guideline for Anemia in Chronic Kidney Disease.
10. Kidney Disease Improving Global Outcomes. 2012. KDIGO Clinical Practice
Guideline for The Management of Blood Pressure in Chronic Kidney Disease.
11. Suwitra K. 2009. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jiid II
Edisi V. Interna Publishing: Jakarta.

14

Anda mungkin juga menyukai