Anda di halaman 1dari 3

016 UC PERSEPSI WARNA

Hadipurnomo
Rancangan penelitian

Persepsi warna golongan menengah-atas warga masyarakat


Jakarta dan Surabaya:
Suatu kajian mengenai kecenderungan penggunaan
warna-warna tertentu untuk interior dan exterior hunian dan permukiman.

1. Latar Belakang Masalah.

Pada dasarnya dalam kehidupannya dan dalam menghadapi lingkungan


hidup, manusia melakukan kegiatannya berpedomankan kepada kebudayaan, yaitu
seperangkat pengetahuan atau model pengetahuan kebudayaan (a set of model of
the mind) yang digunakan untuk memahami, menghadapi, memanipulasi dan
memanfaatkan lingkungan hidupnya, baik lingkungan hidup fisik maupun sosial,
serta digunakan sebagai pedoman untuk bertindak dan untuk memenuhi kebutuhan
dasar utamanya (basic human needs). Digunakan secara selektif oleh para
pendukungnya, tergantung pada situasi dan keadaan serta arena sosial, tempat
para pendukung kebudayaan tersebut melakukan kegiatannya
(Geertz,1984; Spradley-Mc Curdy, 1987; Dandrade,1987; Suparlan,1987; dan Achadiat,1994).

Kebudayaan ini dimiliki oleh seorang individu melalui proses belajar dalam
lingkungan hidup sosialnya, dan menjadi pengetahuan kebudayaan seorang individu
sebagai model-model kebudayaan yang dijadikan pedoman hidupnya, yang isinya
adalah skema-skema kognitif tentang lingkungan hidupnya.
Skema-skema kognitif semacam itu sebenarnya merupakan suatu sistem
pengkategorian mengenai lingkungan hidupnya.
Skema-skema kognitif semacam itu, terwujud secara nyata dalam kehidupan
sosialnya sebagai suatu sistem simbol-simbol tentang kehidupan dan lingkungan
hidupnya; artinya bahwa seluruh kenyataan kehidupan, baik fisik mapun sosial, yang
dihadapi oleh warga masyarakat tertentu, ditangani dan dinyatakan dalam simbol-
simbol yang operasional sesuai dengan skema-skema kognitif yang berlaku dalam
kebudayaannya.
Salah satu wujud simbolik dari skema kognitif tersebut adalah, mengenai
susunan dan arti serta makna warna-warna yang dapat dilihat secara empiris
dengan menggunakan indera mata.
Dalam kehidupan masyarakat di manapun juga di muka bumi ini, warna-warna tadi
dikategorisasikan dalam skema-skema kognitif yang memiliki arti dan makna yang
berbeda, dan setiap warna yang mereka kenal mencerminkan arti dan makna
simbolik tertentu, dan ini tampak nyata bahwa berbagai kegiatan-kegiatan manusia
diberi arti dan makna simbolik atas dasar warna tertentu tersebut.
Dalam kehidupan sosial warga suatu masyarakat pendukung kebudayaan
tertentu, seringkali kita jumpai kecenderungan penggunaan warna tertentu yang
dianggap memberikan keuntungan, rezeki dan kebahagiaan serta kehidupan dan
ada pula warna-warna tertentu yang dianggap memberikan kerugian,

1
keseng-saraan dan kesialan, atau kematian. Warna-warna yang dianggap memiliki
arti dan makna yang baik akan sering digunakan, sebaliknya warna-warna yang
digolongkan buruk akan dihindari, dan apabila digunakan maka penggunaannya
pada waku-waktu tertentu saja, atau dalam kaitannya dengan suatu keadaan yang
dianggap buruk.
Dengan demikian setiap kebudayaan memiliki definisi dan pengertian
mengenai arti dan makna simbolik dari warna seperti tersebut di atas; dalam
kehidupan masyarakat seringkali kita jumpai pula bahwa dalam masyarakat tersebut
mengembangkan berbagai kebudayaan yang terwujud sebagai sub-sub kebudayaan
dari kebudayaan yang dianut oleh sekalian warga masyarakat bersangkutan.
Dalam keadaan seperti ini arti dan makna simbolis dari warna bisa saja dalam
masyarakat memiliki pengertian yang berbeda-beda tergantung besar-kecilnya sub-
kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat bersangkutan.
Sebagai contoh, kebudayaan Jawa, secara umum ada ciri-ciri khusus mengenai
kebudayaan, dan dalam kebudayaan tersebut dikembangkan pula pengertian-
pengertian simbolis dari warna-warna yang ada; namun seringkali kita jumpai pula
perbedaan-perbedaan mengenai pengertian simbolis dari warna tertentu, tergantung
sub kebudayaan yang berkembang dan dikembangkan dalam kebudayaan tersebut.
Sub-kebudayaan bangsawan Jawa tentu mempunyai perbedaan interpretasi
simbolis warna tertentu dibandingkan warga masyarakat biasa dari masyarakat
Jawa. Namun demikian seringkali interpretasi secara mendasar memiliki arti dan
makna simbolis yang sama diantara sub-sub kebudayaan tersebut, dan jika ada
perbedaan maka lebih merupakan pemanfaatan penggunaan arti dan makna
simbolis tersebut.

Massalah Penelitian

Atas dasar pokok pikiran yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah
tersebut di atas, maka masalah utama dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi
berbagai faktor sosial-budaya yang digunakan dan dijadikan pedoman oleh warga
masyarakat golongan menengah-atas, dalam memilih dan menggunakan warna-
warna yang digunakan untuk kepentingan interior dam exterior hunian maupun
pemukimannya.
Berdasarkan pokok permasalahan tersebut, akan dikaji berbagai
kecenderungan pilihan dan pemakaian warna-warna tertentu dalam interior dan
exterior hunian dan pemukiman, khususnya bagi warga masyarakat golongan
menengah-atas. Pilihan golongan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa
kecenderungan penggunaan warna serta arti dan makna simbolis sesuai dengan
kebudayaan yang dianut, lebih banyak digunakan dan dipakai oleh golongan ini,
dibandingkan dengan golongan yang lebih bawah. Hal ini dapat terjadi karena pada
golongan bawah dengan serba keterbatasannya, seringkali tidak lagi
memperhatikan soal-soal arti dan makna simbolis dari warna tersebut, karena
kondisi mereka yang serba terbatas dan miskin.

Metode Penelitian

2
Untuk menjawab masalah penelitian dan memperoleh data yang diperlukan untuk
menjelaskan permasalahan yang diajukan, maka data akan dikumpulkan melalui
survey dengan menggunakan questionair terhadap sejumlah sample dari populasi
tertentu.
Sample ditentukan secara purposive sampling dan quota sampling, artinya
pilihan responden yang diwawancarai dibatasi oleh kriteria-kriteria tertentu yaitu
sesuai dengan tolak ukur penentuan golongan menengah-atas.
Jumlah responden yang akan diwawancarai untuk masing-masing daerah populasi
adalah 100 responden, dengan perimbangan bahwa untuk satu satuan populasi
jumlah lebih kurang 1000 kepala keluarga, atau 10 % dari populasi.
Untuk menentukan kesatuan populasi, akan digunakan sampling area yaitu
wilayah tertentu dari sebuah kota yang penduduknya lebih kurang 90 % digolongkan
sebagai warga masyarakat golongan menengah-atas.
Selain itu akan digunakan pula suatu metode untuk menjaring data yang
sifatnya kualitatif, yaitu melalui Focus Group Discussion (FGD) dengan sejumlah
tokoh masyarakat golongan menengah-atas, dan sejumlah pengusaha yang
bergerak dalam kegiatan yang berkaitan dengan interior dan exterior hunian dan
pemukiman.
Teknik dan data kualitatif ini dikumpulkan dengan tujuan untuk mengumpulkan data
mengenai berbagai kecenderungan penggunaan warna yang dimiliki oleh warga
masyarakat golongan menengah-atas.

Hadipurnomo
Feb. 26-09

Daftar Kepustakaan:

Achadiyat, Anto
1994, Fungsionalitas Kota, Sistem Pelapisan dan Kesempatan Kerja bagi orang
miskin: Suatu studi kasus mengenai Kemiskinan di Perkotaan, paper pada seminar
sosial budaya Mengentaskan kemiskinan,
di Univ. Bung Hatta, Padang 10 Febr. 1994.
Dandrade, Roy
1987, A Folk Model of the Mind, dalam Cultural Models in Language and Thought,
ed. Dorthy Holland dan Naomi Quinni;
Cambridge Univ. Press.
Geertz, Clifford
1984, From the natives point of view on the Nature of Anthropological Understanding.
dalam Culture Theory; Essay on Mind, Self and Emotion, ed. Richard A Shweder dan
Robert A Levine; Cambridge Univ. Press.
Spradley, James P. dan David Mc.Curdy
1984, Conformity and Conflict: Reading in Cultural Anthrpology, Boston;
Little, Brown & comp.
Suparlan, Parsudi
1988, Kebudayaan dan Pembangunan, Paper ceramah dalam pertemuan MGMP
Sosiologi-Antropologi DKI Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai