Anda di halaman 1dari 8

PENDAHULUAN

Telah diketahui bahwa gangguan pendengaran ( hearing impairment) atau ketulian (deafness)
mempunyai dampak yang merugikan bagi penderita, keluarga, masyarakat maupun Negara.
Penderita akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan lingkungannya, terisolasi.
Kehilangan kesempatan dalam aktualisasi diri, mengikuti pendidikan formal di sekolah
umum, kehilangan kesempatan memperoleh pekerjaan; yang pada akhirnya berakibat pada
rendahnya kualitas hidup yang bersangkutan.

Kesulitan kesulitan tersebut diatas akan bertambah besar di negara berkembang mengingat
masih terbatasnya infrastruktur kesehatan telinga dan pendengaran dalam melakukan
pencegahan, deteksi dini, penatalaksanaan dan habilitas/ rehabilitasi.

Menurut perkiraan WHO pada tahun 1995 terdapat 120 juta penderita gangguan pendengaran
di seluruh dunia. Jumlah tsb mengalami peningkatan yang sangat bermakna pada tahun 2001
menjadi 250 juta orang; 222 juta diantaranya adalah penderita dewasa sedangkan sisanya ( 28
juta ) adalah anak berusia di bawah 15 tahun. Dari jumlah tersebut kira kira 2/3 diantaranya
berada di negara berkembang. Peningkatan jumlah penderita gangguan pendengaran ini
kemungkinan disebabkan oleh peningkatan insidens, identifikasi yang lebih baik atau akibat
meningkatnya usia harapan hidup.

Menurut beberapa penelitian 50% populasi usia diatas 65 tahun akan mengalami gangguan
pendengaran. Pada pertemuan WHO (Geneva, 2000) dilaporkan bahwa pada tahun 2005
penduduk dunia berusia diatas 60 tahun akan mencapai 1,2 milyar orang dan 60 % dari
jumlah tersebut merupakan penduduk negara berkembang. Selanjutnya pada tahun 2020
populasi dunia berusia diatas 80 tahun juga akan meningkat sampai 200 %.

Pertemuan WHO (Geneve, 2000) menyatakan bahwa 50 % gangguan pendengaran dapat


dicegah (Preventable deafness) melalui kegiatan Primary Health Centre (PUSKESMAS).
Adapun faktor faktor penyebab gangguan pendengaran yang dapat dicegah adalah :

1. OMSK ( Otitis Media Supuratif Kronis)


2. Pemaparan bising
3. Pemakaian obat ototoksik
4. Infeksi selaput otak ( meningitis)
5. Pernikahan antar keluarga

Pada pertemuan konsultasi WHO-SEARO (South East Asia Regional Office) Intercountry
Meeting (Colombo,2002) disimpulkan bahwa pada 9 Negara dibawah koordinasi WHO
SEARO penyebab gangguan pendengaran adalah OMSK, tuli sejak lahir, presbikusis,
pemakaian obat ototoksik, pemaparan bising (noise induced hearing loss / NIHL) dan
serumen prop, dengan urutan prevalensi seperti pada table dibawah ini ;

NEGARA OMSK T. kongenital Presbikusis Ototoksik NIHL Serumen


Bangladesh 1 2 3 4

Bhutan 1 2 3 4

India 1 2 4 3

Indonesia 1 2 4 3
Maldives 1 2 3

Myanmar 1 2 4 3

Nepal 1 2 3

Srilanka 1 2 4 3

Thailand 1 2 4 3

Tabel 1: Perbandingan prioritas penanganan penyakit telinga di beberapa negara SEARO


Dari tabel terlihat bahwa di semua Negara SEARO prioritas pertama dan kedua adalah sama
yaitu OMSK dan tuli kongenital. Sedangkan secara khusus Indonesia ditugaskan untuk lebih
banyak memusatkan perhatian pada penanggulangan OMSK, tuli kongenital, pemaparan
bising (NIHL) dan presbikusis.

Pertemuan WHO (Geneva, 2000) merekomendasikan agar tiap negara


menurunkan preventable deafness sampai 50% pd 2015 (Better Hearing 2015).

Sampai dengan tahun 1996 Indonesia belum memiliki angka gangguan pendengaran dan
ketulian. Setelah dilakukan Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran (1994
1996) dengan sampel sebesar 19.375 di 7 Propinsi ( Sumbar, Sumsel, Jateng, Jatim, NTB,
Sulsel dan Sulut) baru diperoleh gambaran dari besaran masalah kesehatan telinga dan
pendengaran di Indonesia. Berdasarkan survei tsb. diketahui angka morbiditas telinga ( ICD
X) 18.5%. Sedangkan prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian masing masing 16.8 %
dan 0.4 %. Bila saat ini jumlah penduduk Indonesia saat ini adalah 214,1 juta berarti
diperkirakan terdapat 36 juta orang yang mengalami gangguan pendengaran dan 850.000
orang penderita ketulian.

Ternyata angka gangguan pendengaran maupun ketulian lebih besar di daerah pedesaan
dibandingkan dengan perkotaan

Perkotaan Pedesaan
Gangguan Pendengaran 16.3 % 16.9 %
Ketulian 0.3 % 0.5 %
Tabel 2 : Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian di perkotaan dan pedesaan
Berdasarkan kelompok usia, angka gangguan pendengaran paling besar terdapat pada
kelompok usia produktif dewasa (40 - 54 tahun) yaitu 20.8 %. Sedangkan angka ketulian
terbanyak pada usia diatas 65 tahun (2.8 %). Data lainnya yang diperoleh dari survai tsb
adalah ;
Morbiditas - Prevalensi (%)
Penyakit Telinga luar = 6.8
Serumen prop = 3.6
OMSK = 3.1
Presbikusis = 2.6
Ototoksisitas = 0.3
Tuli sejak lahir (kongenital) = 0.1
Tabel 3 : Prevalensi penyakit telinga pada Survei Kesehatan Indera 1994-1996
Data data tsb saat ini dianggap masih relevan karena setelah tahun 1996 belum ada lagi survei
epidemiologik yang berskala Nasional.

PERMASALAHAN

Permasalahan kesehatan telinga dan pencegahan gangguan pendengaran maupun ketulian di


Indonesia antara lain; masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan telinga dan
pendengaran, sikap dan perilaku masyarakat yang masih menganggap penyakit telinga dan
gangguan pendengaran sebagai suatu stigma yang harus disembunyikan.
Selain itu masih tingginya angka penyakit telinga dan faktor-faktor lain yang mempunyai
dampak negatif terhadap pendengaran, ditambah lagi dengan kondisi infrastruktur pelayanan
kesehatan telinga dan pendengaran yang masih memprihatinkan, jumlah dokter spesialis THT
juga masih terbatas disamping penyebarannya juga belum menjangkau seluruh wilayah
Indonesia.
Suwento dkk pada tahun 2002 meneliti kondisi infrastruktur Kesehatan Telinga dan
Pendengaran di Indonesia (WHO-SEARO Intercountries Study) diperoleh gambaran kondisi
SDM, sarana pelayanan kesehatan telinga yang masih terkonsentrasi pada 5 sentra pelayanan
saja yaitu DKI Jaya, Bandung, DIY Jogyakarta, Surabaya dan Makasar.
Kondisi dimaksud secara ringkas dapat disimpulkan sebagai berikut;

1. Jumlah Dokter THT ( 2001) sebanyak 606 atau 1 dokter THT melayani 339.675
penduduk. Dari jumlah tsb 61.70 % berada di Pulau Jawa ( 23,76% berada di DKI
Jaya); dari seluruh Kabupaten, hanya sekitar 180 Kabupaten yang mempunyai dokter
THT.
NEGARA - Dr THT - Dr THT / Populasi
Bangadesh - 244 - 1 : 500.512
India - 7000 - 1 : 144.000
Indonesia - 606 - 1 : 339.675
Nepal - 40 - 1 : 568.000
Srilanka - 18 - 1 : 1.077.000
Thailand - 589 - 1 : 104.584
Tabel 4 : Rasio dokter THT terhadap penduduk di beberapa Negara Asia Tenggara
2. Belum ada tenaga audiologist atau Ahli Madya Audiologi. Tenaga dimaksud sangat
dibutuhkan dalam melakukan pemeriksaan pendengaran mulai dari deteksi dini
sampai proses habilitasi/ rehabilitasi. Pada tahun yang sama di Jakarta mulai berdiri
Program Diploma III Audiologi dalam RENSTRANAS PGPKT direncanakan 1
propinsi memiliki 1 tenaga Ahli Madya Audiologi pada tahun 2010.

Country Audiologist Audiometrician Audiometrician/


population
Bangladesh 1 47 1 : 2.598. 404
India 2000 2000 1 : 500.000
(kombinasi)
Indonesia 0 109 1 : 1.888.469
Nepal 14 14 1 : 1.624.000
(kombinasi)
Srilanka 2 (-) (-)
Thailand 50 300 1 : 205.000
Tabel 5: Rasio Audiologist terhadap penduduk di beberapa negara Asia Tenggara
Besaran masalah gangguan pendengaran dan ketulian di Indonesia saat ini diperkirakan
mengalami peningkatan dengan berbagai pertimbangan, antara lain;

1. Masih tingginya prevalensi ISPA, faktor ini sangat penting peranannya pada bayi dan
anak sebagai penyebab gangguan pendengaran.
2. Kesadaran masyarakat terhadap masalah kesehatan telinga dan gangguan pendengaran
3. Bertambah banyak industri / pabrik
4. Gaya hidup masyarakat yang dengan risiko terpapar bising (teknologi audio, telepon
genggam, diskotik, perangkat rumah tangga, termasuk tempat hiburan anak dll).
5. Kemudahan memperoleh obat obatan yang seharusnya memakai resep dokter.
6. Meningkatnya usia harapan hidup

PENANGGULANGAN

Sejak tahun 1985 Departement of Disability Prevention and Rehabilitation dari WHO yang
bertugas menangani masalah gangguan pendengaran telah memiliki program pencegahan
gangguan pendengaran dan ketulian atau PDH ( Prevention of Deafness and Hearing
Impairment ).

Program PDH bertujuan melaksanakan pencegahan gangguan pendengaran dan ketulian


melalui langkah-langkah kegiatan :

1. Menentukan besaran masalah (magnitude) dan penyebab utama gangguan


pendengaran dan ketulian pada populasi tertentu.
2. Mencegah penggunaan obat-obat ototoksik secara bebas.
3. Menurunkan prevalensi gangguan pendengaran akibat pemaparan bising pada
kelompok risiko tinggi.
4. Mengembangkan kesehatan telinga dasar (basic ear care) sebagai bagian Program
Pelayanan Kesehatan Dasar ( PUSKESMAS)
5. Meningkatam kegiatan deteksi dini dan penatalaksanaan gangguan pendengaran.
6. Mengembangkan teknologi tepat guna (appropriate technology) untuk pemeriksaan
dan penanganan gangguan pendengaran.
7. Mengadakan kerjasama teknis dengan pihak Pemerintah (DEPKES) untuk
mengembangkan Program Nasional di bidang kesehatan telinga dan pendengaran.
8. Memiliki sistim manajemen dan administratif untuk suatu program Nasional,
Regional maupun Global

Agar upaya pencegahan gangguan pendengaran dan ketulian dapat mencapai sasarannya
diperlukan suatu keterpaduan program baik di tingkat Pusat maupun tingkat daerah.
Koordinasi ini harus mengacu pada:

1. Delapan kegiatan Program Prevention of Deafness and Hearing Impairment dari


WHO
2. Rekomendasi WHO-SEARO ( South East Asia Regional Office) Intercountry
Meeting (Colombo,2002).
3. Visi. Misi dan Tujuan Sound Hearing 2030.

Untuk menanggulangi masalah kesehatan indera pendengaran di Indonesia, sejak tahun 1995
pihak DEPKES telah mulai mengembangkan program UPAYA KESEHATAN TELINGA /
PENCEGAHAN GANGGUAN PENDENGARAN ( UKT/ PGP) yaitu upaya kesehatan di
bidang kesehatan telinga dan pencegahan gangguan pendengaran yang dilaksanakan pada
tingkat PUSKESMAS, diselenggarakan secara khusus dan terpadu dengan kegiatan pokok
PUSKESMAS lainnya. Upaya tsb. dilaksanakan oleh tenaga PUSKESMAS didukung oleh
peran serta aktif masyarakat, baik di dalam maupun di luar PUSKESMAS yang ditujukan
kepada individu, keluarga dan masyarakat di wilayah kerja PUSKESMAS.

Untuk implementasi program telah dilatih tenaga dokter (selama 2 minggu) dan perawat (3
minggu) dari 34 PUSKESMAS yang berasal dari DKI Jaya, Jabar, Jateng, DIY Jogyakarta,
Jatim dan Lampung.

Dalam perkembangan selanjutnya konsep UKT/ PGP mengalami transisi menjadi


Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (PGPKT)
Program PGPKT mencakup pelayanan kesehatan indera pendengaran yang bersifat UKM dan
UKP mulai dari tingkat PUSKESMAS sampai pelayan di tingkat Propinsi.

Untuk mengatasi kesenjangan pelayanan kesehatan indera pendengaran di Strata I


(PUSKESMAS) dengan Strata III (Propinsi) - sebagai akibat terbatasnya infastruktur
kesehatan telinga dan pendengaran peranan PUSKESMAS sangat diharapkan untuk
melaksanakan program PGPKT yang ditetapkan berdasarkan permasalahan kesehatan telinga
/ pendengaran setempat, sesuai dengan kemampuan PUSKESMAS.

Untuk maksud tersebut pihak DEPKES RI telah menyusun Rencana Strategi


Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian untuk mencapai tujuan
Sound Hearing 2030, yang akan menjadi pedoman kegiatan pencegahan gangguan
pendengaran dan ketulian baik ditingkat Pusat maupun Daerah.

STRATEGI PGPKT di PUSKESMAS


Walaupun dalam pelaksanaan Program PGPKT disesuaikan dengan permasalahan, kebutuhan
dan kemampuan setempat, tetap diperlukan suatu konsep yang sama sehingga dibutuhkan
Standar Pelayanan Kesehatan Indera Pendengaran di PUSKESMAS.
Untuk pelaksanaan di tingkat primer (Primary Health Centre / PUSKESMAS) WHO
mengajurkan konsep berupa implementasi Primary Ear and Hearing Care (PEHC) in
Primary Health Centre( PHC).
I . Konsep PEHC

1. Transfer informasi dari tenaga spesialistik kepada masyarakat secara efisien dan
bermakna
2. Mengembangkan / sintesis sistim kesehatan telinga modern dan tradisional
3. Merubah teknologi tinggi ( high tech) menjadi teknologi tepat guna ( appropriate
technology)
4. Melaksanakan pelatihan / kursus untuk dapat melakukan deteksi dini, diagnosis dan
penatalaksanaan masalah kesehatan telinga dan pendengaran
5. Mengembangkan strategi belajar yang efektif dan pengalaman praktis dengan
memadukan pengobatan modern dengan pengobatan masyarakat
6. Mengembangkan suatu kerjasama yang bermutu diantara semua personil kesehatan

II. Pengembangan SDM dan meningkatkan teknologi

1. Menerapkan strategi untuk deteksi dini dan penatalaksanaan segera


bersifat community based dengan teknologi tepat guna
2. Implementasi kegiatan kegiatan PEHC ke dalam program pokok PUSKESMAS
(Primary Health Centre)
3. Melaksanakan pelatihan / kursus tambahan yang lebih spesialistik untuk tenaga
PUSKESMAS
4. Mengembangkan penelitian terpadu dan strategi pelatihan untuk memperoleh data
prevalensi gangguan kesehatan telinga / pendengaran
5. Membentuk suatu wadah/ forum /komite bersama untuk menentukan strategi dan
kebijakan setempat.

III. Sasaran

Mencegah kecacatan yang ditimbulkan akibat penyakit telinga dan gangguan pendengaran
yang sering ditemukan pada masyarakat setempat dengan melaksanakan pencegahan terhadap
penyakit telinga dibawah ini :

1. OMSK
2. Tuli sejak lahir ( kongenital ).
3. Pemaparan bising (NIHL).
4. Presbikusis.

Keempat penyakit telinga tsb diatas telah ditetapkan oleh WHO SEARO sebagai prioritas
penanggulangan di Indonesia. Namun dengan mempertimbangkan kemungkinan perbedaan
pola penyakit telinga setempat yang berbeda, perlu diperhatikan sejumlah penyakit telinga
lainnya yang juga sering ditemukan sehari-hari
A. Penyakit / Gangguan telinga luar :

1. Atresia (liang telinga tidak terbentuk) atau stenosis (penyempitan) liang telinga.
2. Serumen / serumen prop
3. Benda asing liang telinga
4. Otitis eksterna

B. Penyakit telinga tengah :

1. Sumbatan tuba Eustachius


2. Otitis media serosa akut
3. Otitis media serosa kronik (glue ear)
4. Otitis Media Akut
5. OMSK dengan tanda-tanda komplikasi

C. Penyakit telinga dalam : Otosklerosis


D. Gangguan pendengaran pada bayi dan anak
E. Tuli mendadak ( Sudden deafness)
F. Tuli akibat pemakaian obat ( Ototoksik)
G. Penyakit Meniere

IV. Permasalahan yang akan dihadapi PEHC

1. Diperlukan pendekatan yang berbeda untuk berbagai strata (petugas kesehatan,


masyarakat)
2. Pola penyakit berbeda disetiap wilayah
3. Kurangnya tenaga terlatih
4. Kurangnya sumber daya dan pengetahuan
5. Penolakan masyarakat
6. Kurangnya perhatian (petugas kesehatan, masyarakat)

V. Implementasi PEHC
1. Pendekatan multidisiplin/ Lintas sektor/ Lintas Program
2. Implementasi yang berbeda untuk berbagai strata
3. Mempergunakan teknologi tepat guna
4. Pemahaman dan partisipasi masyarakat
5. Dapat diterima sesuai adat dan kebiasaan setempat
6. Dapat dijangkau masyarakat
7. Biaya ringan

VI. Elemen elemen untuk PEHC


Elemen dasar
Mampu memahami:

1. Struktur anatomi dan fungsi/ mekanisme kerja pendengaran


2. Mengenali gejala-gejala dan penyebab penyakit telinga dan gangguan pendengaran
3. Patogenesis penyakit
4. Diagnosis sederhana
5. Penatalaksanaan sederhana dan (re) habilitasi awal

Element lanjut

1. Mengenali tanda tanda komplikasi


2. Kapan, bagaimana dan kemana harus merujuk
3. Promosi kesehatan telinga dan pendengaran
4. Pencegahan gangguan pendengaran
5. Evaluasi pelaksanaan

DAFTAR PUSTAKA

1. Sirlan F, Suwento R. Hasil Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan


Pendengaran.DEPKES RI, 1998
2. Depkes RI . Pedoman Upaya Kesehatan Telinga dan Pencegahan Gangguan
Pendengaran untuk Puskesmas. Jakarta,1998.
3. Suwento R. et all. Study on Infrastructure and health services for the prevention and
control of Deafness. WHO SEARO Meeting, Colombo, 2002
4. Prasansuk S. Primary Ear and Hearing Care the foreseeable solution for Prevention of
Hearing Impairment and Deafness in Developing Countries.
5. State of Hearing & Ear Care in South East Asia Region.WHO Regional Office
SEARO, 2004

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke


Pinterest

Anda mungkin juga menyukai