Anda di halaman 1dari 16

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konjungtivitis

2.1.1 Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva dibedakan menjadi 3 bagian, yaitu:

1. Konjungtiva Palpebra

Pada sambungan mukokutaneus, lapisan epidermis dari kulit palpebra

berubah menjadi konjungtiva palpebra atau konjungtiva tarsal dan melanjut-kan

diri ke belakang melapisi permukaan posterior palpebra. Lapisan ini melekat

secara erat dengan lempeng tarsus. Pada batas superior dan inferior dari tarsus,

konjungtiva melanjutkan diri ke posterior dan melapisi jaringan episklera sebagai

konjungtiva bulbi (Kanski, 2006).

2. Konjungtiva Forniks

Dari permukaan dalam palpebra, konjungtiva palpebra melanjutkan diri ke

arah bola mata membentuk dua resesus, yaitu forniks superior dan inferior.

Forniks superior terletak kira-kira 8-10 mm dari limbus, dan forniks inferior

terletak kira-kira 8 mm dari limbus. Pada bagian medial, struktur ini menjadi

karunkula dan plika semilunaris. Di sisi lateral, forniks terletak kira-kira 14 mm

dari limbus. Saluran keluar dari glandula lakrimal bermuara pada bagian lateral

forniks superior.
Konjungtiva forniks superior dan inferior melekat longgar dengan

pembungkus otot rekti dan levator yang terletak di bawahnya. Kontraksi otot-otot

ini akan menarik konjungtiva sehingga ia akan ikut bergerak saat palpebra

maupun bola mata bergerak. Perlekatan yang longgar tersebut juga akan

memudahkan terjadinya akumulasi cairan.

3. Konjungtiva Bulbi

Konjungtiva bulbi meluas dari daerah limbus ke daerah forniks. Lapisan

ini sangat tipis dan transparan sehingga sklera yang terletak di bawahnya dapat

terlihat. Konjungtiva bulbi melekat secara longgar dengan sklera sehingga

memungkinkan bola mata bergerak bebas ke segala arah. Selain itu, konjungtiva

bulbi juga melekat secara longgar dengan septum orbita pada forniks dan

melipat hingga beberapa kali. Selain memberikan kebebasan bola mata untuk

bergerak, hal ini juga akan memperluas permukaan sekresi konjungtiva.


Gambar 1. Anatomi Konjungtiva

Ket. Gambar : (1) Limbus, (2) Konjungtiva Bulbi, (3) Konjungtiva Forniks,
(4) Konjungtiva Palpebra, (5) Pungtum Lakrimalis, (6) Konjungtiva Marginalis

Kurang lebih 3 mm dari limbus, perlekatan antara konjungtiva bulbi, kapsula tenon,
dan sklera menjadi erat, sehingga konjungtiva tidak dapat diangkat dengan mudah.
Garis yang terbentuk pada pertemuan antara konjungtiva dan kornea disebut limbus
konjungtiva. Ia terletak kira-kira 1 mm anterior ke tepi kornea (limbus kornea), yang
merupakan pertemuan antara kornea dan sklera.

2.1.2 Definisi

Konjungtivitis adalah peradangan pada konjungtiva dan penyakit ini adalah


penyakit mata yang paling umum di dunia. Karena lokasinya, konjungtiva terpajan
oleh banyak mikroorganisme dan faktor-faktor lingkungan lain yang mengganggu
(Vaughan, 2010). Penyakit ini bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan mata
berair sampai konjungtivitis berat dengan banyak sekret purulen kental.

2.1.3 Etiologi
Berdasarkan penyebabnya, konjungtivitis dibagi menjadi dua kategori yakni
infeksius dan non-infeksius. Bakteri, virus, parasit, dan jamur adalah penyebab
konjungtivitis infeksius, sedangkan mata kering, gangguan refraksi yang tidak
dikoreksi, alergi, atau iritan merupakan penyebab konjungtivitis non-infeksius
(Lang,2006).

Gambar 2. Klasifikasi Konjungtivitis (Lang, 2006)


Berdasarkan awitannya, konjungtivitis dapat dibedakan menjadi akut dan
kronis. Konjungtivitis akut dapat digolongkan lebih lanjut menjadi acute serous ,
acute haemorrhagic (enterovirus tipe 70 dan cocksackie virs A24), acute follicular
(terbentuk folikel kecil berwarna abu-abu dengan diameter 1-2 mm, yang
dihubungkan dengan keratitis virus herpes). Konjungtivitis kronis apabila
konjungtivitis menetap lebih dari 4 minggu.

2.1.4 Epidemiologi

Konjungtivitis adalah penyakit yang terjadi di seluruh dunia dan dapat diderita
oleh seluruh masyarakat tanpa dipengaruhi usia. Walaupun tidak ada dokumen yang
secara rinci menjelaskan tentang prevalensi konjungtivitis, tetapi keadaan ini sudah
ditetapkan sebagai penyakit yang sering terjadi pada masyarakat (Chiang YP, dkk,
1995 dalam Rapuano et al, 2005). Di Indonesia penyakit ini masih banyak terdapat
dan paling sering dihubungkan dengan kondisi lingkungan yang tidak hygiene.
2.1.6 Patofisiologi

Konjungtivitis lebih dikenal sebagai pink eye, yaitu adanya inflamasi pada
konjungtiva atau peradangan pada konjungtiva, selaput bening yang menutupi
bagian berwarna putih pada mata danpermukaan bagian dalam kelopak mata.
Konjungtivitis terkadang dapat ditandai dengan mata berwarna sangat merah dan
menyebar begitu cepat dan biasanya menyebabkan mata rusak.Beberapa jenis
Konjungtivitis dapat hilang dengan sendiri, tapi ada juga yang
memerlukanpengobatan (Effendi, 2008).

Konjungtivitis dapat mengenai pada usia bayi maupun dewasa. Konjungtivitis


pada bayi baru lahir, bisa mendapatkan infeksi gonokokus pada konjungtiva dari
ibunya ketika melewati jalan lahir. Karena itu setiap bayi baru lahir mendapatkan
tetes mata (biasanya perak nitrat, povidin iodin) atausalep antibiotik (misalnya
eritromisin) untuk membunuh bakteri yang bisa menyebabkankonjungtivitis
gonokokal. Pada usia dewasa bisa mendapatkan konjungtivitis melalui hubungan
seksual (misalnya jika cairan semen yang terinfeksi masuk ke dalam mata).

Biasanya konjungtivitis hanya menyerang satu mata. Dalam waktu 12 sampai


48 jam setelah infeksi mulai, mata menjadimerah dan nyeri. Jika tidak diobati bisa
terbentuk ulkus kornea, abses, perforasi mata bahkankebutaan. Untuk mengatasi
konjungtivitis gonokokal bisa diberikan tablet, suntikan maupun tetesmata yang
mengandung antibiotic. Konjungtiva adalah lapisan mukosa yang membentuk
lapisan terluar mata. Iritasi apapun pada matadapat menyebabkan pembuluh darah
dikonjungtiva berdilatasi. Iritasi yang terjadi ketika mataterinfeksi menyebabkan mata
memproduksi lebih banyak air mata. Sel darah putih dan mukus yangtampak di
konjungtiva ini terlihat sebagai discharge yang tebal kuning kehijauan.

Perjalanan penyakit pada orang dewasa secara umum, terdiri atas 3 stadium
1. Stadium Infiltratif.

Berlangsung 3 4 hari, dimana palpebra bengkak, hiperemi, tegang,


blefarospasme, disertai rasasakit. Pada konjungtiva bulbi terdapat injeksi konjungtiva
yang lembab, kemotik dan menebal, sekretserous, kadang-kadang berdarah.
Kelenjar preauikuler membesar, mungkin disertai demam. Padaorang dewasa
selaput konjungtiva lebih bengkak dan lebih menonjol dengan gambaran hipertrofi
papilar yang besar. Gambaran ini adalah gambaran spesifik gonore dewasa. Pada
umumnya kelainan ini menyerang satu mata terlebih dahulu dan biasanya kelainan
ini pada laki-laki didahului padamata kanannya

.2. Stadium Supurativa/Purulenta.

Berlangsung 2 3 minggu, berjalan tak begitu hebat lagi, palpebra masih


bengkak, hiperemis, tetapi tidak begitu tegang dan masih terdapat blefarospasme.
Sekret yang kental campur darah keluar terus-menerus. Pada bayi biasanya
mengenai kedua mata dengan sekret kuning kental, terdapat pseudomembran yang
merupakan kondensasi fibrin pada permukaan konjungtiva. Kalau palpebradibuka,
yang khas adalah sekret akan keluar dengan mendadak (memancar muncrat),
olehkarenanya harus hati-hati bila membuka palpebra, jangan sampai sekret
mengenai mata pemeriksa.

3. Stadium Konvalesen (penyembuhan).

Berlangsung 2 3 minggu, berjalan tak begitu hebat lagi, palpebra sedikit


bengkak, konjungtiva palpebra hiperemi, tidak infiltratif. Pada konjungtiva bulbi
injeksi konjungtiva masih nyata, tidak kemotik, sekret jauh berkurang. Pada
neonatus infeksi konjungtiva terjadi pada saat berada pada jalan kelahiran, sehingga
pada bayi penyakit ini ditularkan oleh ibu yang sedang menderita penyakit tersebut.
Pada orang dewasa penyakit ini didapatkan dari penularan penyakit kelamin sendiri.
Padaneonatus, penyakit ini menimbulkan sekret purulen padat dengan masa
inkubasi antara 12 jamhingga 5 hari, disertai perdarahan sub konjungtiva dan
konjungtiva kemotik. Mikroorganisme (virus, bakteri, jamur), bahan alergen, iritasi
menyebabkan kelopak mata terinfeksi sehingga kelopak mata tidak dapat menutup
dan membuka sempurna, karena mata menjadi kering sehingga terjadi iritasi
menyebabkan konjungtivitis. Pelebaran pembuluh darah disebabkan karena adanya
peradangan ditandai dengan konjungtiva dan sclera yang merah, edema, rasa nyeri,
danadanya secret mukopurulent. Akibat jangka panjang dari konjungtivitis yang
dapat bersifat kronisyaitu mikroorganisme, bahan allergen, dan iritatif menginfeksi
kelenjar air mata sehingga fungsisekresi juga terganggu menyebabkan hipersekresi.
Pada konjungtivitis ditemukan lakrimasi, apabilapengeluaran cairan berlebihan akan
meningkatkan tekanan intra okuler yang lama kelamaanmenyebabkan saluran air
mata atau kanal schlemm tersumbat. Aliran air mata yang terganggu
akanmenyebabkan iskemia syaraf optik dan terjadi ulkus kornea yang dapat
menyebabkan kebutaan.Kelainan lapang pandang yang disebabkan kurangnya
aliran air mata sehingga pandangan menjadi kabur dan rasa pusing

2.1.7 Penegakkan Diagnosis

Tanda-tanda konjungtivitis, yakni:

a. Kemerahan di forniks dan makin berkurang ke arah limbus karena dilatasi


pembuluh-pembuluh konjungtiva posterior (Hiperemia).

b. Produksi air mata berlebihan (epifora).

c. Eksudat yang berlapis-lapis dan amorf pada konjungtivitis bakteri dan berserabut
pada konkungtivitis alergika (eksudasi).

d. Terkulainya palpebra superior karena infiltrasi di otot Muller (pseudoptosis)

e. Penumpukan Limfosit di pembuluh darah (fliktenula).

f. Pengentalan (koagulum) di atas permukaan epitel (pseudomembran).

g. Edema dari konjungtiva mata (Chemosis) (Kanski, 2000).


a. Gejala Subjektif

Konjungtivitis biasanya hanya menyebabkan iritasi dengan rasa sakit dengan mata
merah dan lakrimasi. Khasnya pada konjungtivitis flikten apabila kornea ikut terlibat
akan terdapat fotofobia dan gangguan penglihatan. Keluhan lain dapat berupa rasa
berpasir. Konjungtivitis flikten biasanya dicetuskan oleh blefaritis akut dan
konjungtivitis bekterial akut.

b. Gejala Objektif

Dengan Slit Lamp tampak sebagai tonjolan bulat ukuran 1-3 mm, berwarna kuning
atau kelabu, jumlahnya satu atau lebih yang di sekelilingnya terdapat pelebaran
pembuluh darah konjungtiva (hyperemia). Bisa unilateral atau mengenai kedua
mata.

c. Laboratorium

Dapat dilakukan pemeriksaan kultur konjungtiva. Pemeriksaan dengan pewarnaan


gram pada sekret untuk mengidentifikasi organisme penyebab maupun adanya
infeksi sekunder (Vaughan, 2008).

DISINI ISI BAGIANNYA KARTIKA DULU CAK


SAMPE SELESE
2.8 Perbedaan Konjungtivitis Berdasarkan Penyebab

2.8.1 Konjungtivitis Bakteri

A. Definisi

Konjungtivitis Bakteri adalah inflamasi konjungtiva yang disebabkan oleh


bakteri. Pada konjungtivitis ini biasanya pasien datang dengan keluhan mata merah,
sekret pada mata dan iritasi mata.

B. Etiologi dan Faktor Resiko

Konjungtivitis bakteri dapat dibagi menjadi empat bentuk, yaitu hiperakut,


akut, subakut dan kronik. Konjungtivitis bakteri hiperakut biasanya disebabkan oleh
N gonnorhoeae, Neisseria kochii dan N meningitidis. Bentuk yang akut biasanya
disebabkan oleh Streptococcus pneumonia dan Haemophilus aegyptyus. Penyebab
yang paling sering pada bentuk konjungtivitis bakteri subakut adalah H influenza dan
Escherichia coli, sedangkan bentuk kronik paling sering terjadi pada konjungtivitis
sekunder atau pada pasien dengan obstruksi duktus nasolakrimalis.

Konjungtivitis bakterial biasanya mulai pada satu mata kemudian mengenai


mata yang sebelah melalui tangan dan dapat menyebar ke orang lain. Penyakit ini
biasanya terjadi pada orang yang terlalu sering kontak dengan penderita, sinusitis
dan keadaan imunodefisiensi.

C. Patofisiologi

Jaringan pada permukaan mata dikolonisasi oleh flora normal seperti


streptococci, staphylococci dan jenis Corynebacterium. Perubahan pada mekanisme
pertahanan tubuh ataupun pada jumlah koloni flora normal tersebut dapat
menyebabkan infeksi klinis. Perubahan pada flora normal dapat terjadi karena
adanya kontaminasi eksternal, penyebaran dari organ sekitar ataupun melalui aliran
darah (Rapuano, 2008). Penggunaan antibiotik topikal jangka panjang merupakan
salah satu penyebab perubahan flora normal pada jaringan mata, serta resistensi
terhadap antibiotic. Mekanisme pertahanan primer terhadap infeksi adalah lapisan
epitel yang meliputi konjungtiva sedangkan mekanisme pertahanan sekundernya
adalah sistem imun yang berasal dari perdarahan konjungtiva, lisozim dan
imunoglobulin yang terdapat pada lapisan air mata, mekanisme pembersihan oleh
lakrimasi dan berkedip. Adanya gangguan atau kerusakan pada mekanisme
pertahanan ini dapat menyebabkan infeksi pada konjungtiva.

D. Gejala Klinis

Gejala-gejala yang timbul pada konjungtivitis bakteri biasanya dijumpai


injeksi konjungtiva baik segmental ataupun menyeluruh. Selain itu sekret pada
kongjungtivitis bakteri biasanya lebih purulen daripada konjungtivitis jenis lain, dan
pada kasus yang ringan sering dijumpai edema pada kelopak mata. Ketajaman
penglihatan biasanya tidak mengalami gangguan pada konjungtivitis bakteri namun
mungkin sedikit kabur karena adanya sekret dan debris pada lapisan air mata,
sedangkan reaksi pupil masih normal. Gejala yang paling khas adalah kelopak mata
yang saling melekat pada pagi hari sewaktu bangun tidur.

E. Diagnosis

Pada saat anamnesis yang perlu ditanyakan meliputi usia, karena mungkin
saja penyakit berhubungan dengan mekanisme pertahanan tubuh pada pasien yang
lebih tua. Pada pasien yang aktif secara seksual, perlu dipertimbangkan penyakit
menular seksual dan riwayat penyakit pada pasangan seksual. Perlu juga
ditanyakan durasi lamanya penyakit, riwayat penyakit yang sama sebelumnya,
riwayat penyakit sistemik, obat-obatan, penggunaan obat-obat kemoterapi, riwayat
pekerjaan yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit, riwayat alergi dan
alergi terhadap obat-obatan, dan riwayat penggunaan lensa-kontak.

F. Komplikasi

Blefaritis marginal kronik sering menyertai konjungtivitis bateri, kecuali pada


pasien yang sangat muda yang bukan sasaran blefaritis. Parut di konjungtiva paling
sering terjadi dan dapat merusak kelenjar lakrimal aksesorius dan menghilangkan
duktulus kelenjar lakrimal. Hal ini dapat mengurangi komponen akueosa dalam film
air mata prakornea secara drastis dan juga komponen mukosa karena kehilangan
sebagian sel goblet. Luka parut juga dapat mengubah bentuk palpebra superior dan
menyebabkan trikiasis dan entropion sehingga bulu mata dapat menggesek kornea
dan menyebabkan ulserasi, infeksi dan parut pada kornea (Vaughan, 2010).

G. Penatalaksanaan

Terapi spesifik konjungtivitis bakteri tergantung pada temuan agen


mikrobiologiknya. Terapi dapat dimulai dengan antimikroba topikal spektrum luas.
Pada setiap konjungtivitis purulen yang dicurigai disebabkan oleh diplokokus gram-
negatif harus segera dimulai terapi topical dan sistemik . Pada konjungtivitis purulen
dan mukopurulen, sakus konjungtivalis harus dibilas dengan larutan saline untuk
menghilangkan sekret konjungtiva (Ilyas, 2008).

2.8.2. Konjungtivitis Virus

A. Definisi

Konjungtivitis viral adalah penyakit umum yang dapat disebabkan oleh


berbagai jenis virus, dan berkisar antara penyakit berat yang dapat menimbulkan
cacat hingga infeksi ringan yang dapat sembuh sendiri dan dapat berlangsung lebih
lama daripada konjungtivitis bakteri (Vaughan, 2010)

B. Etiologi dan Faktor Resiko Konjungtivitis viral dapat disebabkan berbagai


jenis virus, tetapi adenovirus adalah virus yang paling banyak menyebabkan
penyakit ini, dan herpes simplex virus yang paling membahayakan. Selain itu
penyakit ini juga dapat disebabkan oleh virus Varicella zoster, picornavirus
(enterovirus 70, Coxsackie A24), poxvirus, dan human immunodeficiency virus
(Scott, 2010). Penyakit ini sering terjadi pada orang yang sering kontak dengan
penderita dan dapat menular melalu di droplet pernafasan, kontak dengan benda-
benda yang menyebarkan virus (fomites) dan berada di kolam renang yang
terkontaminasi (Ilyas, 2008).
C. Patofisiologi

Mekanisme terjadinya konjungtivitis virus ini berbeda-beda pada setiap jenis


konjungtivitis ataupun mikroorganisme penyebabnya (Hurwitz, 2009).
Mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit ini dijelaskan pada etiologi.

D. Gejala Klinis

Gejala klinis pada konjungtivitis virus berbeda-beda sesuai dengan


etiologinya. Pada keratokonjungtivitis epidemik yang disebabkan oleh adenovirus
biasanya dijumpai demam dan mata seperti kelilipan, mata berair berat dan kadang
dijumpai pseudomembran. Selain itu dijumpai infiltrat subepitel kornea atau keratitis
setelah terjadi konjungtivitis dan bertahan selama lebih dari 2 bulan (Vaughan &
Asbury, 2010). Pada konjungtivitis ini biasanya pasien juga mengeluhkan gejala
pada saluran pernafasan atas dan gejala infeksi umum lainnya seperti sakit kepala
dan demam. Pada konjungtivitis herpetic yang disebabkan oleh virus herpes
simpleks (HSV) yang biasanya mengenai anak kecil dijumpai injeksi unilateral, iritasi,
sekret mukoid, nyeri, fotofobia ringan dan sering disertai keratitis herpes.
Konjungtivitis hemoragika akut yang biasanya disebabkan oleh enterovirus dan
coxsackie virus memiliki gejala klinis nyeri, fotofobia, sensasi benda asing,
hipersekresi airmata, kemerahan, edema palpebra dan perdarahan subkonjungtiva
dan kadang-kadang dapat terjadi kimosis.

E. Diagnosis

Diagnosis pada konjungtivitis virus bervariasi tergantung etiologinya, karena


itu diagnosisnya difokuskan pada gejala-gejala yang membedakan tipetipe menurut
penyebabnya. Dibutuhkan informasi mengenai, durasi dan gejala-gejala sistemik
maupun ocular, keparahan dan frekuensi gejala, faktorfaktor resiko dan keadaan
lingkungan sekitar untuk menetapkan diagnosis konjungtivitis virus (AOA, 2010).
Pada anamnesis penting juga untuk ditanyakan onset, dan juga apakah hanya
sebelah mata atau kedua mata yang terinfeksi (Gleadle, 2007). Konjungtivitis virus
sulit untuk dibedakan dengan konjungtivitis bakteri berdasarkan gejala klinisnya dan
untuk itu harus dilakukan pemeriksaan lanjutan, tetapi pemeriksaan lanjutan jarang
dilakukan karena menghabiskan waktu dan biaya (Hurwitz, 2009).

F. Komplikasi

Konjungtivitis virus bisa berkembang menjadi kronis, seperti


blefarokonjungtivitis. Komplikasi lainnya bisa berupa timbulnya pseudomembran,
dan timbul parut linear halus atau parut datar, dan keterlibatan kornea serta timbul
vesikel pada kulit (Vaughan, 2010).

G. Penatalaksanaan

Konjungtivitis virus yang terjadi pada anak di atas 1 tahun atau pada orang
dewasa umumnya sembuh sendiri dan mungkin tidak diperlukan terapi, namun
antivirus topikal atau sistemik harus diberikan untuk mencegah terkenanya kornea.
Pasien konjungtivitis juga diberikan instruksi hygiene untuk meminimalkan
penyebaran infeksi.

2.8.3 Konjungtivitis Alergi

A. Definisi

Konjungtivitis alergi adalah bentuk alergi pada mata yang paing sering dan
disebabkan oleh reaksi inflamasi pada konjungtiva yang diperantarai oleh sistem
imun (Cuvillo et al, 2009). Reaksi hipersensitivitas yang paling sering terlibat pada
alergi di konjungtiva adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1.

B. Etiologi dan Faktor Resiko

Konjungtivitis alergi dibedakan atas lima subkategori, yaitu konjungtivitis


alergi musiman dan konjungtivitis alergi tumbuh-tumbuhan yang biasanya
dikelompokkan dalam satu grup, keratokonjungtivitis vernal, keratokonjungtivitis
atopik dan konjungtivitis papilar raksasa (Vaughan, 2010). Etiologi dan faktor resiko
pada konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai dengan subkategorinya. Misalnya
konjungtivitis alergi musiman dan tumbuhtumbuhan biasanya disebabkan oleh alergi
tepung sari, rumput, bulu hewan, dan disertai dengan rinitis alergi serta timbul pada
waktu-waktu tertentu. Vernal konjungtivitis sering disertai dengan riwayat asma,
eksema dan rinitis alergi musiman. Konjungtivitis atopik terjadi pada pasien dengan
riwayat dermatitis atopic, sedangkan konjungtivitis papilar rak pada pengguna
lensakontak atau mata buatan dari plastik

C. Gejala Klinis

Gejala klinis konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai dengan


subkategorinya. Pada konjungtivitis alergi musiman dan alergi tumbuh-tumbuhan
keluhan utama adalah gatal, kemerahan, air mata, injeksi ringan konjungtiva, dan
sering ditemukan kemosis berat. Pasien dengan keratokonjungtivitis vernal sering
mengeluhkan mata sangat gatal dengan kotoran mata yang berserat, konjungtiva
tampak putih susu dan banyak papila halus di konjungtiva tarsalis inferior. Sensasi
terbakar, pengeluaran sekret mukoid, merah, dan fotofobia merupakan keluhan yang
paling sering pada keratokonjungtivitis atopik. Ditemukan jupa tepian palpebra yang
eritematosa dan konjungtiva tampak putih susu. Pada kasus yang berat ketajaman
penglihatan menurun, sedangkan pada konjungtiviitis papilar raksasa dijumpai tanda
dan gejala yang mirip konjungtivitis vernal (Vaughan, 2010).

D. Diagnosis

Diperlukan riwayat alergi baik pada pasien maupun keluarga pasien serta
observasi pada gejala klinis untuk menegakkan diagnosis konjungtivitis alergi.
Gejala yang paling penting untuk mendiagnosis penyakit ini adalah rasa gatal pada
mata, yang mungkin saja disertai mata berair, kemerahan dan fotofobia.

E. Komplikasi

Komplikasi pada penyakit ini yang paling sering adalah ulkus pada kornea
dan infeksi sekunder (Jatla, 2009).
F. Penatalaksanaan

Penyakit ini dapat diterapi dengan tetesan vasokonstriktor-antihistamin


topikal dan kompres dingin untuk mengatasi gatal-gatal dan steroid topikal jangka
pendek untuk meredakan gejala lainnya (Vaughan, 2010).

2.8.4. Konjungtivitis Jamur

Konjungtivitis jamur paling sering disebabkan oleh Candida albicans dan


merupakan infeksi yang jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan adanya bercak
putih dan dapat timbul pada pasien diabetes dan pasien dengan keadaan sistem
imun yang terganggu. Selain Candida sp, penyakit ini juga dapat disebabkan oleh
Sporothrix schenckii, Rhinosporidium serberi, dan Coccidioides immitis walaupun
jarang (Vaughan, 2010).

2.8.5. Konjungtivitis Parasit

Konjungtivitis parasit dapat disebabkan oleh infeksi Thelazia californiensis,


Loa loa, Ascaris lumbricoides, Trichinella spiralis, Schistosoma haematobium,
Taenia solium dan Pthirus pubis walaupun jarang (Vaughan, 2010).

2.8.6. Konjungtivitis kimia atau iritatif

Konjungtivitis kimia-iritatif adalah konjungtivitis yang terjadi oleh pemajanan


substansi iritan yang masuk ke sakus konjungtivalis. Substansi-substansi iritan yang
masuk ke sakus konjungtivalis dan dapat menyebabkan konjungtivitis, seperti asam,
alkali, asap dan angin, dapat menimbulkan gejala-gejala berupa nyeri, pelebaran
pembuluh darah, fotofobia, dan blefarospasme. Selain itu penyakit ini dapat juga
disebabkan oleh pemberian obat topikal jangka panjang seperti dipivefrin, miotik,
neomycin, dan obat-obat lain dengan bahan pengawet yang toksik atau
menimbulkan iritasi. Konjungtivitis ini dapat diatasi dengan penghentian substansi
penyebab dan pemakaian tetesan ringan (Vaughan, 2010).

2.8.7. Konjungtivitis lain


Selain disebabkan oleh bakteri, virus, alergi, jamur dan parasit, konjungtivitis
juga dapat disebabkan oleh penyakit sistemik dan penyakit autoimun seperti
penyakit tiroid, gout dan karsinoid. Terapi pada konjungtivitis yang disebabkan oleh
penyakit sistemik tersebut diarahkan pada pengendalian penyakit utama atau
penyebabnya (Vaughan, 2010). Konjungtivitis juga bisa terjadi sebagai komplikasi
dari acne rosacea dan dermatitis herpetiformis ataupun masalah kulit lainnya pada
daerah wajah.

Anda mungkin juga menyukai