3-1
3.2 Mekanisme Pecahnya Batuan Akibat Peledakan
Proses pecahnya batuan akibat energi ledakan dapat dibagi dalam tiga tingkat,
yaitu proses pemecahan tingkat I (dynamic loading), proses pemecahan
tingkat II (quasi-static loading), proses pemecahan tingkat III (release of loading).
1. Proses pemecahan tingkat I (Dynamic Loading)
Saat bahan peledak meledak, tekanan tinggi yang ditimbulkan akan
menghancurkan batuan di daerah sekitar lubang tembak. Gelombang kejut yang
meninggalkan lubang tembak merambat dengan kecepatan 3000 5000 m/det akan
mengakibatkan tegangan yang memiliki arah tegak lurus dengan dinding lubang
ledak. Dari tegangan tersebut dinamakan tegangan tangensial yang menimbulkan
rekahan radial yang menjalar dari daerah lubang tembak. Rekahan radial pertama
terjadi dalam waktu 1 2 milidetik.
2. Proses pemecahan tingkat II (Quasi-siatic Loading)
Tekanan akibat gelombang kejut yang meninggalkan lubang tembak pada
proses pemecahan tahap I adalah positif. Apabila gelombang kejut mencapai bidang
bebas (free face), gelombang tersebut akan dipantulkan. Bersamaan dengan itu
tekanannya akan turun dengan cepat dan kemudian berubah menjadi negatif serta
menimbulkan gelombang tarik (tension wave). Gelombang tarik ini merambat
kembali di dalam batuan. Oleh karena kuat tarik batuan lebih kecil dari pada kuat
tekan, maka akan terjadi rekahan-rekahan (primary failure cracks) karena tegangan
tarik yang cukup kuat, sehingga menyebabkan terjadinya slabbing atau spalling pada
bidang bebas. Dalam proses pemecahan tahap I dan II fungsi dari energi yang
ditimbulkan oleh gelombang kejut adalah membuat sejumlah rekahan-rekahan
kecil pada batuan. Secara teoritis jumlah energi gelombang kejut hanya berkisar
antara 515% dari energi total bahan peledak. Jadi gelombang kejut tidak secara
langsung memecahkan batuan, tetapi mempersiapkan kondisi batuan untuk proses
pemecahan tahap akhir.
3. Proses pemecahan tingkat III (Release of Loading)
Saat berada dalam pengaruh tekanan yang sangat tinggi dari gas-gas hasil
peledakan maka rekahan radial utama (tahap II) akan diperbesar secara cepat oleh
efek kombinasi dari tegangan tarik yang disebabkan kompresi radial dan pembajian
(pneumatic wedging). Apabila massa di depan lubang tembak gagal mempertahankan
posisinya dan bergerak ke depan maka tegangan tekan tinggi yang berada dalam
3-2
batuan akan dilepaskan, seperti spiral kawat yang ditekan kemudian dilepaskan.
Akibat pelepasan tegangan tekan ini akan menimbulkan tegangan tarik yang besar di
dalam massa batuan. Tegangan tarik inilah yang melengkapi proses pemecahan
batuan yang sudah dimulai pada tahap II. Rekahan yang terjadi dalam proses
pemecahan tahap II merupakan bidang-bidang lemah yang membantu fragmentasi
utama pada proses peledakan.
Gambar 3.1
Mekanisme Pecahnya Batuan
Kemiringan lubang ledak secara teoritis ada dua, yaitu lubang ledak tegak dan
lubang ledak miring. Rancangan peledakan yang menerapkan lubang ledak tegak,
maka gelombang tekan yang dipantulkan oleh bidang bebas lebih sempit, sehingga
kehilangan gelombang tekan akan cukup besar pada lantai jenjang bagian bawah, hal
ini dapat menyebabkan timbulnya tonjolan pada lantai jenjang. Sedangkan pada
peledakan dengan ledak yang miring akan membentuk bidang bebas yang lebih luas,
sehingga akan mempermudah proses pecahnya batuan dan kehilangan gelombang
tekan pada lantai jenjang menjadi lebih kecil. Dapat dilihat pada gambar 3.2.
3-3
Gambar 3.2
Pemboran dengan lubang ledak tegak dan miring
3-4
b. Mengalami kesulitan dalam pengisian bahan peledak
c. Pada pemboran lubang ledak dalam, sudut deviasi yang dibentuk akan semakin
besar.
3. Keuntungan lubang ledak tegak adalah sebagai berikut.
a. Pemboran dapat dilakukan dengan lebih mudah dan lebih akurat
b. Untuk tinggi jenjang sama lubang ledak akan lebih pendek jika disbanding
dengan lubang miring
4. Kerugian lubang ledak tegak adalah sebagai berikut.
a. Kemungkinan timbulnya tonjolan pada lantai jenjang (remnant toe) besar
b. Kemungkinan timbulnya retakan ke belakang (back break) dan getaran tanah
lebih besar.
c. Lebih banyak menghasilkan bongkah pada daerah di sekitar stemming.
3.4 Pola Pemboran Lubang Ledak
3-5
Gambar 3.2
Pola Pemboran Lubang Ledak
3-6
Gambar 3.3
Pengaruh Energi Peledakan Pada Pola Pemboran Lubang Ledak
(Koesnaryo, 2001)
3-7
Gambar 3.4
Pola Peledakan Lubang Ledak
3-8
3.5 Geometri Peledakan
1
Dstd 3
Af1 = ( ) ..................................................................................... (3.1)
D
1
SG. Ve2 3
.......................................................................... (3.2)
Af2 = ( )
SGstd . Ve2 std
Keterangan :
Af1 = adjusment factor batuan yang diledakkan
Af2 = adjusment factor bahan peledak yang dipakai
D = bobot isi batuan yang diledakkan
Dstd = bobot isi batuan standar (160 lb/cuft)
SG = berat jenis bahan peledak (gr/cc)
SGstd = berat jenis bahan peledak (1,20)
Ve = VOD bahan peledak yang dipakai
Vestd = VOD bahan peledak yang dipakai (12000 fps)
Kb = burden ratio (30)
b. Spacing (S)
Spacing adalah jarak antar lubang ledak dirangkai dalam satu baris dan diukur
terhadap bidang bebas.
S = Ks B ....................................................................................... (3.5)
Keterangan :
Ks = spacing ratio (1,00 - 2,00)
B = burden (m)
3-9
c. Stemming (T)
Stemming adalah lubang ledak bagian atas yang tidak diisi bahan peledak,
tetapi biasanya diisi oleh abu hasil pemboran atau material berukuran kerikil (lebih
baik) dan dipadatkan di atas bahan peledak. Untuk menghitung panjang stemming
perlu ditentukan stemming ratio (Kt), yaitu perbandingan panjang stemming dengan
burden.
T = K B ......................................................................................... (3.6)
Keterangan :
Kt = stemming ratio (0,75 - 1,00)
B = burden (m)
d. Kedalaman Lubang Ledak (L)
Kedalaman lubang ledak adalah tidak boleh lebih kecil dari ukuran burden
untuk menghindari terjadinya overbreaks dan cratering. Kedalaman lubang ledak
biasanya disesuaikan dengan tingkat produksi (kapasitas alat muat) dan pertimbangan
geoteknik.
L = Kl B ......................................................................................... (3.7)
Keterangan :
Kl = kedalaman lubang ledak (1,50 - 4,00)
B = burden (m)
e. Subdrilling (J)
Subdrilling adalah lubang ledak yang dibor sampai melebihi batas lantai
jenjang bagian bawah. Maksudnya supaya batuan dapat meledak secara fullface dan
untuk menghindari kemungkinan adanya tonjolan-tonjolan (toe) pada lantai jenjang
bagian bawah. Tonjolan yang terjadi akan menyulitkan peledakan berikutnya dan pada
waktu pemuatan dan pengangkutan. Panjang subdrilling diperoleh dengan
menentukan harga subdrilling ratio (Kj) yang besarnya tidak lebih kecil dari 0,20.
Untuk batuan masif biasanya Kj sebesar 0,30.
J = Kj B ......................................................................................... (3.8)
Keterangan :
Kj = subdrilling (0,20 - 0,30)
B = burden (m)
3-10
3.5.2 Geometri Peledakan Menurut C.J. Konya
a. Burden (B)
Burden adalah jarak tegak lurus terpendek antara muatan bahan peledak
dengan bidang bebas terdekat atau ke arah mana pelemparan batuan akan terjadi.
Secara sistematis, besarnya burden dan hubungannya dengan faktor-faktor tersebut
dinyatakan sebagai berikut :
2 SGe
B2 = (( ) + 1,50) De ................................................................ (3.10)
SGr
Bc = B Kr Kd Ks .......................................................................... (3.12)
Tabel 3.1
Faktor Koreksi Terhadap Jumlah Baris Dalam Lubang Ledak
Tabel 3.2
Faktor Koreksi Terhadap Posisi Lapisan Batuan
Tabel 3.3
Faktor Koreksi Terhadap Struktur Geologi
3-11
Keterangan :
De = diameter lubang ledak (inchi)
SGe = berat jenis bahan peledak yang dipakai (gr/cc)
SGr = berat jenis batu yang akan dibongkar (gr/cc)
Stv = relative bulk strength
Bc = burden terkoreksi (ft)
B = burden rata-rata hasil perhitungan dari B1, B2, B3 (ft)
Kr = faktor koreksi terhadap jumlah baris dalam lubang ledak
Kd = faktor koreksi terhadap posisi lapisan batuan
Ks = faktor koreksi terhadap struktur geologi
b. Spacing (S)
Spacing adalah jarak di antara lubang ledak dalam satu garis yang sejajar
dengan bidang bebas. Penentuan spasi geometri peledakan menurut C.J. Konya
berdasarkan sistem penyalaan adalah sebagai berikut :
Tabel 3.4
Penentuan Spasi Geometri Peledakan
c. Subdrilling (J)
Subdrilling adalah merupakan panjang lubang ledak yang berada di bawah
garis lantai jenjang, yang berfungsi untuk membuat lantai jenjang relatif rata setelah
peledakan.
J = 0,30 B ....................................................................................... (3.13)
Keterangan :
J = subdrilling (m)
B = burden (m)
d. Stemming (T)
Stemming adalah kolom material penutup lubang ledak di atas kolom isian
bahan peledak.
T = 0,70 B ....................................................................................... (3.14)
3-12
Keterangan :
T = stemming (m)
B = burden (m)
e. Kedalaman Lubang Ledak (L)
Kedalaman lubang ledak biasanya disesuaikan dengan tingkat produksi
(kapasitas alat muat) dan pertimbangan geoteknik.
H+J ............................................................................................ (3.15)
L=
Keterangan :
L = kedalaman lubang ledak (m)
H = tinggi jenjang (m)
J = subdrilling (m)
= sudut kemiringan lubang ledak yang diinginkan
Untuk charge length, loading density, dan powder factor terdapat persamaan
pada geometri R.L. Ash dan geometri C.J. Konya, yaitu sebagai berikut :
1. Charge Length (PC)
Charge Length (PC) atau biasanya disebut panjang kolom isian bahan peledak.
PC = L T ....................................................................................... (3.16)
Keterangan :
PC = panjang kolom isian (m)
L = kedalaman lubang ledak (m)
T = stemming (m)
2. Loading Density (de)
Loading Density adalah jumlah isian bahan peledak permeter panjang kolom
isian.
Keterangan :
de = loading density (kg/m)
SGe = berat jenis bahan peledak (gr/cc)
De = diameter lubang ledak (inchi)
3-13
Powder factor adalah suatu bilangan yang menyatakan perbandingan antara
penggunaan bahan peledak terhadap jumlah material yang diledakkan dalam kg/bcm.
E de PC ............................................................................... (3.18)
PF = =
V BSH
Keterangan :
PF = powder factor (kg/bcm)
E = bahan peledak yang digunakan (kg)
V = volume batuan yang diledakkan (bcm)
de = loading density (kg/m)
PC = panjang kolom isian (m)
B = burden (m)
S = spacing (m)
H = tinggi jenjang (m)
(Saptono, 2006)
3-14
Berikut ini perlengkapan serta peralatan yang digunakan pada suatu kegiatan
peledakan :
Tabel 3.5
Peralatan dan Perlengkapan Peledakan
(Anonim, 2010)
3.8 Fragmentasi
3-15
1. Metode Pengukuran Fragmentasi
Empat metode pengukuran fragmentasi peledakan (Hustrulid, 1999; 38-42)
adalah sebagai berikut :
a. Pengayakan (sieving)
Metode ini menggunakan ayakan dengan ukuran saringan berbeda untuk
mengetahui persentase lolos fragmentasi batuan hasil peledakan.
b. Boulder counting (production statistic)
Metode ini mengukur hasil peledakan melalui proses berikutnya, apakah
terdapat kendala dalam proses tersebut, misalnya melalui pengamatan digging rate,
secondary breakage dan produktivitas crusher.
c. Image analysis (photographic)
Metode ini menggunakan perangkat lunak (software) dalam melakukan
analisis fragmentasi. Software tersebut antara lain Fragsize, Split Engineering, gold
size, power sieve, fragscan, wipfrag, dan lain-lain.
d. Manual (Measurement)
Dilakukan pengamatan dan pengukuran secara manual di lapangan, dalam
satuan luas tertentu yang dianggap mewakili (representatif).
2. Prediksi Distribusi Fragmentasi Kuz-Ram
Model Kuz-Ram merupakan gabungan dari persamaan Kuznetsov dan
persamaan Rossin Rammler. Persamaan Kuznetsov memberikan ukuran fragmen
batuan rata-rata dan persamaan Rossin Rammler menentukan persentase material
yang tertampung di ayakan dengan ukuran tertentu. Persamaan Kuznetsov adalah
sebagai berikut :
0.8
V 0.167
x Ax o xQ ............................................................................... (3.19)
Q
Dengan :
X = Ukuran rata-rata fragmentasi batuan (cm)
A = Faktor batuan
Vo = Volume batuan yang terbongkar (m3)
3-16
Q = Berat bahan peledak tiap lubang ledak (kg)
Persamaan di atas untuk tipe bahan peledak ANFO. Untuk itu Cunningham
memodifikasi persamaan tersebut untuk memenuhi penggunaan TNT dan ANFO
sebagai bahan peledak. Sehingga pesamaan tersebut menjadi :
0.8 0 , 63
V 0.1667
E .......................................................... (3.20)
x Ax o xQ
Q 115
Dengan :
X n
( ) ................................................................................. (3.21)
Re Xc
Dengan :
R = Persentase massa batuan yang lolos dengan ukuran X (%)
Xc = Karakteristik ukuran (cm)
X = Ukuran Ayakan (cm)
n = Indeks Keseragaman
Xc dihitung dengan menggunakan rumus berikut ini :
x
Xc ........................................................................ (3.22)
(0,693)1 / n
Indeks n adalah indeks keseragaman yang dikembangkan oleh Cunningham
dengan menggunakan parameter dari desain peledakan. Indeks keseragaman (n)
ditentukan dengan persamaan di bawah ini :
S 0,5
14B 1+ PC
B
n = (2,2 )( ) ( ) .................................................. (3.23)
D 2 H
Dengan :
B = Burden (m) D = Diameter (mm)
S = Spasi (m) H = Tinggi Jenjang (m)
3-17
PC = Panjang muatan handak (m)
3. Pembobotan Faktor Batuan
Salah satu data masukan untuk model Kuz-Ram adalah faktor batuan yang
diperoleh dari indeks kemampuledakkan atau Blastability index (BI). Nilai BI
ditentukan dari penjumlahan bobot lima parameter yang diberikan oleh Lily (dalam
Hustrulid, 1999), yaitu : Rock mass description (RMD), join plane spacing (JPS), joint
plane orientation (JPO), specific gravity influence (SGI), dan Mohs hardness (H).
Parameter-parameter tersebut kenyataanya sangat bervariasi. Secara lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 3.6
Pembobotan Massa Batuan Untuk Peledakan
Parameter Pembobotan
3-18
5. Hardness (H) 1 - 10
Tabel 3.7
Skala Mohs
Kekerasan Nama Mineral Alat penguji
1 Talc (Talk) Sangat Lunak
2 Gypsum (Gipsum) Tergores kuku manusia
3 Calcite (Kalsit) Tergores koin perunggu
4 Flourspar (Flourite) Tergores paku besi
5 Apatite (Apatit) Tergores kaca
6 Feldspar / Ortoklas Tergores pisau lipat
7 Quartz (Kuarsa) Tergores pisau baja
8 Topaz Tergores amplas
9 Corondum
10 Diamond (Intan)
*Sumber : Hustrulid, 1999; 83
(Anonim, 2016)
3-19