Anda di halaman 1dari 3

Budaya; Jerman vs Indonesia: Refleksi

Perbandingan
REP | 23 August 2013 | 09:33 Dibaca: 652 Komentar: 0 0

Saat ini Indonesia dihadapkan pada tantangan global berupa persaingan dalam segala bidang
terutama ekonomi & perdagangan. Ada sejumlah pra-syarat yang mesti dipenuhi oleh bangsa ini
untuk mampu bersaing di tingkat global, antara lain budaya unggul. Sementara, budaya unggul
yang dimiliki bangsa Indonesia masih jauh dibandingkan budaya unggul bangsa lain, misalnya
Jerman. Jerman (bangsa yg mampu bangkit dari keterpurukan pada PD II dan tumbuh menjadi
bangsa yang kuat dan maju , bahkan menjadi lokomotif Uni Eropa). Jerman dengan nenek
moyangnya bangsa Aria/Indo German. Secara historis Bangsa Aria juga bermigrasi ke India (yg
juga memiliki budaya unggul). Sebagian wilayah Indonesia dan masyarakatnya dahulu banyak
mendapatkan pengaruh yg sangat kuat dari kebudayaan Hindhu-Budha (dari India). Sebutan
Aria/Arya sebenarnya tidak asing bagi nenek moyang bangsa Indonesia, bahkan banyak dipakai
sebagai nama, misalnya: Arya Wiraraja, Arya Penangsang, Arya Damar, dll.

Budaya Unggul Jerman vs. Indonesia


1. Jujur

Banyak contoh budaya jujur bangsa Jerman dlm kehidupan sehari-hari: Membayar / membeli
tiket naik trem/bus sendiri tanpa ada petugas yang menariknya, Membeli Koran dengan
membayar dan mengambil sendiri tanpa ditunggui penjualnya, Penggunaan student card utk
mendapatkan berbagai fasilitas (gratis transportasi, diskon makan di menza, diskon masuk
museum, dll.) dg tanpa meminjamkannya kepada orang lain yg bukan mhs supaya memperoleh
fasilitas yg sama, Melaksanakan tes atau ujian di Univ. (kecurangan diberikan sanksi tegas),
Pemberian surat keterangan dokter.
Sementara, pada bangsa Indonesia (mayoritas Muslim) belum menjadi sebuah budaya
budaya. Kejujuran sebagai nilai penting baru sebatas kognitif/pengetahuan blm terwujud
dlm sikap/afektif apalagi budaya keseharian masyarakat. Sesungguhnya agama (Islam)
dengan ajaran tentang kejujurannya merupakan modal yg sudah dimiliki bangsa ini untuk
membangun budaya jujur.
2. Anti korupsi dan melayani

Beberapa contoh: Budaya anti korupsi di kalangan aparat kepolisian, Budaya anti korupsi di
kalangan pegawai kantor pemerintah (mengurus perpanjangan visa utk mhs. asing / gratis.
Untuk kasus ini, Indonesia perlu bekerja keras, karena budaya yang dimiliki justru
kebalikannya. Meskipun demikian, kita memiliki agama dg ajarannya ttg keharaman
riswah yg dapat dipakai utk membongkar budaya korupsi dan menggantinya dengan
membangun budaya anti korupsi.
3. Mandiri dan kerja keras dengan hasil bermutu tinggi

Kemandirian diajarkan sejak dini. Di usia 19 th : menghidupi diri sendiri. Beberapa contoh:
Penguasaan teknologi : mesin/mobil-made in Germany, Seni: Bethoven-Gothe-Johan Sebastian
Bach. Bahasa, penguasaan B. Arab dengan baik dlm waktu yg cepat, Penulisan Kamus: Arab
Jerman Hans-Wehr, Pengalaman kuliah: tdk ada model paket, tdk ada budaya meminjam catatan
orang lain, waktu kerja/belajar untuk kerja/belajar, sedangkan waktu istirahat utk istirahat, tdk
kombinatif.
Bangsa Indonesia sesungguhnya sudah memiliki budaya kerja keras, tetapi belum cukup
menghasilkan produk dg mutu yg tinggi. Betapa banyaknya orang yang bekerja siang
malam dan bekerja apa saja, tetapi hasilnya begitu-begitu saja. Budaya mandiri jg belum
terbentuk. Mungkin karena dominannya rasa kasihan yang diberikan oleh orang tua kepada
anak sehingga anak justru menjadi kurang mandiri. Banyak kasus dimana orang tua
menanggung kehidupan anak bahkan ketika sang anak sudah menikah/berkeluarga.
4. Berfikir serius /cinta ilmu

Ungkapan sehari-hari dalam B. Jerman: Ich denke / I think dan bukan Ich fuhle/ I feel
menunjukkan budaya berfikir yg kuat. Analogi dikutip dari Monika Wizeman: Kalau orang
Amerika dan Jerman diperintahkan mendiskripsikan harimau maka orang Amerika akan masuk
hutan 2 hari dan keluar membawa 2 buku deskripsi harimau, sedangkan orang Jerman akan
masuk ke hutan selama 2 bln dengan membawa tumpukan buku yg berisi deskripsi lengkap
harimau dari ujung kuku sampai ujung rambut kepala dan ekornya tanpa ada yg tersisa. Jerman
banyak menghasilkan filosof besar dunia : Immanuel Kant, Karl Marx, tokoh-tokoh dalam
Madzhab Frakfurt, dll. Untuk menjamin pendidikan semua sekolah gratis dari SD-PT bahkan utk
orang asing, dan akses kepada sumber ilmu dipermudah: perpustakaan.
Bangsa Indonesia, Insyaallah sudah mengarah ke sana. Hanya saja, khusus utk urusan berfikir
serius kita belum punya banyak tokoh filosof, meskipun sesungguhnya kita punya banyak
budayawan. Mungkin ada hubungannya dengan kuatnya kekuatan perasaan daripada kekuatan
piker sebagai mana terungkap dalam bahasa sehari-hari: saya rasa atau saya kira, bukan
saya pikir.
5. Disiplin

Ungkapan Du komst zu spaet merupakan ungkapan yg dilontarkan kepada seseorang yang


terlambat misal. menyerahkan /menyelesaikan sesuatu Contoh-contoh dlm keseharian:
Bus/kereta api/trem berangkat dan tiba sesuai jadwal. Bahkan sampai jadwal makanpun, mereka
disiplin.
Budaya ini belum terbentuk di kalangan bangsa kita. Dalam berbagai aspek kehidupan,
kita belum memiliki budaya disiplin. Dalam hal waktu misalnya, istilah jam karet
merupakan salah satu indikasi ini.
6. Apa adanya

Beberapa contoh: Berbicara straight to the point, Penampilan-pakaian, hp, kendaraan, membawa
bekal makanan & minuman sendiri, dsb.)
Budaya kita lebih dominan menampilkan sisi luar / formalitas daripada substansi.
Akibatnya, costly tetapi tidak menghasilkan sesuatu yang fundamental.
7. Memberikan kepada orang lain akan haknya

Beberapa contoh: Antri utk memperoleh pelayanan -di bank, took roti, kantor pemerintah, kasir,
dll., Memberikan hak pengguna jalan : jl raya, jalan sepeda, trotoar, dll. Informasi tentang hak-
hak dan fasilitas calon pengguna moda transportasi (mana tiket yg murah, dengan kereta yg baik,
serta dg waktu tiba yg tanpa mengganggu jadwal kegiatan si calon pengguna transportasi KA).
Budaya kita, masih senang menyerobot dan menyembunyikan hak orang lain. Terlalu
banyak contoh untuk disebutkan.
8. Taat pada aturan

Beberapa contoh kecil: naik/turun penunpang di halte, lampu lalu lintas yg benar-benar dipatuhi,
penggunaan fasilitas di kampus, Cara orang tua mendidik anak utk taat pada aturan di rumah
dengan reward and punishment (pengalaman melihat orang tua bersama anak di super market)
Budaya taat aturan belum sepenuhnya kuat. Kita masih harus bekerja keras untuk
membentuk budaya ini secara lebih mantap dan menyeluruh.
9. Percaya pada kemampuan sendiri dan kreatif (semua pekerjaan dipikirkan dan diciptakan alat utk
mempermudah mengerjakannya (ingat penemuan mesin cetak: Gutenberg, dll.).

Budaya kita, masih gumunan dan minder berhadapan dengan bangsa lain.
10. Berjuang sampai titik akhir, tanpa kenal putus asa (bangkit dari kehancuran PD II- semua kota
dan bangunan di rekonstruksi dan kembali seperti sediakala, permainan sepak bola mengejar
ketertinggalan bahkan menjelang permainan berakhir)

Kita punya pengalaman besar (merebut kemerdekaan dari penjajah), tapi mental tersebut belum
membudaya dalam seluruh lini kehidupan bangsa. Kita memiliki modal berupa ketahanan dalam
penderitaan. Tetapi modal tsb. belum dikombinasikan dengan budaya dinamik, tetapi justru
Yang menonjol justru budaya statis (bahkan mungkin suka kemapanan dan anti perubahan),
kurang berani mencoba dan berinovasi (yang sesungguhnya merupakan kunci kemajuan).
11. Cinta tanah air (Vaterland Indonesia: Ibu pertiwi, orang Jerman sangat bangga menggunakan
bahasa Jerman / tdk banyak Uni menggunakan B. Inggris, bersatunya Jerman: setiap warga
Jerman barat berkontribusi utk melunasi hutang negara eks Jerman Timur, bangga dan cinta
terhadap produk sendiri).

Kita justru kebalikannya, budaya cinta tanah air melemah. Beberapa contoh: kurang sadar
berbahasa Indonesia yang baik. Yang lebih tragis, banyak bahasa daerah yang hamper mati.

Bangsa Indonesia sesungguhnya memiliki modal untuk membangun budaya unggul. Perlu
pendidikan dan pelatihan/pembiasaan yg diusahakan secara sadar dan terencana untuk
mewujudkan budaya unggul dengan berkaca pada ajaran agama (Islam), modal budaya dan
pengalaman historis bangsa Indonesia sendiri yang relevan, serta budaya unggul bangsa lain.

http://sosbud.kompasiana.com/2013/08/23/budaya-jerman-vs-indonesia-refleksi-perbandingan-
585781.html

Anda mungkin juga menyukai