PENDAHULUAN
As, bagaimana mengajarkan soal berikut kepada siswa? Ketika dulu di KTSP bukankah
ini diajarkan di kelas 9. Sekarang kok mau diajarkan di kelas 7. Terlalu sulit itu As.
Soal di atas adalah salah satu soal dalam buku matematika (buku siswa) yang dirancang
untuk penerapan Kurikulum 2013. Sahabat Asari itu baru tahun ini menerapkan
kurikulum 2013. Mengingat waktu pelatihan yang hanya kurang lebih 1 minggu atau
bahkan hanya 5 hari, wajar jika yang bersangkutan agak kaget dengan soal ini. Kalau
dalam kurikulum sebelumnya soal seperti ini diberikan di kelas 9, maka sekarang soal
ini diberikan di kelas 7. Apalagi, pengalaman dia menunjukkan bahwa soal itu memiliki
jawaban tunggal. Sahabat Asari tersebut memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri
dengan tuntutan kurikulum 2013.
Menurut Watson & Mason (2006), belajar memiliki makna yang luas, mulai dari sekedar
penguasaan fakta (factual acquisition), penataan ulang konsep and pengembangan
skema (conceptual reorganization and schema development), sampai kepada
perubahan sikap dan persepsi (alteration of predispositions and perceptions).
Berdasarkan klasifikasi tersebut, belajar berpikir matematis, tentu bukan dalam ranah
penguasaan fakta atau bahkan penataan ulang konsep dan pengembangan skema.
Belajar berpikir matematis lebih mengarah kepada pembentukan perubahan sikap dan
persepsi.
Terkait dengan definisi belajar tersebut, pembelajaran pun memiliki rentang tujuan
yang bervariasi. Akan tetapi, menurut Doyle (2008), apapun definisinya, pembelajaran
hendaknya membantu anak belajar sesuatu yang tahan lama (long-lasting), bermanfaat
(useful), bisa diterapkan (applicable), dan bisa ditransfer (transferable). Pembelajaran
dikatakan berhasil hanya terjadi jika siswa mampu mengingat informasi yang
diperlukan, baik untuk keperluan pembelajaran berikutnya maupun untuk keperluan
Setelah mempelajari suatu konsep atau bahkan untuk keperluan mempelajari suatu
konsep, siswa seringkali diharapkan dengan berbagai macam soal. Kadang kegiatan
mengerjakan soal ini hanya untuk keperluan latihan semata, tetapi sebenarnya
pengerjaan soal itu memiliki potensi yang lebih dari itu. Pengerjaan soal bisa untuk
keperluan yang lebih luas. Untuk itu, soal yang dipilih hendaknya memenuhi kriteria
tertentu.
Cai & Lester (2010) memberikan sekumpulan kriteria soal yang layak diberikan kepada
siswa. Kriteria-kriteria tersebut adalah bahwa soal yang diberikan kepada siswa
haruslah:
Menurut hemat penulis, uraian di atas menunjukkan pentingnya memberikan soal yang
bukan semata untuk melatih kecepatan dan kelancaran penyelesaiannya. Soal yang
diberikan hendaknya mengembangkan keterampilan berpikir matematis tingkat tinggi
yang bermanfaat, baik untuk kepentingan belajar di jenjang lebih tinggi maupun untuk
sukses di dalam kehidupan.
Berkenaan dengan soal yang dipermasalahkan atau dikeluhkan oleh sahabat Asari di
atas, dalam forum ini penulis tertantang untuk memberikan sedikit uraian tentang
perlunya guru mengenali potensi soal yang ada untuk mengembangkan kemampuan
berpikir matematis siswa. Dengan menguraikan potensi soal yang ada, penulis berharap
para guru akan belajar untuk selalu mengenali potensi soal dan memanfaatkannya di
kelas dengan bijak. Dengan penerapan yang baik, semoga soal-soal yang diberikan
PEMBAHASAN
Mengerjakan latihan soal atau memecahkan masalah adalah salah satu contoh tugas
yang biasanya diberikan guru kepada siswa dalam setiap pembelajaran matematika.
Bahkan, tidak jarang, guru hanya berbicara sebentar untuk menjelaskan konsep, dan
meminta siswa untuk mengerjakan soal latihan matematika dalam jumlah yang banyak
dan dalam waktu yang lama. Karena itu, pengalaman siswa mengerjakan tugas atau soal
matematika merupakan aspek penting untuk pengembangan berpikir matematis siswa.
Akan tetapi, tugas atau soal matematika itu harus dipilihkan sedemikian rupa sehingga
bermanfaat optimal bagi belajar siswa. Soal tersebut tidak boleh dibuat atau dipilih
secara acak dan sekenanya . Menurut Watson & Mason (2004), tugas pengerjaan soal
yang memungkinkan siswa belajar dengan baik adalah tugas yang tidak biasa atau not
ordinary. Tugas yang baik bukanlah tugas yang hanya sekedar menjadikan siswa
berlatih banyak. Tugas yang baik adalah tugas yang diarahkan untuk membantu siswa
menguasai keterampilan dan hal penting lain yang diperlukan untuk kesuksesan
hidupnya di abad dimana mereka hidup.
Saat ini kita berada di abad ke 21. Beberapa keterampilan yang perlu dimiliki dan
dikuasai dengan baik agar orang mampu bertahan hidup atau bahkan mewarnai
kehidupan di abad 21 ini adalah: (1) creativity and innovation, (2) critical thinking and
problem solving, (3) communication, (4) collaboration, (5) information management,
(6) effective use of technology, (7) career and life skills, and (7) cultural awareness
(Beers, tanpa tahun). Siswa harus kreatif dan inovatif. Siswa harus mampu berpikir
kritis dan mampu memecahkan masalah. Siswa harus mampu berkomunikasi,
bekerjasama, mengelola informasi, dan menggunakan teknologi secara efektif. Siswa
juga harus mampu memiliki keterampilan untuk mengembangkan karir dan kehidupan
mereka. Terakhir, siswa harus memiliki kepekaan terhadap budaya yang ada di sekitar
mereka.
Kembali ke permasalah yang diajukan sahabat Asari di atas. Mengapa sahabat tersebut
menanya seperti itu? Menurut hemat penulis, ada beberapa alternatif penyebab
mengapa sahabat itu bertanya seperti itu, antara lain:
1. Beliau terlalu sayang kepada siswa dan khawatir anak tidak bisa menjawabnya
kalau kelak soal semacam ini keluar dalam ujian nasional,
2. Beliau tidak percaya diri dengan cara yang bisa digunakan untuk menentukan
jawab dari soal ini karena dia sendiri pun tidak bisa menemukan rumus umum yang
bisa dipakai untuk menjawabnya,
3. Beliau khawatir kehabisan waktu karena anak berjibaku hanya dengan soal ini saja
dan tidak sempat untuk mempelajari hal yang lain.
Hal-hal yang diungkapkan di atas adalah hal yang wajar. Jenis soal UN yang lebih banyak
pilihan ganda dan berupa speed test (tes yang diukur dalam waktu tertentu) telah
menciptakan praktik teaching to the test. Pembelajaran dalam rangka menjawab soal-
soal latihan lebih banyak diorientasikan kepada keterjawaban atau keterselesaian
soal itu dengan cepat dan tepat. Fokus pembelajaran kurang atau bahkan tidak
diarahkan kepada pengembangan kemampuan berpikir dan kemampuan belajar
bagaimana belajar (learning how to learn) yang transferable untuk semua masalah
(baik matematis maupun kehidupan nyata).
Menurut hemat penulis, para pendidik seharusnya mau dan mampu melihat potensi
soal yang ada untuk pengembangan kemampuan berpikir dan kemampuan belajar
bagaimana belajar. Dengan mengetahui potensi soal, guru akan mampu merancang
pengalaman belajar yang penting yang perlu dilalui siswa untuk optimalisasi belajar
mereka. Berikut disajikan beberapa potensi dari soal-soal yang sempat penulis pikirkan.
POTENSI SOAL
Berikut disajikan beberapa contoh soal dan potensi yang dimiliki dan dipertimbangkan
untuk pengembangannya dalam pembelajaran.
Soal ini sebenarnya dimaksudkan untuk soal barisan bilangan yaitu untuk KD
menemukan pola dan hubungan. Hanya saja, soalnya disajikan dalam bentuk gambar.
Kalau diamati secara cermat, barisan bilangan yang adalah barisan sebagai berikut:
Di sinilah menariknya.
Kalau guru memahami definisi barisan dengan baik, yakni fungsi dari himpunan
bilangan asli ke ..., sebenarnya mau diisi susunan lingkaran apapun pada suku
berikutnya, jawaban tersebut adalah benar. Sepanjang tidak ada keterangan apapun
tentang barisan yang dimaksud, maka guru bisa berpegang pada definisi barisan
sebagai fungsi dari himpunan bilangan asli N. Guru tidak perlu berambisi bahwa
jawabannya harus tunggal. Jawabannya boleh bermacam-macam.
Oleh karena itu, barisan ini mungkin saja memiliki banyak alternatif antara lain.
Alternatif 1:
Alternatif 2:
Alternatif 3:
Kalau ini yang terjadi, maka suku ke 100 akan memberi kesempatan kepada anak
belajar pola bilangan yang menarik.
Alternatif 4:
Tentu masih banyak lagi alternatif barisan lain yang bisa dibangun dari soal tersebut.
Inilah jenis soal yang berbentuk open-ended (satu soal dengan alternatif jawaban
bermacam-macam). Dengan memberikan kesempatan dan mendorong anak untuk
menemukan berbagai macam jawaban yang mungkin, ada beberapa keuntungan yang
bisa diraih, antara lain:
1. anak akan lebih percaya diri dengan jawaban yang dimiliki meskipun jawabnya
berbeda dengan jawab temannya,
2. anak akan menjadi lebih berpikiran positif terhadap matematika, karena kreativitas
mereka diberi kesempatan berkembang,
3. anak akan lebih toleran dengan jawaban lain sepanjang masuk akal,
4. anak akan menjadi lebih kritis dengan klaim tertentu, karena mereka akan lebih
dulu mengkaji asumsi dari klaim tersebut.
Praktik pembelajaran kita selama ini memang lebih banyak memberikan soal yang
bersifat closed-ended (soal dengan jawaban tunggal) dan itulah sebabnya mengapa kita
kurang percaya diri memanfaatkan potensi soal ini untuk mengembangkan kemampuan
berpikir anak. Praktik ujian yang sifatnya pilihan ganda juga ikut berkontribusi
terhadap kecemasan guru. Mudah-mudahan ujian nasional kita nanti tidak lagi
berbentuk pilihan ganda semata.
Soal #2
Diketahui 2/3 siswa pria dan siswa wanita di suatu kelas berkumpul di aula sekolah.
Kalau dihitung-hitung, jumlah semua siswa yang di aula itu ternyata sama dengan 60%
banyaknya siswa di sekolah itu. Berapakah banyaknya siswa di sekolah tersebut?
Soal ini menarik dan banyak guru yang mempertanyakan. Mengapa? Karena salah satu
di antara keunikan dari soal ini adalah sifat open-endednya.
Kalau kita misalkan banyaknya siswa pria seluruhnya adalah p dan banyaknya siswa
wanita seluruhnya adalah w maka kita akan memperoleh persamaan:
Bentuk ini akan ekivalen dengan , dan kalau disederhanakan
akan diperoleh bentuk .
Kalau w = 100 maka p = 150 sehingga total siswa di sekolah itu adalah 250
Kalau w = 10.000 maka p = 15.000 sehingga total siswa di sekolah itu adalah 25.000
Jawaban terhadap soal ini akan sangat variatif, dan itu memberi peluang kepada siswa
untuk berlatih banyak tentang pecahan atau persamaan dua variabel. Di samping itu,
kalau kita pandai, kita bisa memanfaatkan ini dengan bertanya:
Mungkinkah kita memperoleh sekolah dengan jumlah siswa seperti itu? Kalau mungkin,
dimanakah sekolah itu berada? Berapa banyak guru yang diperlukan untuk itu? Untuk
kasus seperti apakah sekolah itu dianggap boros? Dan masih banyak lagi pertanyaan
lain yang memungkinkan terbukanya wawasan siswa dan membantu mereka berpikir
kritis, kreatif, dan merasakan manfaat belajar matematika.
Soal #3
Ada berapa banyak segitiga yang bisa Anda temukan pada gambar berikut?
Soal ini menarik karena memberi peluang dialami dan bertumbuhnya proses berpikir
matematis penting, mulai dari clarifying the problem, sorting and classifying, encoding,
representing, comparing and contrasting, finding formulae, and generalizing.
Soal ini juga berpotensi untuk membantu untuk menyadarkan seseorang tentang
perlunya memiliki persepsi yang luas tentang sesuatu. Kalau hanya segitiga satuan kecil
(yaitu segitiga dengan dimensi 1 x 1 x 1 dan berbentuk seperti dan tidak yang
Soal ini juga memberikan potensi kepada anak untuk mengembangkan strategi
perhitungan. Soal ini memiliki potensi untuk menyadarkan anak bahwa cara
merepresentasikan yang lebih baik akan memberikan hasil yang lebih baik pula.
Mari bandingkan dua macam cara menentukan banyaknya segitiga yang berdimensi 2 x
2 x 2 dan 3 x 3 x 3 berikut (catatan: bentuk segitiga yang diperhatikan hanya dan
belum memperhatikan yang berbentuk ).
Dua strategi ini menghasilkan dua macam gambar yang berbeda. Tampak bahwa
dengan strategi pertama gambar yang ruwet, sedangkan dengan strategi kedua,
gambarnya terlihat lebih sederhana. Bahkan, dengan strategi kedua, anak berpeluang
untuk menemukan pola lebih baik.
Pengalaman di atas, juga memberikan peluang besar kepada siswa untuk mampu
menyelesaikan soal berikut dengan strategi yang baik dan dengan penuh percaya diri.
Soal #4
Soal ini menarik karena bukan saja sangat jarang diberikan di Indonesia, tetapi juga
memberikan peluang tumbuh berkembangnya literasi matematis siswa. Matematika
yang mereka pelajari tidak hanya bermanfaat untuk belajar matematika yang sifatnya
formal, dan abstrak, tetapi juga bermanfaat untuk kehidupan sekitarnya.
Dengan kesadaran itu siswa diharapkan mampu memasuki dimensi pertama dari
dimensi belajar menurut Marzano & Pickering (1997), yaitu good attitude and
perception. Jika mereka sudah memiliki sikap dan persepsi yang positif terhadap
matematika, diharapkan mereka mampu memasuki dimensi-dimensi yang lain yaitu
acquire and integrate knowledge, extend and refine knowledge, use knowledge
meaningfully, hingga habits of mind.
Jika mereka mampu masuk ke dimensi ketiga, yaitu extend and refine knowledge,
mereka akan melakukan beberapa proses berpikir yang penting dan bermanfaat bagi
pengembangan kemampuan berpikir matematisnya, yaitu: (1) comparing, (2)
classifying, (3) abstracting, (4) inductive reasoning, (4) deductive reasoning, (5)
constructing support, (6) analysing errors, dan (7) analysing perspectives (Marzano &
Pickering, 1997). Dengan beberapa proses berpikir tersebut, pemahaman mereka akan
menjadi lebih baik dan lebih mantap. Mereka tidak hanya sekedar tahu tentang sesuatu.
Pemahaman yang mereka miliki akan semakin bermakna. Sebagai contoh, mereka
mampu membuat hubungan yang baik antara permutasi di SMA dengan permutasi di
perguruan tinggi (Struktur Aljabar).
Terakhir, ketika mereka sudah memasuki dimensi yang terakhir, yaitu habits of mind,
mereka akan melakukan kegiatan berpikir berpikir kritis, kreatif, dan self regulated.
Dengan kemampuan berpikir kritisnya, mereka akan menjadi orang yang: (1) selalu
berusaha akurat dan mencari akurasi, (2) selalu jelas dan mengejar kejelasan, (3) selalu
berpikiran terbuka, (4) berusaha menghindar dari keterburu-buruan, (5) mampu
mengambil jarak secara obyektif dari suatu fenomena, dan (6) mampu merespons
sesuai dengan perasaan dan level pengetahuannya). Dengan kemampuan berpikir
kreatifnya, mereka akan menjadi orang yang: (1) gigih dan pantang menyerah, (2)
mampu mengerahkan seluruh potensi sampai ke batas kemampuan terkahirnya, (3)
jujur dan terpercaya sesuai dengan standar yang ada, dan (4) mampu menghasilkan
sudut pandang baru dari situasi yang ada. Dengan kemampuan self-regulated-nya,
mereka akan menjadi orang yang: (1) menyadari apa yang dipikirkan, (2) mampu
merencanakan dengan baik, (3) mampu mengidentifikasi dan menggunakan sumber
daya dengan tepat, (4) mampu merespon umpan balik dengan tepat, dan (5) mampu
menilai keefektifan suatu tindakan.
PENUTUP
Soal-soal yang ada di buku siswa, khususnya buku yang dikembangkan dalam K 13,
pada dasarnya dikembangkan untuk membantu siswa menjadi lebih kreatif dan berani
bereksplorasi. Banyak sekali soal di dalam buku itu yang dikemas menjadi soal terbuka
(open-ended). Penulis sangat mengharapkan agar guru lebih memberi kesempatan
kepada siswa untuk menggali soal-soal yang ada dari berbagai sudut pandang sehingga
mereka terbiasa dengan berpikir matematis. Guru hendaknya juga memberikan peluang
agar siswa mampu memasuki dimensi belajar yang kelima, yaitu habits of mind. Dengan
habits of mind, siswa tentu bisa diharap untuk tumbuh menjadi insan yang kritis,
kreatif, dan self regulated yang merupakan syarat utama untuk terbentuknya insan
Indonesia yang produktif, inovatif, dan kreatif.
Terkait dengan pengembangan sifat afektif, yang tidak sempat dibahas dalam tulisan ini,
sebenarnya Kurikulum 2013 telah memberikan arahan kepada kita semua untuk
mengupayakannya. Bukan sekedar sikap sopan dan santun yang ingin dikembangkan
dalam Kurikulum 2013 ini. Menurut hemat penulis pembelajaran dengan pendekatan
5M harusnya membantu anak menumbuhkembangkan beberapa afeksi yang penting
untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa unggulan, yaitu: jujur, obyektif,
tekun, disiplin, dan tanggungjawab. Semoga pendidikan matematika, dan pendidikan
pada umumnya di Indonesia akan semakin berjaya.
REFERENSI
Beers, S.Z. tanpa tahun. 21st century skills: preparing students for their future. STEM
Cai, J. & Lester, F. 2010. Why is teaching with problem solving important to student
learning? Dalam Problem Solving Research Brief. Reston, VA: National Council of
Teachers of Mathematics
Doyle, T. Tanpa tahun. Mathematical problem solving: a need for literacy. Queensland,
AU: Queensland University of Technology
Marzano, R.J. & Pickering, D.J. 1999. Dimensions of learning: Teachers manual.
Alexandria, VA: ASCD
Watson, A. & Mason, J. 2004. The Exercise as mathematical objects: Dimensions of possible
variation in practice. Dalam McNamara, O (Ed.). Proceeding of the British Society
for Research into Learning Mathematics 24(2), June 2004
Watson, A. & Mason, J. 2006. Seeing an exercise as a single mathematical object: using
variation to structure sense-making. Mathematics thinking and learnin, 8(2), 91
111.