Anda di halaman 1dari 31

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bencana Banjir

2.1.1 Definisi Bencana Banjir

Menurut Undang-undang No.24 Tahun 2007, bencana didefinisikan sebagai

peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan

masyarakat. Bencana dapat disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non

alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa

manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Banjir didefinisikan sebagai tergenangnya suatu tempat akibat meluapnya air

yang melebihi kapasitas pembuangan air disuatu wilayah dan menimbulkan kerugian

fisik, sosial dan ekonomi (Rahayu dkk, 2009). Banjir adalah ancaman musiman yang

terjadi apabila meluapnya tubuh air dari saluran yang ada dan menggenangi wilayah

sekitarnya. Banjir adalah ancaman alam yang paling sering terjadi dan paling banyak

merugikan, baik dari segi kemanusiaan maupun ekonomi (IDEP, 2007).

2.1.2 Kategori Banjir

Kategori atau jenis banjir terbagi berdasarkan lokasi sumber aliran

permukaannya dan berdasarkan mekanisme terjadinya banjir :

1. Berdasarkan lokasi sumber aliran permukaannya, terdiri dari :

a. Banjir kiriman (banjir bandang) yaitu banjir yang diakibatkan oleh

tingginya curah hujan didaerah hulu sungai.

Universitas Sumatera Utara


b. Banjir lokal yaitu banjir yang terjadi karena volume hujan setempat yang

melebihi kapasitas pembuangan disuatu wilayah.

2. Berdasarkan mekanisme terjadinya banjir yaitu

a. Regular flood yaitu banjir yang diakibatkan oleh hujan.

b. Irregular flood yaitu banjir yang diakibatkan oleh selain hujan, seperti

tsunami, gelombang pasang, dan hancurnya bendungan.

2.1.3 Penyebab Banjir

Penyebab banjir antara lain :

1. Hujan, dimana dalam jangka waktu yang panjang atau besarnya hujan

selama berhari-hari.

2. Erosi tanah, dimana menyisakan batuan yang menyebabkan air hujan

mengalir deras diatas permukaan tanah tanpa terjadi resapan.

3. Buruknya penanganan sampah yaitu menyumbatnya saluran-saluran air

sehingga tubuh air meluap dan membanjiri daerah sekitarnya.

4. Pembangunan tempat pemukiman dimana tanah kosong diubah menjadi

jalan atau tempat parkir yang menyebabkan hilangnya daya serap air

hujan. Pembangunan tempat pemukiman bisa menyebabkan meningkatnya

risiko banjir sampai 6 kali lipat dibandingkan tanah terbuka yang biasanya

mempunyai daya serap tinggi.

5. Bendungan dan saluran air yang rusak dimana menyebabkan banjir

terutama pada saat hujan deras yang panjang.

Universitas Sumatera Utara


6. Keadaan tanah dan tanaman dimana tanah yang ditumbuhi banyak

tanaman mempunyai daya serap air yang besar.

7. Didaerah bebatuan dimana daya serap air sangat kurang sehingga bisa

menyebabkan banjir kiriman atau banjir bandang (IDEP, 2007)

2.1.4 Dampak Banjir

Banjir akan terjadi gangguan-gangguan pada beberapa aspek berikut :

1. Aspek penduduk, antara lain berupa korban jiwa/meninggal, hanyut,

tenggelam, luka-luka, korban hilang, pengungsian, berjangkitnya penyakit

seperti penyakit kulit, demam berdarah, malaria, influenza, gangguan

pencernaan dan penduduk terisolasi.

2. Aspek pemerintahan, antara lain berupa kerusakan atau hilangnya

dokumen, arsip, peralatan, perlengkapan kantor dan terganggunya

jalannya pemerintahan.

3. Aspek ekonomi, antara lain berupa hilangnya mata pencaharian, tidak

berfungsinya pasar tradisional, kerusakan atau hilangnya harta benda,

ternak dan terganggunya perekonomian masyarakat.

4. Aspek sarana/prasarana, antara lain berupa kerusakan rumah penduduk,

jembatan, jalan, bangunan gedung perkantoran, fasilitas sosial dan fasilitas

umum, instalasi listrik, air minum dan jaringan komunikasi.

5. Aspek lingkungan, antara lain berupa kerusakan ekosistem, objek wisata,

persawahan/lahan pertanian, sumber air bersih dan kerusakan

tanggul/jaringan irigasi (Mistra, 2007; Rahayu dkk, 2009).

Universitas Sumatera Utara


2.2 Kesiapsiagaan

2.2.1 Definisi Kesiapsiagaan

Menurut Undang-undang No. 24 tahun 2007, kesiapsiagaan adalah serangkaian

kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk mengantisipasi bencana melalui

pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Menurut

Ditjen Binkesmas Depkes (2005), kesiapsiagaan (preparedness) adalah upaya yang

dilakukan untuk mengantisipasi bencana, melalui pengorganisasian langkah-langkah

yang tepat guna dan berdayaguna.

Menurut FEMA dalam Haddow dan Bullock (2006), kesiapsiagaan dalam

wilayah manajemen darurat dapat dinyatakan sebagai pernyataan kesediaan untuk

berespon terhadap suatu bencana, krisis atau tipe situasi emergensi lainnya.

Kesiapsiagaan bukan hanya pernyataan kesiapan tetapi juga suatu topik dimana

didalamnya terdapat banyak aspek-aspek manajemen darurat.

Kesiapsiagaan merupakan salah satu bagian dari proses manajemen bencana

dan didalam konsep pengelolaan bencana yang berkembang saat ini, peningkatan

kesiapsiagaan merupakan salah satu elemen penting dari kegiatan pengurangan risiko

bencana yang bersifat pro-aktif, sebelum terjadi bencana. Konsep kesiapsiagaan yang

digunakan lebih ditekankan pada kemampuan untuk melakukan tindakan persiapan

menghadapi kondisi darurat bencana secara cepat dan tepat (LIPI-UNESCO/ISDR,

2006).

Kesiapsiagaan dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya

bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda dan

Universitas Sumatera Utara


berubahnya tata kehidupan masyarakat. Konsep kesiapsiagaan memiliki berbagai

dimensi yang didukung oleh sejumlah aktifitas. Dimensi dari kesiapsiagaan

mencakup berbagai tujuan atau pernyataan akhir bahwa kesiapsiagaan berusaha untuk

dicapai. Kegiatan-kegiatan adalah tindakan-tindakan nyata yang perlu untuk diambil

dalam rangka menemukan tujuan-tujuan tersebut. Sumber-sumber bervariasi dalam

hal bagaimana dimensi-dimensi tersebut dan aktifitas-aktifitas yang didefinisikan

(Sutton dan Tierney, 2006).

Kesiapsiagaan (preparedness) menghadapi banjir adalah kegiatan yang

dilakukan dalam rangka mengantisipasi bencana banjir sehingga tindakan yang

dilakukan pada saat dan setelah terjadi banjir dilakukan secara tepat dan efektif

(Rahayu dkk, 2009).

Tujuan khusus dari upaya kesiapsiagaan bencana adalah menjamin bahwa

sistem, prosedur, dan sumber daya yang tepat siap ditempatnya masing-masing untuk

memberikan bantuan yang efektif dan segera bagi korban bencana sehingga dapat

mempermudah langkah-langkah pemulihan dan rehabilitasi layanan (PAHO, 2006)

2.2.2 Kesiapsiagaan Tenaga Kesehatan Puskesmas Menghadapi Bencana Banjir

Manajemen bencana merupakan suatu proses terencana yang dilakukan untuk

mengelola bencana dengan baik dan aman melalui 3 (tiga) tahapan : (1) pra

bencana, (2) saat bencana, (3) pasca bencana (Ramli, 2010). Kesiapsiagaan sebagai

kegiatan pra bencana yang dilakukan di Puskesmas melakukan ketiga fungsi

Puskesmas yaitu :

Universitas Sumatera Utara


1. Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan

Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan bertujuan agar semua

bidang pembangunan diwilayah kerja puskesmas selalu mempertimbangkan aspek

kesehatan. Pembangunan yang dilaksanakan di kecamatan, seyogyanya yang

berdampak positif terhadap lingkungan sehat dan perilaku sehat, yang muaranya

adalah peningkatan kesehatan masyarakat (Trihono, 2005). Puskesmas harus

melaksanakan fungsi penanggulangan bencana melalui kegiatan :

a. Surveilans kesehatan

Menurut WHO dalam Kemenkes RI Nomor 1116/Menkes/SK/VIII/2003,

surveilans adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi

data secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada

unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan. Menurut PKK-

Kemenkes (2011), surveilans penyakit dan faktor resiko pada umumnya

merupakan suatu upaya untuk menyediakan informasi kebutuhan pelayanan

kesehatan dilokasi bencana dan pengungsian sebagai bahan untuk tindakan

kesehatan segera. Kegiatan ini meliputi :

1) Melakukan analisis mengenai dampak kesehatan, dimana skala

sederhananya berupa penilaian apakah tatanan diwilayah kerja Puskesmas

tergolong rawan/beresiko bencana banjir (Trihono, 2005 dan Ditjen

Binkesmas Depkes, 2005)

2) Melakukan pembuatan peta wilayah kerja yang menjadi tanggungjawab

Puskesmas meliputi peta rawan bencana, peta sumber daya kesehatan

Universitas Sumatera Utara


diwilayah kerja, peta resiko bencana, peta elemen-elemen masyarakat yang

kemungkinan menjadi korban bencana, dan peta potensi masyarakat dan

lingkungan (Ditjen Binkesmas Depkes, 2005 dan Sea Defence Consultants,

2009)

3) Mengartikan rambu-rambu bencana meliputi :

Warna : orange untuk tempat rawan, hijau untuk tempat aman

Anak panah (kearah kanan/kiri) untuk jalur evakuasi

Lokasi pemasangan rambu adalah dilokasi rawan bencana, lokasi

aman/tempat evakuasi, jalur/jalan menuju tempat aman/evakuasi

(IOM, 2011)

4) Memperhatikan sistem peringatan dini/isyarat-isyarat dini sebagai

pertanda kemungkinan bencana akan terjadi. Sistem peringatan dini adalah

sistem (rangkaian proses) pengumpulan dan analisis data serta penyebaran

informasi tentang keadaan darurat atau kedaruratan. Sumber informasi

dini berasal dari dua instansi yaitu BMKG yang mengeluarkan potensi

cuaca ekstrim dan Dinas PU yang mengeluarkan data tinggi muka air. Di

tingkat masyarakat, media untuk system peringatan dini yang sesuai

dengan kearifan budaya setempat misalnya kentongan, pengumuman

melalui mesjid ataupun membuat sistem peringatan dini dengan

ketinggian air, mulut ke mulut/lisan, dan juga peralatan komunikasi

Universitas Sumatera Utara


elektronik (Ditjen Binkesmas Depkes, 2005; Promise, 2009; IOM, 2011;

LIPI-UNESCO/ISDR,2006)

b. Penyuluhan kesehatan

Penyuluhan kesehatan kepada masyarakat mengenai kesiapsiagaan

menghadapi banjir (Ditjen Binkesmas Depkes, 2005 dan PROMISE, 2009)

c. Kerjasama lintas sektoral

Koordinasi lintas sektoral ditingkat kecamatan bertujuan untuk menggalang

kerjasama dan berbagi tugas sesuai dengan peran dari tiap sektor. Bentuk

kerjasama tersebut antara lain dalam bentuk tim penanggulangan bencana

ditingkat kecamatan yang ditetapkan dengan surat keputusan camat (Ditjen

Binkesmas Depkes, 2005). Kerjasama dapat juga dilakukan kepada LSM,

tokoh masyarakat, organisasi profesi, dan dunia usaha.

2. Pusat pemberdayaan masyarakat

Pemberdayaan masyarakat adalah segala upaya fasilitasi yang bersifat non-

instruktif guna meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mampu

mengidentifikasi masalah, merencanakan dan melakukan pemecahannya dengan

memanfaatkan potensi setempat dan fasilitas yang ada, baik dari instansi lintas

sektoral maupun LSM dan tokoh masyarakat (Trihono, 2005). Sebagai pusat

pemberdayaan masyarakat, Puskesmas dapat melibatkan peran aktif masyarakat

dalam setiap kegiatan penanggulangan bencana baik perorangan, kelompok

masyarakat maupun masyarakat secara umum (Ditjen Binkesmas Depkes, 2005).

Fungsi pemberdayaan masyarakat dibidang kesehatan dilakukan dengan cara :

Universitas Sumatera Utara


a. Memotivasi, memfasilitasi, menggali partisipasi aktif masyarakat dibidang

kesehatan, yang antara lain ditandai dengan pengembangan berbagai bentuk

upaya kesehatan berbasis masyarakat (Trihono, 2005). Bentuk UKBM yang

didanai oleh bantuan operasional kesehatan yang berkaitan dengan

pemberdayaan masyarakat menghadapi bencana adalah Poskesdes. Pos

Kesehatan Desa (Poskesdes) adalah upaya kesehatan bersumberdaya

masyarakat yang dibentuk dalam rangka mendekatkan/menyediakan

pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat desa (Kemenkes,2012). Bentuk

UKBM lainnya dapat berupa Dasipena (Pemuda Siaga Peduli Bencana)

(Kemenkes, 2012). Didalam wadah UKBM, tenaga kesehatan melatih

masyarakat untuk menjadi kader terlatih dalam rangka agar kader terlatih

dapat membantu petugas kesehatan dalam memberikan pertolongan awal

kasus gawat darurat dan dapat melayani sesama anggota masyarakat dalam

menghadapi kemungkinan munculnya bencana. Pelatihan yang diberikan

mencakup : kesehatan lingkungan, pemberantasan penyakit menular, promosi

kesehatan mengenai perilaku hidup bersih dan sehat, penanganan gawat

darurat untuk awam, penanganan gizi, dan penanganan kesehatan jiwa,

kesehatan reproduksi (Ditjen Binkesmas Depkes, 2005)

b. Kemitraan dengan berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan

organisasi kemasyarakatan lainnya.

c. Kemitraan dengan konkes (konsil kesehatan) atau BPKM (Badan Peduli

Kesehatan Masyarakat) atau BP (Badan Penyantun Puskesmas). Konsil

Universitas Sumatera Utara


kesehatan atau badan peduli kesehatan masyarakat (BPKM), atau badan

penyantun Puskesmas (BPP) adalah suatu organisasi masyarakat yang

merupakan mitra kerja Puskesmas yang berfungsi sebagai penyantun dan

pemberi masukan kepada Puskesmas. Konkes/BPKM/BPP beranggotakan

tokoh masyarakat yang peduli kepada pembangunan kesehatan diwilayahnya

(Trihono, 2005)

d. Puskesmas peduli keluarga

Puskesmas peduli keluarga adalah puskesmas yang proaktif mendeteksi,

memantau dan meningkatkan kesehatan tiap keluarga diwilayah kerjanya dan

memberlakukan keluarga sebagai mitra pembangunan kesehatan. Tujuan

umum dari puskesmas peduli keluarga adalah meningkatnya jumlah keluarga

sehat diwilayah kerja Puskesmas (Trihono, 2005)

3. Pusat pelayanan kesehatan strata pertama

Pelayanan kesehatan yang diselenggarakan adalah pelayanan kesehatan dasar

yang sangat dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat dan sangat strategis dalam

upaya meningkatkan status kesehatan masyarakat secara umum (Trihono, 2005).

Pelayanan yang dilakukan sebagai pusat pelayanan kesehatan strata pertama

mencakup Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) dan Upaya Kesehatan Masyarakat

(UKM).

a. Upaya Kesehatan Perorangan

Pelayanan kesehatan perorangan yang lebih mengutamakan pelayanan kuratif

dan rehabilitatif dengan pendekatan individu. Pengobatan merupakan wujud

Universitas Sumatera Utara


dari pelayanan kesehatan perorangan di puskesmas (Trihono, 2005). Upaya

pelayanan gawat darurat sehari-hari merupakan bentuk awal kesiapsiagaan

pelayanan gawat darurat dalam bencana. Kesiapsiagaan sehari-hari mencakup

penerapan protap penanganan korban gawat darurat dan rujukannya,

kesiapsiagaan sarana dan prasarana pelayanan gawat darurat yang dimiliki, dan

peningkatan kapasitas tenaga puskesmas dalam teknisi medis, latihan

kesiapsiagaan protap penanggulangan bencana (Ditjen Binkesmas Depkes,

2005).

b. Upaya Kesehatan Masyarakat

Pelayanan yang bersifat publik (public good) dengan tujuan utama memelihara

dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit, tanpa mengabaikan

penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Pelayanan kesehatan

masyarakat minimal yang bisa dilakukan meliputi upaya kesehatan wajib,

yaitu : promosi kesehatan, kesehatan lingkungan, kesehatan ibu dan anak,

perbaikan gizi, pemberantasan penyakit menular (Trihono, 2005). Pelayanan

lain yang erat kaitannya peran tenaga kesehatan pada pasca bencana adalah

pelayanan kesehatan jiwa (Ditjen Binkesmas Depkes, 2005)

Menurut Ditjen Binkesmas Depkes (2005) , kesiapan Puskesmas dalam Sistem

Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu Sehari-hari (SPGDT-S) disuatu wilayah

akan menentukan kemampuan wilayah tersebut pada penanganan gawat darurat

bencana. Puskesmas sebagai lini terdepan yang berperan pada pertolongan pertama

pada korban, mempersiapkan masyarakat dalam upaya pencegahan terjadinya kasus

Universitas Sumatera Utara


gawat darurat maupun memberikan ketrampilan dalam memberikan pertolongan

sesuai dengan kemampuan. Apabila Puskesmas tidak sanggup melakukan

pertolongan, perlu dilakukan rujukan ke RS Kabupaten/Kota, Propinsi atau Rumah

Sakit Regional maupun swasta.

Peran Puskesmas dalam penanggulangan bencana berdasarkan tahapan

bencana.

1. Pra Bencana

a. Pemetaan Kesehatan (Geo Mapping)

Merupakan kegiatan pembuatan peta wilayah kerja yang menjadi tanggungjawab

Puskesmas, yang didalamnyan terdapat :

a) Peta rawan bencana (Hazard Map) yaitu gambaran wilayah kerja yang

berisikan jenis bencana dan karakteristik ancaman bencana.

b) Peta Sumber Daya Kesehatan diwilayah kerjanya yaitu gambaran

distribusi jenis sumber daya kesehatan (tenaga medis, perawat,

sanitarian, gizi, alat kesehatan, ambulans, dan lain-lain) dan lokasinya

c) Peta Resiko Bencana (Risk Map) yaitu peta rawan bencana yang

dilengkapi resiko yang mungkin terjadi termasuk kejadian penyakit

menular diwilayah tersebut.

d) Peta elemen-elemen masyarakat yang memiliki kemungkinan

mengalami/menjadi korban akibat peristiwa.

e) Peta potensi masyarakat dan lingkungan yaitu gambaran atau

informasi lebih rinci tentang masyarakat dan lingkungan suatu area.

Universitas Sumatera Utara


b. Melakukan koordinasi dengan lintas sektoral

Koordinasi lintas sektor ditingkat kecamatan untuk menggalang kerjasama

dan berbagi tugas sesuai dengan peran dari tiap sektor.

c. Pelayanan gawat darurat sehari-hari

Kesiapsiagaan sehari-hari mencakup penerapan protap penanganan korban

gawat darurat dan rujukannya, kesiapsiagaan sarana prasarana pelayanan

gawat darurat yang dimiliki, dan peningkatan kapasitas tenaga puskesmas

didalam teknis medis.

d. Pemberdayaan masyarakat

Penyuluhan/pelatihan pada masyarakat merupakan upaya pemberdayaan

masyarakat agar masyarakat dapat melayani sesama anggota masyarakat

dalam menghadapi kemungkinan munculnya bencana. Pelatihan yang

diberikan mencakup : 1) Kesehatan lingkungan, 2) Pemberantasan penyakit

menular, penanggulangan DBD, 3) Promosi kesehatan untuk berperilaku

hidup bersih dan sehat, 4) Penanganan gawat darurat bagi awam, 5)

Penanganan gizi, 6) Penanganan kesehatan jiwa, kesehatan reproduksi.

e. Latihan kesiapsiagaan/gladi

Latihan kesiapsiagaan dilakukan melalui simulasi protap-protap yang telah

disusun oleh tim penanggulangan bencana maupun simulasi tim kesehatan

Puskesmas agar mampu memberikan pelayanan gawat darurat.

f. Melakukan pemantauan (Surveilens)

Universitas Sumatera Utara


Pemantauan lokasi-lokasi rawan bencana, melalui kegiatan surveilens secara

rutin diwilayah kerja Puskesmas. Pada kondisi tertentu bersama sektor terkait

dan masyarakat perlu memperhatikan isyarat-isyarat dini sebagai pertanda

kemungkinan bencana akan terjadi.

2. Saat Bencana

Pada saat terjadinya bencana disuatu wilayah, Puskesmas harus segera

memberi informasi awal ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Kegiatan mencakup :

a. Operasi pertolongan terhadap korban berdasarkan triase

Operasi pertolongan pertama dilakukan oleh tim Puskesmas bersama

masyarakat yang sudah terlatih dalam penanganan gawat darurat. Pertolongan

awal pada korban dilakukan dilokasi kejadian bila kondisi memungkinkan

(lokasi aman, tidak ada bahaya susulan, tidak dalam komando Polri/TNI).

Pertolongan ynag diberikan berupa pertolongan bantuan hidup dasar yaitu

resusitasi jantung paru (RJP). Bila tidak memungkinkan dengan bantuan

masyarakat, tim SAR, polisi dan aparat setempat, korban dipindahkan kearea

yang dianggap aman disekitar lokasi atau langsung ke Puskesmas terdekat

untuk dilakukan pertolongan pertama. Pertolongan pertama korban

dilapangan didasarkan pada triase yang bertujuan seleksi korban dan jenis

pertolongan yang diperlukan berdasarkan tingkat keparahan, kedaruratan dan

kemugkinan korban untuk hidup. Korban akibat bencana dapat diseleksi

menjadi :

1) Kelompok Label Merah (Gawat Darurat)

Universitas Sumatera Utara


Kelompok korban gawat darurat yang memerlukan pertolongan stabilisasi

segera, antara lain korban dengan syok, gangguan pernapasan, trauma

kepala dengan pupil anisokor, perdarahan eksternal masif untuk mencegah

kematian dan kecacatan. Pembebasan jalan nafas (airway), pemberian

nafas buatan (breathing), mengatasi syok (circulation) dan mencegah

kecacatan (disability) dengan prioritas pada korban yang kemungkinan

hidup lebih besar. Stabilisasi dilakukan sambil menunggu pertolongan tim

gabungan. Pada kondisi korban perlu dirujuk dan keadaan memungkinkan,

Puskesmas dapat segera melakukan rujukan dengan tepat melakukan

stabilisasi selama perjalanan ke sarana yang lebih mampu (RS).

2) Kelompok Label Kuning

Kelompok korban yang memerlukan pengawasan ketat tetapi

perawatan/pengobatan dapat ditunda sementara. Yang termasuk kategori

ini adalah korban dengan resiko syok, fraktur multipel, fraktur

femur/pelvis, luka bakar luas, gangguan kesadasaran/trauma kepala,

korban dengan status tidak jelas. Korban pada kelompok ini, harus

diberikan cairan infus, dan pengawasan ketat terhadap kemungkinan

timbulnya komplikasi dan diberikan perawatan sesegera mungkin.

3) Kelompok Label Hijau

Kelompok korban yang tidak memerlukan pengobatan atau perawatan

segera. Kelompok ini mencakup korban dengan fraktur minor, luka minor,

Universitas Sumatera Utara


trauma psikis. Kadang korban memerlukan pembidaian dan atau

pembalutan sebelum dipindahkan.

4) Kelompok Label Hitam

Merupakan kelompok korban yang tidak memerlukan pertolongan medis

karena sudah meninggal. Korban perlu dikelompokkan tersendiri untuk

dilakukan evaluasi dan identifikasi oleh aparat yang berwenang.

Upaya pertolongan korban melalui triase oleh tim Puskesmas dilaksanakan

dengan menggunakan obat dan perbekalan kesehatan yang tersedia diPuskesmas.

Universitas Sumatera Utara


Pengumpulan

1. Lokasi terdekat dan


aman untuk
Kejadian pertolongan pertama Triase
kasus gawat darurat
1. Nilai apakah mungkin 2. Bawa korban ke area 1. Temukan kegawatan
pertolongan pertama perawatan melalui korban
triase
dilakukan dilokasi 2. Gunakan label yang
2. Bila mungkin lakukan disepakati
RJP 3. Tulis diagnose &
3. Pindahkan korban ke instruksi untuk tindakan
area pengumpulan yang dalam stabilisasi korban
aman

Perawatan

1. Lakukan pemeriksaaan
ulang & prioritaskan
kasus dengan kegawatan
2. Lakukan tindakan
stabilisasi
3. Lakukan komunikasi
untuk rujukan
4. Tentukan alat & petugas
untuk evakuasi korban
5. Buat pengelompokkan
untuk perawatan
sementara

Transportasi

Rumah Sakit 1. Kelompokkan


ambulan & kru sesuai
Kab/Kota/ fasilitas
Propinsi/ 2. Letakkan ambulan
regional
gadar didekat area
perawatan
3. Atur tujuan evakuasi

Gambar 2.1 Skema Pelayanan Medis di Lapangan

Universitas Sumatera Utara


b. Penilaian Awal secara Cepat (Initial Rapid Health Assessment)

Kegiatan ini bertujuan untuk menilai suatu kejadian awal dari bencana yang

terjadi diwilayah kerja. Penilaian awal tersebut dilakukan sesegera mungkin

dan mencakup : 1) jenis kejadian bencana, 2) sumber bencana, 3) siapa yang

terkena dampak, 4) berapa besar dampak yang ditimbulkan (jumlah korban),

5) kemampuan respon oleh puskesmas, 6) resiko potensial tambahan, 7)

bantuan yang diperlukan. Penilaian awal kejadian bencana merupakan

tanggungjawab Puskesmas dan harus segera dilaporkan kepada Kepala Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota untuk dilakukan penilaian cepat lanjutan dan

pemberian bantuan.

c. Survailans Penyakit Menular dan Gizi

Pengamatan terhadap suatupenyakit yang potensial menimbulkan terjadinya

kejadian luar biasa (KLB) dan Gizi, dilakukan mulai terjadinya bencana

dengan mengintensifkan kegiatan survailans rutin.

d. Bergabung dengan Satgas Kesehatan di Pos Lapangan

Adanya peningkatan/eskalasi SPGDT-S menjadi SPGDT-B maka pelayanan

gawat darurat dalam penanggulangan bencana diambil alih oleh Satgas

Kesehatan dibawah koordinasi Satlak PBP di Pos Medis Lapangan. Pos Medis

Lapangan dapat memanfaatkan gedung Puskesmas, tenda darurat atau

bangunan lain.

Universitas Sumatera Utara


e. Pemberdayaan Masyarakat

Pada tahap bencana peran serta aktif masyarakat ditujukan untuk membantu

petugas kesehatan melalui kader-kader yang sudah terlatih dalam

kegawatdaruratan. Kader terlatih sebagai komponen SPGDT diharapkan

bersma Puskesmas dapat memberikan pertolongan awal kasus gawat darurat

sambil menunggu bantuan tim Kabupaten/Kota, dan selanjutnya bergabung

dengan tim kesehatan bencana dipos medis lapangan, membantu tim

gabungan dalam memberi bantuan darurat yaitu pangan, sandang, tempat

tinggal, kebutuhan air bersih, sanitasi.

3. Pasca Bencana

Penanganan masalah kesehatan yang terkait kegiatan paska bencana

Puskesmas merupakan bagian dari Satgas Kesehatan. Kegiatan yang dilakukan pada

tahap pasca bencana meliputi :

a. Surveilans Penyakit Potensial Kejadian Luar Biasa Lanjutan

Rusaknya lingkungan akibat bencana dapat berpengaruh pada kesehatan

masyarakat seperti rusaknya sarana air bersih, sarana jamban, munculnya

bangkai dan vektor penyebar penyakit yang merupakan potensi menimbulkan

kejadian luar biasa. Untuk mencegah terjadinya terjadinya KLB maka

Puskesmas bersama Satgas Kesehatan melakukan pemantauan terhadap

kejadian beberapa kasus penyakit seperti Diare, Malaria, ISPA, Kholera,

keracunana makanan melalui hasil kegiatan pelayanan kesehatan, faktor-

faktor resiko yang dapat menimbulkan masalah penyakit antara lain vektor

Universitas Sumatera Utara


penyakit (nyamuk, lalat, tikus), kecukupan air bersih, sarana jamban, sarana

pembuangan air limbah dan status gizi penduduk rentan (bayi, anak, balita ibu

hamil, ibu bersalin)

b. Pemantauan Sanitasi Lingkungan

Kegiatan pemantauan sanitasi lingkungan paska bencana ditujukan terhadap

kecukupan air bersih, kualitas air bersih, ketersediaan dan sanitasi sarana

mandi, cuci kakus, sarana pembuangan air limbah termasuk sampah dilokasi

pemukiman korban bencana. Pemantauan juga dilakukan terhadap vektor

penyebab penyakit

c. Upaya Pemulihan Masalah Kesehatan Jiwa dan Masalah Gizi pada Kelompok

Rentan

Stress paska trauma yang banyak dialami oleh korban bencana dapat diatasi

melalui konseling dan intervensi psikologis lainnya, agar tidak berkembang

menjadi gangguan stress paska trauma. Masalah gizi pada kelompok rentan

(Balita, ibu hamil dan ibu menyusui serta usia lanjut) memerlukan

pemantauan dan pemulihan melalui pemberian makanan tambahan yang

sesuai dengan kelompok umur untuk menghindari terjadinya kondisi yang

lebih buruk.

d. Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat paska bencana yang dilakukan oleh Puskesmas

ditujukan agar masyarakat tahu apa yang harus dilakukan untuk menolong diri

Universitas Sumatera Utara


sendiri, keluarga dan masyarakat terhadap kemungkinan timbulnya masalah

kesehatan. Upaya pemberdayaan tersebut mencakup :

1) Perilaku hidup bersih dan sehat dalam kehidupan sehari-hari

dipenampungan darurat/pengungsian

2) Pertolongan pertama pada kecelakaan dan penyakit yang timbul paska

bencana

3) Perbaikan kualitas air dengan penjernihan dan kaporisasi sumber daya air

yang tersedia

4) Membantu pengendalian vector penyakit menular dalam rangka system

kewaspadaan dini KLB.

(Ditjen Binkesmas Depkes, 2005)

Dukungan tenaga kesehatan dalam penanggulangan bencana di Puskesmas

mencakup penyediaan tenaga kesehatan yang kompeten dalam penanggulangan

bencana melalui pelatihan-pelatihan :

a. Tenaga dokter dengan pelatihan minimal PPGD bagi dokter

b. Tenaga perawat dengan pelatihan minimal PPGD bagi perawat

c. Tenaga perawat/sanitarian dengan pelatihan surveilans

d. Tenaga bidan dengan pelatihan PPGD Bidan

e. Tenaga gizi dengan pelatihan penanganan gizi pengungsian

f. Tenaga dokter/perawat dengan kompetensi konselor kesehatan jiwa

(Ditjen Binkesmas Depkes, 2005)

Universitas Sumatera Utara


Jumlah minimal sumber daya manusia (SDM) kesehatan untuk penanganan

korban bencana berdasarkan :

1. Untuk jumlah penduduk/pengungsi antara 10.000 20.000 orang meliputi

dokter umum 4 orang, perawat 10-20 orang, bidan 8-16 orang, apoteker 2

orang, asisten apoteker 4 orang, pranata laboratorium 2 orang, epidemilogi 2

orang, entomology 2 orang, sanitarian 4 -8 orang, ahli gizi 2 -4 orang.

2. Untuk jumlah penduduk /pengungsi 5000 orang dibutuhkan :

Bagi pelayanan kesehatan 24 jam dibutuhkan dokter 2 orang, perawat

6 orang, bidan 2 orang, sanitarian 1 orang, gizi 1 orang, asisten

apoteker 2 orang dan administrasi 1 orang.

Bagi pelayanan kesehatan 8 jam dibutuhkan dokter 1 orang, perawat 2

orang, bidan 1 orang, sanitarian 1 orang dan gizi 1 orang. (Depkes RI,

2007)

Dukungan obat dan perbekalan kesehatan dalam penanggulangan bencana di

Puskesmas mencakup obat, bahan habis pakai, bahan sanitasi, MP-ASI, sediaan

farmasi untuk gawat darurat dan perbekalan kesehatan lain. Dukungan obat dan

perbekalan tersebut meliputi :

a. Kebutuhan untuk triase (tanda pengenal, kartu dan label triase, peralatan

administrasi, tandu, alat penerangan)

b. Peralatan resusitasi jalan nafas (oksigen tabung, peralatan intubasi, peralatan

trakeostomi, ambubag)

Universitas Sumatera Utara


c. Peralatan resusitasi jantung (infuse set, cairan infuse RL, NaCL, Dektrose,

obat-obatan penatalaksanaan syok)

d. Perlengkapan perawatan luka (kapas, verban elastik, sarung tangan, minor

surgery set, antiseptik, bidai/spalk, collar neck, selimut)

e. Alat evakuasi (alat penerangan, tandu)

f. Peralatan pelayanan pengobatan (tensimeter, stetoskop, lampu senter, minor

surgery set)

g. Dukungan sarana komunikasi, transportasi (radio komunikasi, ambulans), dan

identitas petugas

h. Obat-obatan pelayanan pengobatan (antibiotik, analgetik, antipiretik, antasida,

antialergi, antiradang, obat kulit, obat mata, oralit, obat batuk, obat-obat

psikofarmaka sederhana, dan lain-lain sesuai kebutuhan)

i. Dukungan logistik untuk pemberian makanan tambahan pada sasaran rentan

(ibu hamil, ibu bersalin, bayi, balita)

(Ditjen Binkesmas Depkes, 2005)

2.3 Teori Pembentukan Kesiapsiagaan

Menurut Citizen Corps (2006), perilaku kesiapsiagaan dapat diuji dengan

menggunakan Transtheoritical Model dari Perilaku Berubah, yang juga disebut

sebagai tahap-tahap model perubahan. Pada model ini, individu mendemonstrasikan

berbagai tingkat kesiapan untuk berubah atau berbagai tingkat aktifitas saat ini.

Model ini menempatkan individu dalam 5 (lima) tahap yang mengindikasikan

Universitas Sumatera Utara


kesiapan untuk mengupayakan, membuat atau mendukung perubahan perilaku.

Kelima tahap tersebut adalah :

1. Precontemplation (Pra Renungan), dimana pada tahap ini individu tidak

berniat untuk berubah atau bahkan berfikir tentang perubahan dalam waktu

dekat (biasanya diukur 6 bulan berikutnya)

2. Contemplation (Renungan), dimana individu belum dipersiapkan untuk

mengambil tindakan pada saat ini, tetapi berniat untuk mengambil tindakan

dalam jara kenam bulan kedepan.

3. Preparation (Persiapan), dimana individu secara aktif mempertimbangkan

untuk mengubah perilakunya kedepan dengan segera

4. Action (Tindakan), dimana individu benar-benar membuat suatu perubahan

perilakunya beberapa waktu yang lalu, namun perubahan tersebut belum

dipertahankan dengan baik (dipertahankan 6 bulan atau kurang).

5. Maitenance (Pemeliharaan), dimana individu telah berubah perilakunya,

telah dipertahankan lebih dari 6 bulan, dan sedang bekerja untuk menjaga

perubahannya.

Menurut Merriam-Webster, kesiapan dapat didefinisikan sebagai persiapan

secara mental dan fisik pada suatu pengalaman atau tindakan. Antonovsky (1987),

Bandura (1977), Rosenbaum (1988), Meichenbaum & Cameron (1983), seorang

individu dindikasikan siap untuk berubah mencakup kemampuan untuk berkoping,

menyelesaikan masalah, dan ditunjukkan dengan perilaku yang baik/sehat (Walinga,

2008)

Universitas Sumatera Utara


Menurut Mc.Kiernan et al (2005), teori perkembangan evolusi dari

kesiapsiagaan dan plastisitas Brunswikian menyatakan bahwa perilaku berhubungan

antara terbentuknya kebiasaan dan punahnya kebiasaan. Perilaku tersebut disebabkan

tampilan domain independen dan domain dependen. Domain independen berada

pada dalam prinsip pengorganisasian yang digunakan untuk mengolah berbagai

bentuk indikator data yang masih terdapat ketidaksesuaian/kekeliruan. Sedangkan

domain dependen berada antara pemberlakuan lingkungan yang unik dan

pemanfaatan indikator fungsi dari lingkungan tersbut.

2.4 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kesiapsiagaan Tenaga Kesehatan


Menghadapi Bencana

Menurut Transtheoretical Model of Behaviour Change yang dinyatakan oleh

Citizen Corps (2006), faktor-faktor yang memengaruhi kesiapsiagaan terhadap

bencana adalah 1) external motivasi meliputi kebijakan, pendidikan dan latihan, dana,

2) pengetahuan, 3) sikap, 4) keahlian. Menurut Sutton dan Tierney (2006), kegiatan

kesiapsiagaan hendaknya didasarkan kepada pengetahuan tentang potensial dampak

bahaya bencana dalam kesehatan dan keselamatan, kegiatan pemerintahan, fasilitas

dan infrastruktur, pemberian pelayanan, kondisi lingkungan ekonomi, serta dalam

peraturan dan kebijakan. Menurut LIPI-UNESCO/ISDR (2006) parameter pertama

faktor kritis kesiapsiagaan untuk mengantisipasi bencana alam adalah pengetahuan

dan sikap terhadap resiko bencana. Pengetahuan merupakan faktor utama dan

menjadi kunci untuk kesiapsiagaan. Pengetahuan yang dimiliki biasanya dapat

memengaruhi sikap dan kepedulian untuk siap siaga menghadapi bencana.

Universitas Sumatera Utara


a. Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan adalah hasil tahu, dan ini terjadi

setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan

terjadi melalui panca indera manusia, yakni : indra penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui

mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting

untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Karena dari pengalaman

dan penelitian ternyata perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih

langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan yang

dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yakni :

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali

(recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari

atau rangsangan yang telah diterima.

2. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar

tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut

secara benar.

3. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang

telah dipelajari pada situasi atau kondisi ril (sebenarnya). Aplikasi disini

Universitas Sumatera Utara


dapat diartikan aplikasi atua penggunaan hukum-hukum, rumus, metode,

prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

4. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu

objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur

organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang

baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun

formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi

atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu

berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan

kriteria-kriteria yang telah ada.

Menurut Transtheoretical Model of Behaviour Change yang dinyatakan oleh

Citizen Corps, 2006, pengetahuan yang dimaksud adalah dimana individu memiliki

pengetahuan tentang tindakan kesiapsiagaan yang direkomendasikan.

b. Sikap

Menurut Louis Thurstone, Rensis Likert, dan Charles Osgood dalam Azwar

(2011), sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seorang

Universitas Sumatera Utara


terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun

perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut.

Menurut Notoatmodjo (2007), sikap merupakan reaksi atau respons seseorang

yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap belum merupakan

suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau

perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi

terbuka. Sikap merupakan reaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu

penghayatan terhadap objek. Menurut Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2007),

menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok, yakni :

a) Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek.

b) Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek.

c) Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).

Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yakni :

1. Menerima (Receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus

yang diberikan (objek).

2. Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas

yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

3. Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain

terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

Universitas Sumatera Utara


4. Bertanggungjawab (Responsible)

Bertanggungjawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko

merupakan sikap yang paling tinggi.

Menurut Transtheoretical Model of Behaviour Change yang dinyatakan oleh

Citizen Corps (2006), sikap diartikan individu meyakini bahwa mampu untuk

mengambil tindakan-tindakan kesiapsiagaan, meyakini dalam efektifitas dan

penggunaan tindakan kesiapsiagaan, meyakini bahwa tindakan-tindakan

kesiapsiagaan sebanding dengan investasi waktu dan sumber daya.

Menurut Maarif (2011), setiap orang yang bekerja dalam penanggulangan

bencana atau agen membutuhkan sikap kepemimpinan dan 3 (tiga) kriteria atau nilai

yang melekat pada dirinya. Ketiga kriteria itu adalah skill , social responsibility, dan

spirit of corp. Melalui kepemimpinan yang melihat penanggulangan bencana secara

komprehensif, niscaya penanggulangan bencana tersebut dapat menempatkan para

korban atau masyarakat terdampak sebagai manusia bermartabat.

2.5 Landasan Teori

Kesiapsiagaan (preparedness) menghadapi banjir adalah kegiatan yang

dilakukan dalam rangka mengantisipasi bencana banjir sehingga tindakan yang

dilakukan pada saat dan setelah terjadi banjir dilakukan secara tepat dan efektif

(Rahayu dkk, 2009). Puskesmas sebagai sarana pelayanan kesehatan tingkat pertama

merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat yang bertanggungjawab

diwilayah kerjanya. Puskesmas mempunyai fungsi sebagai pusat penggerak

Universitas Sumatera Utara


pembangunan berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan keluarga dan masyarakat

dalam bidang kesehatan dan pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama yang bermutu

dan terjangkau. Khusus pada fungsi ketiga, mencakup aspek pelayanan kesehatan

masyarakat maupun pelayanan kesehatan perorangan termasuk penanganan pasien

gawat darurat yang timbul dimasyarakat. Puskesmas sebagai lini terdepan yang

berperan pada pertolongan pertama pada korban, mempersiapkan masyarakat dalam

upaya pencegahan terjadinya kasus gawat darurat maupun memberikan ketrampilan

dalam memberikan pertolongan sesuai dengan kemampuan (Ditjen Binkesmas

Depkes, 2005)

Menurut Transtheoretical Model of Behaviour Change yang dinyatakan oleh

Citizen Corps (2006), faktor-faktor yang memengaruhi kesiapsiagaan terhadap

bencana adalah 1)external motivasi meliputi kebijakan, pendidikan dan latihan, dana,

2) pengetahuan, 3)sikap , 4)keahlian. Menurut Mc.Kiernan et al, 2005, teori

perkembangan evolusi dari kesiapsiagaan dan plastisitas Brunswikian menyatakan

bahwa perilaku berhubungan antara terbentuknya kebiasaan dan punahnya kebiasaan.

Merujuk pada Transtheoretical Model Of Behaviour Change dan Teori

Perkembangan Evolusi serta berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan

peneliti, terkait dengan kesiapsiagaan tenaga kesehatan Puskesmas menghadapi

bencana banjir, maka faktor yang paling berperan dalam memengaruhi tenaga

kesehatan Puskesmas melakukan kesiapsiagaan menghadapi bencana banjir adalah

pengetahuan, sikap.

Universitas Sumatera Utara


2.6 Kerangka Konsep

Berdasarkan teori yang telah dijelaskan, maka kerangka konsep penelitian

adalah sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Pengetahuan

Kesiapsiagaan Tenaga
Kesehatan Puskesmas
Menghadapi Bencana
Banjir
Sikap

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan kerangka konsep, maka dapat dijelaskan bahwa definisi konsep

dalam penelitian ini adalah variabel independen (variabel bebas) yang terdiri dari

pengetahuan, sikap diasumsikan dapat memengaruhi kesiapsiagaan tenaga kesehatan

Puskesmas Kampung Baru dalam menghadapi bencana banjir di Kecamatan Medan

Maimun yang merupakan variabel dependen (variabel terikat).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai