Diagnosis
Skrining HIV/AIDS dapat dilakukan sebagai pemeriksaan rutin. Diagnosis
didasarkan pada dua hal, yaitu adanya antibodi terhadap HIV ataupun deteksi
langsung virus HIV ataupun komponen yang terdapat di dalamnya. Antibodi
terhadap HIV muncul di sirkulasi pada 2 12 minggu setelah infeksi.
Skrining darah standar untuk deteksi HIV/AIDS adalah dengan metode
ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) atau EIA (Enzyme Immuno
Assay) yang memiliki sensitivitas > 99.5 %. Sebagian besar alat diagnostik EIA
kit memiliki antigen HIV-1 dan HIV-2 sehingga bisa mendeteksi keduanya. Alat
ini semakin lama semakin berkembang. Saat ini, tes EIA generasi keempat dapat
mengombinasikan deteksi antibodi HIV dengan deteksi antigen p24 pada HIV.
Hasil pemeriksaan dapat dibedakan menjadi positif (sangat reaktif), negatif (tidak
reaktif), dan indeterminate (sedikit reaktif). Pemeriksaan EIA walaupun sangat
sensitif, namun memiliki spesifisitas yang rendah. Pada penelitian, ditemukan
bahwa hanya 10 % dari subjek yang memiliki hasil EIA positif yang dikonfirmasi
terinfeksi HIV. Faktor yang menyebabkan positif palsu diantaranya adalah
autoantibodi, penyakit hepar, vaksin influenza, dan infeksi virus akut. Oleh karena
itu, diperlukan pemeriksaan lanjutan untuk mengonfirmasi, dimana yang paling
banyak digunakan adalah pemeriksaan Western Blot.
Pemeriksaan Western Blot dapat mendeteksi antibodi yang merespon tiga
gen HIV (gag, pol, dan env) , dan dikatakan positif apabila terdapat dua dari tiga
antibodi terhadap tiga protein HIV; p24, gp41, dan gp120/160. Apabila hasil
skrining ELISA dan EIA positif dan hasil Western blot negatif, maka dapat
dikatakan bahwa reaktivitas EIA bersifat positif palsu. Berbeda dengan EIA,
pemeriksaan Western blot walaupun memiliki spesifisitas yang baik, namun
memiliki sensitivitas yang rendah.
Alur untuk diagnosis infeksi HIV adalah sebagai berikut:
1
Apabila dengan pemeriksaan Western Blot didapatkan hasil yang kurang
kuat, maka dapat dilakukan deteksi HIV atau komponen yang dimilikinya.
Pemeriksaan langsung diantaranya adalah p24 antigen capture assay, serta
pemeriksaan HIV RNA, baik secara PCR, bDNA, ataupun Nuclisens.
Pemeriksaan pemeriksaan di atas sangat sensitif, sehingga banyak terjadi positif
palsu. Oleh karena itu, pemeriksaan EIA dan Western Blot tetap menjadi gold
standard sampai saat ini.
Diagnosis Banding
Manajemen
a. Monitoring Lab untuk Pasien
Pada pasien dengan infeksi HIV, terdapat beberapa pemeriksaan lab untuk
evaluasi rutin, yaitu pemeriksaan hitung sel T CD4+ dan level HIV RNA serum.
Pemeriksaan sel CD4+ disarankan untuk selalu dilakukan pada pasien dengan
infeksi HIV pada saat didiagnosis serta setiap 3 6 bulan setelahnya. Jumlah sel
CD4+ <350/L merupakan indikasi untuk dilakukan terapi ARV (antiretrovirus).
Jumlah <200/L menunjukkan risiko terkena infeksi Pneumocystis jiroveci.
Jumlah <50/L berisiko terhadap penyakit akibat CMV, M. avium dan T. gondii.
2
Sementara itu, pemeriksaan HIV RNA serum dilakukan pada saat pasien
terdiagnosis, serta setiap 3 6 bulan setelahnya. Apabila terdapat > 100.000
RNA/ml, maka terapi dapat segera dimulai. Setelah itu, pemeriksaan ini dilakukan
terus setiap 3 4bulan sampai jumlah RNA mencapai < 50/ml. jumlah ini
biasanya dicapai pada pasien dengan pengobatan efektif selama 6 bulan.
Selain kedua pemeriksaan di atas, terdapat juga pemeriksaan
pemeriksaan lab lainnya untuk evaluasi, misalnya pemeriksaan resistensi HIV,
pemeriksaan co-receptor tropism, mikroglobulin, TNF-, dan lain lain. Namun
pemeriksaan ini bukanlah pemeriksaan yang rutin dilakukan.
3
Dasar pengobatan pasien HIV terdiri atas kombinasi Antiretroviral
Therapy (ART) atau Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART). Obat
obatan ini terus berkembang dan penggunaannya sangat kompleks, sehingga
butuh konsultasi dengan ahli untuk menentukan pengobatan yang paling tepat.
Jenis jenis obat AntiRetrovirus dapat dilihat diantaranya sebagai berikut:
4
2) Epzicom = zidovudine + abacavir
3) Trizivir = zidovudine + lamivudine + abacavir
4) Truvada = tenofovir + emtricitabine
Pencegahan
Strategi pencegahan HIV didasarkan pada edukasi, konseling, dan
modifikasi perilaku. 25 % pasien penderita HIV tidak mengetahui status mereka,
sehingga CDC menyarankan untuk dilakukannya skrining HIV sebagai
pemeriksaan rutin. Edukasi mengenai hubungan seksual yang aman juga sangat
penting untuk pencegahan bagi orang belum terinfeksi, serta mencegah
penyebaran lebih lanjut pada orang yang sudah terinfeksi. Selain itu dapat pula
dilakukan pembatasan penggunaan jarum suntik yang berisiko, serta tidak
melakukan pemberian ASI karena virus dapat menyebar melalui ASI dan
colostrums (hal ini cukup kontroversial di negara berkembang).
Komplikasi
Prognosis
Source:
1. Harrisons Principle of Internal Medicine