Anda di halaman 1dari 16

mdr tb

Epidemiologi
Insidens resistensi obat meningkat sejak diperkenalkannya pengobatan tuberkulosis
pertama tahun 1943. Kegawatan dari MDR TB karena pemakaian rifampisin yang meluas pada
awal tahun 1970-an mengakibatkan penggunaan obat antituberkulosis (OAT) lini kedua.
Ketidaktepatan penggunaan obat-obat tersebut mengakibatkan terjadinya generasi dan penyebaran
MDR TB bahkan extensive drug resistant tuberculosis (XDR TB).
Menurut laporan WHO 2016, pada tahun 2014 diperkirakan di seluruh dunia terdapat
480.000 kasus MDR TB. Sebanyak 27 negara (15 negara berada di Eropah) adalah penyumbang
jumlah 86% dari seluruh kasus di dunia. Empat negara tertinggi jumlah kasus MDR TB adalah
Cina dengan estimasi kasus 100.000, India 99.000 kasus, Federasi Rusia 38.000 kasus dan Afrika
Selatan 13.000 kasus MDR TB. Sebanyak 50% kasus MDR TB di dunia berada di Cina dan India
sedangkan kematian akibat MDR TB diperkirakan 150.000 orang setiap tahun di seluruh dunia
pada tahun 2008. Menurut laporan WHO 2008 dari 27 negara dengan jumlah MDR TB tertinggi,
Indonesia menempati urutan ke-8 di dunia dalam hal jumlah kasus MDR TB yaitu sebanyak 12.142
penderita. Menurut laporan WHO 2010, di Indonesia diperkirakan terdapat 2% MDR TB dari
semua kasus baru TB dan 14,7% MDR TB dari semua kasus TB yang pernah mendapat
pengobatan.
Berdasarkan data Global Project dari 116 negara dengan 2.509.543 kasus TB didapatkan
proporsi resistensi di antara kasus baru adalah 17% resisten terhadap OAT apa saja, resisten
terhadap INH 10,3%, dan MDR TB 2,9%. Proporsi resistensi di antara kasus yang pernah diobati
adalah 35% resisten terhadap OAT apa saja, resisten terhadap INH 13% dan MDR TB 15,3%.
Kasus resistensi pada semua kasus TB adalah 20% pada OAT apa saja, 13,3% resisten terhadap
INH dan 5,3% MDR TB. Pada negara dengan angka TB yang tinggi, kasus TB yang pernah diobati
berkisar 4,4% hingga 26,9% dari semua pasien yang teregistrasi pada program directly observed
treatment short-course (DOTS). Pada 2 negara dengan jumlah kasus TB terbesar kasus pengobatan
kembali mencapai 20% dari kasus dengan dahak positif hapusan langsung.1,2

Faktor-faktor Terjadinya Resistensi

Kegagalan pada pengobatan poliresisten TB atau TB-MDR akan menyebabkan lebih


banyak OAT yang resisten terhadap kuman M. tuberculosis. Kegagalan ini bukan hanya

1|XOXOLOLXOXOLOL
merugikan pasien tetapi juga meningkatkan penularan pada masyarakat. Ada lima penyebab
terjadinya TB-MDR antaranya:2
1. Pemberian terapi TB yang tidak adekuat akan menyebabkan mutants resisten. Hal ini amat
ditakuti karena dapat terjadi resisten terhadap OAT lini pertama
2. Masa infeksius yang terlalu panjang akibat keterlambatan diagnosis akan menyebabkan
penyebaran galur resitensi obat. .Penyebaran ini tidak hanya pada pasien di rumah sakit
tetapi juga pada petugas rumah sakit, asrama, penjara dan keluarga pasien
3. Pasien dengan TB-MDR diterapi dengan OAT jangka pendek akan tidak sembuh dan akan
menyebarkan kuman. Pengobatan TB-MDR sulit diobati serta memerlukan pengobatan
jangka panjang dengan biaya mahal
4. Pasien dengan OAT yang resisten terhadap kuman tuberkulosis yang mendapat pengobatan
jangka pendek dengan monoterapi akan menyebabkan bertambah banyak OAT yang
resisten ( The amplifier effect). Hal ini menyebabkan seleksi mutasi resisten karena
penambahan obat yang tidak multipel dan tidak efektif
5. HIV akan mempercepat terjadinya terinfeksi TB mejadi sakit TB dan akan memperpanjang
periode infeksious

TB resistensi obat anti TB (OAT) pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan manusia,
Sebagai akibat dari pengobatan pasien TB yang tidak adekuat yang menyebabkan terjadinya
penularan dari pasien TB-MDR ke.orang lain / masyarakat. Faktor penyebab resitensi OAT
terhadap kuman M. tuberculosis antara lain:1-3
1. Faktor Mikrobiogi
Resisten yang natural
Resisten yang didapat
Amplifier effect
Virulensi kuman
Tertular galur kuman MDR

2. Faktor klinik
A. Penyelenggara kesehatan
Keterlambatan diagnosis
Pengobatan tidak mengikuti guideline

2|XOXOLOLXOXOLOL
Penggunaan paduan OAT yang tidak adekuat yaitu karena jenis obatnya yang kurang
atau karena lingkungan tersebut telah terdapat resitensi yang tinggi terhadap OAT yang
digunakan misal rifampisin atau INH
Tidak ada guideline/pedoman
Tidak ada / kurangnya pelatihan TB
Tidak ada pemantauan pengobatan
Fenomena addition syndrome yaitu suatu obat yang ditambahkan pada satu paduan yang
telah gagal. Bila kegagalan ini terjadi karena kuman tuberkulosis telah resisten pada
paduan yang pertama maka penambahan 1 jenis obat tersebut akan menambah panjang
daftar obat yang resisten.
Organisasi program nasional TB yang kurang baik
B. Obat
Pengobatan TB jangka waktunya lama lebih dari 6 bulan sehingga membosankan pasien
Obat toksik menyebabkan efek samping sehingga pengobatan kompllit atau sampai
selesai gagal
Obat tidak dapat diserap dengan baik misal rifampisin diminum setelah makan, atau ada
diare
Kualitas obat kurang baik misal penggunaan obat kombinasi dosis tetap yang mana
bioavibiliti rifampisinnya berkurang
Regimen / dosis obat yang tidak tepat
Harga obat yang tidak terjangkau
Pengadaan obat terputus
C. Pasien
Kurangnya informasi atau penyuluhan
Kurang dana untuk obat, pemeriksaan penunjang dll
Efek samping atau gangguan penyerapan obat
Sarana dan prasarana transportasi sulit / tidak ada
Masalah sosial

3. Faktor program
Tidak ada fasilitas untuk biakan dan uji kepekaan
Amplifier effect
3|XOXOLOLXOXOLOL
Tidak ada program DOTS-PLUS
Program DOTS belum berjalan dengan baik
Memerlukan biaya yang besar

4. Faktor AIDS-HIV
Kemungkinan terjadi TB-MDR lebih besar
Gangguan penyerapan
Kemungkinan terjadi efek samping lebih besar

Patofisiologi
Ungkapan terhadap tahap MDR pada mikrobakteriologi mengarah pada resisten secara
simultan terhadap Rifampisin dan Isoniazide (dengan atau tanpa resistensi pada obat anti
tuberkulosis lainnya). Analisa secara genetik dan molekuler pada mikobakterium tuberkulosis
menjelaskan bahwa mekanisme resistensi biasanya didapat oleh basil melalui mutasi terhadap
target obat atau oleh titrasi dari obat akibat overproduksi dari target. MDR TB menghasilkan secara
primer akumulasi mutasi gen target obat pada individu.

Tabel 2. Gen yang bermutasi pada resisten obat.2

Obat Gen yang bermutasi


Rifampicin rpoB
Isoniazid katG, inhA, oxyR-ahpC
Etambutol embCAB
Pirazinamid pncA
Streptomisin rpsL, rrs
Fluoroquinolon gyrA

1. Mekanisme Resistensi Terhadap INH


Isoniazid merupakan hydrasilasi dari asam isonikotinik, molekul yang larut air sehingga
mudah untuk masuk ke dalam sel. Mekanisme kerja obat ini dengan menghambat sintesis
dinding sel asam mikolik (struktur bahan yang sangat penting pada dinding sel
mykobakterium) melalui jalur yang tergantung dengan oksigen seperti rekasi katase
peroksidase. Mutan M.tuberculosis yang resisten isoniazid terjadi secara spontan dengan

4|XOXOLOLXOXOLOL
kecepatan 1 dalam 105-106 organisme. Mekanisme resistensi isoniazid diperkirakan oleh
adanya asam amino yang mengubah gen katalase peroksidase (katG) atau promotor pada lokus
2 gen yang dikenal sebagai inhA. Mutasi missense atau delesi katG berkaitan dengan
berkurangnya aktivitas katalase dan peroksidase.
2. Mekanisme Resistensi Terhadap Rifampisin
Rifampisin merupakan turunan semisintetik dari Streptomyces mediterranei, yang
bekerja sebagai bakterisid intraseluler maupun ekstraseluler. Obat ini menghambat sintesis
RNA dengan mengikat atau menghambat secara khusus RNA polymerase yang tergantung
DNA. Rifampisin berperan aktif invitro pada kokus gram positif dan gram negatif,
mikobakterium, chlamydia, dan poxvirus. Resistensi terhadap rifampisin ini disebabkan oleh
adanya permeabilitas barier atau adanya mutasi dari RNA polymerase tergantung DNA.
Rifampisin mengahambat RNA polymerase tergantung DNA dari mikobakterium, dan
menghambat sintesis RNA bakteri yaitu pada formasi rantai (chain formation) tidak pada
perpanjangan rantai (chain elongation), tetapi RNA polymerase manusia tidak terganggu.
Resistensi rifampisin berkembang karena terjadinya mutasi kromosom dengan frekuensi tinggi
dengan kecepatan mutasi tinggi, dengan akibat terjadinya perubahan pada RNA polymerase.
Resistensi terjadi pada gen untuk beta subunit dari RNA polymerase dengan akibat terjadinya
perubahan pada tempat ikatan obat tersebut.

3. Mekanisme Resistensi Terhadap Pyrazinamide


Pyrazinamid merupakan turunan asam nikotinik yang berperan penting sebagai
bakterisid jangka pendek terhadap terapi tuberkulosis. Obat ini bekerja efektif terhadap bakteri
tuberkulosis secara invitro pada pH asam (pH 5,0-5,5). Pada keadaan pH netral, pyrazinamid
tidak berefek atau hanya sedikit berefek. Obat ini merupakan bakterisid yang memetabolisme
secara lambat organisme yang berada dalam suasana asam pada fagosit atau granuloma
kaseosa. Obat tersebut akan diubah oleh basil tuberkel menjadi bentuk yang aktif asam
pyrazinoat.Mekanisme resistensi pyrazinamid berkaitan dengan hilangnya aktivitas
pyrazinamidase sehingga pyrazinamid tidak banyak yang diubah menjadi asam pyrazinoat.
Kebanyakan kasus resistensi pyrazinamide ini berkaitan dengan mutasi pada gen pncA, yang
menyandikan pyrazinamidase.

4. Mekanisme Resistensi Terhadap Ethambutol

5|XOXOLOLXOXOLOL
Ethambutol merupakan turunan ethylenediamine yang larut air dan aktif hanya pada
mycobakteria. Ethambutol ini bekerja sebagai bakteriostatik pada dosis standar. Mekanisme
utamanya dengan menghambat enzim arabinosyltransferase yang memperantarai polymerisasi
arabinose menjadi arabinogalactan yang berada di dalam dinding sel. Resistensi ethambutol pd
M.tuberculosis paling sering berkaitan dengan mutasi missense pada gen embB yang menjadi
sandi untuk arabinosyltransferase.

5. Mekanisme Resistensi Terhadap Streptomysin


Streptomysin merupakan golongan aminoglikosida yang diisolasi dari Streptomyces
griseus. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis protein dengan menganggu fungsi
ribosomal. Pada 2/3 strain M.tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin telah
diidentifikasi oleh karena adanya mutasi pada satu dari dua target yaitu pada gen 16S rRNA
(rrs) atau gen yang menyandikan protein ribosomal S12 (rpsl). Kedua target diyakini terlibat
pada ikatan streptomysin ribosomal. Mutasi yang utama terjadi pada rpsl.

Diagnosis MDR TB
Tuberkulosis paru dengan resistensi ganda dicurigai kuat jika kultur basil tahan asam (BTA)
tetap positif setelah terapi 3 bulan atau atau kultur kembali positif setelah terjadi konversi negatif.
Beberapa gambaran demografik dan riwayat penyakit dahulu dapat memberikan kecurigaan TB
paru resisten obat yaitu:4,5
1. TB aktif yang sebelumnya mendapat terapi terutama jika terapi yang diberikan tidak sesuai
standard terapi
2. Kontak dengan pasien kasus MDR TB.
3. Gagal terapi atau kambuh
4. Infeksi human immunodeficiency virus (HIV)
5. Riwayat rawat inap dengan wabah MDR TB

Diagnosis MDR TB tergantung kepada pengumpulan dan proses kultur spesimen yang adekuat
dan harus dilakukan sebelum terap diberikan. Jika pasien tidak dapat mengeluarkan sputum atau
dahak, dapat dilakukan induksi sputum. Jika tetap tidak bisa mengeluarkan dahak, dilakukan
pemeriksaan bronkoskopi. Tes sensitivitas terhadap obat lini pertama dan kedua harus dilakukan
pada laboratorium rujukan yang memadai.

6|XOXOLOLXOXOLOL
Beberapa metode telah digunakan untuk deteksi resistensi obat pada TB. Deteksi resistensi
obat di masa lalu yang disebut dengan metode konvensional berdasarkan deteksi pertumbuhan
M.tuberculosis. Akibat sulitnya beberapa metode ini dan membutuhkan waktu yang lama untuk
mendapatkan hasilnya, maka belakangan ini diusulkanlah teknologi baru.Yang termasuk metode
terbaru ini adalah metode fenotipik dan genotipik. Pada banyak kasus, metode genotipik
khususnya telah mendeteksi resistensi rifampisin, sejak saat itu metode ini dipertimbangkan
sebagai petanda TB-MDR khususnya pada suasana dengan prevalensi TB-MDR yang tinggi.
Sementara metode fenotipik, di lain sisi, merupakan metode yang lebih sederhana dan lebih mudah
diimplementasikan pada laboratorium mikrobakteriologi klinik secara rutin.5

Tabel 3. Metode untuk deteksi resistensi obat pada TB.5

Metode fenotipik Metode fenotipik baru Metode genotipik


konvensional
Metode proporsional Metode phage-based Rangkaian DNA
Metode rasio resistensi Metode kolorimetri Teknik hybridisasi fase
Metode konsenstrasi absolut The nitrate reductase assay agar
Metode radiometri BACTEC The microscopic Microarrays
Tabung indicator observation broth-drug Polymerase Chain
pertumbuhan mikobakterial susceptibility assay Reaction (PCR)
Metode agar thin-layer Teknik real-time

Tatalaksana MDR TB
Penatalaksanaan MDR TB ini memerlukan seorang spesialis yang ahli dibidangnya. Tiga
hal penting yang perlu diperhatikan pada penatalaksanaan MDR TB adalah teknik diagnostik,
pemberian obat dan kepatuhan. Idealnya regimen pengobatan kasus TB dengan resistensi obat
disusun berdasarkan hasil in vitro drug susceptibility (DST) yang dilakukan pada masing-masing
pasien. Namun yang menjadi kendala adalah hasil pemeriksaan ini baru dapat diperoleh dalam 1-
2 bulan. Oleh karena itu pada beberapa kondisi berikut ini antara lain pasien dengan riwayat gagal
pengobatan sebelumnya, pasien yang sebelumnya pernah mendapat terapi OAT, pasien yang ada
kontak dengan kasus TB resisten OAT dan pasien yang lahir dan tinggal pada daerah endemis TB,
resistensi obat harus di antisipasi dan terapi harus dimulai tanpa menunggu hasil DST. Beberapa
strategi pengobatan TB-MDR:5,6

7|XOXOLOLXOXOLOL
1. Pengobatan standar. Data drugs resistancy survet (DRS) dari populasi pasien yang representatif
digunakan sebagai dasar regimen pengobatan karena tidak tersedianya hasil uji kepekaan
individual. Seluruh pasien akan mendapatkan regimen pengobatan yang sama. Pasien yang
dicurigai TB-MDR sebaiknya dikonfirmasi dengan uji kepekaan
2. Pengobatan empiris. Setiap regimen pengobatan dibuat berdasarkan riwayat pengobatan TB
pasien sebelumnya dan data hasil uji kepekaan populasi representatif. Biasanya regimen
empiris akan disesuaikan setelah ada hasil uji kepekaan individual.
3. Pengobatan individual. Regimen pengobatan berdasarkan riwayat pengobatan TB sebelumnya
dan hasil uji kepekaan.
Tabel 4. Golongan dan jenis obat OAT.7
Golongan dan Jenis Obat
Golongan 1: Isoniazid (H) Pyrazinamide (Z)
Obat Lini Pertama Ethambutol (E) Rifampicin (R)
Streptomycin (S)
Golongan 2: Kanamycin (Km) Amikacin (Am)
Obat suntik/ Suntikan lini Capreomycin (Cm)
kedua
Golongan 3: Ofloxacin (Ofx) Moxifloxacin (Mfx)
Golongan Floroquinolone Levofloxacin (Lfx)
Golongan 4: Ethionamide (Eto) Para amino salisilat
Obat bakteriostatik lini Prothionamide (Pto) (PAS)
kedua Cycloserine (Cs) Terizidone (Trd)
Golongan 5: Clofazimine (Cfz) Thioacetazone (Thz)
Obat yang belum terbukti Linezolid (Lzd) Clarithromycin (Clr)
efikasinya dan tidak Amoxilin-Clavulanate Imipenem (Ipm)
direkomendasikan oleh (Amx-Clv)
WHO

Secara umum, prinsip pengobatan TB resistensi obat, khususnya TB dengan MDR


adalah sebagai berikut:
1. Pengobatan menggunakan minimal 4 macam OAT yang masih efektif.

8|XOXOLOLXOXOLOL
2. Jangan menggunakan obat yang kemungkinan menimbulkan resistan silang (cross-
resistance)
3. Membatasi pengunaan obat yang tidak aman
4. Gunakan obat dari golongan/kelompok 1 - 5 secara hirarkis sesuaipotensinya. Penggunaan
OAT golongan 5 harus didasarkan pada pertimbangan khusus dari Tim Ahli Klinis (TAK)
dan disesuaikan dengan kondisi program.
5. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan.
Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan lama minimal 6 bulan atau 4 bulan
setelah terjadi konversi biakan.
6. Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan
7. Dikatakan konversi bila hasil pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan
jarakpemeriksaan 30 hari.
8. Pemberian obat selama periode pengobatan tahap awal dan tahaplanjutan menganut prinsip
DOT = Directly/Daily Observed Treatment, dengan PMO diutamakan adalah tenaga
kesehatan atau kader kesehatan

Tabel 5. Pengobatan TB resistensi obat rekomendasi WHO.8

9|XOXOLOLXOXOLOL
Tabel 5. Regimen yang potensial untuk penderita TB dengan berbagai bentuk resistensi.8

Paduan obat TB MDR hanya diberikan pada pasien yang sudah terbukti TB MDR, paduan obat
standard diatas harus disesuaikan kembali berdasarkan keadaan dibawah ini:8-9
1. Hasil uji kepekaan OAT lini kedua menunjukkan resisten terhadap salah satu obat diatas.
Etambutol dan pirazinamid tetap digunakan
2. Ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut di atas sebelumnya sehingga dicurigai
ada resistensi, misalnya : pasien sudah pernah mendapat kuinolon untuk pengobatan TB
sebelumnya, maka dipakai levofloksasin dosis tinggi. Apabila sudah terbukti resisten
terhadap levofloksasin regimen pengobatan ditambah PAS, atas pertimbangan dan
persetujuan dari tim ahli klinis atau tim terapeutik
3. Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat yang sudah dapat diidentifikasi
sebagi penyebabnya
4. Terjadi perburukan keadaan klinis, sebelum maupun setelah konversi biakan. Hal-hal yang
harus diperhatikan adalah kondisi umum, batuk, produksi dahak, demam, penurunan berat
badan

Resistensi silang
Pada pengobatan MDR TB harus dipertimbangkan resistensi silang dalam memilih
jenis OAT yaitu suatu resistensi terhadap suatu antibiotikum dapat menyebabkan resisten
terhadap semua derivatnya. Tidak efektif memberikan OAT dari golongan yang sama atau
paduan OAT yang berpotensi terjadi resistensi silang.9

10 | X O X O L O L X O X O L O L
1. Tionamid dan tiosetason
Etionamid adalah golongan tionamid yang dapat menginduksi terjadinya resistensi silang
dengan proteonamid karena satu golongan. Sering ditemukan resistensi silang antara
tionamid dengan tiosetason, galur yang biasanya resisten dengan tiosetason biasanya masih
sensitif dengan etionamid dan proteonamid. Galur yang resisten terhadap etionamaid dan
proteonamid biasanya juga resisten terhadap tiosetason pada lebih dari 70% kasus.
2. Aminoglikosid
Galur yang resisten terhadap streptomisin biasanya sensitif terhadap kanamisin dan
amikasin. Galur yang resisten terhadap kanamisin dapat menyebabkan resisten silang
terhadap amikasin. Galur yang resisten terhadap kanamisin dan amikasin juga
menimbulkan resisten terhadap steptomisin. Galur yang resisten terhadap streptomisin,
kanamisin, amikasin biasanya masih sensitif terhadap kapreomisin.
Kesimpulan :
a. Resistensi terhadap streptomisin gunakan kanamisin atau amikasin
b. Resisten terhadap kanamisin atau amikain gunakan kapreomisin
3. Fluorokuinolon
Ofloksasin dan siprofloksasin dapat menginduksi terjadinya resistensi silang untuk semua
fluorokuinolon. Itulah sebabnya penggunaan ofloksasin harus hati-hati karena beberapa
kuinolon yang lebih aktif (levofloksasin dan moksifloksasin) dapat menggantiakn
ofloksasin di masa datang.
4. Sikloserin dan terizidon
Terdapat resistensi silang antara dua macam obat ini. Tidak terdapat resistensi silang
dengan obat golongan lain.

Fase-fase Pengobatan TB-MDR


Pengobatan pasien MDR TB terdiri atas dua tahap, tahap awal dan tahap lanjutan. Pengobatan
MDR TB memerlukan waktu lebih lama daripada pengobatan TB bukan MDR, yaitu sekitar 18-
24 bulan. Pada tahap awal pasien akan mendapat Obat anti tuberkulosis lini kedua minimal 4 jenis
OAT yang masih sensitif, dimana salah satunya adalah obat injeksi. Pada tahap lanjutan semua
OAT lini kedua yang dipakai pada tahap awal.9,10
1. Fase Pengobatan intensif

11 | X O X O L O L X O X O L O L
Fase intensif adalah fase pengobatan dengan menggunakan obat injeksi (kanamisin atau
kapreomisin) yang digunakan sekurang-kurangnya selama 6 bulan atau 4 bulan setelah
terjadi konversi biakan.
a. Fase rawat inap di rumah sakit selama 2 hingga 4 minggu
Pada fase ini pengobatan dimulai dan pasien diamati untuk:
Menilai keadaan pasien secara cermat
Tatalaksana secepat mungkin bila terjadi efek samping
Melakukan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang intensif
Dokter menentukan kelayakan pasien untuk rawat jalan berdasarkan:
Tidak ditemukan efek samping
Pasien sudah mengetahui cara minum obat dan suntikan sesuai dengan pedoman
pengobatan TB MDR
b. Fase rawat jalan
Selama fase intensif baik obat injeksi dan obat minum diberikan oleh petugas kesehatan
dengan disaksikan PMO kepada pasien. Pada fase rawat jalan ini obat oral ditelan di
rumah pasien hanya pada libur
2. Fase pengobatan lanjutan
a. Fase setelah pengobatan injeksi dihentikan
b. Fase lanjutan minimum 18 bulan setelah konversi biakan
c. Pasien yang memilih menjalani pengobatan di RS Rujukan TB MDR mengambil obat
setiap minggu dan berkonsultasi dengan dokter setiap 1 bulan.10

Pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons terhadap pengobatan dan
mengidentifikasi efek samping pengobatan. Gejala klasik TB batuk, berdahak, demam dan BB
menurun umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Penilaian respons
pengobatan adalah konversi dahak dan biakan. Hasil uji kepekaan TB MDR dapat diperoleh
setelah 2 bulan. Pemeriksaan dahak dan biakan dilakukan setiap bulan pada fase intensif dan setiap
2 bulan pada fase lanjutan. Evaluasi pada pasien TB MDR adalah: 8,9,11
1. Penilaian klinis termasuk berat badan
2. Penilaian segera bila ada efek samping
3. Pemeriksaan dahak setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan

12 | X O X O L O L X O X O L O L
4. Pemeriksaan biakan setiap bulan pada fase intensif sampai konversi biakan
5. Uji kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus kecurigaan akan kegagalan
pengobatan
6. Periksa kadar kalium dan kreatinin sepanjang pasien mendapat suntikan (Kanamisin dan
Kapreomisin)
7. Pemeriksaan TSH dilakukan setiap 6 bulan dan jika ada tanda-tanda hipotiroid

Penanganan efek samping


Pemantauan efek samping selama pengobatan
1. OAT lini kedua mempunyai efek samping yang lebih banyak, lebih berat dan lebih sering
dari pada OAT lini pertama
2. Deteksi dini efek samping penting karena makin cepat ditemukan dan ditangani makin baik
prognosanya, jadi pasien harus di monitor tiap hari
3. Efek samping sering terkait dosis
4. Gejala efek samping harus diketahui oleh PMO dan pasien sehingga pasien tidak menjadi
takut saat mengalaminya dan drop-out
5. Efek samping bisa ringan, sedang dan berat atau serius. Semua hal harus tercatat dalam
pencatatan dan pelaporan.
Untuk efek samping berat atau serius, pasien harus menghentikan semua obat, segera dirujuk
dengan didampingi ke RS rujukan TB MDR. Contoh efek samping yang berat adalah:
1. Kulit dan mata pasien nampak kuning
2. Pendengaran berkurang (tuli) atau telinga berdengung
3. Mendengar suara-suara, halusinasi, delusi/waham, bingung
4. Reaksi alergi berat yaitu Syok anafilaktik dan angionerotik edema, harus segera ditangani
oleh dokter puskesmas sesuai standard penanganan syok sebelum segera dirujuk ke RS
rujukan TB-MDR.
5. Reaksi alergi berat yang lain yang berupa kemerahan pada mukosa (selaput lendir) seperti
Steven Johnsons Syndrome.
Pencegahan
WHO merekomendasikan strategi Directly Observed Treatment Short Course (DOTS)
dalam penatalaksanaan kasus TB, selain relatif tidak mahal dan mudah, strategi ini dianggap dapat
menurunkan risiko terjadinya kasus resistensi obat terhadap TB. Pencegahanan yang terbaik

13 | X O X O L O L X O X O L O L
adalah dengan standarisasi pemberian regimen yang efektif, penerapan strategi DOTS dan
pemakaian obat fixed dose drug combinations (FDC) adalah yang sangat tepat untuk mencegah
terjadinya resistensi OAT. Pencegahan terjadinya MDR TB dapat dimulai sejak awal penanganan
kasus baru TB antara lain adalah:10,11
1. Pengobatan secara pasti terhadap kasus BTA positif pada pertama kali
2. Penyembuhan secara komplit kasus kambuh
3. Penyediaan suatu pedoman terapi terhadap TB
4. Penjaminan ketersediaan OAT adalah hal yang penting
5. Pengawasan terhadap pengobatan, dan adanya OAT secara gratis
6. Jangan pernah memberikan terapi tunggal pada kasus TB
7. Peranan pemerintah dalam hal dukungan kelangsungan program
8. Ketersediaan dana untuk penanggulangan TB (DOTS)
Dasar pengobatan TB oleh klinisi berdasarkan pedoman terapi sesuai evidence based dan
tes kepekaan kuman. Penerapan strategi DOTS plus mempergunakan kerangka yang sama dengan
strategi DOTS, dimana setiap komponen yang ada lebih ditekankan kepada penanganan MDR TB.
Strategi DOTS Plus juga sama terdiri dari 5 komponen kunci:8
1. Komitmen politis yang berkesinambungan untuk masalah MDR TB
2. Strategi penemuan kasus secara rasional yang akurat dan tepat waktu menggunakan
pemeriksaan hapusan dahak secara mikroskopis, biakan dan uji kepekaan yang terjamin
mutunya.
3. Pengobatan standar dengan menggunakan OAT lini kedua ,dengan pengawasan yang ketat
4. Jaminan ketersediaan OAT lini kedua yang bermutu
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang memungkinkan pencatatan dan evaluasi hasil akhir.
Setiap komponen dalam penanganan TB MDR lebih kompleks dan membutuhkan biaya
lebih banyak dibandingkan dengan pasien TB bukan MDR Pelaksanaan program DOTS plus akan
memperkuat Program Penanggulangan TB Nasional.

Prognosis
Ada beberapa hal yang dapat menjadi petanda untuk mengetahui prognosis pada penderita TB
MDR. Dari beberapa studi yang ada menyebutkan bahwa adanya keterlibatan ekstrapulmoner, usia
tua, malnutris, infeksi HIV, riwayat mengunakan OAT dengan jumlah cukup banyak sebelumnya,
terapi yang tidak adekuat dapat menjadi petanda prognosis buruk pada penderita tersebut. Dengan

14 | X O X O L O L X O X O L O L
mengetahui beberapa petanda diatas dapat membantu klinisi intuk mengamati penderita lebih
seksama dan dapat memperbaiki hal yang menjadi penyebab seperti malnutrisi.11

BAB III

KESIMPULAN

Harus diakui bahwa pengobatan terhadap tuberkulosis dengan resistensi ganda ini amat
sulit dan memerlukan waktu yang amat lama dan pada beberapa keadaan bahkan sampai 24 bulan
lamanya. Ada yang menganjurkan agar pasien dirawat di rumah sakit untuk mencegah penularan
dan mengontrol pengobatannya dengan lebih baik. Hasil pengobatan terhadap resistensi ganda
tuberkulosis ini juga kurang menggembirakan.
Resistensi ganda terhadap obat tuberkulosis adalah masalah besar dalam penanggulangan
tuberkulosis dewasa ini. Pemberian obat tuberkulosis yang benar dan terawasi secara baik
merupakan salah satu kunci penting untuk mencegah dan mengatasi masalah ini. Konsep Direcly
Observed Treatment Short Course (DOTS) merupakan salah satu upaya penting dalam menjamin
keteraturan berobat penderita dan menaggulangi masalah tuberkulosis khususnya resistensi ganda
ini. Perkembangan obat baru mungkin juga diperlukan untuk menanggulangi hal ini.

15 | X O X O L O L X O X O L O L
Daftar Pustaka

1. Guidelines for the programmatic management of drug-resistant tuberculosis: emergency


update 2016. Geneva, World Health Organization, 2016.
2. Departemen Kesehatan RI. Penanggulangan TB kini lebih baik. Available from
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1348penangulangan-tb-kini-lebih-
baik.html.
3. Dalimunthe NN, Keliat EN, dan Abidin A. Penatalaksanaan Tuberkulosis dengan Resistensi
Obat Anti Tuberkulosis. Divisi Pulmonologi Alergi Imunologi FK Universitas Sumatra Utara.
Available from http://www.ikaapda.com/resources/PAI/Reading/PENATALAKSANAAN-
TUBERCULOSIS-DENGAN-RESISTENSI-OBAT-ANTI-TUBERCULOSIS.pdf.
6. Riyanto BS, Wilhan. Management of MDR TB Current and Future dalam Buku Program dan
Naskah Lengkap Konferensi Kerja Pertemuan Ilmiah Berkala. PERPARI. Bandung. 2006.
7. Soepandi PZ. 2010. Diagnosis Dan Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya TB-MDR.
Departemen Pulmonologi & Ilmu kedokteran Respirasi FKUI-RS Persahabatan, Jakarta.
8. World Health Organization. Guideline for the programmatic management of drug resistant
tuberculosis . Emergency Update 2016.
9. Aditama TY, dkk. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia,
PERPARI, Jakarta, 2006.
10. Wallace RJ, Griffith DE. Antimycrobial Agents in Kasper DL, Braunwald E (eds), Harrisons
Principles of Internal Medicine, 18th ed. Mc Graw Hill. New York. 2012.
11. Sharma SK. Multidrug resistant tuberculosis. Indian Journal Medical Respiratory. 120, Oct
2004, 354-76.

16 | X O X O L O L X O X O L O L

Anda mungkin juga menyukai