Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Pneunomia adalah peradangan alat parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang
mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan
gangguan pertukaran gas setempat.1 Bila parenkim paru terkena infeksi dan mengalami inflamasi
hingga meliputi seluruh alveolus suatu lobus paru maka disebut pneumonia lobaris atau pneumonia
klasik. Bila proses tersebut tidak mencakup satu lobus dan hanya di bronkiolus dengan pola bercak
bercak yang tersebar bersebelahan maka disebut bronkopneumonia. Bronkopneumonia
merupakan jenis pneumonia yang sering dijumpai pada anak anak.2-4

Etiologi
Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh infeksi mikroorganisme ( virus, bakteri, jamur,
parasit ) dan sebagain kecil disebabkan oleh hal lain, seperti aspirasi makanan dan asam lambung,
benda asing, senyawa hidrokarbon, reaksi hipersensitivitas, dan drug or radiation induced
pneumonitis.5,6 Usia pasien adalah faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dank
kekhasan pneumonia naak, terutama dalam etiologi, gambaran klnis, dan pentalaksanaan.1 Pada
neonatus sering terjadi pneumonia akibat transmisi vertikal ibu anak yang berhubungan dengan
proses persalinan. Infeksi terjadi akibat kontaminasi dengan sumber infeksi dari ibu, misalnya
melalui aspirasi mekoneum, cairan amnion, atau dari serviks ibu. Etiologi pneumonia pada
neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus group B dan bakteri gram negatif seperti
Escherichia coli, Pseudomonas sp, dan Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan anak balita,
oneumonia sering disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenza
tipe B, dan Staphylococcus aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain
bakteri tersebut juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae.2

Di negara maju, pneumonia pada anak tertuama disebabkan oleh virus, di samping bakteri,
atau campuran bakteri dan virus. Virkki dkk. melakukan penelitian pada pneumonia anak dan
menemukan etiologi virus saja sebanyak 32%, campuran bakteri dan virus 30%, dan bakteri saja
22%. Virus yang terbanyak menyebabkan pneumonia antara lain adalah Respiratory Synctial Virus

14
( RSV ), Rhinovirus, dan virus Parainfluenzae. Bakteri yang terbanyak adalah Streptococcus
pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan Mycoplasma pneumoniae. Kelompok anak
berusia 2 tahun ke atas mempunyai etiologi infeksi bakteri yang lebih banyak dibandingkan dengan
anak berusia di bawah 2 tahun. Namun, secara klinis umumnya pneumonia bakteri sulit dibedakan
dengan pneumonia virus. Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia yang
bersumber dari data di negara maju dapat terlihat pada tabel 1.2

Tabel 1. Etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di negara maju2
USIA Etiologi yang sering Etiologi yang jarang
Lahir 20 hari BAKTERI BAKTERI
E. colli Bakteri anaerob
Streptococcus group B Streptococcus group D
Listeria monocytogenes Haemophillus influenzae
Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
VIRUS
Virus Sitomegalo
Virus Herpes simpleks
3 minggu 3 bulan BAKTERI BAKTERI
Chlamydia trachomatis Bordetella pertussis
Streptococcus pneumoniae Haemophillus influenzae tipe
B
VIRUS Moraxella catharalis
Virus Adeno Staphylococcus aureus
Virus Influenza Ureaplasma urealyticum
Virus Parainfluenza 1, 2, 3 VIRUS
Respitatory Syncytical Virus Virus Sitomegalo
4 bulan 5 tahun BAKTERI BAKTERI
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae tipe
B

15
Mycoplasma pneumoniae Moraxella catharalis
Streptococcus pneumoniae Neisseria meningitidis
VIRUS Staphylococcus aureus
Virus Adeno VIRUS
Virus Influenza Virus Varisela-Zoster
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Synncytial virus
5 tahun remaja BAKTERI BAKTERI
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae
Mycoplasma pneumoniae Legionella sp
Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
VIRUS
Virus Adeno
Virus Epstein-Barr
Virus Influenza
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial Virus
Virus Varisela-Zoster

Selain bakteri dan virus, pneumonia juga dapat disebabkan oleh mikroorganisme lainnya.
Pneumonia yang disebabkan oleh jamur pada umumnya agen penyebabnya adalah Histoplasmosis,
Candida albicans, Aspergillus sp. Pneumonia yang disebabkan protozoa didominasi oleh
Pneumokistis karinii. Pneumonia juga dapat disebabkan oleh bahan kimia yang berasal dari
aspirasi makanan/susu/ isi lambung serta dapat juga diakibatkan oleh keracunan hidrokarbon
seperti minyak tanah, bensin, dsb.1

Epidemiologi

Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) sejak 1986 sampai era 2000 an
hampir 80 sampai 90 persen kematian balita akibat serangan ISPA dan pnemonia. Angka kejadian

16
tertinggi ditemukan pada usia kurang dari 4 tahun dan mengurang dengan meningkatnya umur.
Pneumonia lobaris hampir selalu disebabkan oleh Pneumococcus, ditemukan pada orang dewasa
dan anak besar, sedangkan Bronkopneumonia lebih sering dijumpai pada anak kecil dan bayi.
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah umur 5 tahun
dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13%
dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun.5

Diperkirakan hampir seperlima kematian anak di seluruh dunia, kurang lebih 2 juta anak
balita meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia
Tenggara. Pneumonia lebih sering dijumpai di negara berkembang dibandingkan negara maju.
Menurut survei kesehatan anak nasional ( SKN ) 2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian
balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem respiratori, terutama pneumonia.2

Faktor Risiko
Faktor resiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pneumonia pada anak balita
di negara berkembang, antara lain:2,6
pneumonia yang terjadi pada masa bayi
berat badan lahir rendah ( BBLR )
tidak mendapat imunisasi
tidak mendapat ASI yang adekuat
malnutrisi
defisiensi vitamin A
tingginya prevalens kolonisasi bakteri patogen di nasofaring
tingginya pajanan terhadap polusi udara ( polusi industri atau asap rokok)
imunodefisiensi dan imunosupresi ( HIV, penggunaan obat imunisupresif )
adanya penyakit lain yang mendahului, seperti campak
intubasi, trakeostomi
abnormalitas anatomi

Patofisiologi

Pneumococcus masuk ke dalam paru melalui jalan pernafasan secara percikan (droplet).
Pneumokokus umumnya mencapai alveoli lewat percikan mukus atau saliva. Lobus bagian bawah
17
paru paling sering terkena efek gravitasi.1,4 Agen agen mikroba yang menyebabkan Pneumonia
memiliki 3 bentuk transisi primer yaitu aspirasi sekret yang berisi mikroorganisme patogen yang
telah berkolonisasi pada orofaring, inhalasi aerosol yang infeksius, dan penyebaran hematogen
dari bagian ekstrapulmonal.

Aspirasi dan inhalasi agen-agen infeksius adalah dua cara tersering yang menyebabkan
pneumonia, sementara penyebaran cara hematogen lebih jarang terjadi. Akibatnya, faktor-faktor
predisposisi termasuk juga berbagai defisiensi mekanisme pertahanan sistem pernafasan.
Kolonisasi basilus gram negatif telah menjadi subjek penelitian akhir-akhir ini. Mekanisme daya
tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk mencegah infeksi yang terdiri dari :

1. Susunan anatomis rongga hidung


2. Jaringan limfoid di nasofaring
3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret lain yang
dikeluarkan oleh sel epitel tersebut
4. Refleks batuk
5. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi
6. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional
7. Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama Ig A
8. Sekresi enzim-enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja sebagai anti
mikroba yang non spesifik.4

Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai
ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya.Setelah itu
mikroorganisme tiba di alveoli mementuk suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium,
yaitu:1

a. Hiperemia(4 12 jam pertama/kongesti)

Respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi.
Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat
infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel
mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut
mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur
komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk

18
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini
mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi
pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler
dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida
maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan
penurunan saturasi oksigen hemoglobin.

b. Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya)


Pada stadium ini, alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan
oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi
padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru
menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada
atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak. Stadium ini berlangsung sangat
singkat, yaitu selama 48 jam

c. Hepatisasi Kelabu (3-8 hari)

Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah
paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang
cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi
pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.

d. Resolusi

Pada stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa
sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorbsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke
strukturnya semula.

Klasifikasi

Berdasarkan klinis dan epidemiologis:7


a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
Pneumonia komuniti adalah pneumonia yang didapat di masyarakat. Pneumonia komuniti
merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan angka kematian tinggi di dunia.

19
Pneumonia komuniti disebabkan oleh bakteri. Tidak jarang infeksi ini terjadi setelah infeksi
saluran nafas atas oleh virus. Onset biasanya mendadak dengan demam tinggi, menggigil,
nyeri dada pleuritik, dan batuk mukopurulen produktif kadang terjadi hemoptisis.
Streptococcus pneumoniae atau pneumococcus merupakan penyebab tersering pneumonia
komuniti, karena itu pneumonia pneumococcus akan dibahas sebagai prototype dari
subkelompok ini. Infeksi pneumococcus meningkat frekuensinya pada tiga kelompok
individu: 7,8
a. Individu yang mengidap penyakit kronis seperti gagal jantung kronis, PPOK, DM.
b. Individu yang menderita defek immunoglobulin kongenital atau didapat (misal,
AIDS).
c. Individu yang fungsi limfanya berkurang atau lenyap. Karena limpa adalah organ
utama yang bertanggung jawab untuk membersihkan pneumococcus dari darah.
b. Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia/nosocomial pneumonia)
Pneumonia nosokomial atau Pneumonia didapat di rumah sakit didefinisikan sebagai infeksi
paru yang diperoleh sewaktu pasien di rumah sakit. Pneumonia nosokomial menimbulkan
beban besar pada biaya perawatan kesehatan selain dampak buruk bagi prognosis pasien.
Infeksi nosokimial sering terjadi pada pasien dengan penyakit berat, imunosupresi, terapi
antibiotik berkepanjangan atau pemakaian alat kesehatan invasif seperti kateter
intravascular. Pasien yang mendapat ventilasi mekanik merupakan kelompok yang sangat
beresiko dan infeksi ini disebut Ventilator acquaired pneumonia ( VAP ). Kuman gram
negatif seperti Enterobecteriaceae dan Ps. Aeruginosa serta S. aureus merupakan isolat yang
paling sering ditemukan. Bakteri S. pneumonia yang biasa menginfeksi pneumonia komuniti
bukan merupakan patogen utama pada infeksi nosokomial.8
c. Pneumonia aspirasi
Pneumonia aspirasi terjadi pada pasien yang mengalami debilitas berat atau mereka yang
menghirup isi lambung selagi tidak sadar seperti pada stroke atau muntah berulang. Pasien
ini mengalami refleks tersedak dan menelan yang mempermudah aspirasi. Pneumonia yang
terjadi sebagian bersifat kimiawi karena efek asam lambung yang sangat iritatif dan sebagian
bakteri. Bakteri penyebab adalah flora oral anaerob Bacteroides, Prevotella, Fusobacterium,
Peptosterptococcus dan bakteri aerob S. aureus, S. pneumoniae, H. influenzae, dan Ps.
aeruginosa. Pneumonia jenis ini sering menyebabkan nekrosis, memperlihatkan perjalanan

20
yang fulminan dan sering menjadi penyebab kematian pada pasien yang rentan mengalami
aspirasi. Pada mereka yang bertahan hidup, sering terjadi penyulit abses paru.7
d. Pneumonia pada penderita Immunocompromised.
Pasien dengan gangguan imun terdapat faktor predisposisi berupa kekurangan imunitas
akibat proses penyakit dasarnya atau akibat terapi. Gangguan ini terdapat dalam berbagai
kategori abnormalitas yaitu mekanisme pertahanan tubuh, misalnya gangguan dari
immunoglobulin, defek sel granulosit, defek fungsi sel T. Bentuk pneumonia yang terjadi
tergantung pada defek imunitas tersebut.

2. Berdasarkan bakteri penyebab9


a. Pneumonia bakterial/tipikal.
Mikroorganisme masuk ke dalam paru melalui inhalasi udara dari atmosfer, selain itu
melalui aspirasi dari nasofaring atau orofaring, faktor resiko yang berkaitan dengan
pneumonia disebabkan mikroorganisme adalah usia lanjut, penyakit jantung. Beberapa
bakteri mempunyai tendensi menyerang seseorang peka, misalnya klabsiella pada penderita
alkoholik, staphylococcus pada penderita pasca infeksi influenza. Gejala klinis didahului
oleh gejala infeksi saluran nafas akut bagian atas, nyeri menelan, demam suhu sampai diatas
40c mengigil, batuk disertai dahak yang kental, kadang disertai pus atau darah.
b. Pneumonia atipikal.
Pneumonia yang banyak disebabkan oleh Mycoplasma legionella dan chlamydia. Gejalanya
adalah tanda infeksi saluran napas yaitu demam 38,3-40c , batuk non produktif, gejala
sistemik berupa nyeri kepala dan myalgia. Pemeriksaan fisik terdapat ronki basah tersebar,
konsolidasi jarang terjadi. Laboratorium menunjukan leukositosis ringan, pewarnaan gram,
biakan dahak atau darah tidak ditemukan bakteri. Laboratorium untuk menemukan bakteri
atipik adalah isolasi biakan, deteksi antigen enzyme immunossays (EIA), Polymerase Chain
reaction (PCR), Uji serologi.
c. Pneumonia virus
Virus menyerang sel untuk mereproduksi. Biasanya, virus mencapai paru ketika tetesan
udara yang dihirup melalui mulut dan hidung. Setelah di paru, virus menyerang sel-sel yang
melapisi saluran udara dan alveoli. Invasi Hal ini sering menyebabkan kematian sel, baik

21
ketika virus langsung membunuh sel, atau melalui jenis apoptosis sel dikendalikan
penghancuran diri.
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada penderita
dengan daya tahan lemah (immunocompromised)

3. Berdasarkan predileksi infeksi2


a. Pneumonia lobaris.
Terjadi karena infeksi bakteri akut bagian dari lobus. Seluruh lobus sering terkena
peradangan menyebar melalui pori-pori dan saluran Kaen Lambert. Umumnya
Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, Streptococcus hemolitik dan kurang
umum Haemophilus influenzae, Klebsiella pneumoniae bertanggung jawab untuk
pneumonia lobar.
b. Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru. Dapat
disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan
dengan obstruksi bronkus.
c. Pneumonia interstisial
Melibatkan daerah di antara alveoli, dan dapat disebut "pneumonitis interstisial." Hal ini
lebih cenderung disebabkan oleh virus atau oleh bakteri atipikal.

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pneumonia pada bayi dan anak tergantung pada berat ringannya infeksi.
Gejala infeksi umum yang dapat ditemukan adalan demam, sakit kepala, gelisah, malaise,
penurunan napsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare, kadang
ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner. Gejala gangguan respiratori yang dijumpai berupa batuk,
sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan tanda klinis seperti perkusi pekak, suara napas melemah, dan ronki.
Meskipun begitu pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda pneumonia lebih beragam dan
tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan.2
Gambaran klinis pneumonia pada neonatus dan bayi kecil tidak khas, mencakup serangan
apnea, sianosis, merintih, napas cuping hidung, takipnea letargi, muntah, tidak mau minum,
takikardi, atau bradikardi, retraksi subkosta, dan demam. Pada bayi BBLR sering terjadi hipotermi.

22
Gambaran klinis ini sulit dibedakan dengan sepsis atau memningitis. Sepsis pada pneumonia
neonatus dan bayi kecil sering ditemukan sebelum 48 jam pertama.2
Pada balita dan anak yang lebih besar keluhan yang sering ditemukan meliputi demam,
menggigil, batuk, sakit kepala, anoreksia, dan kadang terdapat keluhan gastrointestinal seperti
muntah dan diare. Ditemukan juga gejala sistem pernapasan seperti takipnea, retraksi subkosta,
napas cuping hidung, ronki, dan sianosis. Retraksi dan takipnea merupakan tanda klnis pneumonia
yang bermakna. Kadang-kadang timbul nyeri abdomen bila terjadi pneumonia lobus kanan bawah
yang menimbulkan iritasi diafragma.2

Pemeriksaan Penunjang
Untuk membantu menegakkan diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa
pemriksaan darah perifer lengkap, C-Reactive Protein, uji serologis, pemeriksaan mikrobiologis,
dan pemeriksaan rontgen thorax.2,10

1. Gambaran darah menunjukkan leukositosis, biasanya 15.000 40.000 / mm3 dengan


pergeseran ke kiri. Jumlah leukosit yang tidak meningkat berhubungan dengan infeksi
virus atau mycoplasma.
2. Nilai Hb biasanya tetap normal atau sedikit menurun.
3. Peningkatan LED.
4. Kultur dahak dapat positif pada 20 50 % penderita yang tidak diobati. Selain kultur
dahak, biakan juga dapat diambil dengan cara hapusan tenggorok (throat swab).
5. Analisa gas darah (AGD) menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia. Pada stadium lanjut
dapat terjadi asidosis metabolik

Diagnosis
Diagnosis etiologik berdasarkan pemeriskaan mikrobiologis dan / atau serologis
merupakan dasar yang optimal. Akan tetapi, penemunan bakteri penyebab tidak selalu mudah
karena memerlukan laboratorium menunjang yang memadai. Oleh karena itu pneumonia pada
anak didiagnosis berdasarkan gambaran klinis yang menunjukkan keterlibatan sistem respiratori,
serta gambaran radiologis. Prediktor paling kuat adanya pneumonia adalah demam, sianosis, dan
lebih dari satu gejala respiratori sebagai berikut: takipnea, batuk, napas cuping hidung, retraksi,
ronki, dan suara napas melemah.2
23
WHO mengembangkan pedoman diagnosis sederhana yang ditujukan untuk Pelayanan
Kesehatan Primer dan sebagai pendidikan kesehatan untuk masyarakat di negara berkembang.
Gejala klinis sederhana tersebut meliputi: napas cepat, sesak napas, dan berbagai tanda bahaya
agar anak segera dirujuk ke rumah sakit. Napas cepat dinilai dengan menghitung napas anak dalam
1 menit penuh dalam keadaan tenang. Sesak napas dinilai dengan melihat adanya tarikan dinding
dada bagian bawah ke dalam ketika menarik napas ( retraksi epigastrium ). Tanda bahaya pada
anak berusia 2 bulan 5 tahun adalah tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, dan
gizi buruk, sedangkan tanda bahaya pada anak berusia dibawah 2 bulan adalah malas minum,
kejang, kesadaran menurun, stridor, mengi, dan demam/badan terasa dingin.2
Namun, menurut Pelayanan Kesehatan Medik Rumah Sakit ( WHO ), pneumonia dapat
dibagi menjadi pneumonia ringan dan berat:11
1. Pneumonia ringan: Disamping batuk atau kesulitan napas, hanya terdapat napas cepat saja,
dimana napas cepat adalah:
a. pada usia 2 bulan 11 bulan : 50 kali / menit
b. pada usia 1 tahun 5 tahun : 40 kali / menit
2. Pneumonia berat: Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal
berikut ini:
a. kepala terangguk angguk
b. pernapasan cuping hidung
c. tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
d. foto dada menunjukkan gambaran pneumonia ( infiltrat luas, konsolidasi, dll. )
Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini:
Napas cepat
o anak umur < 2 bulan : 60 kali / menit
o anak umur 2 11 bulan : 50 kali / menit
o anak umur 1 5 tahun : 40 kali / menit
o anak umur 5 tahun : 30 kali / menit
Suara merintih ( grunting ) pada bayi muda
Pada auskultasi terdengar
o crackles ( ronki )
o suara pernapasan menurun

24
o suara pernapasan bronkial
Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai:
tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya
kejang, letargi, atau tidak sadar
sianosis
distress pernapasan berat

Diagnosis Banding
Pneumonia perlu dibedakan dengan penyakit lainnya yang hamper menyerupai yaitu
tuberculosis dan asma. Pada TB, terdapat kontak dengan pasien TB dewasa, uji tuberkulin positif
( > 10 mm atau pada keadaan imunosupresi > 5 mm ), demam 2 minggu atau lebih, batuk 3 minggu
atau lebih, pertumbuhan buruk/kurus atau berat badan menurun, pembengkakan kelenjar limfe
leher, aksila, inguinal yang spesifik, pembengkakan tulang/sendi punggung, panggulm lutut, dan
falang, dan dapat disertai nafsu makan menurun dan malaise yang dapat ditegakkan melalui skor
Tuberkulosis.1,2
Asma merupakan keadaan kronik yang ditandai dengan bronkospasme rekuren akibat
penyempitan lumen saluran napas sebagai respon terhadap suatu stimuli yang tidak menyebabkan
penyempitan serupa pada kebanyakan orang. Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan
episode mengi beurlang, sesak napas, dada terasa tertekan, dan batuk khususnya alam atau dini
hari. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan napas terhadap berbagai
stimuli.2

Tatalaksana
Pemilihan antibiotik lini pertama dapat menggunakan golongan beta laktam atau
kloramfenikol. Pada pneumonia yang tidak responsif terhadap beta laktam dan kloramfenikol,
dapat diberikan antibiotik seperti gentamisin, amikasin, atau sefalosporin, sesuai dengan petunjuk
etiologi yang ditemukan. Antibiotik diteruskan selama 7 10 hari pada pasien dengan pneumonia
tanpa komplikasi. Pada neonatus dan bayi kecil, terapi awal antibiotik intravena harus dimulai
sesegera mungkin. Oleh karena pada neonatus dan bayi kecil sering terjadi sepsis dan meningitis,
antibiotik yang direkomendasikan adalah antibiotik spektrum luas seperti kombinasi
betalaktam/klavulanat dengan aminoglikosid, atau sefalosporin generasi ketiga.2,11

25
WHO menganjurkan pemberian ampisilin/amoksisilin 25 50 mg/kgBB/kali IV atau IM
setiap 6 jam yang dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberi respons yang
baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit
dengan amoksisilin oral 15 mg/kgBB/kali tiga kali sehari untuk 5 hari berikutnya.11
Pada balita dan anak yang lebih besar, antibiotik yang direkomendasikan adalah antibiotik
beta laktam dengan/tanpa klavulanat; pada kasus yang lebih berat diberikan beta
laktam/klavulanat dikombinasikan dengan makrolid baru intravena, atau sefalosporin generasi
ketiga. Bila pasien sudah tidak demam atau keadaan sudah stabil, antibiotik diganti dengan
antibiotik oral dan berobat jalan selama 10 hari.2,11
Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam atau terdapat keadaan yang berat maka
ditambahkan kloramfenikol 25 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 8 jam. Bila pasien datang dengan
keadaan klinis yang berat segera berikan oksigen dan pengobatan kombinasi ampisilin
kloramfenikol atau ampisilin gentamisin. Sebagai alternatif, beri seftriakson 80 100 mg/kgBB
IV atau IM sekali sehari. Bila tidak membaik dalan 48 jam, maka bila mungkin foto toraks.2,11
Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan gentamisin 7,5 mg/kgBB
IM sekali sehari dan klokasilin 50 mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam atau klindamisin 15
mg/kgBB/hari hingga 3 kali pemberian. Bila keadaan anak membaik, lanjutkan kloksasilin atau
diklokasilin secara oral 4 kali sehari sampai secara keseluruhan mencapai 3 minggu atau
klindamisin oral selama 2 minggu.2,11
Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat. Bila tersedia pulse oksimeter, gunakan
sebagai panduan untuk terapi oksigen ( berikan pada anak dengan saturaso < 90%, anak yang tidak
stabil. Hentikan pemberian oksigen bila saturasi tetap stabil > 90%. Pemberian oksigen setelah
saat ini tidak berguna.
Bila anak disetai demam yang tampaknya menyebabkan distres, beri antipiretik seperti
parasetamol. Bila ditemukaan adanya wheezing, beri bronkodilator kerja cepat. Bila terdapat
sekret kental di tenggorokan yang tidak dapat dikeluarkan oleh anak, hilangkan dengan alat
penghisap secara perlahan. Pastikan anak mendapatkan kebutuhan cairan runatan yang sesuai,
tetapi hati hati terhadap kelebihan cairan/overhidrasi. Anjurkan pemberian ASI dan cairan oral.
Jika anak tidak dapat minum, pasang pipa nasogastrik dan berikan cairan rumatan dalam jumlah
sedikit tapi sering. Jika asupan cairan oral mencukupi, jangan menggunakan pipa nasogastrik
untuk meningkatkan asupan, karena akan meningkatkan risiko pneumonia aspirasi. Jika oksigen

26
diberikan bersamaan dengan cairan nasogastrik, pasang keduanya pada lubang hidung yang
sama.2,11

Komplikasi
Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empiema torasis, perikarditis purulenta,
pnemothoraks, atau infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis purulenta. Empiema torasis
merupakan komplikasi tersering yang terjadi pada pneumonia bakteri. Kecurigaan ke arah
empiema apabila terdapat demam persisten, ditemukan tanda klinis dan gambaran foto dada yang
mendukung ( bila masif terdapat tanda pendorongan organ intratorakal, pekak pada perkusi,
gambaran foto dada menunjukkan adanya cairan pada satu atau kedua sisi dada ). Efusi pleura,
abses paru dapat juga terjadi.2

Pencegahan
Pola hidup sebut termasuk tidak merokok
Vaksinasi (vaksin pneumokokal dan vaksin influenza) sampai saat ini masih perlu
dilakukan penelitian tentang efektivitinya. Pemberian vaksin tersebut diutamakan untuk
golongan risiko tinggi misalnya usia lanjut, penyakit kronik , diabetes, penyakit jantung
koroner, PPOK, HIV, dll. Vaksinasi ulang direkomendasikan setelah > 2 tahun. Efek
samping vaksinasi yang terjadi antara lain reaksi lokal dan reaksi yang jarang terjadi yaitu
hipersensitiviti tipe 3. 1

Prognosis

Terapi pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat maka mortalitas dapat diturunkan
sampai kurang dari 1%. Mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada anak-anak dengan keadaan
malnutrisi energi protein dan yang datang terlambat untuk pengobatan. Sembuh total, mortalitas
kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi
energi-protein dan datang terlambat untuk pengobatan. Interaksi sinergis antara malnutrisi dan
infeksi sudah lama diketahui. Infeksi berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan
dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan
pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergis, maka

27
malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan
dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri. 10

28
BAB III
ANALISIS KASUS

Hasil dari alloanamnesis dengan Ibu pasien diketahui bahwa pasien usia 4 tahun 1 bulan 4
hari dengan keluhan sesak nafas sejak pagi hari SMRS. Empat hari SMRS pasien mengalami batuk
dan muntah berupa cairan putih agak kental tanpa darah dan tidak berbau dengan volume kurang
lebih setengah sendok teh. Tiga hari sebelum masuk Rumah Sakit Ibu pasien mengatakan bahwa
pasien demam perlahan tinggi secara terus menerus dan disertai dengan menggigil. Nafsu makan
kurang dan cengeng. Timbulnya mengi atau bunyi saat bernapas disangkal. Sianosis disekitar
mulut dan hidung disangkal

Pada pemeriksaan fisik keadaan umum pasien tampak sakit sedang, status mental cengeng.
Tanda tanda vital didapatkan nadi 108 x/mnt, irama teratur, isi cukup, sama di keempat
ekstremitas, frekuensi nafas 64 x/mnt. Pada pemeriksaan fisik hidung terdapat napas cuping
hidung +. Pada pemeriksaan fisik thoraks terdapat retraksi subkostal, sedangkan pada pemeriksaan
fisik paru didapatkan suara nafas dasar vesikuler +/+, rhonki +/+ pada auskultasi. Pasien
didiagnosis sebagai bronkopneumonia yang didukung dengan pemeriksaan penunjang yang
menunjukkan leukositosis yaitu 14.480/Ul, saturasi O2 rendah yaitu 93% dan hasil rontgen paru
sebelumnya yang menunjukkan gambaran infiltrate pada daerah suprahiler dan paracardial kanan
dan kiri.

Pasien didiagnosis bronkopneumonia karena menurut teori, bronkopneumonia biasanya


didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara
mendadak sampai 3940C dan mungkin disertai kejang karena demam yag tinggi. Anak sangat
gelisah, dispneu, pernafasan cepat dan dangkal. Batuk biasanya tidak dijumpai di awal penyakit,
anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, dimana pada awalnya berupa batuk kering
kemudian menjadi produktif. Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik dapat terjadi
retraksi, respirasi rate meningkat, pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan
mulut serta rhonki +/+.

Namun dari diagnosis tersebut masih sangat dimungkinkan diagnosis lainnya seperti
tuberkulosis paru dan juga asma. Pada tuberkulosis dapat ditemukan gejala yang sama seperti
demam, batuk, sesak dan permeriksaaan fisik berupa ronki pada lapang paru. Namun pada
tuberkulosis pada anak perlu dilakukan skoring tb untuk dapat menegakkan diagnosis dan

29
membedakannya dengan bronkopneumonia. Mantoux dilakukan pada anak dan hasilnya negatif.
Pada asma ditemukan mengi saat pasien ekspirasi dan terdengar wheezing ekspiratorik pada
auskultasi pulmo. Pada pasien tidak ditemukan wheezing yang merupakan pertanda adanya
obstruksi jalan napas partial seperti pada patofisiologi asma.

Terapi yang telah diberikan pada pasien ini adalah:


1. Inhalasi Ventolin 1 + NaCl 2cc -> 3x/hari
2. Cefotaxime 3x 400 mg iv
3. Paracetamol syr 3x1 cth
4. Salbutamol 4 x 0,75 mg
5. Vectrin syr 3 x cth
6. IVFD KAEN 1B 12 tpm

Terapi bronkopneumonia tidak menggunakan kortikosteroid, tetapi terapi yang digunakan


adalah antibiotik, mukolitik, analgesik sedangkan terapi inhalasi masih dibenarkan. Lain halnya
apabila diagnosis pasien adalah asma, maka pemberian kortikosteroid dapat diberikan. Namun
berbeda dengan bronkopneumonia, asma tidak menggunakan terapi antibiotik.

1. Inhalasi 3 kali/hari untuk memperbaiki mucocilliary clearence


2. Inj Cefotaxime 3 x 400 mg IV, cefotaxime adalah antibiotika golongan sefalosporin
generasi 3 yang bersifat bakterisid. Cefotaxime sangat satbil terhadap hidrolisiS beta
laktamase, maka digunakan sebagai alternatif lini pertama pada bakteri yang resisten
terhadap penisilin. Cefotaxime memiliki aktifitas spektrum lebih luas terhadap
mikroorganisme gram positif dan negatif. Aktifitas cefotaxime lebih besar terhadap bakteri
gram negatif tetapi beberapa streptococci sangat sensitif terhadap pengobatan cefotaxime
3. Paracetamol merupakan derivat p-aminofenol yang memiliki sifat antipiretik/analgesik.
Obat ini cocok digunakan untuk menurunkan demam yang dialami pasien.
4. Vectrin 3x cth mengandung erdosteine yang diindikasikan sebagai mukolitik atau
pengencer lendir pada gangguan saluran napas akut dan kronik.

Prognosis pada pasien ini adalah:

1. Ad vitam adalah dubia ad bonam karena pada pemeriksaan fisik kesadaran pasien dalam
keadaan kompos mentis

30
2. Ad fungsionam adalah dubia ad bonam karena aktivitas pasien akan segera membaik yaitu
dapat berkomunikasi dan dapat bermain aktif, dapat tidur dengan nyenyak bila terapi
dilakukan dengan adekuat.
3. Ad sanationam adalah dubia ad bonam penyakit bronkopneumonia dapat terjadi lagi
apabila daya tahan tubuh turun.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. PDPI. 2003. Pneumonia Komuniti-Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksaan Di Indonesia,


Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
2. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB (ed). Buku ajar respirologi anak edisi pertama.
Jakarta: IDAI; 2008.h.350-64
3. Pusponegoro HD, Hadinegoro SRS, Firmanda D, Tridjaja B, Pudjadi AH, Kosim MS, et. al.
Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. 1st ed. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2004. hal.
351-354.
4. Danusantosos H. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Penerbit Hipokrates. 2000.h.74 92
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Pedoman pengendalian infeksi saluran
pernafasan akut. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Pengendalian
Lingkungan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
6. Price S, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses proses Penyakit. Vol 2. 6th ed.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006. Hal. 804 810

7. Robbins, S, dkk. Buku Ajar Patologi Edisi 7 Vol. 2. EGC. Jakarta: 2007.

8. Yunus faisal, dll. Pneumonia komuniti. Dalam: IPDs CIM Compendium of Indonesian
Medicine. Edisi 1. MedInfocomm Indonesia. 2009

9. Raharjoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak. 1st ed. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI. 2010. hal. 350 -365.
10. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier. 2013
11. Tim Adaptasi Indonesia. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit: Pedoman
Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama Di Kabupaten/Kota. Jakarta: World Health
Organization. 2009. hal. 83 113.

32

Anda mungkin juga menyukai