Anda di halaman 1dari 58

BAB 1

PENDAHULUAN

Sindrom defisiensi imun didapat (AIDS/acquired immune deficiency syndrome) adalah


penyakit menular yang disebabkan oleh penurunan bertahap sel limfosit T CD4+, dimana dapat
mengakibatkan infeksi oportunistik (IO) dan neoplasia. Ini merupakan infeksi yang menular
melalui darah dan secara seksual yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency
Virus).1
Infeksi HIV dapat terwujud dalam berbagai manifestasi baik di dalam ataupun di sekitar
mata. Manifestasi ini bervariasi sesuai dengan tingkat keparahan penyakit HIV, khususnya
jumlah hitung sel limfosit T CD4+. Secara umum, sarkoma Kaposi, herpes zoster oftalmikus,
kandidiasis, dan limfoma lebih sering terjadi pada tahap-tahap awal sedangkan tuberkulosis,
toksoplasmosis, dan pneumocystosis terjadi pada gangguan lanjut. Penyakit retinitis
cytomegalovirus dan kompleks Mycobacterium avium biasanya terlihat pada pasien dengan
penurunan jumlah CD4+ yang banyak. Viral load HIV yang tidak terdeteksi dikaitkan dengan
prognosis yang lebih baik.2
Manifestasi okular dari HIV bermacam-macam, dapat berupa berbagai infeksi
oportunistik pada retina, koroid dan adneksa mata serta neoplasma yang melibatkan struktur
kelopak mata, konjungtiva, dan berbagai struktur orbita dan okular lainnya. Sejumlah manifestasi
infeksi HIV pada mata dapat melibatkan segmen anterior atau posterior mata. Temuan segmen
anterior termasuk tumor dari jaringan periokular dan berbagai infeksi eksternal. Perubahan
segmen posterior termasuk retinopati terkait HIV dan sejumlah infeksi oportunistik pada retina
dan koroid.
Meningkatnya usia harapan hidup individu dengan HIV dapat mengakibatkan
peningkatan jumlah pasien dengan infeksi oportunistik pada retina. Untungnya, saat ini banyak
dari infeksi tersebut dapat diobati dengan agen terapeutik. Penting untuk mengenali infeksi ini
pada tahap awal sehingga dapat diberikan terapi yang sesuai. Pemulihan sistem imun yang
parsial mengikuti inisiasi terapi anti retroviral (highly active antiretroviral therapy / HAART)
dapat mengubah presentasi klinis infeksi oportunistik mata dan dapat mempengaruhi respon
terhadap pengobatan.3

1
Karena perjalanan penyakit infeksi oportunistik retina sangat cepat, semua orang dengan
penyakit HIV harus menjalani pemeriksaan oftalmologis secara rutin. Setiap orang yang
terinfeksi HIV yang mempunyai keluhan atau gejala okular harus segera mendapatkan
perawatan oftalmologik yang kompeten. Pada pasien HIV stadium awal (jumlah CD4+ >300
sel/L), sindrom okular terkait dengan imunosupresi jarang terjadi. Meskipun demikian, infeksi
mata terkait dengan penyakit menular seksual (PMS) seperti virus herpes simpleks, gonore, dan
klamidia mungkin lebih sering pada orang yang terinfeksi HIV. Oleh karena itu, dokter harus
menskrining kemungkinan adanya penyakit ini.3

2
BAB 2
RETINA

2.1. Anatomi retina

Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan semitransparan yang
melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata, mengandung reseptor yang
menerima rangsangan cahaya. Retina membentang ke anterior hampir sejauh corpus ciliare dan
berakhir pada ora serrata dengan tepi yang tidak rata.4,9
Retina terdiri atas pars pigmentosa di sebelah luar dan pars nervosa / pars optica di
sebelah dalam (bagian fotoreseptif, dari membran limitan interna sampai lapisan fotoreseptor
batang dan kerucut). Permukaan luar retina sensorik bertumpuk dengan lapisan epitel berpigmen
retina sehingga juga bertumpuk dengan membran Bruch, koroid, dan sclera. Lapisan lapisan
epitel pada permukaan dalam corpus ciliare dan permukaan posterior iris merupakan perluasan
retina dan epitel pigmen retina ke anterior. Permukaan dalam retina berhadapan dengan
vitreus.4,7
Lapisan-lapisan retina, mulai dari sisi dalamnya, adalah sebagai berikut:
1. Membran limitans interna

2. Lapisan serat saraf, yang mengandung akson-akson sel ganglion yang berjalan menuju ke
nervus optikus

3. Lapisan sel ganglion


4. Lapisan pleksiformis dalam, yang mengandung sambungan sel ganglion dengan sel amakrin
dan sel bipolar
5. Lapisan inti dalam badan badan sel bipolar, amakrin dan sel horizontal
6. Lapisan pleksiformis luar, yang mengandung sambungan sel bipolar dan sel horizontal
dengan fotoreseptor
7. Lapisan inti luar sel fotoreseptor
8. Membran limitans eksterna
9. Lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar sel batang dan kerucut

3
10. Epitel pigmen retina. Lapisan dalam membran Bruch sebenarnya merupakan membran
basalis epitel pigmen retina.4

Gambar 1. Lapisan lapisan retina7

Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,56 mm pada kutub posterior. Di
tengah tengah retina posterior terdapat macula berdiameter 5,5-6 mm, yang secara klinis
dinyatakan sebagai daerah yang dibatasi oleh cabang cabang pembuluh darah retina temporal.
Daerah ini ditetapkan oleh ahli anatomi sebagai area centralis, yang secara histologis merupakan
bagian retina yang ketebalan lapisan sel ganglionnya lebig dari satu lapis. Makula lutea secara
anatomis didefinisikan sebagai daerah berdiameter 3 mm yang mengandung pigmen luteal
kuning xantofil. Fovea yang berdiameter 1,5 mm ini merupakan zona avaskular retina pada
angiografi fluoresens. Secara histologist, fovea ditandai sebagai daerah yang mengalami

4
penipisan lapisan inti luar tanpa disertai lapisan parenkim lain. Hal ini terjadi karena akson
akson sel fotoreseptor berjalan miring (lapisan serabut Henle) dan lapisan lapisan retina yang
lebih dekat dengan permukaan dalam retina lepas secara sentrifugal. Di tengah makula, sekitar 4
mm di sebelah lateral diskus optikus, terdapat lekukan, disebut fovea centralis. Foveola adalah
bagian paling tengah pada fovea, merupakan bagian retina paling tipis, di tengah fovea, hanya
mengandung fotoreseptor sel kerucut.4

Gambar 2. Ketebalan beberapa bagian pada lapisan retina7

Retina menerima darah dari dua sumber: koriokapilaris yang berada tepat di luar
membran Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina, termasuk lapisan pleksiformis luar dan
lapisan inti luar, foto reseptor, dan lapisan epitel pigmen retina; serta cabang-cabang dari arteri
retina sentralis, yang mendarahi dua pertiga sebelah dalam retina. Arteri retina sentralis berasal
dari arteri oftalmikus yang masuk ke mata bersama-sama dengan nervus optikus pada papil saraf
optik dan bercabang pada permukaan dalam retina. Arteri sentralis merupakan suatu arteri
terminalis tanpa anastomose dengan diameter kurang lebih 0,1 mm, dan terbagi menjadi empat
cabang utama yaitu aa.temporalis superior dan inferior dan aa.nasalis superior dan
inferior.Oklusi pada arteri ini akan menyebabkan infark retina. Fovea seluruhnya didarahi oleh
koriokapilaris dan rentan terhadap kerusakan yang tak dapat diperbaiki bila retina mengalami
ablasi.4,7

5
2.2. Fisiologi retina

Retina adalah jaringan mata yang paling kompleks. Mata berfungsi sebagai suatu alat
optic, suatu reseptor yang kompleks, dan suatu tranduser yang efektif. Sel sel batang dan
kerucut di lapisan fotoreseptor mengubah rangsangan cahaya menjadi suatu impuls saraf yang
dihantarkan oleh jaras jaras penglihatan ke korteks penglihatan oksipital.4

Fotoreseptor tersusun sedemikian rupa sehingga kerapatan sel kerucut meningkat di pusat
macula (fovea), semakin berkurang ke perifer, dan kerapatan sel batang lebih tinggi di perifer. Di
foveola, terdapat hubungan hampir 1:1 antara fotoreseptor kerucut, sel ganglionnya, dan serat
serat saraf yang keluar, sedangkan di retina perifer, sejumlah fotoreseptor dihubungkan ke sel
ganglion yang sama. Fovea berperan pada resolusi spasial (ketajaman penglihatan) dan
penglihatan warna yang baik, keduanya memerlukan pencahayaan ruang yang terang
(penglihatan fotopik) dan paling baik di foveola; sementara retina sisanya terutama digunakan
untuk penglihatan gerak, kontras, dan penglihatan malam (skotopik).4

Fotoreseptor kerucut dan batang terletak di lapisan terluar retina sensorik yang avaskular
dan merupakan tempat berlangsungnya reaksi kimia yang mengawali proses penglihatan. Setiap
sel fotoreseptor batang mengandung rhodopsin, suatu pigmen penglihatan yang fotosensitif dan
terbenam di dalam diskus bermembran ganda pada fotoreseptor bagian luar. Pigmen ini tersusun
atas dua komponen, sebuah protein opsin dan sebuah kromofor. Opsin dalam rhodopsin adalah
scotopin, yang terbentuk dari 7 heliks transmembran. Opsin tersebut mengelilingi kromofornya,
retinal, suatu turunan dari vitamin A. Saat rhodopsin menyerap foton cahaya, akan terjadi
perubahan bentuk 11-cis-retinal (komponen kromofor pada rodopsin) menjadi all-trans-retinol.
Perubahan bentuk ini akan memicu terjadinya kaskade penghantar kedua. Puncak absorbsi
cahaya oleh rodopsin yang terjadi pada panjang gelombang 500 nm, yang merupakan daerah
biru-hijau pada spektrum cahaya. Penelitian penelitian sensitivitas spektrum fotopigmen
kerucut memperlihatkan puncak absorbs panjang gelombang, berturut turut untuk sel kerucut
sensitif-biru, -hijau, dan merah, pada 430, 540, dan 575 nm. Fotopigmen sel kerucut terdiri atas
11 cis-retinal yang terikat pada protein opsin selain skotopsin.4

Penglihatan skotopik seluruhnya diperantarai oleh fotoreseptor batang. Dengan bentuk


penglihatan adaptasi gelap ini, terlihat beragam corak abu abu, tetapi warna warnanya tidak
6
dapat dibedakan. Sewaktu retina telah beradaptasi penuh terhadap cahaya, sensitivitas spektrum
retina bergeser dari puncak dominasi rhodopsin 500nm ke sekitar 560nm, dan muncul sensasi
warna. Suatu objek akan berwarna apabila objek tersebut secara selektif memantulkan atau
menyalurkan sinar dengan panjang gelombang tertentu dalam kisaran spektrum cahaya tampak
(400-700 nm). Penglihatan siang hari (fotopik) terutama diperantarai oleh fotoreseptor kerucut,
senjakala (mesopik) oleh kombinasi sel kerucut dan batang, dan malam (skotopik) oleh
fotoreseptor batang.4

Fotoreseptor diperlihara oleh epitel pigmen retina, yang berperan penting dalam proses
penglihatan. Epitel ini bertanggung jawab untuk fagositosis segmen luar fotoreseptor,
transportasi vitamin, mengurangi hamburan sinar, serta membentuk sawar selektif antara koroid
dan retina. Membran basalis sel sel epitel pigmen retina membentuk lapisan dalam membran
Bruch, yang juga tersusun atas matriks ekstraseluler khusus dan membran basalis koriokapilaris
sebagai lapisan luarnya. Sel sel epitel pigmen retina mempunyai kemampuan terbatas dalam
melakukan regenerasi.4

2.3. Fundus normal

Salah satu pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk memeriksa fundus adalah dengan
oftalmoskopi direk. Gambaran yang diperlihatkan oftalmoskop mungkin kabur akibat media
mata yang keruh, seperti katarak, atau akibat pupil yang kecil. Menggelapkan ruang periksa
biasanya cukup menyebabkan dilatasi pupil alami untuk mengevaluasi fundus sentral, termasuk
diskus, macula, dan struktur pembuluh darah retina proksimal. Pelebaran pupil secara
farmakologis sangat memperluas pandangan dan memungkinkan pemeriksaan yang lebih luas ke
retina perifer.4

Saat pasien menatap objek yang jauh dengan mata sebelahnya, pemeriksa mula mula
membawa detil retina ke dalam focus. Karena seluruh pembuluh retina muncul dari diskus,
diskus dicari dengan mengikuti salah satu cabang utama pembuluh ke tempat berbagai cabang
tersebut berasal. Dari sini, berkas sinar oftalmoskop diarahkan sedikit ke nasal dari garis
pandang pasien, atau sumbu visual. Kemudian diteliti bentuk, ukuran, dan warna diskus,

7
ketajaman tepinya, dan ukuran bagian sentralnya yang pucat cawan fisiologik. Rasio ukuran
cawan terhadap ukuran diskus penting untuk diagnosis glaucoma.4

Daerah macula terletak kira kira dua kali diameter diskus optikus di sebelah temporal
tepi diskus. Sebuah refleksi putih kecil atau reflex menjadi petanda fovea sentralis. Daerah
fovea ini dikelilingi oleh daerah berpigmen yang lebih gelap dan berbatas kurang tegas, yang
disebut macula. Cabang cabang pembuluh darah retina mendekati dari segala arah tetapi
berhenti tepat di dekat fovea. Dengan demikian lokasi fovea dapat dipastikan dengan tidak
adanya pembuluh darah retina atau memminta pasien menatap langsung ke arah cahaya.4

Pembuluh pembuluh retina utama kemudian diperiksa dan diikuti sejauh mungkin ke
arah distal masing masing kuadran (superior, inferior, temporal, dan nasal). Vena lebih gelap
dan lebih lebar daripada arteri pendampingnya. Perhatikan warna, kelokan, dan caliber pembuluh
darah, selain juga kelainan yang ada, seperti perdarahan, aneurisma, atau eksudat. Ukuran dan
jarak di dalam fundus sering diukur dalam diameter diskus (DD). Diameter diskus optikus
umumnya 1,5-2 mm. Jadi, disebutkan luas perdarahan 1 DD berlokasi di 2,5 DD inferotemporal
dari fovea.4

Gambar 3. Skema fundus normal. Perhatikan pembuluh darah retina berhenti di dekat fovea dan tidak melewati
fovea4

8
Gambar 4. Fundus normal7

9
BAB 3
ACQUIRED IMMUNODEFICIENCY SYNDROME (AIDS)

3.1. Definisi AIDS

AIDS adalah sekumpulan gejala dan infeksi yang timbul karena rusaknya sistem
kekebalan tubuh manusia yaitu penurunan progresif sel limfosit T CD4+, akibat infeksi suatu
retrovirus yaitu virus HIV, dimana dapat mengakibatkan infeksi oportunistik dan neoplasia.1
Virus HIV menginfeksi sel T helper yang telah matur dan menyebabkan imunosupresi,
yang keparahannya tergantung pada keseimbangan antara destruksi dan penggantian sel T.
Imunodefisiensi yang menetap ini memudahkan timbulnya infeksi infeksi oportunistik. Virus
dapat ditemukan di berbagai cairan tubuh termasuk darah, semen, air liur, air mata, dan cairan
serebrospinalis.4
Klasifikasi berdasarkan CDC untuk infeksi HIV adalah berdasarkan kondisi klinis terkait
infeksi HIV dan hitung limfosit T CD4+. Setiap orang yang terinfeksi HIV dengan hitung CD4
<200/L masuk dalam definisi AIDS, tanpa memperhatikan adanya simptom atau infeksi
oportunistik.10

3.2. Penularan dan pencegahan HIV/AIDS

Penularan AIDS terutama melalui pertukaran cairan tubuh lewat hubungan kelamin atau
melalui pemakaian jarum tercemar pada pengguna obat terlarang intravena. Penularan juga dapat
terjadi melalui transfusi produk darah yang tercemar. Virus tidak dapat ditularkan melalui kontak
biasa, tetapi karena ditemukan di dalam air mata, sel konjungtiva, dan darah, para tenaga
kesehatan harus melakukan tindakan tindakan pencegahan yang tepat saat menangani limbah
infeksius atau sewaktu akan berkontak dengan cairan tubuh.4

10
3.3. Temuan klinis HIV/AIDS

Spektrum penyakit ini sangat luas, kemungkinan disebabkan oleh derajat kerusakan
imunologiknya serta frekuensi dan sifat infeksi oportunistiknya. Biasanya gejala akut mirip flu
akan timbul beberapa minggu setelah terinfeksi, diikuti dengan penurunan berat badan, demam,
diare, limfadenopati, dan ensefalopati beberapa bulan kemudian.4

Tabel 1. Gejala dan Tanda Klinis yang Patut Diduga Infeksi HIV11

Tanda utama AIDS adalah tingginya insidens infeksi, yang sering kali bersifat multipel,
oportunistik, dan berat. Insiden infeksi oportunistik meningkat seiring dengan peningkatan

11
defisiensi imun. Herpes zoster, kandidiasis oral, dan tuberkulosis menjadi lebih sering saat
hitung CD4+ turun di bawah 500 sel/L. Ketika hitung CD4+ di bawah 200 sel/L, akan timbul
infeksi protozoa (seperti Pneumocystis dan Toxoplasma) dan jamur (seperti Cryptococcus).
Cytomegalovirus dan Mycobacterium avium intraseluler akan tampak pada hitung CD4+ di
bawah 100 sel/L.4

3.4. Pemeriksaan Laboratorium untuk Tes HIV

CDC telah merekomendasikan agar skrining infeksi HIV dilakukan sebagai pemeriksaan
kesehatan rutin. Diagnosis infeksi HIV tergantung pada adanya antibodi terhadap HIV dan / atau
deteksi langsung HIV atau salah satu komponennya. Antibodi terhadap HIV umumnya muncul
dalam sirkulasi 3-12 minggu setelah infeksi. Tes skrining darah standar untuk infeksi HIV adalah
ELISA, juga disebut sebagai enzyme immunoassay (EIA). Uji solid-fase ini merupakan tes
skrining yang sangat baik dengan sensitivitas >99,5%.10

Siapa saja yang dicurigai infeksi HIV berdasarkan hasil EIA yang positif atau tidak
meyakinkan harus mengkonfirmasinya dengan tes yang lebih spesifik seperti Western blot.

Gambar 5. Algoritme pemeriksaan serologi dalam mendiagnosis infeksi HIV-1 atau HIV-210

12
3.5. Manifestasi HIV/AIDS pada mata

Manifestasi human immunodeficiency virus (HIV) pada mata umum terjadi. Sekitar 70-
80% dari pasien yang terinfeksi HIV akan dirawat karena gangguan mata terkait HIV selama
perjalanan penyakitnya.5
Secara umum, jumlah limfosit T CD4+ digunakan untuk memprediksi terjadinya infeksi
mata tertentu pada pasien HIV positif. Hitung sel T CD4+ di bawah 500/L sering dikaitkan
dengan sarkoma Kaposi, limfoma, dan TBC. Hitung sel T CD4+ di bawah 250/L, dikaitkan
dengan Pneumocystosis dan toksoplasmosis. Sedangkan hitung sel T CD4+ kurang dari 100/L
dikaitkan dengan:

Mikrovaskulopati retina atau konjungtiva


Retinitis Cytomegalovirus (CMV)
Varicella Zoster
Infeksi kompleks Mycobacterium avium
Cryptococcosis
Mikrosporidiosis
Ensefalopati HIV
Leukoensefalopati multifokal progresif 5

Nilai prediktif dari hitung sel T CD4+ untuk komplikasi mata pada HIV telah
dipertanyakan oleh adanya laporan retinitis CMV pada pasien dengan hitung CD4+ lebih dari
200 sel/L. Pasien-pasien ini dilaporkan mengkonsumsi highly active antiretroviral therapy
(HAART). Sementara temuan tersebut dapat membantah efek perlindungan dari peningkatan
jumlah CD4+, walaupun kemungkinan bahwa retinitis CMV mendahului pemulihan jumlah
CD4+ tidak dapat disingkirkan. Jadi, apakah jumlah sel T akan berfungsi sebagai prediktor yang
lebih baik pada infeksi mata tertentu masih berada di bawah evaluasi aktif.5

Terlepas dari ketidakpastian ini, hitung sel CD4+ tetap digunakan sebagai parameter
dalam memprediksi terjadinya infeksi mata tertentu pada pasien HIV positif, setidaknya sampai
tes antigen spesifik fungsi limfosit T menjadi banyak tersedia.5

13
Gambar 6. Hubungan jumlah sel CD4 + dengan manifestasi pada okular1

Keterlibatan mata yang dijumpai pada kasus AIDS, dapat di segmen anterior maupun
retina. Temuan tersering di mata adalah mikrovaskulopati retina dengan bercak bercak cotton-
wool serta perdarahan dan vaskulopati konjungtiva yang ditandai oleh pembuluh berbentuk
koma, pengendapan darah, dan perdarahan linier. Penyebab kelainan kelainan ini tidak
diketahui, tetapi kadang kadang dikaitkan dengan peningkatan viskositas plasma dan mungkin
mencerminkan pengendapan kompleks imun.4

Kelainan yang tersering pada infeksi oportunistik adalah infeksi virus pada retina,
khususnya cytomegalovirus. Keterlibatan nervus optikus menyebabkan edema diskus optikus
yang mencolok dan penurunan penglihatan yang ireversibel, mendadak, dan berat. Diagnosis
biasanya didasarkan pada gambaran klinis dan konfirmasi adanya replikasi virus aktif
sebagaimana ditunjukkan oleh PCR di darah, urin, cairan serebrospinalis, aqueous, atau
vitreous.4

Nekrosis retina akut dan nekrosis progresif retina bagian luar dapat terjadi pada AIDS.
Nekrosis retina akut yang disebabkan oleh herpes simpleks umumnya disertai ensefalitis.
Korioretinitis toksoplasma biasanya bilateral, didapat (infeksi kongenital jarang direaktivasi oleh

14
AIDS), dan disertai dengan reaksi vitreus yang hebat; endoftalmitis kandida jarang dijumpai
kecuali pada pecandu obat. Organisme kurang lazim yang umumnya menyerang koroid adalah
Pneumocystis jiroveci (dulu P carinii), Cryptococcus neoformans, dan Mycobacterium avium-
intracellulare. Infeksi pada koroid sifatnya menyebar melalui darah dan menandakan kematian
segera.4

Herpes zoster oftalmikus adalah gambaran infeksi HIV yang umum dijumpai di Afrika
sub-Sahara dan dapat sangat parah, dengan nekrosis segmen anterior dan oftalmoplegia. Sifilis
yang disertai infeksi HIV dapat menimbulkan uveitis berat yang menyebabkan kebutaan atau
neuropati optik. Herpes simpleks, moluskum kontagiosum, dan sarkoma Kaposi sering mengenai
palpebra dan jaringan sekitarnya. Kombinasi rifabutin dan klaritromisin atau cidofovir dapat
mencetuskan uveitis simptomatik.4

Masalah masalah neuro-oftalmologi dibagi menjadi masalah yang berkaitan langsung


dengan infeksi HIV di otak, seperti neuropati optic dan oftalmoplegia supranuklear; dan masalah
yang disebabkan oleh abses serebral atau ensefalitis, umumnya akibat infeksi kriptokokus,
limfoma, atau toksoplasmosis.4

3.6. Tatalaksana HIV/AIDS

Terapi infeksi HIV sulit dan bersifat individual disesuaikan dengan komorbiditas dan
respon terapi. Terapi inisial yaitu triple therapy kombinasi 2 reverse transcriptase inhibitor
dan sebuah inhibitor protease, biasanya diberikan dalam siklus tiga bulanan. Regimen ini dapat
sangat menurunkan viral load HIV, meningkatkan hitung CD4+, dan meningkatkan
kesejahteraan pasien. Pada keadaan ini, pasien pasien dengan retinitis CMV akan mengalami
uveitis rekonstitusi, yaitu pemulihan kekebalan relatif yang dilanjutkan dengan panuveitis.
Terapi anti-CMV mungkin saja dihentikan bila hitung CD4+ telah mencapai angka di atas
200/L selama 3 bulan.4

15
3.7. Klasifikasi manifestasi HIV/AIDS pada mata berdasarkan struktur
anatomi

Berbagai manifestasi mata yang dijumpai pada kasus HIV/AIDS dikelompokkan berdasar
struktur anatomi mata yang terkena, yaitu:

1. Manifestasi pada adneksa mata


Adneksa mata terdiri dari kelopak mata, konjungtiva, dan sistem drainase
lakrimal. Lesi adneksa mata pada pasien HIV yang umum terjadi sebagai berikut:
Herpes zoster oftalmikus (HZO)
Sarkoma Kaposi
Moluskum kontagiosum
Mikrovaskulopati konjungtiva 5

2. Manifestasi pada segmen anterior mata


Segmen anterior terdiri dari kornea, bilik mata depan, dan iris. Lebih dari 50%
pasien HIV-positif bermanifestasi komplikasi segmen anterior, termasuk mata kering
(keratokonjungtivitis sika atau dry eye), infeksi kornea (keratitis), dan inflamasi bilik
mata depan (iridosiklitis). Gejala gejala umum mencakup iritasi, nyeri, fotofobia, dan
penurunan penglihatan.5

3. Manifestasi pada segmen posterior mata


Struktur segmen posterior yang terlibat pada pasien HIV-positif termasuk retina,
koroid, dan papil saraf optik. Gangguan setidaknya satu dari struktur ini terlihat di lebih
dari 50% dari pasien yang positif HIV.
Keluhan yang sering adalah floaters, kilatan cahaya, gangguan lapang pandang,
dan penurunan tajam penglihatan. Adanya gangguan pupil yang aferen sangat
menunjukkan keterlibatan retina atau saraf optik yang signifikan. Diagnosis sering
didasarkan pada bukti klinis yang terlihat pada pemeriksaan funduskopi.5

16
4. Manifestasi pada neuro-oftalmologi
Komplikasi neuro-oftalmologi terlihat sekitar 10-15% dari pasien yang terinfeksi
HIV. Penyebab umum dari komplikasi neuro-oftalmologi termasuk meningitis
kriptokokal, limfoma meningeal dan parenkim, neurosifilis, dan toksoplasmosis.
Ensefalopati difus mungkin disebabkan efek langsung dari virus (retinopati HIV) atau
infeksi oportunistik dari Polyomavirus yang menyebabkan progressive multifocal
leukoencephalopathy (PML).5

5. Manifestasi pada orbital

Komplikasi orbital jarang terjadi pada pasien HIV-positif. Komplikasi yang


paling umum yaitu limfoma orbital dan selulitis orbital akibat infeksi Aspergillus.
Aspergillosis terkait HIV biasanya terjadi pada pasien dengan hitung CD4+ di bawah
100/L.5

Limfoma ditatalaksana dengan radiasi dan kemoterapi, sedangkan selulitis orbital


diatasi dengan antibiotik sistemik.5

3.7.1. Herpes Zoster Oftalmikus (HZO)

Herpes zoster merupakan dermatitis vesikobulosa yang nyeri, hasil reaktivasi lokal dari
infeksi virus varicella zoster (VZV). Virus tersebut menyusuri saraf yang terlibat, menyebabkan
nyeri diikuti oleh ruam vesikuler di dermatomnya.5

Herpes zoster dapat melibatkan dermatom apapun, tetapi terutama T3 sampai L3 dan
saraf kranial V (paling sering divisi oftalmik, V1). Herpes zoster pada divisi oftalmik saraf
trigeminal, dengan atau tanpa keterlibatan okular, disebut sebagai HZO.5

Faktor predisposisi untuk herpes zoster termasuk penuaan, imunosupresi, trauma, radiasi,
pembedahan, atau penyakit sistemik yang melemahkan. Pada populasi umum, faktor predisposisi
yang paling umum untuk herpes zoster adalah usia lebih dari 60 tahun; pada usia 80 tahun,
sebanyak 50% dari orang dewasa yang seropositif dengan VZV akan mengalami zoster, dimana

17
HZO mewakili sebagian kecil. HZO mempengaruhi sekitar 5-15% dari pasien yang terinfeksi
HIV.5

HZO yang muncul pada individu dengan usia kurang dari 50 tahun menunjukkan
kecurigaan adanya infeksi HIV. Pasien dengan infeksi HIV lebih cenderung terkena necrotizing
herpetic retinitis sebagai lanjutan dari HZO. HZO memiliki resiko dan angka insidensi yang
lebih tinggi pada pasien HIV dibandingkan pada individu yang imunokompeten.2

Insiden herpes zoster, tidak seperti infeksi oportunistik lainnya pada penyakit HIV,
ternyata tidak menurun dengan kemajuan terapi antiretroviral (HAART). Dalam sebuah
penelitian, pasien dalam pengobatan HAART dan mereka dengan jumlah CD4+ antara 50
sampai 200/L merupakan orang dengan risiko tinggi kejadian herpes zoster.5

Gambaran klinis

Manifestasi klinis herpes zoster oftalmikus (HZO) bisa akut, kronis, atau relaps. Lesi akut
biasanya berkembang dalam waktu 3 minggu dari ruam. Lesi ini dapat membaik dengan cepat
dan lengkap, atau mereka dapat menjadi kronis selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun.
Rekurensi merupakan karakteristik dari penyakit, dan relaps dapat terjadi hingga 10 tahun
setelah infeksi primer.5

Ruam vesikuler dengan distribusi pada semua atau salah satu divisi saraf trigeminal
merupakan salah satu manifestasi klinis awal. Demam, malaise, dan sakit kepala juga dapat
menjadi keluhan yang timbul. Krusta biasanya terbentuk setelah hari keenam. Keterlibatan saraf
nasosiliar sering dikaitkan dengan keterlibatan okular, meskipun komplikasi okular berat dapat
terjadi dengan ruam vesikuler dimana saja di dahi.5

Perubahan jaringan akut dapat meliputi:

Kelopak mata: ptosis, edema, nekrosis hemoragik


Keratitis Disciform: muncul setelah 3 minggu dari timbulnya gejala; menyebabkan
kehilangan penglihatan yang berat; sensitif steroid
Edema kornea: muncul setelah 3 minggu; sensitif steroid
Sklerokeratitis: muncul setelah 3 minggu; sensitif steroid

18
Keratitis neuropati: dapat terjadi setelah 5 hari; dengan ulserasi, diperlukan manajemen
segera
Iritis: dapat dilihat setelah 5 hari, biasanya sensitif steroid
Glaukoma: biasanya sensitif steroid, dan mungkin memerlukan terapi antiglaukomatosa
Retinitis: antivirus sistemik5

Komplikasi neurologis dari HZO dapat mencakup hal berikut:

Neuritis optik: biasanya jarang, dan dapat menyebabkan kehilangan penglihatan berat;
vaskulitis
Ensefalitis: jarang, dan dapat menyebabkan kehilangan penglihatan yang sangat besar
sebagai akibat dari kerusakan akut virus
Hemiplegia: jarang, kontralateral; karena terkait vaskulitis
Palsi otot okular eksternal: biasanya ipsilateral, pemulihannya baik
Neuralgia akut: karena stimulasi nyeri aferen oleh inflamasi; dapat ditangani dalam
banyak kasus
Neuralgia postherpetik: biasanya dimulai setelah ruam hilang; cenderung lebih buruk
pada usia lanjut; neuralgia dapat perifer atau sentral; juga mungkin timbul dari
kehilangan serat saraf yang lebih besar di jalur sentral5

Diagnosis

Diagnosis HZO terutama berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan. Namun, data
dasar pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, glukosa, nitrogen urea darah (BUN/blood urea
nitrogen), dan kreatinin mungkin diperlukan sebelum memulai terapi antivirus.5

Jika diagnosis pasti sulit ditegakkan, CT scan tanpa kontras harus dipertimbangkan untuk
mengevaluasi penyebab lain dari sakit kepala yang baru timbul.5

Tatalaksana
Pengobatan HZO yang dianjurkan adalah asiklovir intravena 10mg/kg, 3 kali per hari
selama 7 hari, diikuti dengan asiklovir oral 800mg sampai 1g, 3-5 kali per hari untuk tambahan 7

19
hari. Rejimen ini paling efektif jika dimulai dalam waktu 72 jam dari timbulnya lesi vesikular.
Pengobatan ini mengurangi frekuensi kekambuhan.5

Asiklovir oral telah dibuktikan dalam uji coba klinis secara acak untuk mengurangi
lepasnya virus dari vesikel, menurunkan penyebaran virus sistemik, dan mengurangi keparahan
dan durasi dari komplikasi HZO (misalnya, keratitis dendritik, keratitis stroma, uveitis). Namun,
asiklovir oral tidak mempengaruhi insidensi, tingkat keparahan, atau durasi neuralgia
postherpetik.5

Famsiklovir 500mg, 3 kali per hari selama 7 hari memiliki keuntungan yaitu efek
samping yang lebih sedikit. Jika HZO tidak responsif terhadap asiklovir atau famciclovir,
foscarnet intravena harus dipertimbangkan.5

Antivirus topikal belum terbukti efektif untuk pengelolaan HZO.5

Jika terdapat peradangan intraokular, agen cycloplegic topikal (yaitu, skopolamin 0,25%
tid) dan steroid topikal (yaitu, prednisolon asetat 1% q1-2h) harus diberikan.5

Umumnya, disarankan bahwa steroid oral dihindari karena risiko imunosupresi lebih
lanjut pada pasien dan eksaserbasi infeksi. Namun, steroid oral telah digunakan oleh
dermatologis dalam pengobatan HZO untuk mengurangi insiden neuralgia postherpetik pada
pasien tua yang lebih dari 60 tahun.5

Alternatifnya, salep capsaicin topikal 0,25% digunakan pada kulit yang terlibat dua kali
sehari, atau amitriptyline 25mg oral 3 kali sehari mungkin berguna dalam mengurangi gejala
neuralgia postherpetik.5

Dalam kasus keratopati pungtata persisten, pengobatan yang berlebihan, salep pelumas
mata, lensa kontak perban, atau tarsorapi mungkin diperlukan.5

20
Gambar 7. Herpes Zoster Oftalmikus7

3.7.2. Sarkoma Kaposi

Sarkoma Kaposi adalah tumor turunan mesenkimal yang sangat vaskuler, tanpa rasa sakit
yang paling sering mengenai kulit dan selaput lendir. Tumor ini tampak sebagai nodul mutipel
yang berwana merah keunguan, disebabkan oleh virus human herpes (HHV) 8. Sarkoma Kaposi
umumnya terlihat pada pasien yang terinfeksi HIV, di mana 3 jenis histologis tumor telah
dijelaskan berdasarkan penampilan endotelium pembuluh darah dan jumlah sel spindel.3,5

Sarkoma Kaposi terjadi pada sekitar 25% dari pasien yang positif HIV. Pada sekitar 20%
dari pasien-pasien ini, kelopak mata atau konjungtiva yang terkena.3,5

Gambaran klinis
Tampilan sarkoma Kaposi pada kelopak mata mirip dengan lesi sarkoma Kaposi di
tempat lain di kulit. Pada konjungtiva, sarkoma Kaposi mungkin tampak seperti perdarahan
subkonjungtival persisten atau sebagai masa merah keunguan, paling sering terlihat pada forniks
inferior sebagai lesi nodular ataupun difus. Sarkoma Kaposi pada konjungtiva dan kelopak mata
cenderung menyerupai kalazion dan perdarahan subkonjungtival lokal..3,5,6

21
Tatalaksana
Lesi sarkoma Kaposi tidak menginvasi mata, dan tidak diperlukan terapi jika tidak
menimbulkan gejala dan diterima secara kosmetik. Namun, sarkoma Kaposi dapat menyebabkan
ketidaknyamanan melalui efek massa dan perubahan kornea sekunder. Sebagian besar lesi
berkembang dengan lambat dan memberi respon yang baik terhadap obat sistemik.6
Sarkoma Kaposi dapat diobati dengan krioterapi, eksisi bedah, radiasi, atau kemoterapi. 3
Terapi radiasi efektif pada sarkoma Kaposi yang mengenai kelopak mata dan
konjungtiva, dimana ketidaknyamanan atas lesi dilaporkan. Namun, terapi ini mahal dan
mempunyai efek samping, yaitu lepasnya bulu mata, iritasi kulit, dan konjungtivitis. Krioterapi
lokal pada kelopak mata dan konjungtiva mungkin dapat dilakukan. Kemoterapi intralesi dengan
vinblastin, interferon alfa, dan daunorubicin liposomal dapat diberikan. Eksisi bedah pada tumor
menjadi pilihan pada pasien dengan gejala yang berat.5,6

Gambar 8. Lesi sarkoma Kaposi pada konjungtiva1

3.7.3. Moluskum kontagiosum

Moluskum kontagiosum merupakan manifestasi adneksa okular yang paling umum pada
pasien positif HIV. Dermatitis ini sangat menular, disebabkan oleh poxvirus DNA, dan dapat
mengenai selaput lendir serta kulit.5,6

22
Gambaran klinis
Sebuah nodul moluskum pada tepian atau kulit palpebra dan alis mata dapat
menimbulkan konjungtivitis folikular kronik unilateral, keratitis superior, dan pannus superior,
dan mungkin menyerupai trakoma. Reaksi radangnya terutama mononuklear (berbeda dengan
reaksi pada trakoma). Lesi kecil, bulat, tidak nyeri, berombak, warna putih mutiara, non-
inflamatorik dengan bagian pusat yang menggaung khas untuk moluskum kontagiosum. Lesi
moluskum kontagiosum yang multiple di palpebra atau wajah ditemukan pada pasien AIDS.4,5

Moluskum kontagiosum lebih sering dan lebih berat pada pasien yang HIV positif
dibandingkan pada pasien yang HIV negative, selain itu lesi lebih besar, lebih banyak dan
tumbuh dengan cepat. Kelopak mata terkena pada lebih dari 5% pasien HIV-positif.5,6

Gambar 9. Nodul multipel moluskum kontagiosum di palpebra8

Gambar 10. Nodul moluskum kontagiosum di tepi palpebra8

23
Pemeriksaan penunjang

Biopsi menunjukkan inklusi sitoplasma eosinofilik yang memenuhi seluruh sitoplasma


sel yang membesar, mendesak inti ke satu sisi.4

Tatalaksana

Eksisi, insisi sederhana pada nodul yang memungkinkan darah tepi memasukinya, atau
krioterapi akan menyembuhkan konjungtivitisnya. Penggunaan krim podophyllotoxin dapat
digunakan sebagai terapi tambahan krioterapi. Pada kasus yang sangat jarang, nodul nodul
moluskum timbul di konjungitva. Pada kondisi ini, eksisi nodul juga menyembuhkan
konjungtivitisnya.4,6

Nodul moluskum ini cenderung muncul kembali dalam 6-8 minggu setelah dihilangkan,
khususnya jika hitung CD4+ menurun.6

3.7.4. Keratokonjungtivitis sika

Keratokonjungtivitis sika (sindrom mata kering / dry eye) terlihat pada 10-20% pasien
yang positif HIV, biasanya selama tahap akhir dari penyakit. Etiologi mata kering dapat
dikaitkan dengan inflamasi yang dimediasi HIV dan kerusakan kelenjar lakrimal utama dan
aksesoris.1,5

Pasien dengan keratokonjungtivitis sika akan mengeluh mata seperti berpasir (sensasi
benda asing), silau, dan penurunan tajam penglihatan.6

Pengobatan pada pasien keratokonjungtivitis sika dapat berupa pemberian air mata
buatan, 6-8 kali sehari, dan salep lubrikasi.6

Gambar 11 . Dry Eye 1

24
3.7.5. Keratitis infeksius

Virus varicella-zoster (VZV) dan virus herpes simpleks (HSV) adalah penyebab paling
sering dari keratitis infeksius pada pasien HIV-positif. Keratitis akibat VZV biasanya dikaitkan
dengan herpes zoster oftalmikus (HZO), dengan atau tanpa adanya dermatitis. Pada pasien
terinfeksi HIV, dibandingkan dengan populasi umum, keratitis VZV dan HSV cenderung lebih
sering terulang kembali, dan mereka mungkin resisten terhadap pengobatan.5

Keratitis bakteri dan jamur tidak lebih sering pada pasien HIV, tetapi infeksi ini
cenderung lebih berat. Organisme yang paling sering adalah Candida, terutama pada pengguna
narkoba suntik. Organisme Microsporida juga ikut terlibat. Secara umum, pewarnaan Gram dan
kultur digunakan sebagai pedoman pengobatan. Microsporidia sangat sulit untuk dikultur, tetapi
mudah terlihat dalam sel epitel kornea atau konjungtiva dengan penggunaan Masson trichrome
atau pewarnaan Giemsa.5

3.6.5.1. Keratitis virus varicella-zoster (VZV)


VZV identik secara morfologis dengan HSV. Seperti HSV, VZV dapat menjadi laten
setelah infeksi primer dengan reaktivasi berikutnya ketika sistem kekebalan tubuh host menurun.
Infeksi primer VZV (yaitu, cacar air) menyebar melalui droplet udara pernapasan yang
mengandung virus atau melalui kontak langsung dengan lesi kulit. Hal ini sangat menular ke
individu yang rentan. Infeksi primer VZV biasanya muncul pada masa kanak-kanak, dan
penyakit cenderung ringan, dan sembuh sendiri.5

Keratitis VZV terjadi pada kurang dari 5% pasien yang positif HIV, tetapi dapat
menyebabkan kehilangan penglihatan permanen. Prevalensi keratitis VZV lebih tinggi pada
pasien yang terinfeksi HIV dibandingkan populasi umum di AS. 5

Gambaran klinis

Infeksi VZV biasanya bermanifestasi dengan keluhan demam, malaise, dan ruam kulit,
yang biasanya berlangsung 7-10 hari. Manifestasi kulit biasanya berawal dari makula kemudian

25
berkembang menjadi papula, vesikel, dan akhirnya, pustula, dapat kering dan berkrusta. Vesikel
mungkin ditemukan pada tepi kelopak mata atau konjungtiva bulbar. Tanda-tanda lain termasuk
penurunan sensasi kornea dan peningkatan tekanan intraokular. 5

Gambaran klinis infeksi VZV yang membedakannya dengan infeksi virus herpes simpleks
(HSV) mencakup:

Distribusi dermatom yang lengkap


Peningkatan rasa nyeri
Dendrit lebih kecil tanpa ulserasi sentral atau terminal bulbs
Jaringan parut kulit lebih sering
Neuralgia postherpetik lebih sering
Atrofi iris sektoral
Tidak bilateral
Keratitis epithelial litik tidak rekurens
Penurunan sensasi kornea lebih sering5

Tatalaksana

Pengobatan yang direkomendasikan adalah asiklovir oral 800mg, 5 kali sehari selama 14
hari; valasiklovir 1g, 3 kali sehari selama 7-10 hari; atau famsiklovir oral 500mg, 3 kali sehari
selama 7-10 hari. Terapi hendaknya dimulai 72 jam setelah timbulnya kemerahan (rash). Peran
antiviral topikal kurang meyakinkan. Kortikosteroid topikal mungkin diperlukan untuk
mengobati keratitis berat, uveitis, dan glaucoma sekunder. Penggunaan kortikosteroid sistemik
masih controversial. Terapi ini mungkin diindikasikan untuk mengurangi insiden dan hebatnya
neuralgia postherpetik, tetapi risiko komplikasi steroid cukup bermakna.4

3.7.5.2. Keratitis virus herpes simpleks (HSV)

HSV adalah virus DNA yang sering menginfeksi manusia. Terdapat dua strain HSV:
HSV-1 dan HSV-2.5

26
Di Amerika Serikat, sekitar 50-90% orang dewasa memiliki serum antibodi untuk HSV-
1. Infeksi HSV menyebar melalui kontak langsung dengan sekret infeksius dari karier. HSV-1
umumnya bertanggung jawab untuk infeksi mulut dan mata, sedangkan HSV-2 bertanggung
jawab untuk infeksi genital. Namun, beberapa kasus dimana HSV-2 menyebabkan infeksi mulut
atau mata dan HSV-1 menyebabkan infeksi genital telah dilaporkan. 5

Seperti VZV, HSV dapat menjadi laten setelah infeksi primer dengan reaktivasi
berikutnya ketika sistem kekebalan tubuh host menurun. Setelah infeksi primer, HSV dapat
menyebar dari epitel terinfeksi ke ujung saraf sensorik di jaringan yang terinfeksi; dari sana,
virus diangkut dari akson saraf ke badan sel. 5

Dalam badan sel, genom virus memasuki nukleus, di mana ia tetap dalam keadaan non-
patogen laten sampai reaktivasi dalam keadaan patogen atau immunocompromised. Setelah
reaktivasi, HSV diangkut mengikuti akson saraf ke sel epitel pada permukaan okular atau
kornea. 5

Sekitar 0,15% dari populasi memiliki riwayat infeksi HSV pada eksternal mata, dan
sekitar 67% pasien dengan infeksi HSV berkembang menjadi keratitis epitel. Prevalensi keratitis
HSV lebih tinggi pada pasien yang terinfeksi HIV dibandingkan pada populasi umum di AS. 5

Gambaran klinis

Infeksi primer HSV pada mata sering muncul sebagai blefarokonjungtivitis unilateral.
Respon inflamasi konjungtiva sering folikular, dengan limfadenopati preaurikular. Vesikel pada
kulit atau margin kelopak mata muncul pada sebagian besar kasus. 5

Konjungtivitis folikular akibat HSV kadang sulit dibedakan dari yang disebabkan oleh
adenovirus. Gambaran yang membantu membedakan yaitu morfologi dendritik dari keratitis
HSV yang khas, adanya vesikel kulit, tidak adanya epidemi terkait, dan lebih sering unilateral
(sekitar 10% kasus keratitis HSV bilateral, sedangkan sebagian besar kasus keratokonjungtivitis
adenovirus bilateral). 5

27
Pasien dengan keratitis epitel dendritik mungkin tidak memiliki gejala yang jelas, atau
mereka mungkin mengeluh seperti ada benda asing, fotofobia, kemerahan, dan penglihatan
kabur. 5

Keratitis epitel HSV rekurens biasanya terlihat sebagai percabangan dendritik yang khas.
Lesi awal dapat berupa keratitis epitel pungtata, yang kemudian menyatu menjadi lesi berbentuk
dendritik, terdiri dari sel-sel epitel opak yang bengkak, dalam beberapa hari. 5

Ujung dendritik memiliki morfologi khas seperti tunas. Ulkus kecil sering terbentuk di
tengah dendrit dalam beberapa hari dari onset, biasanya akibat dari lisis sel yang terinfeksi virus.
Sel-sel opak sekitar ulkus sentral dapat diwarnai dengan baik oleh rose bengal dan cukup baik
oleh fluoresein. Faktor predisposisi terbentuknya ulkus geografis yaitu termasuk strain HSV,
terapi imunosupresif topikal atau sistemik, dan infeksi HIV. 5

Gambaran klinis infeksi HSV yang membedakannya dengan infeksi VZV yaitu:

Distribusi dermatom yang tidak lengkap


Tidak nyeri
Dendrit lebih besar dengan ulserasi sentral dan ujung tunas (terminal bulbs)
Jaringan parut kulit jarang
Neuralgia postherpetik jarang
Tanpa atrofi iris sektoral
Jarang bilateral
Keratitis epithelial litik sering rekurens
Penurunan sensasi kornea sektoral atau difus tergantung jumlah rekurensi5

28
Gambar 12. Keratitis epitel HSV, A.Lesi satelit; B.Ulkus dendritik pada pewarnaan fluoresein 8

Gambar 13. Keratitis Herpes Simleks: keratitis dendritik. Temuan khas berupa lesi epitel yang bercabang 7

Tatalaksana

Sebagian besar kasus keratitis epitel HSV menghilang secara spontan dalam beberapa
minggu. Alasan diberikan pengobatan adalah untuk mengurangi kerusakan kornea akibat infeksi
virus litik dan respon imun melawan virus. Debridement pada keratitis epitel HSV dengan
aplikator ujung kapas kering atau spons selulosa dapat mempercepat resolusi dan mengurangi
beban virus (viral load) menular dan antigen virus.

29
Pengobatan medis mencakup penggunaan salep vidarabine ophthalmic 3% 5 kali sehari
selama 14 hari dan atau solusio mata trifluridine 1% setiap 3 jam selama 14 hari; gel mata
gansiklovir 0,15% 5 kali sehari sampai ulkus sembuh dan kemudian 3 kali sehari selama 7 hari;
atau salep asiklovir topikal 3% 5 kali sehari selama 14 hari atau bentuk sediaan oral 400 mg 5
kali sehari selama 7 hari; atau famsiklovir oral 500 mg 3 kali sehari selama 7 hari.

Keratopati neurotropik HSV adalah suatu kondisi yang harus dikelola dengan lubrikan
tanpa pengawet, patch kelopak mata, lensa kontak bandage, dan kadang-kadang serum autolog
dan faktor pertumbuhan saraf.

3.7.5.3. Keratitis jamur

Spesies Candida adalah organisme jamur yang paling sering menyebabkan keratitis pada
pasien HIV-positif, terutama pada pengguna narkoba suntik. Organisme jamur lain yang
diketahui menyebabkan keratitis termasuk spesies Fusarium dan Aspergillus.5

Imunosupresi menjadi predisposisi pasien HIV-positif untuk terkena infeksi jamur. Jamur
nonfilamentosa (yaitu, spesies kandida) sangat sering ditemukan pada mata yang terganggu,
terutama dengan imunosupresi. Jamur berfilamen (misalnya, Fusarium atau spesies Aspergillus)
tampak terkait dengan trauma atau kontak dengan ranting pohon, daun, dan bagian tumbuh
tumbuhan.5,9

Di beberapa negara berkembang, keratitis jamur dapat menjadi indikator infeksi HIV.
Dalam sebuah studi dari Afrika, 26 dari 32 (81,2%) pasien dengan keratitis jamur ditemukan
positif HIV; 60 dari 180 (33%) dari mereka dengan keratitis non jamur adalah positif HIV.
Fusarium solani merupakan organisme yang paling sering, 75% dari kasus dengan keratitis
jamur.5

Gambaran klinis

Pasien dengan keratitis jamur biasanya akan mengeluh sakit mata yang hebat, berair,
silau, sensasi ada benda asing. Biasanya mereka mempunyai riwayat trauma mata dengan bahan
bahan dari tumbuh tumbuhan. Pada pemeriksaan slit-lamp akan tampak infiltrate yang

30
berhifa dan satelit bila terletak di dalam stroma, bersamaan dengan injeksi konjungtiva, reaksi
bilik mata depan, dan hipopion. 5,9
di bawah lesi utama -dan juga lesi lesi satelit- sering
terdapat plak endotel disertai reaksi bilik mata depan yang hebat.4

Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis keratitis jamur diperlukan anamnesis dan pemeriksaan


oftalmologik yang lengkap. Anamnesis harus mencakup riwayat penggunaan lensa kontak,
penyakit kornea sebelumnya, dan penggunaan steroid topikal maupun sistemik.5

Pemeriksaan dengan slit-lamp penting untuk dikerjakan. Kerokan kornea atau bahkan
biopsi kornea untuk pewarnaan Giemsa, periodic acid-Schiff, atau Gomori methenamine-silver
dengan kultur dan sensitifitas untuk menentukan pengobatan yang tepat, khususnya
diindikasikan pada ulkus yang persisten.5

Tatalaksana

Sebaiknya pasien dengan infeksi jamur dirawat dan diberi pengobatan natamisin 5%
setiap 1-2 jam pada siang hari, dan setiap 2 jam waktu malam. Diberikan agen siklopegik (seperti
homatropin 5% tid, skopolamin 0,25% tid) disertai obat antiglaukoma oral bila timbul
peningkatan tekanan intraocular. Bila tidak berhasil diatasi, maka dapat dilakukan keratoplasti.
Hindari penggunaan steroid topikal.5,9

31
Gambar 14. Berbagai tampilan keratitis jamur8

3.7.5.4. Keratitis mikrosporidial

Mikrosporidia (filum Mikrospora) adalah parasit bersel tunggal intraseluler obligat,


sebelumnya dianggap protozoa tapi sekarang diklasifikasikan sebagai jamur. Mereka jarang
menyebabkan penyakit pada individu imunokompeten sampai munculnya AIDS. Infeksi umum
yang paling sering adalah enteritis sedangkan manifestasi okular yang paling umum adalah
keratokonjungtivitis.8

Gambaran klinis

Tanda

Keratitis epitel pungtata difus kronis yang bilateral

32
Keratitis stroma progresif lambat unilateral, sangat jarang mengenai pasien
imunokompeten.

Sklerokeratitis dan endoftalmitis jarang terjadi.

Biopsi menunjukkan spora yang khas dan parasit intraseluler.

PCR dari kerokan mungkin memiliki sensitivitas yang relatif rendah.8

Tatalaksana

Terapi medis penyakit epitel adalah dengan fumagillin topikal. Terapi antiretroviral
(HAART) untuk yang terkait AIDS juga dapat membantu kesembuhan. Penyakit stroma
diobati dengan kombinasi fumagillin topikal dan albendazole oral 400 mg sekali sehari
selama 2 minggu, diulang 2 minggu kemudian dengan program kedua. Pasien harus
dimonitor untuk toksisitas hati. Pengobatan fumagillin jangka panjang mungkin diperlukan
dan sulit untuk membasmi parasit pada pasien immunocompromised.8
Keratoplasti dapat diindikasikan meskipun kambuhnya penyakit dapat terjadi di tepi graft;
krioterapi pada jaringan residual dapat mengurangi risiko ini.8

Gambar 14. Keratitis mikrosporidial, A.Keratitis epitel pungtata difus; B.Infiltral pada stroma 8

33
3.7.6. Iridosiklitis

Iridosiklitis (uveitis anterior) merupakan istilah untuk peradangan pada iris yang
mengenai bilik mata depan dan vitreus anterior.4

Iridosiklitis pada pasien yang positif HIV cenderung ringan dan sering dikaitkan dengan
retinitis akibat CMV, HSV, atau VZV. Ketika iridosiklitis berat, biasanya terkait dengan
toksoplasmosis okular, tuberkulosis, sifilis, atau retinitis bakteri atau jamur (jarang). Penyebab
lain dari iridosiklitis pada pasien HIV-positif termasuk obat-obatan (misalnya, rifabutin,
sidofovir).5

Etiologi iridosiklitis pada pasien HIV-positif termasuk gejala sisa dari retinitis,
retinokoroiditis, dan toksisitas obat. Iridosiklitis dapat bermanifestasi sebagai bagian dari uveitis
autoimun dan endogen (misalnya, sindrom Reiter).5

Gambaran klinis

Pasien HIV yang mengeluh silau/fotofobia dan mata merah mungkin memiliki
iridosiklitis. Keluhan ini memerlukan pemeriksaan mata menyeluruh untuk menyingkirkan
infeksi segmen anterior atau posterior. Ini mungkin saja terkait infeksi retina atau koroid dengan
beberapa organisme oportunistik, seperti cytomegalovirus, virus herpes simples, virus varicella
zoster, spesies Candida, spesies Cryptococcus, Toxoplasma gondii, Treponema pallidum dan
spesies Mycobacterium.6

Dalam diagnosis banding iridosiklitis akut pada pasien dengan AIDS, infeksi sifilis atau
toksoplasmosis harus selalu dipertimbangkan. Host yang immunocompromised mungkin
memiliki infeksi T. gondii bilateral dan memiliki beberapa fokus yang menular. Organisme
encysted T. gondii pernah ditemukan pada specimen biopsi iris dari pasien AIDS yang
mengalami iridosiklitis.6

PCR dari aqueous humor atau vitreous pasien tersebut dapat digunakan untuk
mengidentifikasi organisme. Sampel vitreous memiliki sensitivitas yang lebih tinggi.6

34
Beberapa obat, seperti rifabutin dan sidofovir, juga telah dikaitkan dengan iridosiklitis.
Rifabutin juga terkait dengan hipotoni okular, sedangkan sidofovir dapat menyebabkan
manifestasi seperti endoftalmitis.6

Iridosiklitis juga dapat dikaitkan dengan sindrom Reiter`s, yang didefinisikan oleh triad
klasik artritis, uretritis, dan konjungtivitis. Sindrom ini tampaknya lebih sering pada pasien
dengan infeksi HIV.6

Gambar 15. Iridosiklitis1

Tatalaksana

Kortikosteroid topikal sering diberikan tetapi dengan hati hati dan antimicrobial
spektrum luas yang tepat jika dicurigai adanya infeksi. Jika diduga adanya toksisitas pengobatan,
dosis harus diturunkan atau obat penyebab dapat dihentikan.5

3.7.7. Retinopati HIV

Mikrovaskulopati retina HIV terjadi sekali dari 50-70% dari pasien yang terinfeksi HIV.
Namun, ada kemungkinan bahwa peningkatan penggunaan terapi antiretroviral (HAART) telah
menurunkan prevalensi mikrovaskulopati retina pada pasien ini.5

35
Oklusi arteriol di mikrovaskulopati retina HIV menyebabkan gangguan aliran axoplasmik
dan akumulasi debris axoplasmik, yang bermanifestasi sebagai cotton-wool spots. Penyebab
mikrovaskulopati retina pada pasien yang terinfeksi HIV adalah sama dengan perubahan pada
vaskular konjungtiva.5

Etiologi spesifik dari perubahan mikrovaskuler belum dijelaskan sepenuhnya. Namun,


peningkatan viskositas plasma, deposisi kompleks imun, dan efek sitopatik langsung virus pada
endotel pembuluh darah retina diyakini terlibat.5

Gambaran klinis

Mikrovaskulopati retina HIV sering asimptomatik dan transien, tetapi dapat berkontribusi
pada atrofi nervus optikus yang terlihat pada banyak pasien. Temuan yang sering terlihat
mencakup:

Cotton-wool spots
Perdarahan intrarerina
Roth spots (perdarahan dengan pusat warna putih)
Mikroaneurisma retina5

Diagnosis

Anamnesis dan pemeriksaan oftalmologi lengkap dengan pemeriksaan funduskopi


dilatasi harus dilakukan untuk mendiagnosa retinopati HIV. Kehilangan lapisan serat saraf retina
yang signifikan terjadi pada pasien HIV tanpa retinitis CMV tetapi dengan hitung CD4+ rendah.
Tomografi koherensi optik (optical coherence tomography / OCT) generasi ketiga mungkin
berguna dalam menegakkan diagnosis pada hilangnya fungsi penglihatan terkait HIV subklinis
tahap awal.5

36
Gambar 16. Cotton Wool Spots1

3.7.8. Retinokoroiditis terkait HIV

Virus merupakan penyebab paling sering pada retinitis dan atau koroiditis yang menular.
Virus adalah parasit intraseluler obligat yang dapat merusak retina dan atau koroid, baik invasi
langsung atau dengan kemampuan mereka dalam mengubah sistem kekebalan tubuh host.5

Cytomegalovirus (CMV) menjadi penyebab paling sering retinitis necrotizing pada


pasien yang positif HIV. Virus varicella-zoster (VZV) dan, yang lebih jarang, HSV dapat
menyebabkan nekrosis retina akut (acute retinal necrosis / ARN). Retinitis necrotizing ini
mungkin unilateral atau bilateral. Bentuk lain dari retinitis necrotizing yaitu, nekrosis retina luar
progresif (progressive outer retinal necrosis / PORN), bisa terjadi pada penyakit HIV lanjut.
Sampai saat ini, VZV adalah satu-satunya organisme yang berhubungan dengan PORN.5

Bakteri penyebab retinitis yang paling umum pada pasien yang HIV positif termasuk
Treponema pallidum (sifilis) dan Mycobacterium tuberculosis. Jamur penyebab retinitis dan atau
koroiditis termasuk Pseudallescheria boydii, Cryptococcus neoformans, dan Histoplasma
capsulatum, serta spesies Candida, Sporothrix, dan Aspergillus. Penyebab golongan parasit yaitu
Toxoplasma gondii dan Pneumocystis jiroveci.5

37
3.7.8.1. Retinitis Cytomegalovirus (CMV)

CMV adalah penyebab infeksi intraokular paling umum pada pasien dengan AIDS.
Penyakit ini, yang dapat mengakibatkan kebutaan atau kematian, merupakan reaktivasi infeksi
CMV laten.5

Infeksi primer oleh CMV biasanya tanpa gejala dan terutama ditularkan saat perinatal. Di
masa kecil, cara penularan utama adalah dengan kontak dekat, sementara pada masa remaja dan
dewasa, sebagian besar ditularkan melalui hubungan seksual atau transfusi darah. Prevalensi
seropositif CMV adalah sekitar 50% pada orang dewasa dan 95-100% pada homoseksual dan
pasien AIDS.5

Reaktivasi infeksi CMV laten sering terlihat pada immunocompromise, seperti pada
pasien yang mendapat terapi imunosupresif jangka panjang. Sebelum munculnya terapi
antiretroviral (HAART), CMV merupakan infeksi oportunistik yang paling sering pada pasien
AIDS dengan jumlah CD4+ di bawah 50/L. Di era HAART, kejadian retinitis CMV telah
menurun, dan angka harapan hidup setelah diagnosis meningkat menjadi lebih dari 1 tahun.5

Retinitis CMV awalnya sebagai lesi tunggal dalam kebanyakan kasus. Infeksi menyebar
secara sentrifugal dari fokus tersebut; lesi baru relatif jarang, meskipun viremia persisten.
Penyebaran infeksi terbukti tanpa henti pada keadaan imunodefisiensi, dengan kecepatan batas
lesi menuju fovea rata-rata 24 m/hari.5

Epidemiologi, Patogenesis dan Histopatologi


CMV adalah herpesvirus DNA untai ganda. Bukti serologis dari infeksi dahulu dapat
ditemukan pada 60-90% serum orang dewasa normal. Transmisi terjadi lewat cairan tubuh, darah
atau organ transplant yang terinfeksi. Infeksi transplasenta dapat terjadi, namun sebagian besar
ditularkan melalui kontak cairan tubuh. Seropositif meningkat seiring dengan bertambahnya usia
dan lebih tinggi pada pasien dengan status sosioekonomis rendah. Umumnya, infeksi CMV
didapat pada individu imunokompeten menyebabkan penyakit demam mirip mononucleosis yang
dapat sembuh sendiri. Banyak kasus asimptomatis. Akan tetapi, virus tetap laten dandapat
menaglami reaktivasi jika dan pada saat status kekebalan selular terganggu seperti pada pasien
yang sedang menjalani transplantasi organ atau pada pasien dengan AIDS. Penyakit CMV

38
ekstraokular pada pasien imunodefisiensi dapat berupa pneumonitis, hepatitis, colitis dan
ensefalitis.
Retinitis CMV adalah penanda adanya defisiensi imun berat dan oleh karena itu termasuk
infeksi yang dijadikan penanda keadaan imun pada AIDS. Umumnya, retinitis CMV timbul pada
pasien AIDS dengan hitung CD4+ <50 sel/L. Akan tetapi, kehilangan selektif pada klon CD4+
anti-CMV dapat terjadi dan menyebabkan gambaran klinis penyakit walaupun terdapat hitung
CD4+ yang secara signifikan cukup tinggi. Hal ini dapat terjadi dengan atau tanpa penggunaan
HAART sebelumnya.
Pemeriksaan histopatologi pada retina dengan retinitis CMV menunjukkan adanya
nekrosis pada semua lapisan retina (full-thickness). Dapat ditemukan sel yang membesar dengan
dua badan inklusi khas CMV, yakni inklusi sitoplasmik basofilik dan inklusi intranuklear
eosinofilik.

Gambaran klinis

Tergantung dari lokasi anantomi dan faktor penyulitnya, retinitis CMV dapat asimtomatis
atau memberikan gejala penglihatan yang bermacam-macam. Lesi yang lebih posterior yang
melibatkan makula atau saraf optik atau lesi yang disertai dengan vitritis dapat mengakibatkan
penurunan tajam penglihatan secara perlahan dan mengakibatkan floaters, fotopobia, atau
gangguan lapang penglihatan. Ablasi retina regmatogentosa sekunder dapat terjadi dan
mengakibatkan penurunan tajam penglihatan dan lapang penglihatan mendadak.
Diagnosis dari retinitis CMV dapat dibuat secara klinis pada sebagian besar pasien dan
didukung dengan respon terhadap terapi anti-CMV. Akan tetapi, diagnosis bandingnya luas dan
lesi atipikal atau lesi yang tidak merespon terhadap terapi standar mungkin memerlukan
diagnosis jaringan.
Pemeriksaan klinis umumnya menunjukkan retinitis yang nekrosis, yang pada stadium
awal mungkin hanya sekecil cotton-wool spot. Hal ini dapat terdapat pada darah retina mana saja
dan dapat terdapat lebih dari satu fokus aktif. Reaksi vitreus dan bilik mata depan umumnya
minimal, tapi vitritis dapat terjadi jika retinitis CMV diderita oleh pasien yang mempunyai
hitung CD4+ yang tinggi atau jika area retinitisnya luas. Penyakit ini berkembang sepanjang
pembuluh darah retina, menyebabkan daerah retina memutih, yang sering disertai dengan
perdarahan intraretina dan eksudat keras (hard exudate). Lesi ini berkembang dengan pola

39
brushfire, diikuti oleh daerah batas pinggir yang aktif. Laju perkembangan umumnya lambat,
berlawanan dengan retinitis infeksi lainnya seperti nekrosis retina luar progresif, nekrosis retina
akut, atau retinokoroiditis toksoplasma. Tepi lesi umumnya maju sekitar 250-350 m per
minggu. Papil saraf optik dapat terkena langsung memberikan gambaran perdarahan papilitis dan
retinitis di sekitranya. Penentuan perkembangan dan progresivitas mungkin sulit dan sebaiknya
didasarkan pada perbandingan sistematis dari gambaran retina lama dan baru. Dengan ini,
perubahan yang kecil dapat dideteksi dengan cara yang sensitif. Retinitis CMV pada pasien
imunodefisiensi berat tidak dapat sembuh sendiri melainkan terus berkembang kecuali diterapi
atau terjadi pemulihan sistem imunitas. Ketika peradangan retina berhenti akan meninggalkan
gambaran atrofi retina, terkadang disertai dengan pigmentasi.

Gambar 17. Perubahan retina pada infeksi HIV Retinitis CMV7

Dapat juga terjadi varian dari retinitis CMV tanpa pemutihan retina atau perdarahan,
yang disebut dengan morfologi granular. Tipe ini dapat memberikan kesulitan dalamdiagnosis.
Varian morfologi lainnya adalah angiitis frosted branch, di mana terdapat penyelubungan
pembuluh darah difus. Ini bukan morfologi spesifik dan juga dapat ditemukan pada
toksoplasmosis dan infeksi retina lainnya.
Daerah keterlibatan retina telah dibagi menjadi 3 zona konsentris: zona 1 adalah kutub
posterior, didefinisikan sebagai daerah sekitar 3000 m disekitar pusat fovea atau 1500 m
sekitar papil nervus optikus. Zona 2 memanjang dari tepi zona 1 ke ampula vena vorteks dan
zona 3 adalah retina perifer dari zona 2.

40
Penyakit pada zona 1 mengancam makula, berkas papilomakular, atau saraf optik dan
oleh karena itu dapat segera menyebabkan gangguan penglihatan. Kedekatan lesi dengan kutub
posterior adalah penentu utama dari jenis dan perlunya intervensi segera. Lesi perifer dan miopia
tinggi mempunyai resiko tinggi untuk ablasi retina regmatogenosa yang menurut satu penelitian
dapat terjadi pada 38% pasien dalam jangka waktu 1 tahun.

Gambar 18. Retinitis Cytomegalovirus8

Retinitis CMV dalam era HAART


Setelah pengenalan HAART dalam manajemen AIDS, pemulihan imun sekarang menjadi
fenomena umum yang terus meningkat. HAART adalah kombinasi dari 2 kategori obat: 2 atau
lebih inhibitor transkriptase balik (reverse transcriptase) seperti zidovudine (analog nukleosida)

41
atau nevirapine (inhibitor transkriptase balik nonnukleosida) bersama-sama dengan satu atau
lebih inhibitor protease virus, seperti indinavir atau ritonavir. HAART sering mengakibatkan
pemulihan hitung CD4+ dan penurunana kadar RNA virus (RNA viral load) serum HIV. Ini
disertai dengan perbaikan fungsi kekebalan. Insidens retinitis CMV baru telah menurun lebih
dari 50% sejak pengenalan HAART. Retinitis CMV telah menjadi penyakit yang dapat
berpotensi sembuh sendiri (self-limiting) setelah HAART yang berhasil. Walalupun pemulihan
sistem imun mengakibatkan kembalinya kemampuan utnuk mengendalikan retinitis CMV dan
berbagai infeksi oportunistik lainnya, inflamasi berat baru yang timbul dapat menjadi
permasalahan baru. Hal ini sering disebut dengan immune reconstitution inflammation syndrome
(IRIS). Mata dengan lesi retina yang diam (tidak bergejala) yang sebelumnya telah sembuh
dengan terapi anti-CMV sekarang dapat menjadi uveitis. Sindrom ini, immune recovery uveitis
(IRU), termasuk vitritis, membran epiretina dan bermacam-macam uveitis anterior. Umumnya
dianggap menggambarkan respon imun lanjut terhadap antigen virus di retina dan vitreus dari
pada infeksi akut. Ini dapat menjadi sumber utama morbiditas viisual pada pasien AIDS dengan
riwayat CMVR.

Diagnosis

Anamnesis dan pemeriksaan oftalmologik lengkap dengan pemeriksaan funduskopi


dilatasi harus dilakukan untuk mendiagnosa retinitis CMV. Akan tetapi, dalam beberapa kasus
diagnosis harus ditegakkan dengan tes laboratorium. Bukti serologis dari riwayat infeksi oleh
CMV (IgG) umum terdapat pada pasien AIDS sehingga hanya memiliki nilai diagnosis yang
terbatas. Kultur virus darah atau urin dapat mendukung diagnosis dan telah ditunjukkan positif
dalam 45% dan 71% kasus retinitis CMV baru untuk darah dan urin. Akan tetapi nilai prediktif
dari tes tidak langsung ini terlalu rendah untuk digunakan sebagai penentu keputusan terapi. Pada
kasus atipikal yang sulit dimana diagnosis mikroba segera diperlukan, tes PCR dari ambilan
cairan vitreus atau akueus dapat sangat berarti. PCR vitreus telah ditunjukkan 95% sensitive dan
sangat spesifik pada kasus retinitis CMV yang tidak diobati. Demikian juga, biopsy korioretina
dapat diambil dan diperiksa secara histopatologi pada kasus-kasus yang sulit.

42
Diagnosis banding
Diagnosis banding dari retinitis nekrosis pada pasien AIDS termausk infeksi lain,
neoplasma, dan vaskulitis retina autoimun. Pendekatan untuk pasien dengan retinitis nekrosis
yang tidak diketahui penyebabnya memerlukan pengetahuan mengenai beberapa prinsip dasar:
1). Retinitis CMV dapat merupakan satu-satunya gejala yang tampak dari infeksi HIV. Pasien
dapat tidak sadar bahwa dirinya HIV positif. Oleh karena itu, lesi atipikal dapat
disalahartikan sebagai vaskulitis retina autoimun noninfeksi kecuali dokter mempunyai
kecurigaan yang tinggi mengenai adanya penyakit ini.
2). Pada pasien AIDS, morfologi lesi infeksi fundus mungkin dapat menjerumuskan. Retinitis
virus dari virus herpes lain seperti virus herpes simpleks dan virus varisela-zoster dapat
memberikan gambaran yang sama dengan retinitis CMV, walaupun berkembang lebih cepat.
Retinitis / koroiditis bakteri dapat terjadi pada sifilis atau infeksi mikobakterium. Retinitis /
retinokoroiditis toksoplasma umumnya disertai dengan vitritis dan inflamasi segmen anterior.
Infeksi jamur seperti Aspergillus juga harus dipikirkan. Terakhir, pasien AIDS mempunyai
resiko untuk mengalami limfoma sistemik atau limfoma sistem saraf pusat yang dapat
memberikan gambaran retinitis nekrosis dengan perdarahan yang mirip dengan retinitis
CMV.
3). Lebih dari satu infeksi oportunistik dapat sama-sama terjadi pada segmen posterior pada mata
yang sama pada pasien AIDS imonosupresi yang berat.

Walaupun berbagai petunjuk klinis telah disebutkan sebelumnya, diagnosis pada kasus
atipik resisten terhadap terapi sebaiknya didasarkan jika mungkin pada PCR vitreus atau biopsi
korioretinal.

Tatalaksana
Terapi optimal untuk retinitis CMV merupakan subyek penelitian klinis ekstensif.
Berbagai tes klinis telah menghasilkan berbagai rekomendasi terapi berdasarkan bukti-bukti. Ini
berhubungan dnegan jenis obat, kombinasi obat, regimen terapi, rute administrasi dan sistem
pengiriman obat. Akan tetapi karena pengenalan HAART ke dalam manajemen rutin pasien
AIDS diakhir tahun 1990, beberapa rekomendasi terapi saat ini sedang dimodifikasi kembali.
Pada era pra-HAART, pada saat diagnosis retinitis CMV pasien AIDS sedang dalam keadaan

43
imunosupresif berat. Penyakit ini praterminal, dengan kematian terjadi dalam hitungan bulan.
Oleh karena itu, direkomendasikan terapi anti-CMV seumur hidup parenteral melalui kateter
intravena permanent. Bahkan, relaps dari penyakit terjadi pada 85% pasien yang diobati dengan
gansiklovir sistemik atau foscarnet 120 hari setelah inisiasi terapi. Penyembuhan imun yang luar
biasa setelah HAART pada sebagian pasien AIDS mengubah arah terapi ini.

Obat Anti-CMV dan rute pemberiannya


Obat antivirus utama yang digunakan pada pengobatan CMVR adalah gansiklovir,
foskarnet dan cidofovir. Ketiganya adalah inhibor polimerase DNA virostatik.
1). Ganciclovir (DHPG / GCV) adalah analog nukleosida yang tersedia untuk infuse intravena,
terapi oral, dan sebagai implant intraviteral. Bersifat virostatik terhadap CMV. Resistensi
terhadap GCV jarang ditemuakn apda isolat CMV dari darah atau urin dari pasien yang
baru terdiagnosa. Oleh karena itu, sebagian besar pasien dengan CMVR merespon baik
terhadap terapi obat ini. GCV diberikan dalam bentuk infus intravena dua kali sehari
selama masa terapi awal / induksi 2-3 minggu (5 mg/kg berat badan 2 kali sehari),
lalusehari sekali untuk dosis pemeliharaan 5mg/kgbb/hari. Efek samping utama adalah
toksisitas terhadap sumsum tulang terutama neutropenia. GCV juga dapat diberikan secara
injeksi intravitreal dengan dosis 200-2000 g dalam volume 0,05-0,1 mL sekali hingga dua
kali seminggu. GCV oral tersedia tapi karena bioavaibilatsnya rendah harus diambil dalam
dosis tinggi (3000-4500 mg sehari). Kegunaannya sebagai profilaksis CMV tetap
kontroversial. Oral Ganciclovir European and Australian Cooperative Study Group dan
Syntex Cooperative Oral Ganciclovir Study Group telah membandingkan efikasi dari dosis
pemeliharaan oral GCV 500mg enam kali sehari dengan dosis pemeliharaan GCV
intravena. Hasilnya menunjukkan efikasi lebih tinggi pada pemberian secara intravena,
walaupun perbedaan dalam waktu untuk perkembangan dari retinitis tetap tidak berubah
signifikan secara statistik. Sejak tahun 1996 implan intravitreal GCV lepas lambat telah
tersedia secara luas untuk pengobatan retinitis CMV. Alat ini dimasukkan melalui insisi
pars plana dan melepaskan obat dengan laju 1 g per jam. Ini sangat efektif dan
menghasilkan konsentrasi intravitreal 4 kali lebih besar dari pada yang dicapai melalui
pemberian intravena. Pembandingan secara acak / random menunjukkan median periode
bebas penyakit pada pasien dengan implan adalah 221 hari dibanding dengan 71 hari pada

44
pasien dengn pemberian intravena. Implan memberikan kadar GCV vitreus efektif selama
6-12 bulan. Akan tetapi walalupun sangat efektif secara lokal, in itidak menyediakan
proteksi terhadap infeksi CMV untuk mata yang lain atau organ tuuh lain. Kekurangan ini
dapat ditanggulangi dengan penggunaan bersamaan dengan GCV oral, 3-4,5 g sehari. Pada
pasien yang tidak menerima HAART, kombinasi ini efektif mengurangi insidens penyakit
CMV baru juga mengurangi resiko dari sarkoma Kaposi. Komplikasi yang dihubungan
dengan penggunaan implan adalah endoftalmitis infeksi, ablasi retina, katarak, perdarahan
vitreus, dan penurunan tajam penglihatan postoperasi sementara.
2). Foscarnet (natrium fosfonoformat) adalah analog pirofosfat ayng seperti gansiklovir harus
diberikan seara intravena dengan periode induksi 2 minggu lalu sekali sehari untuk dosis
pemeliharaan. Dosis induksi bervariasi dari 60 mg/kgbb 3 kali sehari hingga 90 mg/kgbb 2
kali sehari dan dosis pemeliharaan 90-120 mg/kgbb/hari. Dosis 120mg/kgbb/hari
ditemukan lebih efektif untuk mengurangi perkembangan retinitis dan untuk
memperpanjang harapan hidup daripada 90 mg/kgbb/hari ketika digunakan untuk
mengobati retinitis yang belum pernah diterapi. Efek samping utama foscarnet adalah
nefrotoksisitas dan hidrasi intravena direkomendasikan untuk mengurangi resiko ini.
Seperti gansiklovir, foskarnet dapat disuntikkan secara intravitreal dengan dosis 1,2-2,4 mg
dalam 0,05-0,1 mL sekali atau dua kali seminggu.
Terapi gansiklovir dan foskarnet telah dibandingkan dalam pengobatan retinitis CMV yang
belum pernah diobati sebelumnya untuk menilai efek mereka pada tajam penglihatan akhir
dan tingkat harapan hidup pasien. Kombinasi terapi dengan kedua agen ini dinilai pada
kasus relaps atau persisten. Walaupun mortalitas pada grup foscarnet lebih rendah dari grup
gansiklovir, foskarnet dihubungakan dengan efek samping ayng lebih besar dan lebih sulit
untuk ditoleransi daripada gansiklovir. Kedua obat mempunyai efikasi yang sama. Terapi
kombinasi merupaka regimen terefektif untuk mengontrol retinitis persisten atau berulang.
Akan tetapi jadwal pemberian dosis dari terapi kombinasi ini sangat tidak nyaman bagi
pasien.
3). Cidofovir (HPMPC) adalah analog nukleosida. Diberikan secara intravena dengan dosis 5
mg/kgbb sekali seminggu dan sekali setiap 2 minggu untuk induksi dan pemeliharaan. Oleh
karena itu, tidak memerlukan kateter intravena permanent. Penggunaannya terbatas pada
tingginya resiko nefrotoksisitas sebagai mana kecenderungannya untuk mengakibatkan

45
uveitis yang berpotensi fatal dan hipotonia pada 40% pasien. Resiko untuk uveitis berat dan
hipotonia kronik sekitar 3% pada injeksi intravitreal dari cidofovir. Untuk meminimalisasi
resiko nefrotoksisitas, probenesid oral dan hidrasi intravena yang cukup diberikan
bersamaan dengan pemberian obat. Juga fungsi ginjal harus dimonitor secara teliti selama
terapi. Efikasi cidofovir ekuivalen dengan implan intravitreal gansiklovir plus gansiklovir
oral, sebagaimana ditunjukkan oleh Ganciclovir Cidofovir Cytomegalovirus Retinitis Trial.
4). Valganciclovir (VGCV) adalah prodrug ester valin dari gansiklovir. Diabsorbsi dengan
cepat dan dihidrolisis menjadi gansiklovir. Bioavaibilitasnya sekitar 10 kali lebih tinggi
dari gansiklovir oral. Dosis sekali sehari 900 mg menghasilkan kadar serum yang sama
dengan pemberian gansiklovir intravena 5 mg/kgbb. Efek samping obat ini sama dengan
gansiklovir terutama neutropenia.
5). Fomivirsen adalah inhibitor antisense dari CMV, yang diberikan secara bulanan melalui
injeksi intravitreal. Walaupun telah disetujui penggunaannya dalam retinitis CMV, namun
saat ini hanya ada sedikit informasi mengenai efikasi relatifnya dalam kepustakaan
oftalmologi.

Strategi terapi yang disarankan dalam Era HAART


Pilihan terapi pada pasien dengan AIDS tergantung pada apakah perbaikan imun
diharapkan atau tidak. Pada pasien yang belum pernah diberi HAART terdapat kemungkinan
tinggi bahawa akan ada respon yang baik terhadap HAART. Pada kasus seperti ini, terapi
sistemik umumnya tepat karena sistem imun dapat membaik dalam hitungan bulan, kecuali ada
indikasi untuk bedah intraocular. Jika terdapat penyakit zona 1 yang berat, implant gansiklovir
adalah pilihan utama karena efikasinya yang sangat baik. Injeksi intravitreal dari gansiklovir atau
foscarnet dapat digunakan bersama-sama dengan terapi sistemik. Implant sebaiknya digunakan
pada pasien dengan kontraindikasi terhadap terpai sistemik atau pada pasien yang sulit untuk
dilakukan akses terhadap sistem vena. Baik implant yang disuplementasi dengan gansiklovir oral
atau terapi sistemik parenteral adalah pilihan yang tepat pada pasien dimana penyembuhan imun
tidak diharapkan karena adanya resiko IRIS yang tinggi.
Pada kasus relaps selama masa pengobatan dengan gansiklovir atau foscarnet, terapi
dapat diganti atau dikombinasikan dengan obat lain. Walaupun sangat tidak nyaman bagi pasien,

46
kombinasi gansiklovir dan foscarnet telah ditunjukkan lebih efektif daripada pemberian secara
terpisah.

Pemeliharaan terapi setelah perbaikan imun


Perubahan pola penyakit yang dihubungkan dengan perbaikan imun telah menimbulkan
pertanyaan mengenai terpai baru. Pasien yang sebelumnya memerlukan terapi seumur hidup
sekarang menunjukkan resistensi terhadap retinitis CMV. Oleh karena itu, perlunya terapi
seumur hidup kini dipertanyakan. Reaktivasi dari retinitis CMV jarang terjadi pada pasien yang
merespon terhadap HAART dengan terapi pemeliharaan anti-CMV dan cenderung untuk terjadi
pada 100 hari pertama setelah pemberian HAART. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
terapi kronik anti-CMV dapat dihentikan setelah terjadi perbaikan imun setelah beberapa bulan.
Rekomendasi terapi pemeliharaan saat ini untuk retinitis CMV tidak bergejala yang menerima
HAART menyarankan penghentian terapi apabila memenuhi 2 syarat berikut:
1). Pasien merespon terhadap HAART yang ditandai dengan peningkatan CD4+ lebih dari 50
sel/L dan lebih tinggi dari 100-150 sel/L.
2). Respon ini bertahan setidaknya selama 3-6 bulan, oleh karena ini kecil kemungkinan terjadi
reaktivasi dini.
Pertanyaan mengenai apakah terapi anti-CMV memainkan peranan dalam mempengaruhi
insiden atau perjalanan IRU tetap belum terjawab. IRU ditangani dengan kortikosteroid topical
dan atau injeksi sub-Tenon.

3.7.8.2. Nekrosis retina akut (Acute Retinal Necrosis / ARN)

ARN adalah retinitis nekrotik dengan vaskulitis retina oklusif fulminan yang dapat
mempersulit infeksi VZV, HSV, atau, jarang, CMV. Pasien HIV-positif dengan ARN cenderung
memiliki hitung sel CD4+ lebih dari 60/mL dan biasanya memiliki riwayat yang terkait
dermatitis VZV atau HSV.5

Mekanisme patofisiologis yang mendasari untuk ARN terletak pada virulensi virus ini
dan reaktivasinya, terutama di host yang immunocompromised. Tingkat keparahan ARN
tergantung pada derajat immunocompromise pasien.5

47
Insiden retinitis terkait VZV setelah herpes zoster oftalmikus pada pasien yang HIV
positif adalah 4-17%; frekuensi retinitis terkait dengan infeksi HSV atau CMV jauh lebih rendah.
ARN telah dikaitkan dengan HSV-1 ataupun HSV-2, dengan perjalanan penyakit dan keparahan
infeksi yang mirip seperti yang terlihat pada ARN diinduksi VZV. Predileksi terjadinya ARN
pada laki-laki dibandingkan perempuan adalah 2:1.5

Gambaran klinis

Pasien datang dengan uveitis anterior disertai keratitis presipitat halus dan vaskulitis
retina oklusif berat. Seringkali terdapat lebih dari satu focus retinitis, yang menimbulkan daerah
daerah nekrosis berbatas tegas, yang meluas dalam bentuk melingkar dan menuju arah
posterior dari retina midperifer. Virus varicella zoster dan virus herpes simpleks 1 dan 2 terlibat
dalam sebagian besar kasus. Cytomegalovirus lebih jarang berperan. Sampel sampel PCR
bermanfaat untuk memastikan diagnosis serta mengidentifikasi virus mana yang berperan.4

Tatalaksana
Terapi awalnya adalah asiklovir intravena. Foscarnet atau cidofovir intravena mungkin
efektif untuk infeksi infeksi yang resisten terhadap asiklovir. Dapat juga digunakan ganciclovir
intravitreus atau valganciclovir oral. Pemberian asiklovir oral selama 3 bulan menurunkan
kemungkinan keterlibatan mata kedua. Penyakit ini mungkin berasal dari reaktivasi virus
dorman, yang antigennya ditemukan di seluruh lapisan retina, epitel pigmen dan koroid.
Mungkin terdapat predisposisi imunologik terhadap penyakit ini. 4

3.7.8.3. Nekrosis progresif pada retina bagian luar (Progressive outer retinal necrosis /
PORN)

PORN merupakan retinitis nekrotik yang berprogresif dengan cepat, telah dilaporkan
pada pasien AIDS stadium lanjut. Hal ini terkait dengan riwayat infeksi VZV pada pasien AIDS.
Insiden PORN jauh lebih rendah dibandingkan dengan ARN.5

Meskipun mekanisme patofisiologi yang tepat untuk PORN belum dijelaskan


sepenuhnya, kesepakatan umum bahwa immunocompromise berat, bersama dengan infeksi

48
sebelumnya (setidaknya virus herpes zoster), diperlukan. PORN juga telah dijelaskan pada
pasien dengan immunocompromise berat akibat kemoterapi.5

Epidemiologi dan Patogenesis


Walaupun PORN lebih jarang ditemui dari retinitis CMV, PORN menyebabkan
kerusakan retina yang lebih cepat dan mempunyai prognosis yang buruk. Penelitian mikroskopi
elektron dari biopsi spesimen retina dan PCR menunjukkan virus herpes zoster sebagai agen
penyebab dari nekrosis retina.

Manifestasi Okular
Pada pasien dengan AIDS, PORN berupa lesi retina dalam luar dengan pola
sirkumferensial (melingkar) pada retina perifer. Lesi ini cenderung untuk menjalar cepat dan
berkembang menjadi nekrosis seluruh lapisan retina dalam hitungan hari, dan terus berkembang
kea rah posterior dengan disertai peradangan yang minimal. Ciri unik dari keadaan ini adalah
ketidakterlibatan retina paravaskular. Dalam hitungan minggu, tajam penglihatan dapat
memburuk dari 6/6 menjadi tanpa persepsi cahaya. Seringkali penyakit bermula pada satu mata
dan mata sebelahnya terkena setelah beberapa minggu atau bulan. Pada varian PORN, retinitis
dimulai dari kutub posterior dengan sedikit atau tanpa bukti klinis dari vaskulitis.

Diagnosis
Diagnosis dari PORN dibuat secara klinis pada pasien dengan infeksi HIV. Riwayat
infeksi herpes zoster pada kulit atau tempat lain sangat membantu dalam diagnosis.
Perkembangan cepat dan ketidakterlibatan dari pembuluh darah retina dan retina di sekitarnya
adalah ciri khas PORN. Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia, hibridisasi in situ dan
PCR yang mengunakan primer virus varisela-zoster dapat menunjukkan adanya proses virus
herpes zoster.

49
Gambar 19. Nekrosis progresif pada retina luar8

Diagnosis Banding
PORN harus dibedakan dari retinitis CMV perifer dan toksoplasmosis okular. Ciri
pembeda pada PORN antara lain perkembangan yang cepat dan luas, keterlibatan
sirkumferensial dari retina luar diikuti nekrosis seluruh bagian retina dan ketidakterlibatan awal
dari retina paravaskular. Pada retinitis CMV semua lapisan retina terkena secara granular pada
perifer. Pembuluh darah retina terkena dan bahkan sering mengalami vaskulitis segmen.
Perkembangan umumnya bergerak ke arah posterior secara radial bukan sirkumferensial seperti
PORN. Toksoplasmosis cenderung mengakibatkan vitritis dan reaksi nekrosis yang signifikan
pada retina. Pembuluh darah terkena dan perkembangan umumnya tidak mengambil pola
sirkumferensial.
.
Asosiasi Sistemik
Beberapa individu terinfeksi HIV yang mengalami PORN umumnya mengalami infeksi
herpes zoster sebelum perkembangannya. Terkadang, perkembangan bersamaan zoster kutaneus

50
dan PORN dapat terjadi. Umumnya, hitung limfosit CD4+ rendah (hitung limfosit CD4+ perifer
lebih rendah dari 50 sel/L). Pasien dapat mengalami manifestasi lain dari infeksi HIV lanjut.

Patologi
Secara histopatologi, kasus lanjut dari PORN menunjukkan nekrosis total dari retina
dengan nekrosis baik retina dalam dan luar. Akan tetapi, ketidakterlibatan venula retina juga
terjadi pada kasus tersebut. Epitel pigmen retina dapat terlibat. Inklusi viral dapat ditemukan
pada sel retina. Secara imunohistokimia atau hibridisasi in situ yang menggunakan probe virus
varisela zoster dapat menunjukkan imunostaining positif atau hibridisasi dari sel ayng terinfeksi.

Terapi
Tidak ada terpai yang berhasil secara universal. Terapi dengan satu atau lebih agen
antiviral (misalnya gansiklovir dan foscarnet, gansiklovir dan asiklovir, foskarnet atau asiklovir
atau ketiganya bersamaan) dapat meningkatkan respon dan tajam penglihatan akhir. Sorivudine,
sebuah agen antiviral oral, dapat efektif. Injeksi intravitreal dari gansiklovir dan foskarnet telah
dicoba dengan keberhasilan terbatas.

Prognosis
PORN cenderung berkembang sangat cepat dan sering berakibat pada ablasi retina dalam
hitungan hari atau minggu. Perkembangan umumnya mengarah pada kutub posterior pada kasus
dengan retinitis perifer. Ablasi retina tampaknya disebabkan proses regmatogenosa.

3.7.8.4. Uveitis Tuberkulosis

Peningkatan populasi terinfeksi HIV telah memberikan kontribusi terhadap bangkitnya


reaktivasi laten basil tuberkel pada individu yang terinfeksi sebelumnya. Tuberkulosis
merupakan penyebab signifikan uveitis granulomatosa pada pasien yang positif HIV.5

Reaktivasi basil tuberkel akibat dari immunocompromise telah ditunjukkan pada hampir
90% dari kasus baru tuberkulosis okular. Tuberkulum kaseosa berisi organisme inaktif sampai
terjadi reaktivasi. Peradangan pada TBC biasanya bermanifestasi sebagai daerah nekrosis yang
dikelilingi oleh sel mononuklear dan sel raksasa.5

51
Tuberkolosis dapat menyebabkan berbagai jenis uveitis, tetapi memerlukan perhatian
khusus bila terdapat keratic precipitate granulomatosa atau granuloma koroid atau granuloma
iris. Granuloma-granuloma, atau tuberkel, tersebut mengandung sel epitelial dan sel raksasa.
Nekrosis perkejuan (kaseosa) yang khas ditemukan pada pemeriksaan histopatologik. Walaupun
infeksinya dikatakan berasal dari suatu fokus primer di suatu tempat di dalam tubuh, uveitis
tuberkulosis jarang ditemukan pada pasien-pasien tuberkulosis paru aktif. Pemeriksaan harus
mencakup Roentgen dada dan uji kulit dengan PPD dan kontrol positif, misalnya parotitis dan
candida. Pengobatannya berupa pemberian tiga atau lebih obat antituberkulosis selama 6-9
bulan.4

3.7.8.5. Retinokoroiditis Toksoplasma

Toksoplasmosis adalah penyebab paling umum dari retinokoroiditis, sekitar 30-50% dari
semua kasus uveitis posterior. Manifestasi okular biasanya mengikuti penyakit sistemik.5

Infeksi T gondii dapat secara kongenital, namun banyak kasus yang didapat
kemudian. T gondii merupakan parasit usus pada kucing. Organisme ini biasanya membentuk
kista yang mengandung banyak organism. Kista mungkin ada dalam 1 dari 3 bentuk: (1) ookista,
di kotoran kucing; (2) takizoit, bentuk proliferatif; dan (3) bradizoites, bentuk encysted. Infeksi
pada manusia dapat terjadi baik secara inhalasi atau dengan mengkonsumsi daging yang dimasak
tidak benar atau susu yang tidak dipasteurisasi yang telah penuh dengan organisme.5

Secara umum, infeksi toksoplasma ditoleransi dengan baik pada sebagian besar
jaringan tubuh, kecuali mata. T gondii mungkin tetap dalam bentuk bradizoites dalam jaringan
parut korioretina yang tidak aktif sampai diaktifkan kembali akibat imunosupresi. Mekanisme
yang pasti dari reaktivasi belum dijelaskan sepenuhnya. Namun, itu merupakan transformasi
bradizoites menjadi takizoit yang memungkinkan untuk infeksi baru dari retina dan koroid,
menyebabkan retinokoroiditis berulang.5

Gambaran klinis
Toksoplasmosis okular yang dihubungkan dengan AIDS sering tampak dengan
tidak adanya parut korioretinal sebelumnya dan cenderung bilateral dan multifocal. Peradangan

52
vitreus adalah temuan klinis yang umum. Pada beberapa pasien gambaran klinis hapir sama
dengan toksoplasmosis okular yang ditemui pada pasien imunokompeten. Akan tetapi, beberapa
pasien HIV memiliki retinitis yang mirip dengan infeksi CMV, akan tetapi perdarahan retina
tidak ditemukan pada toksoplasmosis. Gambaran funduskopik tipikal headlight in a fog (lampu
dalam kabut) juga dapat ditemukan. Secara mengejutkan ada reaksi inflamasi yang cukup
signifikan yang muncuk secara normal walaupun ada imunosupresi. Hampir 25% pasien yang
mengalami toksoplasmosis okular mempunyai infeksi intrakranial. Bahkan, toksoplasmosis
adalah sebab terumum, infeksi intrakranial nonviral pada pasien AIDS. Oleh karena itu semua
pasien AIDS dengan toksoplasmosis okular sebaiknya menjalani pemeriksaan radiologi
intrakranial (CT atau MRI-kontras).

Diagnosis
Biasanya, toksoplasmosis okular didiagnosis berdasarkan temuan klinis. Tes serologis
dan PCR dilakukan pada cairan intraokular dapat membantu dan terkadang biopsi retina atau
koroid mungkin diperlukan untuk menetapkan diagnosis jaringan. Toksoplasmosis okular harus
dapat dibedakan dari CMVR dan PORN. Ciri unik dari toksoplasmosis okular pada AIDS
termasuk peradangan termasuk peradangan yang signifikan walaupun imunodefisien, multifokal
dan terkadang lesi bilateral, dan jarang terdapat parut korioretinal sebelumnya. Tidak seperti
temuan pada PORN, tidak ada pola perkembangan sirkumferensial dengan retina paravaskular
yang tidak terkena. Tidak seperti temuan pada CMVR, ada peradangan yang cukup besar tanpa
perdarahan retina yang signifikan.
Histopatologi, beberapa kista Toxoplasma terdapat pada retinitis. Sebagai tambahan,
bentuk bebas dari organism dapat ditemukan. Retina hampir selalu nekrotik, dan koroid di
sekitarnya cenderung mempunyai infiltrate sel inflamasi kronik.

Tatalaksana
Terapi antitoksoplasma sama seperti dengan yang diberikan pada pasien
imunokompenmpeten sama efektifnya pada pasien AIDS. Terapi ini terdiri dari kombiansi
pirimetamin, sulfadiazine, dan asam folinat. Akan tetapi klindamisin, tetramisin, atovaquone dan
spiramisin juga efektif. Pasien dengan AIDS yang tidak boleh diberikan dosis tinggi
kortikosteroid sistemik. Imunosupresi tambahan pada pasien yang imunodefisien dapat

53
mengakibatkan infeksi oportunistik berat, yang dapat mengancam jiwa sebagaimana mengancam
penglihatan.

3.7.8.6. Korioretinitis Histoplasma

H capsulatum adalah gram positif, jamur dimorfik miselium, berukuran kecil dengan
diameter sekitar 3-5 mm. Organisme ini endemik di Amerika Serikat tengah dan timur,
khususnya Lembah Sungai Mississippi-Ohio, serta Amerika Tengah, Asia, Turki, Israel, dan
Australia. Organisme ini memasuki tubuh melalui saluran pernapasan jika terhirup spora.5

Histoplasmosis akut cenderung jinak dan sembuh sendiri, sebagian besar mengenai
sistem paru. Infeksi mungkin subklinis.5

Dalam disseminated histoplasmosis, organisme menyebar secara hematogen, membentuk


lesi di seluruh tubuh, terutama di sistem retikuloendotelial hati, limpa, kelenjar getah bening, dan
sumsum tulang. Faktor risiko yang berkontribusi terhadap penyebaran infeksi termasuk sistem
kekebalan tubuh yang terganggu, seperti pada AIDS atau keganasan; sistem kekebalan tubuh
yang belum matang pada bayi; atau imunosupresi iatrogenik. Disseminated histoplasmosis jarang
terjadi pada orang dewasa yang imunokompeten.5

Disseminated histoplasmosis memiliki angka kematian tinggi pada pasien AIDS.


Penyakit ini cenderung memiliki perjalanan penyakit yang fulminan, biasanya dipersulit oleh
DIC (disseminated intravascular coagulation).5

Gambaran klinis

Histoplasmosis okular adalah infeksi oportunistik yang tidak umum pada pasien AIDS.
Secara klinis ditandai dengan adanya lesi berwarna putih pada koroid dengan infiltrate subretina
dengan diameter satu perempat dari diameter disk, lesi dapat bilateral. Perdarahan intraretina
yang tersebar juga dapat ditemukan. Semua infiltrat retina mempunyai batas tegas.

54
Diagnosis
Diagnosis dari histoplasmosis okular sering dibuat berdasarkan adanya bukti infeksi yang
luas. Gambvaran klinis seringkali tidak spesifik tapi dapat berperan untuk menjadi permulaan
dari infeksi sistemik. Sebagai hasil dari penilaian secara sistemik ini, diagnosis banding lain
seperti toksoplasmosis okular, endoftalmitis fungal dan infeksi ooportunistik lainnya yang dapat
menyebabakan retinokoroiditis dapat disingkirkan. Dalam diagnosis banding histoplasmosis
okular beberapa penyakit seperti retinitis kandida, retinokoroiditis toksoplasma dan koroiditis
mikobakterial atau pnaumosistik harus dipikirkan.
Sebagian besar pasien dengan histoplasmosis okular juga mengalami sepsis dan oleh
karena itu temuan pada mata cenderung bersifat lanjut dalam proses perjalanan penyakit ini.
Akan tetapi jika temuan pada mata terjadi lebih dahulu, oftalmologis harus melakukan evaluasi
sistemik untuk infeksi oportunistik agar dapat menegakkan diagnosis ini.
Pada pemeriksaan patologi, pada retina terdapat lesi multipel berwarna putih yang dapat
berdiameter 1 mm banyak diantaranya dikelilingi halo berwarna lebih terang. Lesi ini terletak
superfisial dan dalam pada retina, seringkali perivaskular, dan mengandung organisme
histoplasma pada semua lapisan. Organisme bebas atau terfagosit dalam sel histiosit yang dapat
terdapat dikelilingi oleh limfosit.

Tatalaksana
Histoplasma okular umumnya diobati dengan antifungal intravena namun jika diperlukan
injeksi intravitreal tambahan dapat diberikan.

3.7.8.7. Korioretinitis kriptokokal

Cryptococcus neoformans merupakan tunas, pembentuk spora, jamur seperti ragi, dengan
diameter 5-10 m. Kapsul mucinous yang bening biasanya mengelilingi organisme ini. Kapsul
ini dapat dideteksi dengan mudah oleh tinta India dan mucicarmine. Distribusi organisme ini di
seluruh dunia. Infeksi dari C neoformans paling sering didapat dari merpati atau kotoran burung
lainnya. Organisme ini telah diisolasi dari tanah, buah, dan susu.5

Infeksi kriptokokus terjadi jika terhirup spora di udara. Organisme ini awalnya di paru-
paru, kemudian menyebar secara hematogen ke bagian tubuh yang lain. Organisme ini memiliki

55
predileksi di otak dan meningen. Infeksi intraokular dapat terjadi baik melalui ekstensi langsung
dari SSP atau melalui aliran darah dari infeksi kriptokokus lokal atau yang menyebar.5

Kebanyakan infeksi kriptokokus intraokular tampak terkait dengan septikemia


kriptokokus yang disertai infeksi berat meningeal. Hal ini sering terjadi pada individu
immunocompromised atau pasien pasien lemah (misalnya, pasien HIV-positif atau pasien
dengan limfoma ganas, penyakit Hodgkin, atau lupus eritematosus sistemik).5

56
BAB 4

KESIMPULAN

Sindrom defisiensi imun didapat (AIDS/acquired immune deficiency syndrome) adalah


penyakit menular yang disebabkan oleh penurunan bertahap sel limfosit T CD4+, dimana dapat
mengakibatkan infeksi oportunistik (IO) dan neoplasia. Ini merupakan infeksi yang menular
melalui darah dan secara seksual yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency
Virus).
Manifestasi human immunodeficiency virus (HIV) pada mata umum terjadi. Sekitar 70-
80% dari pasien yang terinfeksi HIV akan dirawat karena gangguan mata terkait HIV selama
perjalanan penyakitnya.
Infeksi HIV dapat terwujud dalam berbagai manifestasi baik di dalam ataupun di sekitar
mata. Manifestasi ini bervariasi sesuai dengan tingkat keparahan penyakit HIV, khususnya
jumlah hitung sel limfosit T CD4+. Manifestasi okular dari HIV bermacam-macam, dapat berupa
berbagai infeksi oportunistik pada retina, koroid dan adneksa mata serta neoplasma yang
melibatkan struktur kelopak mata, konjungtiva, dan berbagai struktur orbita dan okular lainnya.
Kelainan yang tersering pada infeksi oportunistik adalah infeksi virus pada retina,
khususnya cytomegalovirus. Keterlibatan nervus optikus menyebabkan edema diskus optikus
yang mencolok dan penurunan penglihatan yang ireversibel, mendadak, dan berat. Diagnosis
biasanya didasarkan pada gambaran klinis dan konfirmasi adanya replikasi virus aktif
sebagaimana ditunjukkan oleh PCR di darah, urin, cairan serebrospinalis, aqueous, atau vitreous.

Saat ini banyak dari infeksi tersebut dapat diobati dengan agen terapeutik. Penting untuk
mengenali infeksi ini pada tahap awal sehingga dapat diberikan terapi yang sesuai. Pemulihan
sistem imun yang parsial mengikuti inisiasi terapi anti retroviral (highly active antiretroviral
therapy / HAART) dapat mengubah presentasi klinis infeksi oportunistik mata dan dapat
mempengaruhi respon terhadap pengobatan.

57
DAFTAR PUSTAKA

1. Ocular manifestations of HIV Infection. Available from:


http://www.icoph.org/med/ppt/hiv.pdf.diakses (accessed 10 Oct 2015)
2. Feldman BH, Davis JL. Ocular Involvement in HIV/AIDS. 2014 Sep 30. Available from:
http://eyewiki.aao.org/Ocular_Involvement_in_HIV/AIDS (accessed 15 Oct 2015)
3. Ahmed I, Ai E, Chang E, et al. Ophtalmic Manifestations of HIV. 2006 Jan. Available
from: http://hivinsite.ucsf.edu/InSite?page=kb-04-01-12 (accessed 15 Oct 2015).
4. Eva PR, Whitcher JP. Vaughan & Asburys General Ophthalmology. 17th ed. Lange Mc
Graw Hill; 2007.
5. Copeland RA. Ocular Manifestations of HIV Infection. 2013 Oct 18. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1216172-overview#showall (accessed 10 October
2015)
6. Lima BR. Ophthalmic Manifestations of HIV Infection. Digital J Ophthalmol. 2004 Oct
29; 10 (3): 15 pages. Available from:
http://www.djo.harvard.edu/site.php?url=/physicians/oa/674 (accessed 10 October 2015)
7. Lang GK. Ophthalmology A Short Textbook. New York: Thieme; 2000.
8. Bowling B. Kanskis Clinical Ophthalmology. 8th ed. Elsevier Limited; 2016.
9. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010.
10. Longo, Fauci, Kasper, et al. Harrisons Principles of Internal Medicine. 18th ed.. USA:
McGraw-Hill; 2011
11. Subuh, H.M. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi
Antiretroviral Pada Orang Dewasa. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta:
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan; 2011.

58

Anda mungkin juga menyukai