Anda di halaman 1dari 9

http://akhmadandikfirdaus.blogspot.co.id/2012/10/agama-sebagai-sistem-budaya.

html

D. Pandangan Geertz tentang Agama Sebagai Sistem Budaya


Geertz adalah orang pertama yang mengungkapkan pandangan tentang agama sebagai
sebuah sistem budaya. Karya Geertz, "Religion as a Cultural System," dianggap sebagai tulisan
klasik tentang agama. Pandangan Geertz, saat itu ketika teori-teori tentang kajian agama
berhenti pada teori-teori besar Mark Weber dan Durkheim yang berkutat pada teori
fungsionalisme dan struktural fungsionalisme, memberikan arah baru bagi kajian agama.
Geertz mengungkapkan bahwa agama harus dilihat sebagai suatu sistem yang mampu
mengubah suatu tatanan masyarakat. Tidak seperti pendahulunya yang menganggap agama
sebagai bagian kecil dari sistem budaya, Geertz berkayinan bahwa agama adalah sistem budaya
sendiri yang dapat membentuk karakter masyarakat.[3] Walaupun Geertz mengakui bahwa ide
yang demikian tidaklah baru, tetapi agaknya sedikit orang yang berusaha untuk membahasnya
lebih mendalam. Oleh karena itu Geertz mendefinisikan agama sebagai: "A system of symbols
which acts to establish powerful, pervasive and long-lasting moods and motivations of a
general order of existence and clothing these conceptions with such an aura of factuality that
the moods and motivations seem uniquely realistic."
Dengan pandangan seperti ini, Geertz dapat dikategorikan ke dalam kelompok kajian
semiotic tradition warisan dari Ferdinand de Saussure yang pertama mengungkapkan tentang
makna simbol dalam tradisi linguistik. Geertz mengartikan simbol sebagai suatu kendaraan
(vehicle) untuk menyampaikan suatu konsepsi tertentu. Jadi bagi Geertz norma atau nilai
keagamaan harusnya diinterpretasikan sebagai sebuah simbol yang menyimpan konsepsi
tertentu. Simbol keagamaan tersebut mempunyai dua corak yang berbeda; pada satu sisi ia
merupakan modes for reality dan di sisi yang lainnya ia merupakan modes of reality. Yang
pertama menunjukkan suatu existensi agama sebagai suatu sistem yang dapat membentuk
masyarakat ke dalam cosmic order tertentu, sementara itu sisi modes of reality merupakan
pengakuan Geertz akan sisi agama yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan perilaku
manusia.
Geertz menerapkan pandangan-pandangannya untuk meneliti tentang agama dalam
satu masyarakat. Karya Geertz yang tertuang dalam The Religion of Java maupun Islam
Observed merupakan dua buku yang bercerita bagaimana agama dikaji dalam masyarakat.
Buku The Religion of Java memperlihatkan hubungan agama dengan ekonomi dan politik
suatu daerah. Juga bagaimana agama menjadi ideologi kelompok yang kemudian menimbulkan
konflik maupun integrasi dalam suatu masyarakat. Sementara itu Islam Observed ingin melihat
perwujudan agama dalam masyarakat yang berbeda untuk memperlihatkan kemampuan agama
dalam mewujudkan masyarakat maupun sebagai perwujudan dari interaksi dengan budaya
lokal.

http://liferomance-aryo.blogspot.co.id/2013/04/review-antropologi-agama-agama-sebagai.html

A. Interpretasi Budaya dan Agama


Jika Antropologi interpretatif adalah masalah mencari sistem makna dan nilai yang
menjadi tempat tinggal kehidupan manusia, maka dapat dimengerti bahwa di dalam setiap
kebudayaan, agama akan menarik perhatian antropologi secara serius. Geertz percaya sekali
akan hal ini, dapat dilihat dari buku etnografi hasil karyanya yaitu The Religion of
Java(1960). Buku ini menjelajahi secara rinci keterjalinan yang kompleks antara tradisi
keagamaan Muslim, Hindu, dan animistik penduduk asli (nama jawanya abangan). Melalui
simbol, ide, ritual, dan adat kebiasaan, Geertz menemukan adanya pengaruh agama dalam
setiap pojok dan celah kehidupan Jawa.
Berikut jawaban Geertz yang mendasar dari pernyataannya Agama adalah sebuah sistem
budaya :
Sebuah sistem simbol yang berperan membangun suasana hati dan motivasi yang kuat,
pervasif, dan tahan lama di dalam diri manusia dengan cara merumuskan konsepsi tatanan
kehidupan yang umum dan membungkus konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura faktualitas
semacam itu sehingga susasana hati dan motivasi tampak realistik secara unik.
Yang dimaksud Geertz dengan sistem simbol pada kalimat diatas adalah segala sesuatu
yang membawa dan menyampaikan suatu ide kepada orang: suatu objek seperti roda dua
orang Budha, suatu peristiwa sepertipenyaliban, dan lain sebagainya. Hal penting tentang ide
dan simbol tidak semata-mata merupakan masalah pribadi. Dari simbol-simbol tersebut
membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, pervasif dan tahan lama. Dengan begitu
dapat diringkas bahwa agama membuat orang merasakan sesuatu dan juga ingin melakukan
sesuatu. Agama juga dijadikan motivasi memiliki tujuan dan dia dibimbing oleh serangkaian
nilai yang abadi yang dianggap baik dan benar
Suasana hati itu muncul karena agama mengisi dirinya dengan sesuatu yang sangat
penting. Agama merumuskan "konsep tentang tatanan kehidupan yang umum". Hal ini
berlaku ketika orang-orang menghadapi hal-hal yang secara intelektual, benar-benar tidak
dapat mereka pahami; ketika secara moral, mereka menemui kejahatan yang tak dapat
mereka terima; atau ketika, secara emosi, mereka melihat apa yang terjadi, tetapi hal itu
berbenturan dengan apa yang seharusnya. Agama menandai suatu wilayah kehidupan yang
memiliki status khusus. Yang memisahkan agama dari sistem budaya yang lain adalah bahwa
simbolnya mengklaim menempatkan kita bersentuhan dengan apa yang "betul-betul riil"
dengan hal-hal yang berarti bagi orang lebih dari yang lain.
Dengan demikian jelas Geertz di dalam kesimpulannya, setiap studi yang berguna
tentang agama akan selalu menuntut dua tahap operasi. Orang, pertma-tama harus
menganalisis serangkaian makna yang terdapat di dalam simbol-simbol agama itu sendiri,
suatu tugas yang di dalamnya sangat sulit. Kemudian datang tahap ke dua yang bahkan lebih
sulit namun sama-sama penting: karena simbol sangat berhubungan dengan struktur
masyarakat dan psikologi individu para anggotanya, hubungan-hubungan itu harus ditemukan
di sepanjang sirkuit sinyal yang terus-menerus diberi, diterima, dan dikembalikan.

B. Menafsirkan Agama: Suatu Contoh Dari Bali


Jika ini adalah apa yang tampak dari pendekatan Geertz terhadap agama seperti pada segi
teoretisnya, apa bentuk yang diambil jika benar diterapkan pada kasus-kasus
individual? Dalam sebuah studi perbandingan yang menarik, Weber membuat perbedaan
antara dua tipe agama yang dapat ditemukan dalam sejarah dunia: "yang tradisional" dan
"yang dirasionalkan". Agama-agama tradisional, yang juga ia sebut dengan "magis" lebih
merupakan karakteristik orang-orang primitif, yang kehidupannya berada dalam politeisme.
Mereka melihat ketuhanan baru dalam setiap pohon atau batu dan mereka mengadakan ritual
baru pada hampir setiap perubahan kehidupan mereka. Mereka begitu terbenam bahkan
hampir tidak sadar bahwa mereka "memiliki" sebuah agama; itu adalah apa yang benar-benar
selalu mereka lakukan.
Pada sisi lain, agama-agama yang dirasionalkan adalah agama-agama besar di dunia
seperti Yudaisme, Konfusianisme, dan Hinduisme. Bukannya memiliki banyak roh, agama-
agama ini cenderung melihat ketuhanan dalam bentuk satu, dua atau sekedar prinsip spiritual
yang besar. Agama-agama yang dirasionalisasikan pada umumnya bersifat abstrak dan
logis. Agama-agama yang dirasionalkan dan agama tradisional juga berbeda dalam cara
mereka menghadapi problem besar kehidupan. Agama tradisional selalu menyelesaikan
melalui cara-cara khusus yang sangat partikular, sedangkan agama yang dirasionalkan selalu
mengemukakan persoalan semacam itu dalam skala kosmos. Agama-agama yang
dirasionalisasikan ini tampaknya muncul pada saat pergolakan sosial yang besar pada saat
ketika agama-agama tradisional di desa dan di ladang tidak lagi memenuhi kebutuhan para
penganutnya. Dengan mengakui nilai kerangka yang konseptual ini, Geertz menerapkannya
ke keadaan Bali pada zaman modern. Meskipun namanya Hindu, namun agama Bali
bukanlah mistisime para intelektual India tetapi politeisme dan mitologi setiap hari penduduk
desanya. Di dalam agama Hindu Bali hampir tidak ada teologi yang dirasionalisasi,
sebaliknya, ritual dan suatu perasaaan Ketuhanan yang dekat dapat ditemukan dimana-mana.

C. ISLAM OBSERVED
Contoh kita yang ke dua dari aksi pendekatan interpretif Geertz membawa kita pada
subjek yang lebih besar, perbandingan Geertz terhadap dua jenis Islam, yaitu pada negara
Indonesia dan Maroko. Geertz mengatakan bahwa di samping berkebudayaan muslim, kedua
kebudayaan ini pada masa modern telah melewati perubahan sosial yang besar. Pada saat
yang bersamaan, tempat yang pertama memiliki masyarakat tradisional yang terdiri atas
petani beras dan tempat yang kedua terdiri atas para penggembala, keduanya telah menjadi
koloni Negara-negara Barat(Belanda dan Perancis) dan baru-baru ini memperoleh
kemerdekaan (Indonesia pada tahun 1945 dan Maroko pada tahun 1956).

D. CORAK-CORAK ISLAM KLASIK


Maroko memiliki bentuk sebagai suatu bangsa muslim selama empat abad yang penting,
yang dari tahun 1050-1450, ketika masyarakat didominasi oleh orang-orang suku gurunpasir
yang agresif dan para saudagar kota yang berkemauan keras. Dua tokoh utama dalam
kebudayaan ini adalah prajurit atau pemimpin, dan mistikus, manusia suci muslim, yang
terkadang menyatu dalam bentuk ideal wali-prajurit. Sedangkan di Indonesia, Islam datang
belakangan, dan mengambil bentuk yang agak berbeda. Sebagai negeri berkebudayaan petani
yang lama makmur, yang ladang berasnya sama-sama membantu kehidupan petani, pangeran,
dan pedagang, Indonesia hanya perlu sedikit keberanian, yang merupakan kunci
kelangsungan hidup di Maroko. Kebaikan yang paling dihargai di atas yang lain adalah
kerajinan di ladang, sifat kepribadian yang didukung selama berabad-abad oleh ideal-ideal
agama Hindu-Budha, yang menekankan meditasi, kebatinan (indwadness), dan ketenangan
pribadi. Dengan demikian, Islam Indonesia mengembangkan cirri-ciri yang fleksibel, yakni
bersifat adaptif, menyerap, pragmatis, dan gradualistik, sangat berbeda dari kekakuan yang
tak kenal kompromi dan fundamentalisme yang agresif di Maroko.
Sikap agama yang karakteristik ini, keras di satu tempat, rileks ditempat lain disebut
corak-corak klasik Islam di setiap bangsa. Keduanya bersifat mistik, karena mengemukakan
kebenaran agama melalui kontak yang langsung dengan Tuhan, tetapi ada perbedaan yang
signifikan, yang dijelaskan oleh Geertz melalui tentang dua pemimpin agama yang
legendaries,yaitu Sunan Kalijaga di Indonesia dan Sidi Lahsen Lyusi di Maroko. Jadi, di
Indonesia dan Maroko, corak-corak Islam klasik adalah mistik,corak-corak itu mencoba
untuk membawa umat kehadirat tuhan secara langsung. Namun kisah-kisah tentang para wali
muslim menunjukkan betapa beda bentuk mistik dalam Islam. Mistisisme illuminasionis
dari Kalijaga sangat berlawanan dengan kesalehan murobitun yang agresif dari Lyusi.

E. REVOLUSI KAUM SKRIPTURALIS


Dalam kasus Indonesia, revolusi skripturalis ini dimulai pada tahun 1800an, saat penting
dari kekuasaan Belanda dan ketika sentimen nasional sangat kuat menentang kekuasaan
colonial. Dengan medapat inspirasi dari kesempatan berhaji di Mekah, orang-orang Indonesia
mulai menemukan Islam yang berbeda, yag lebih keras dan militan di Arabia, yang kemudian
segera diajarkan di dalam sekolah-sekolah yang baru didirikan. Menarik kata Geertz, di saat
hampir yang bersamaan, skripturalisme juga muncul di Maroko. Dkenal sebagai Salafi, atau
para leluhur yang saleh dan dipimpin oleh para nasionalis yang keras dan penuh nafsu, seperti
Allal Al-Fassi, gerakan yang baru ini pada tahun 1990 mulai membuka konflik dengan corak
Islam murobit yang lama atau dengan wali. Sebgaimana di Indonesia, kaum skripturalis baru
ini menentang Perancis dan corak muslim klasik yang lebih tua. Jadi, Islam skripturalis di
Indonesia dan Maroko member latar belakang pada perjuagan untuk kemerdekaan bangsa
yang terjadi di kedua negeri itu selama tahun-tahun pertengahan abad ke-20. Perjuangan ini
dapat diikuti dalam karir dua pemimpin nasional pada saat itu, Sultan Muhammad V di
Maroko dan Presiden Sukarno di Indonesia. Dalam analisis terakhir, Sukarno dan
Muhammad V sangat mengetahui kekuatan agama dalam masyarakat mereka, keduanya
berusaha mempergunakannya secara konstruktif untuk tujuan nasional. Penting, keduanya
memutuskan bahwa dibandingkan corak skripturalis,Islam corak klasik menawarkan harapan
kesuksesan yang lebih besar.
F. KESIMPULAN: PANDANGAN DUNIA DAN ETOS
Agama terdiri atas pandangan dunia dan suatu etos yang bergabung untuk memperkuat
satu sam lain. Serangkaian kepercayaan yang dimiliki tentang apa yang riil, dewa apa yang
ada, dan lain-lain, yang membimbing mereka ketika mereka hidup dan dengan demikian
menegaskan kepercayaan.
Di maroko, kepercayaan Islam member dukungan pada etos murobitisme, yang
memproyeksikan gaya hidup dengan memuji semangat moral, dan etos ini pada gilirannya
menguatkan kepercayaan muslim. Di Indonesia, keseimbangan yang sama tampak telah
tetap,pandangan dari dunia dari campuran Islam dan Hindu mendukung mistisisme yang
lembut dan meditative dalam tokoh-tokoh seperti Kalijaga, sedangkan ideal tingkah laku dan
emosi yang ia berikan mendukung pandangan dunia. Mengenai pandangan dunia, akar
persoalannya adalah perbenturan ide-ide. Di kedua negeri itu, sikap-sikap secular masuk
bersamaan dengan menyebarnya sains dalam industry, universitas, dan klas-klas professional,
pada titik ekstrem sebaliknya, ideologisasi agama yang telah ditentukan oleh tangan-tangan
kaum skripturalis, yang mengisolasi Al-Quran dari semua pengetahuan lain. Orang-orang
muslim Maroko memandang perjumpaan dengan Tuhan sebagai suatu pengalaman yang
sangat intens, namun bagi mereka, sebagian besar kehidupan biasa di pasar, tempat rekreasi
atau politik, tampak benar-benar tidak religious. Sebaliknya di Indonesia, sedikit pengalaman
keagamaan dianggap intens, penuh kekuatan, seperti yang dihargai di Maroko, tetapi
tingkatan religiusnya jauh lebih luas. Meskipun ada perbedaan, kedua negeri itu sedang
berlangsung erosi etos yang signifikan, melalui cara-cara kecil dan tersembunyi.

http://ummu-karimas3.blogspot.co.id/2008/02/clifford-geertz-agama-sebagai-sistem.html
E. Penerapan Metode Interpretatif Dalam Studi Tentang Agama
Pendekatan-pendekatan teoritis sebagaimana diuraikan di atas, antara lain diterapkan Geertz ketika
meneliti agama di tengah masyarakat bali modern, dan studi komparasinya terhadap masyarakat
Muslim di Indonesia (Jawa) dan Maroko, dalam tulisan-tulisan Geertz berikut ini:
1. Internal Conversion in Contemporary Bali (1964) dalam Interpretation of Cultures (1973)
Ketika menggambarkan agama masyarakat Bali, Geertz menggunakan framework Weber mengenai dua
tipe agama yang ada di dunia, yakni agama tradisional dan agama rasional. [16]
Melihat dengan perspektif Weber ini, Geertz menyatakan bahwa agama Bali bukanlah mistisisme India
walaupun bernama Hindu, dan dapat dikategorikan sebagai agama tradisional. Hindu Bali, bermuatan
nilai-nilai politeisme dan mitologi masyarakat setempat. Hampir tdak ada nilai-nilai rasional dalam
bangunan teologi mereka, walaupun kita dapat dengan mudah menemukan ritual-ritual dan perasaan
dekat dengan Tuhan di dalamnya walaupun beribu-ribu kuil terdapat di pulau ini dan bahkan penduduk
bisa memeliki selusin kuil. Kebanyakan masyarakatnya tidak memiliki ide tentang Tuhan yang akan
mereka sembah, tapi mereka tetap meyakini upacara-upacara tertentu yang mesti di laksanakan
sebelum melakukan pekerjaan. Lebih jauh lagi, upacara-upacara ini selalu berkait dengan struktur
sosial. [17]
Sebagai inti agama yang magis, pemujaan kematian dan mantra-mantra dalam agama Bali ini, terlihat
dalam pertempuran antara Rangda dan Barong, yang merasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat
Bali selama berabad-abad. Sekalipun mereka telah berinteraksi dengan masyarakat Islam dan Kristen,
namun mereka tidak pernah berpindah kepada salah satu agama tersebut. Jadi agama tradisional
mereka bisa bertahan selama berabad-abad tanpa di sentu oleh pengaruh-pengruh agama rasional.
Pada tahun 1964, perubahan-perubahan sosial yang sangat drastis terjadi di Bali, yang sebagian besar
disebabkan oleh angin kemerdekaan Indonesia. Pendidikan modern, kesadaran politik dan jaringan
komunikasi telah membuka kesempatan masyarakat Bali dengan dunia luar. Perkembangan desa
menjadi kota dan pertumbuhan penduduk semakin mendesak masyarakat tradisional. Itulah yang
terjadi pada masyarakat tradisional ketika ketegangan sosial membawa rasa kurang pas terhadap
dunia mereka selama ini dan berakhirnya zaman agama magis yang tampak benar-benar di alami oleh
masyarakat Bali modern.
Sebenarnya, jika dilihat lebih dekat lagi, masyarakat Bali terlihat berada dalam proses yang disebut
Weber sebagai konversi internal, transformasi kontinyu dari tata cara peribadatan tradisional menuju
sosok agama rasional. Geertz mengisahkan pengalamannya ketika masih berada di Bali, bahwa pada
suatu malam saat berlangsung satu upacara pemakaman, dia terlibat diskusi filosofis dengan penduduk
setempat tentang makna dan tujuan agama yang kelihatannya tidak di acuhkan oleh generasi muda Bali
saat itu. Dalam kebudayaan trdisional, hampir tidak di kenal diskusi-diskusi semacam ini yang sangat
berciri agama rasional. Ternyata hal ini membuktikan suatu perubahan mendasar telah terjadi di jalan-
jalan Bali.
Yang juga hampir-hampir tidak pernah terdengar dalam situasi tradisional, adalah suatu perkembangan
satra, doktrin, naskah keagamaan dan organisasi-organisasi kependetaan. Sekali lagi, tanda-tanda
perubahan ini sekarang telah masuk dalam kebudayaan Bali. Yang juga menarik diamati adalah bahwa
para bangsawan, pangeran, dan raja-rajakarena hak istimewa mereka sedikit terancam oleh
datangnya pemerintahan demokratisjuga menempatkan diri dalam perubahan ini, dengan harapan
dapat mempertahankan status sosial mereka, yaitu dengan cara memprakarsai agama masyarakat Bali
yang baru dan lebih definitif ini.
Walaupun Geertz mengakui bahwa konsepsi Weber tentang seluruh proses perubahan yang ditemukan
di balik pertumbuhan agama-agama rasional dunia, di temukan dalam masyarakat Bali modern. Namun
dari pengamatan yang dilakukan secara detil dan dari jarak dekat terhadap agama masyarakat Bali
modern tersebut, Geertz masih merasa ragu dapat ditarik menjadi konsep ataupun teori-teori umum.
2. Islam Observed (1960).
Geertz menyatakan dengan cukup ambisius bahwa tujuan buku ini adalah untuk mendapatkan
framework untuk keperluan analisis perbandingan agama, dan mengaplikasikannya kepada satu
kepercayaan, dalam hal ini islam, yang tumbuh di dua daerah yang berbeda, yakni Indonesia dan
Maroko. Dua negara yang mayoritas penduduknya Muslim, dan sama-sama mengalami perubahan sosial
yang drastis di era modern, pasca kolonialisme. Walaupun mata pencaharian pokok mayoritas
masyarakat kedua negara tersebut berbeda (Indonesia bercocok tanam sedangkan Maroko
menggembala), menurut Geertz tidak diragukan lagi, agama memiliki peran penting dalam proses
transformasi sosial yang terjadi di kedua negara ini.
Masyarakat Maroko ketika Islam masuk (+ 1050 M), didominasi oleh suku-suku agresif dari gurun-gurun
pasir dan pedagang-pedagang fanatik dari kota, dimana para ksatria (prajurit) dan para mistikus
(kadan-kadang merangkap keduanya) merupakan figur utama dalam kebudayaan ini. Di masa-masa
selanjutnya, figur ini semakin dipuja dan dianggap suci karena dianggap keturunan langsung Nabi
muhamad (syarif), serta dikenal sebagai marabouth (dari kata Arab murabith, yang berarti orang yang
diikatkan pada Tuhan). Mereka kemudian mencari pengikut-pengikut yang tersebar dalam sekte-sekte,
yang sangat setia kepada pemimpin suci mereka.
Islam di Maroko dapat dilihat dari kisah hidup yang melegenda, seorang tokoh yang bernama Sidi
Lahsen Lyusi, salah seorang generasi terakhir marabouth yang hidup sekitar tahun 1600-an. Dia adalah
seorang yang berakhlak sangat terpuji, berpengetahuan luas, dan seorang figur yang gagah berani,
yang mempunyai barakah (sejenis kharisma spiritual), yang telah dipertunjukkannya ketika melawan
Sultan. Kisah ini, menunjukan karakteristik kesadaran religius Islam Klasik yang tumbuh di dalam
masyarakat Maroko, yang cenderung keras, tidak kenal kompromi, fundamental, dan agresif, yang akan
sangat berbeda dengan di Indonesia.
Islam memasuki kepulauan Nusantara menjelang tahun 1300-an M, melalui kontak dagang dan
merupakan bentuk toleransi kebudayaan India, sehingga Islam dapat bercampur dengan kebudayaan
Hindu-Budha, dan animistik yang sudah ada di sana. Legenda Sunan kalijaga, menurut Geertz
mencerminkan Islam di Indonesia pada awal pertumbuhannya. Legenda ini, menggambarkan bahwa
Islam masuk dan bisa berbaur dengan agama-agama lama ( yang sebelumnya dianut Sunan kalijaga)
dan juga dapat menyesuaikan diri dengan apa yang disebut Geertz sebagai kebudayaan negara
teater[18]. Oleh sebab itu, Islam di Indonesia berkembang secara fleksibel,mampu beradaptasi,
menyerap nilai-nilai lokal, pragmatis dan gradual, sehingga perasaan dan motifasi yang tercermin dalam
masyarakatnya adalah kesadaran diri, ketenangan, penuh pertimbangan, kepekaan, asketisme, dan bisa
dikatakan hampir-hampir tidak punya obsesi. Namun baik Islam (klasik) di maroko maupun indonesia,
sama-sama bersifat mistik, yang membawa masyarakat kepada perasaan tentang kehadiran secara
langsung.
Kemudian, kedua negara tersebut sama-sama menghadapi dua tantangan yakni: penguasa kolonial dan
modernisasi. Sebagaimana yang berkembang di dunia Islam umumnya pada waktu itu, keterbelakangan
kaum muslim dibandingkan negara-negara Barat yang modern dan merupakan penguasa-penguasa
kolonial, menimbulkan reaksi dari golongan fundamentalis yang disebut geertz dengan skripturalis.
Gerakan skripturalis tersebut, ingin kembali ajaran Islam dalam bentuk aslinya (hanya berpegang pada
al-Quran dan Sunnah), sehingga marabouthisme di Maroko maupun Islam Klasik yang berkembang di
Indonesia (yang keduanya merupakan hasil adaptasi), mendapat tantangan dari gerakan ini.
Model Islam skripturalisini dengan cepat menyebar, dan dalam proses penyebarannya memberikan
kekuatan bagi pertumbuhan semangat nasionalisme dan perlawanan terhadap penguasa kolonial, serta
melatar belakangi gerakan perjuangan kemerdekaan negara masing-masing pertengahan abad 20 M.
Dengan demikian kekuatan agama bisa dikatakan menjadi kekuatan semangat nasional.
Namun ketika berbicara mengenai kekuatan agama, Geertz mengingatkan perlunya membedakan
kekuatan agama dengan ruang lingkup pengaruh agama tersebut. Dari hasil pengamatannya terhadap
Islam di Maroko dan Indonesia, geertz menemukan bahwa ruang lingkup atau wilayah religiusitas
masyarakat muslim Indonesia lebih luas daripada masyarakat Maroko, karena hampir tidak ada aspek
kehidupan yang tidak diwarnai oleh citra supernatural. Sedangkan di Maroko, yang merupakan segala-
galanya hanyalah pertemuan dengan Tuhan, sedangkan hal lainnya tidaklah bersifat religius.
Dari hasil penelitiannya dalam Islam Observed ini, Geertz menemukan bahwa walaupun sama-sama
Islam yang dikembangkan dalam bangunan teologis yang sama, terdapat perbedaan dalam citarasa,
karakter dan tekstur yang dimunculkan, oleh masyarakat Muslim di kedua negara tersebut.
F. Penutup
Demikianlah paparan mengenai pemikiran Clifford Geertz, dengan pendekatan interpretatifnya terhadap
antropologi, khususnya studi tentang agama yang menurutnya merupakan sistem kebudayaan. Studi
etnografisnya yang sangat detil dengan melakukan thick description terhadap agama masyarakat
Jawa, Bali, dan Maroko, telah menyebabkan teori-teori lama yang bersifat menggeneralisir untuk semua
agama mengadapi dilema. Bahkan Geertz membuktikan, bahkan satu agama yang sama pun, -jika
tumbuh dalam masyarakat yang berbeda-, sistem-sistem ide, sikap, dan perasaan yang dikembangkan
para penganutnya akan berbeda, karena penghayatan religiusitas yang berbeda pula.

G. Daftar Pustaka

Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures,New York: Basic Books, 1973.


Clifford Geertz, Local Knowlegde, London: Fontana Press, 1993.
Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Daniel L.Pals, Religion as Cultural System: Clifford Geertz, dalam Seven Theories of Religion , New
york: Oxford University press, 1996
http:// religious.myztek.com/holbrook/geertz.
Mats Alvensson dan Kaj Skoldberg, Reflexive Methodology, London: Sage publications inc, 2000.
Paul Ricoeur, The Model of The Text; Meaningful Action Considered as a Text, dalam Paul rainbow and
William M. Sullivan (ed.), Interpretive Social Science: A Reader, California: University of California Press,
1979.

https://joehudijana.wordpress.com/2012/09/23/agama-sebagai-sistem-budaya-teori-clifford-
geertz/
Pada awal essay ini, Geertz memfokuskan pada pendapatnya bahwa ada pendekatan yang bisa dilakukan
terhadap studi mengenai agama selain dari pendekatan-pendekatan yang diproposikan oleh Freud dengan teori
identitas seksual dan status kedewasaannya, Durkheim dengan teori kesakralan masyarakatnya, dan lain-lain.
Geertz mempromosikan pendekatan dimensi kebudayaan dari analisis agama. Sebuah pendekatan baru dalam
studi-studi antropologi, khususnya mengenai agama.

Apa yang dimaksud atau apa arti dari pendekatan dimensi kebudayaan dalam agama itu? Geertz mengartikannya
dalam bentuk sebuah definisi agama yang cukup kompleks, yaitu:

1. Sistem symbol-simbol yang bertindak untuk


2. menciptakan perasaan dan motivasi pada manusia dengan
3. memformulasikan konsepsi mengenai aturan umum dari eksistensi dan
4. memakaikan konsepsi-konsepsi ini dengan nuansa faktualitas sehingga
5. perasaan dan motivasi itu secara unik nampak realistik.
Pertama-tama ia menekankan pada penggunaan kata simbol dalam bagian definisi nomor 1. Simbol bisa berarti
banyak hal. Bisa berarti representasi dari asosiasi antar dua hal terkait, bisa juga berarti sesuatu yang
mengekspresikan hal-hal yang tidak dapat dijelaskan lewat verbal atau dijelaskan secara langsung. Geertz
melihat simbol sebagai dasar yang digunakan dalam apa yang disebut konsepsi. Konsepsi itu yang menjadi arti
dari simbol. Konsepsi itu merupakan ide, sikap, penilaian, formulasi dan abstraksi dari pikiran dan pengalaman
dituangkan dalam representasi konkrit (simbol).

Pola budaya (sistem-sistem simbol) memiliki sifat yaitu bahwa ia merupakan sumber informasi yang eksternal.
Ia berada di luar organisme dan dapat memberikan konsepsi yang bisa didefinisikan secara internal. Manusia
membutuhkan konsepsi-konsepsi yang masuk internal ini melalui simbol eksternal. Tanpanya, manusia
bagaikan berang-berang yang tidak mampu membuat dam.

Kadang, bentuk pola budaya dianggap sebagai sebuah model. Model sendiri memiliki dua arti yaitu dari dan
untuk. Dalam arti dari, berarti memanipulasi struktur simbol sesuai dengan konsepsi internal mengenai
simbol. Misalnya pengembangan ide mengenai ideologi politik tertentu dimanifestasikan dalam bentuk bendera.
Sementara dalam arti untuk, konsepsi internal dimanipulasi dalam hubungannya dengan simbol. Misalnya
bentuk bendera yang terletak di seragam prajurit membangun konsepsi kita bahwa ideologi politik tertentu
berkuasa atas militer.

Dalam bagian definisi nomor 2, dikatakan bahwa agama membentuk perasaan dan motivasi yang kuat dan
bertahan dalam manusia. Simbol-simbol agama mampu mengekspresikan iklim dunia dan membentuknya.
Simbol-simbol itu membentuknya dengan menginternalisasi disposisi-disposisi kepada penyembah yang
memberikan karakter terhadap aktivitas-aktivitasnya dan kualitas dari pengalamannya. Disposisi ini sendiri
sebenarnya merupakan pola dari aktivitas atau kejadian, bukan hanya sekedar satu kejadian atau aktivitas
tertentu. Disposisi-disposisi tersebut terbagi menjadi dua, yaitu perasaan dan motivasi.
Motivasi merupakan kecenderungan dimana terdapat kemampuan untuk melakukan tindakan tertentu atau
berperasaan (feeling) tertentu. Orang muslim termotivasi untuk tidak memakan daging babi, sementara orang
Hindu termotivasi untuk tidak memakan daging sapi. Perasaan akan dirasakan oleh penyembah saat misalnya,
ketika orang Hindu memakan daging sapi, terdapat perasaan muak dan perasan tidak menyenangkan. Atau
misalnya ketika umat kristiani pergi ke Bethlehem dan umat Islam pergi ke Mekkah akan timbul perasaan
tenteram. Perasaan ini dapat kemudian berganti-ganti menjadi perasaan lainnya. Motivasi memiliki arah,
sementara perasaan tidak. Motivasi bertahan sementara perasaan berlangsung begitu saja. Motivasi bermakna
karena memberikan tujuan, sementara perasaan bermakna karena kondisi yang menyebabkannya terjadi.
Pada bagian definisi nomor 3, ditekankan bahwa konsepsi mengenai tatanan eksistensi yang diformulasikan ini
diberikan oleh sistem simbol agama. Kekacauan akan terjadi apabila manusia tidak mampu memformulasikan
konsepsi mengenai struktur atau tatanan eksistensi itu. Sehingga, simbol-simbol selalu memberikan orientasi
atau petunjuk bagi manusia atas segala fenomena yang terjadi pada diri mereka maupun pada alam.

Ada tiga dimensi dimana kekacauan tersebut bisa terjadi, diantaranya:

Karena keterbatasan kapasitas analitis manusia


Karena keterbatasan kapasitas menahan penderitaan manusia
Karena keterbatasan kapasitas penilaian moral manusia
Manusia akan selalu mencari cari untuk memahami fenomena yang terjadi, dan mereka tidak akan
meninggalkannya tanpa jawaban. Mereka akan menemukan jawabannya itu tidak peduli seberapa terbatasnya
kapasitas analitis mereka. Tanpa jawaban itu, meskipun jawaban itu sendiri tidak konsisten dan cenderung tidak
akurat, maka kekacauan dalam diri manusia terjadi. Agama memberikan perannya disini sebagai pemberi
konsepsi mengenai fenomena-fenomena yang tidak dapat dipahami oleh manusia seutuhnya.

Manusia juga memiliki keterbatasan kapasitas dalam menahan penderitaan. Masalah-masalah kehidupan yang
dihadapi dapat membuat manusia menderita. Manusia tidak akan pernah mampu menghindari semua
penderitaan yang dialaminya. Dengan ketidakmampuan untuk menghindar dan terbatasnya kapasitas menahan
penderitaan itu, kekacauan dalam diri manusia bisa terjadi. Agama dalam hal ini memberikan tuntunan, rasa
aman, dan tempat berteduh dan berlindung dari penderitaan yang dialami manusia.

Selain kedua dimensi itu, manusia juga terbatas dalam kemampuannya untuk membuat penilaian moral.
Manusia tidak mengetahui secara sempurna apa yang baik dan apa yang buruk, selain itu manusia terus bergerak
kearah pemenuhan diri dan aktualisasi diri. Manusia juga dihadapkan pada rasa tidak aman akan segala sesuatu,
termasuk yang menyangkut dirinya seperti kematian dan kemiskinan. Hal ini secara langsung membuat manusia
terpaksa menilai apa yang baik dan apa yang buruk bagi dirinya. Namun dengan kemampuan yang terbatas itu
kekacauan dalam diri bisa terjadi. Oleh karenanya, agama memberikan patokan-patokan moral yang bisa diikuti
manusia agar konsepsi manusia akan apa yang baik dan buruk tidak mengarah pada kekacauan.
Bagian definisi nomor 4, dikatakan bahwa konsepsi itu diberikan atribut dengan nuansa yang faktual. Hal ini
dapat menunjukkan seberapa figure otoritas yang dipercaya dalam agama mampu membuat manusia patuh
karena mereka mengatribusikan konsepsi-konsepsi yang tertuang dalam simbol itu dengan fakta-fakta yang
meyakinkan. Disini, agama berbeda dengan sistem-sistem simbolis lain. Agama meyakinkan bahwa terdapat
sesuatu yang benar-benar nyata dimana hal itu dianggap lebih penting dari apapun.

Melalui ritual keagamaan yang didalamnya selalu terdapat etos dan pandangan dunia, Geertz menjelaskan
dinamika yang terjadi dalam motivasi dan perasaan manusia. Ia mengambil contoh mengenai kisah Rangda dan
Barong di Bali. Ritual yang begitu melibatkan banyak orang dan melibatkan perasaan yang mendalam. Hal ini
menunjukkan bahwa perasaan yang dihasilkan atas fakta-fakta yang ditampilkan dalam ritual itu begitu diyakini
oleh masyarakat Bali. Mereka termotivasi untuk terus melakukan ritual itu. Kecenderungan tradisi (etos) terlihat
disini sementara pandangan dunia terlihat dari representasi dari figure-figur dalam ritual itu. Lebih dari itu, nilai-
nilai dalam ritual itu dituangkan ke dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Kejadian-kejadian religius berbeda dengan kejadian-kejadian sehari-hari. Telah dikatakan sebelumnya bahwa
motivasi dan perasaan dalam ritual agama akan konsisten dengan pandangannya mengenai dunia. Makna tariab
Barong dan Rangda itu adalah keabadian pertentangan akan kebaikan dan kejahatan. Pandangan mengenai dunia
ini terkombinasi dengan etos membentuk motivasi yang pada akhirnya mengontrol kehidupan sehari-hari. Ia
kemudian memberikan karakteristik tertentu yang menjadi ciri khas tertentu.

Sebagai penyimpulan, Geertz menyatakan kembali bahwa pentingnya agama adalah untuk memberikan
konsepsi mengenai dunia, diri, dan hubungan antar keduanya. Baginya, agama juga harus dipelajari secara
antropologis melalui dua babak: 1. Analisa sistem pengartian yang ada dalam simbol dan 2. mengaitkannya
dengan proses struktur sosial dan psikologis. Geertz merasa bahwa studi-studi yang ada terlalu memfokuskan
pada tahap kedua, namun mengabaikan tahap pertama, padahal sistem simbol baru bisa dipahami secara struktur
sosial atau psikologis hanya dengan terlebih dahulu memahami apa yang ada dibalik simbol itu (arti dari
simbol).

Sumber:
Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures: Selected essays. New York: Basic Books.
Pals, D.L. (2011). Seven theories of religion: Tujuh teori agama paling komprehensif. Yogyakarta: IRCiSoD.

Anda mungkin juga menyukai