Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
html
http://liferomance-aryo.blogspot.co.id/2013/04/review-antropologi-agama-agama-sebagai.html
C. ISLAM OBSERVED
Contoh kita yang ke dua dari aksi pendekatan interpretif Geertz membawa kita pada
subjek yang lebih besar, perbandingan Geertz terhadap dua jenis Islam, yaitu pada negara
Indonesia dan Maroko. Geertz mengatakan bahwa di samping berkebudayaan muslim, kedua
kebudayaan ini pada masa modern telah melewati perubahan sosial yang besar. Pada saat
yang bersamaan, tempat yang pertama memiliki masyarakat tradisional yang terdiri atas
petani beras dan tempat yang kedua terdiri atas para penggembala, keduanya telah menjadi
koloni Negara-negara Barat(Belanda dan Perancis) dan baru-baru ini memperoleh
kemerdekaan (Indonesia pada tahun 1945 dan Maroko pada tahun 1956).
http://ummu-karimas3.blogspot.co.id/2008/02/clifford-geertz-agama-sebagai-sistem.html
E. Penerapan Metode Interpretatif Dalam Studi Tentang Agama
Pendekatan-pendekatan teoritis sebagaimana diuraikan di atas, antara lain diterapkan Geertz ketika
meneliti agama di tengah masyarakat bali modern, dan studi komparasinya terhadap masyarakat
Muslim di Indonesia (Jawa) dan Maroko, dalam tulisan-tulisan Geertz berikut ini:
1. Internal Conversion in Contemporary Bali (1964) dalam Interpretation of Cultures (1973)
Ketika menggambarkan agama masyarakat Bali, Geertz menggunakan framework Weber mengenai dua
tipe agama yang ada di dunia, yakni agama tradisional dan agama rasional. [16]
Melihat dengan perspektif Weber ini, Geertz menyatakan bahwa agama Bali bukanlah mistisisme India
walaupun bernama Hindu, dan dapat dikategorikan sebagai agama tradisional. Hindu Bali, bermuatan
nilai-nilai politeisme dan mitologi masyarakat setempat. Hampir tdak ada nilai-nilai rasional dalam
bangunan teologi mereka, walaupun kita dapat dengan mudah menemukan ritual-ritual dan perasaan
dekat dengan Tuhan di dalamnya walaupun beribu-ribu kuil terdapat di pulau ini dan bahkan penduduk
bisa memeliki selusin kuil. Kebanyakan masyarakatnya tidak memiliki ide tentang Tuhan yang akan
mereka sembah, tapi mereka tetap meyakini upacara-upacara tertentu yang mesti di laksanakan
sebelum melakukan pekerjaan. Lebih jauh lagi, upacara-upacara ini selalu berkait dengan struktur
sosial. [17]
Sebagai inti agama yang magis, pemujaan kematian dan mantra-mantra dalam agama Bali ini, terlihat
dalam pertempuran antara Rangda dan Barong, yang merasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat
Bali selama berabad-abad. Sekalipun mereka telah berinteraksi dengan masyarakat Islam dan Kristen,
namun mereka tidak pernah berpindah kepada salah satu agama tersebut. Jadi agama tradisional
mereka bisa bertahan selama berabad-abad tanpa di sentu oleh pengaruh-pengruh agama rasional.
Pada tahun 1964, perubahan-perubahan sosial yang sangat drastis terjadi di Bali, yang sebagian besar
disebabkan oleh angin kemerdekaan Indonesia. Pendidikan modern, kesadaran politik dan jaringan
komunikasi telah membuka kesempatan masyarakat Bali dengan dunia luar. Perkembangan desa
menjadi kota dan pertumbuhan penduduk semakin mendesak masyarakat tradisional. Itulah yang
terjadi pada masyarakat tradisional ketika ketegangan sosial membawa rasa kurang pas terhadap
dunia mereka selama ini dan berakhirnya zaman agama magis yang tampak benar-benar di alami oleh
masyarakat Bali modern.
Sebenarnya, jika dilihat lebih dekat lagi, masyarakat Bali terlihat berada dalam proses yang disebut
Weber sebagai konversi internal, transformasi kontinyu dari tata cara peribadatan tradisional menuju
sosok agama rasional. Geertz mengisahkan pengalamannya ketika masih berada di Bali, bahwa pada
suatu malam saat berlangsung satu upacara pemakaman, dia terlibat diskusi filosofis dengan penduduk
setempat tentang makna dan tujuan agama yang kelihatannya tidak di acuhkan oleh generasi muda Bali
saat itu. Dalam kebudayaan trdisional, hampir tidak di kenal diskusi-diskusi semacam ini yang sangat
berciri agama rasional. Ternyata hal ini membuktikan suatu perubahan mendasar telah terjadi di jalan-
jalan Bali.
Yang juga hampir-hampir tidak pernah terdengar dalam situasi tradisional, adalah suatu perkembangan
satra, doktrin, naskah keagamaan dan organisasi-organisasi kependetaan. Sekali lagi, tanda-tanda
perubahan ini sekarang telah masuk dalam kebudayaan Bali. Yang juga menarik diamati adalah bahwa
para bangsawan, pangeran, dan raja-rajakarena hak istimewa mereka sedikit terancam oleh
datangnya pemerintahan demokratisjuga menempatkan diri dalam perubahan ini, dengan harapan
dapat mempertahankan status sosial mereka, yaitu dengan cara memprakarsai agama masyarakat Bali
yang baru dan lebih definitif ini.
Walaupun Geertz mengakui bahwa konsepsi Weber tentang seluruh proses perubahan yang ditemukan
di balik pertumbuhan agama-agama rasional dunia, di temukan dalam masyarakat Bali modern. Namun
dari pengamatan yang dilakukan secara detil dan dari jarak dekat terhadap agama masyarakat Bali
modern tersebut, Geertz masih merasa ragu dapat ditarik menjadi konsep ataupun teori-teori umum.
2. Islam Observed (1960).
Geertz menyatakan dengan cukup ambisius bahwa tujuan buku ini adalah untuk mendapatkan
framework untuk keperluan analisis perbandingan agama, dan mengaplikasikannya kepada satu
kepercayaan, dalam hal ini islam, yang tumbuh di dua daerah yang berbeda, yakni Indonesia dan
Maroko. Dua negara yang mayoritas penduduknya Muslim, dan sama-sama mengalami perubahan sosial
yang drastis di era modern, pasca kolonialisme. Walaupun mata pencaharian pokok mayoritas
masyarakat kedua negara tersebut berbeda (Indonesia bercocok tanam sedangkan Maroko
menggembala), menurut Geertz tidak diragukan lagi, agama memiliki peran penting dalam proses
transformasi sosial yang terjadi di kedua negara ini.
Masyarakat Maroko ketika Islam masuk (+ 1050 M), didominasi oleh suku-suku agresif dari gurun-gurun
pasir dan pedagang-pedagang fanatik dari kota, dimana para ksatria (prajurit) dan para mistikus
(kadan-kadang merangkap keduanya) merupakan figur utama dalam kebudayaan ini. Di masa-masa
selanjutnya, figur ini semakin dipuja dan dianggap suci karena dianggap keturunan langsung Nabi
muhamad (syarif), serta dikenal sebagai marabouth (dari kata Arab murabith, yang berarti orang yang
diikatkan pada Tuhan). Mereka kemudian mencari pengikut-pengikut yang tersebar dalam sekte-sekte,
yang sangat setia kepada pemimpin suci mereka.
Islam di Maroko dapat dilihat dari kisah hidup yang melegenda, seorang tokoh yang bernama Sidi
Lahsen Lyusi, salah seorang generasi terakhir marabouth yang hidup sekitar tahun 1600-an. Dia adalah
seorang yang berakhlak sangat terpuji, berpengetahuan luas, dan seorang figur yang gagah berani,
yang mempunyai barakah (sejenis kharisma spiritual), yang telah dipertunjukkannya ketika melawan
Sultan. Kisah ini, menunjukan karakteristik kesadaran religius Islam Klasik yang tumbuh di dalam
masyarakat Maroko, yang cenderung keras, tidak kenal kompromi, fundamental, dan agresif, yang akan
sangat berbeda dengan di Indonesia.
Islam memasuki kepulauan Nusantara menjelang tahun 1300-an M, melalui kontak dagang dan
merupakan bentuk toleransi kebudayaan India, sehingga Islam dapat bercampur dengan kebudayaan
Hindu-Budha, dan animistik yang sudah ada di sana. Legenda Sunan kalijaga, menurut Geertz
mencerminkan Islam di Indonesia pada awal pertumbuhannya. Legenda ini, menggambarkan bahwa
Islam masuk dan bisa berbaur dengan agama-agama lama ( yang sebelumnya dianut Sunan kalijaga)
dan juga dapat menyesuaikan diri dengan apa yang disebut Geertz sebagai kebudayaan negara
teater[18]. Oleh sebab itu, Islam di Indonesia berkembang secara fleksibel,mampu beradaptasi,
menyerap nilai-nilai lokal, pragmatis dan gradual, sehingga perasaan dan motifasi yang tercermin dalam
masyarakatnya adalah kesadaran diri, ketenangan, penuh pertimbangan, kepekaan, asketisme, dan bisa
dikatakan hampir-hampir tidak punya obsesi. Namun baik Islam (klasik) di maroko maupun indonesia,
sama-sama bersifat mistik, yang membawa masyarakat kepada perasaan tentang kehadiran secara
langsung.
Kemudian, kedua negara tersebut sama-sama menghadapi dua tantangan yakni: penguasa kolonial dan
modernisasi. Sebagaimana yang berkembang di dunia Islam umumnya pada waktu itu, keterbelakangan
kaum muslim dibandingkan negara-negara Barat yang modern dan merupakan penguasa-penguasa
kolonial, menimbulkan reaksi dari golongan fundamentalis yang disebut geertz dengan skripturalis.
Gerakan skripturalis tersebut, ingin kembali ajaran Islam dalam bentuk aslinya (hanya berpegang pada
al-Quran dan Sunnah), sehingga marabouthisme di Maroko maupun Islam Klasik yang berkembang di
Indonesia (yang keduanya merupakan hasil adaptasi), mendapat tantangan dari gerakan ini.
Model Islam skripturalisini dengan cepat menyebar, dan dalam proses penyebarannya memberikan
kekuatan bagi pertumbuhan semangat nasionalisme dan perlawanan terhadap penguasa kolonial, serta
melatar belakangi gerakan perjuangan kemerdekaan negara masing-masing pertengahan abad 20 M.
Dengan demikian kekuatan agama bisa dikatakan menjadi kekuatan semangat nasional.
Namun ketika berbicara mengenai kekuatan agama, Geertz mengingatkan perlunya membedakan
kekuatan agama dengan ruang lingkup pengaruh agama tersebut. Dari hasil pengamatannya terhadap
Islam di Maroko dan Indonesia, geertz menemukan bahwa ruang lingkup atau wilayah religiusitas
masyarakat muslim Indonesia lebih luas daripada masyarakat Maroko, karena hampir tidak ada aspek
kehidupan yang tidak diwarnai oleh citra supernatural. Sedangkan di Maroko, yang merupakan segala-
galanya hanyalah pertemuan dengan Tuhan, sedangkan hal lainnya tidaklah bersifat religius.
Dari hasil penelitiannya dalam Islam Observed ini, Geertz menemukan bahwa walaupun sama-sama
Islam yang dikembangkan dalam bangunan teologis yang sama, terdapat perbedaan dalam citarasa,
karakter dan tekstur yang dimunculkan, oleh masyarakat Muslim di kedua negara tersebut.
F. Penutup
Demikianlah paparan mengenai pemikiran Clifford Geertz, dengan pendekatan interpretatifnya terhadap
antropologi, khususnya studi tentang agama yang menurutnya merupakan sistem kebudayaan. Studi
etnografisnya yang sangat detil dengan melakukan thick description terhadap agama masyarakat
Jawa, Bali, dan Maroko, telah menyebabkan teori-teori lama yang bersifat menggeneralisir untuk semua
agama mengadapi dilema. Bahkan Geertz membuktikan, bahkan satu agama yang sama pun, -jika
tumbuh dalam masyarakat yang berbeda-, sistem-sistem ide, sikap, dan perasaan yang dikembangkan
para penganutnya akan berbeda, karena penghayatan religiusitas yang berbeda pula.
G. Daftar Pustaka
https://joehudijana.wordpress.com/2012/09/23/agama-sebagai-sistem-budaya-teori-clifford-
geertz/
Pada awal essay ini, Geertz memfokuskan pada pendapatnya bahwa ada pendekatan yang bisa dilakukan
terhadap studi mengenai agama selain dari pendekatan-pendekatan yang diproposikan oleh Freud dengan teori
identitas seksual dan status kedewasaannya, Durkheim dengan teori kesakralan masyarakatnya, dan lain-lain.
Geertz mempromosikan pendekatan dimensi kebudayaan dari analisis agama. Sebuah pendekatan baru dalam
studi-studi antropologi, khususnya mengenai agama.
Apa yang dimaksud atau apa arti dari pendekatan dimensi kebudayaan dalam agama itu? Geertz mengartikannya
dalam bentuk sebuah definisi agama yang cukup kompleks, yaitu:
Pola budaya (sistem-sistem simbol) memiliki sifat yaitu bahwa ia merupakan sumber informasi yang eksternal.
Ia berada di luar organisme dan dapat memberikan konsepsi yang bisa didefinisikan secara internal. Manusia
membutuhkan konsepsi-konsepsi yang masuk internal ini melalui simbol eksternal. Tanpanya, manusia
bagaikan berang-berang yang tidak mampu membuat dam.
Kadang, bentuk pola budaya dianggap sebagai sebuah model. Model sendiri memiliki dua arti yaitu dari dan
untuk. Dalam arti dari, berarti memanipulasi struktur simbol sesuai dengan konsepsi internal mengenai
simbol. Misalnya pengembangan ide mengenai ideologi politik tertentu dimanifestasikan dalam bentuk bendera.
Sementara dalam arti untuk, konsepsi internal dimanipulasi dalam hubungannya dengan simbol. Misalnya
bentuk bendera yang terletak di seragam prajurit membangun konsepsi kita bahwa ideologi politik tertentu
berkuasa atas militer.
Dalam bagian definisi nomor 2, dikatakan bahwa agama membentuk perasaan dan motivasi yang kuat dan
bertahan dalam manusia. Simbol-simbol agama mampu mengekspresikan iklim dunia dan membentuknya.
Simbol-simbol itu membentuknya dengan menginternalisasi disposisi-disposisi kepada penyembah yang
memberikan karakter terhadap aktivitas-aktivitasnya dan kualitas dari pengalamannya. Disposisi ini sendiri
sebenarnya merupakan pola dari aktivitas atau kejadian, bukan hanya sekedar satu kejadian atau aktivitas
tertentu. Disposisi-disposisi tersebut terbagi menjadi dua, yaitu perasaan dan motivasi.
Motivasi merupakan kecenderungan dimana terdapat kemampuan untuk melakukan tindakan tertentu atau
berperasaan (feeling) tertentu. Orang muslim termotivasi untuk tidak memakan daging babi, sementara orang
Hindu termotivasi untuk tidak memakan daging sapi. Perasaan akan dirasakan oleh penyembah saat misalnya,
ketika orang Hindu memakan daging sapi, terdapat perasaan muak dan perasan tidak menyenangkan. Atau
misalnya ketika umat kristiani pergi ke Bethlehem dan umat Islam pergi ke Mekkah akan timbul perasaan
tenteram. Perasaan ini dapat kemudian berganti-ganti menjadi perasaan lainnya. Motivasi memiliki arah,
sementara perasaan tidak. Motivasi bertahan sementara perasaan berlangsung begitu saja. Motivasi bermakna
karena memberikan tujuan, sementara perasaan bermakna karena kondisi yang menyebabkannya terjadi.
Pada bagian definisi nomor 3, ditekankan bahwa konsepsi mengenai tatanan eksistensi yang diformulasikan ini
diberikan oleh sistem simbol agama. Kekacauan akan terjadi apabila manusia tidak mampu memformulasikan
konsepsi mengenai struktur atau tatanan eksistensi itu. Sehingga, simbol-simbol selalu memberikan orientasi
atau petunjuk bagi manusia atas segala fenomena yang terjadi pada diri mereka maupun pada alam.
Manusia juga memiliki keterbatasan kapasitas dalam menahan penderitaan. Masalah-masalah kehidupan yang
dihadapi dapat membuat manusia menderita. Manusia tidak akan pernah mampu menghindari semua
penderitaan yang dialaminya. Dengan ketidakmampuan untuk menghindar dan terbatasnya kapasitas menahan
penderitaan itu, kekacauan dalam diri manusia bisa terjadi. Agama dalam hal ini memberikan tuntunan, rasa
aman, dan tempat berteduh dan berlindung dari penderitaan yang dialami manusia.
Selain kedua dimensi itu, manusia juga terbatas dalam kemampuannya untuk membuat penilaian moral.
Manusia tidak mengetahui secara sempurna apa yang baik dan apa yang buruk, selain itu manusia terus bergerak
kearah pemenuhan diri dan aktualisasi diri. Manusia juga dihadapkan pada rasa tidak aman akan segala sesuatu,
termasuk yang menyangkut dirinya seperti kematian dan kemiskinan. Hal ini secara langsung membuat manusia
terpaksa menilai apa yang baik dan apa yang buruk bagi dirinya. Namun dengan kemampuan yang terbatas itu
kekacauan dalam diri bisa terjadi. Oleh karenanya, agama memberikan patokan-patokan moral yang bisa diikuti
manusia agar konsepsi manusia akan apa yang baik dan buruk tidak mengarah pada kekacauan.
Bagian definisi nomor 4, dikatakan bahwa konsepsi itu diberikan atribut dengan nuansa yang faktual. Hal ini
dapat menunjukkan seberapa figure otoritas yang dipercaya dalam agama mampu membuat manusia patuh
karena mereka mengatribusikan konsepsi-konsepsi yang tertuang dalam simbol itu dengan fakta-fakta yang
meyakinkan. Disini, agama berbeda dengan sistem-sistem simbolis lain. Agama meyakinkan bahwa terdapat
sesuatu yang benar-benar nyata dimana hal itu dianggap lebih penting dari apapun.
Melalui ritual keagamaan yang didalamnya selalu terdapat etos dan pandangan dunia, Geertz menjelaskan
dinamika yang terjadi dalam motivasi dan perasaan manusia. Ia mengambil contoh mengenai kisah Rangda dan
Barong di Bali. Ritual yang begitu melibatkan banyak orang dan melibatkan perasaan yang mendalam. Hal ini
menunjukkan bahwa perasaan yang dihasilkan atas fakta-fakta yang ditampilkan dalam ritual itu begitu diyakini
oleh masyarakat Bali. Mereka termotivasi untuk terus melakukan ritual itu. Kecenderungan tradisi (etos) terlihat
disini sementara pandangan dunia terlihat dari representasi dari figure-figur dalam ritual itu. Lebih dari itu, nilai-
nilai dalam ritual itu dituangkan ke dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Kejadian-kejadian religius berbeda dengan kejadian-kejadian sehari-hari. Telah dikatakan sebelumnya bahwa
motivasi dan perasaan dalam ritual agama akan konsisten dengan pandangannya mengenai dunia. Makna tariab
Barong dan Rangda itu adalah keabadian pertentangan akan kebaikan dan kejahatan. Pandangan mengenai dunia
ini terkombinasi dengan etos membentuk motivasi yang pada akhirnya mengontrol kehidupan sehari-hari. Ia
kemudian memberikan karakteristik tertentu yang menjadi ciri khas tertentu.
Sebagai penyimpulan, Geertz menyatakan kembali bahwa pentingnya agama adalah untuk memberikan
konsepsi mengenai dunia, diri, dan hubungan antar keduanya. Baginya, agama juga harus dipelajari secara
antropologis melalui dua babak: 1. Analisa sistem pengartian yang ada dalam simbol dan 2. mengaitkannya
dengan proses struktur sosial dan psikologis. Geertz merasa bahwa studi-studi yang ada terlalu memfokuskan
pada tahap kedua, namun mengabaikan tahap pertama, padahal sistem simbol baru bisa dipahami secara struktur
sosial atau psikologis hanya dengan terlebih dahulu memahami apa yang ada dibalik simbol itu (arti dari
simbol).
Sumber:
Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures: Selected essays. New York: Basic Books.
Pals, D.L. (2011). Seven theories of religion: Tujuh teori agama paling komprehensif. Yogyakarta: IRCiSoD.