Anda di halaman 1dari 16

Referat

Gangguan Afektif Bipolar Episode Manik

Dokter Pembimbing
Dr. Endang Septiningsih, Sp.KJ

Disusun oleh
Aditya Wicaksono Putra
11-2015-078

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa


Universitas Kristen Krida Wacana
RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang
Periode 23 Januari 25 Februari 2017
Kata Pengantar

Segala puji dan syukur penyusun panjatkan ke Tuhan Yang Maha Esa, yang dengan
pertolongan-Nya, referat yang berjudul Gangguan Afektif Bipolar Episode Manik dapat selesai
disusun. Referat ini disusun sebagai sarana diskusi dan pembelajaran, serta untuk memenuhi
persyaratan kelulusan Stase Ilmu Kesehatan Jiwa periode 23 Januari 26 Februari di RSJD Dr.
Amino Gondohutomo, Semarang.

Rasa terima kasih disampaikan kepada Dr. Endang Septiningsih, Sp.KJ yang telah
memberikan dorongan,bimbingan dan pengarahan dalam pembuatan referat ini. Penyusun juga
ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung
maupun tidak langsung dalam menyelesaikan referat ini.

Penyusun menyadari bahwa dalam referat ini masih jauh dari sempurna, baik mengenai
isi, susunan bahasa, maupun kadar ilmiahnya.Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan
dan pengalaman dari penyusun dalam mengerjakan referat ini. Oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan referat ini.Semoga
referat ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu
pengetahuan bagi kita semua.

Jakarta, Februari 2017

Penyusun

2
BAB I

1.1 Pendahuluan

Alam perasaan seseorang dapat berubah-ubah sesuai situasi dan kondisi tertentu yang
dialaminya. Suasana alam perasaan seseorang mungkin normal, meninggi atau bahkan
terdepresi. Orang normal dapat mengalami berbagai macam suasana perasaan dan memiliki
ekspresi afektif yang sama luasnya; mereka mampu mengendalikan suasana perasaan dan
afeknya. Lain halnya dengan seseorang yang mengalami gangguan pada alam perasaannya.

Gangguan alam perasaan adalah suatu kondisi klinis yang ditandai oleh hilangnya kendali
perasaan akibat pengalaman subjektif yang berhubungan dengan penderitaan berat. Pasien
dengan suasana perasaan yang meninggi (elevated) yaitu mania, menunjukkan sikap meluap-
luap, gagasan yang meloncat-loncat (flight of ideas), penurunan kebutuhan tidur, peninggian
harga diri, dan gagasan kebesaran. Pasien dengan suasana perasaan terdepresi (yaitu depresi)
merasakan hilangnya energi dan minat, perasaan bersalah, kesulitan berkonsentrasi, hilangnya
nafsu makan dan fikiran tentang kematian atau bunuh diri.

Tanda dan gejala lain dari gangguan susana perasaan adalah perubahan tingkat aktivitas,
kemampuan kognitif, pembicaraan dan fungsi vegetatif (seperti tidur, nafsu makan, aktivitas
seksual dan irama biologis lainnya). Perubahan tersebut mempengaruhi berbagai aspek dari
keadaan pasien, mulai dari status mental, status fisik dan lainnya.

Sekelompok penyakit yang bervariasi antara berat dan gejala utamanya adalah perubahan
mood yang secara periodic berganti-ganti antara mania dan depresi, biasanya diikuti oleh gejala-
gejala lain yang khas. Gangguan ini dikenal sebagai gangguan afektif bipolar.

3
BAB II

Isi

2.1 Definisi

Berdasarkan PPDGJ III, gangguan afektif bipolar adalah gangguan yang tersifat oleh
episode berulang (yaitu sekurang-kurangnya dua) yang menunjukkan suasana perasaan (mood)
pasien dan tingkat aktivitasnya jelas terganggu, dan gangguan ini pada waktu tertentu terdiri dari
peninggian suasana perasaan (mood) serta peningkatan energi dan aktivitas (mania atau
hipomania), dan pada waktu lain berupa penurunan suasana perasaan (mood) serta pengurangan
energi dan aktivitas (depresi).1

2.2 Epidemiologi

Pada pengamatan universal, prevalensi gangguan depresif berat pada wanita dua kali
lebih besar dari pada laki-laki. Gangguan Bipolar I mempunyai prevalensi yang sama bagi laki-
laki dan wanita. Lebih banyaknya wanita yang tercatat mengalami depresi bisa disebabkan oleh
pola komunikasi wanita yang ingin memberitahukan masalahnya kepada orang lain dan harapan
untuk mendapatkan bantuan atau dukungan sedangkan pada laki-laki cenderung untuk
memikirkan masalahnya sendiri dan jarang menunjukkan emosinya. Berbagai penelitian
mengungkapkan golongan usia muda yaitu remaja dan dewasa awal lebih mudah terkena depresi.
Hal ini terjadi karena pada usia tersebut terdapat tahap-tahap serta tugas perkembangan yang
penting yaitu peralihan dari masa anak-anak ke masa remaja, remaja ke dewasa, masa sekolah ke
masa kuliah dan bekerja serta masa pubertas ke masa pernikahan. Survei telah melaporkan
prevalensi yang tinggi dari depresi terjadi pada usia 18-44 tahun. Beberapa data epidemiologis
baru-baru ini menyatakan insidensi gangguan depresif berat meningkat pada usia kurang dari 20
tahun. Penurunan kecenderungan depresi pada usia dewasa diduga karena berkurangnya respon
emosi seseorang seiring bertambahnya usia, meningkatnya kontrol emosi dan kekebalan terhadap
pengalaman dan peristiwa hidup yang dapat memicu stress.2

Onset gangguan bipolar I lebih awal dari daripada onset gangguan depresi. Onset
gangguan bipolar I dari usia 5 tahun sampai usia 50 tahun. Laporan kasus gangguan bipolar I
diatas usia 50 tahun sangat jarang. Pada umumnya gangguan depresif berat paling sering terjadi

4
pada seseorang yang tidak memiliki hubungan antarpersonal yang dekat, telah bercerai atau
berpisah dengan pasangan hidup. Gangguan bipolar I lebih sering terjadi pada orang yang
bercerai dan hidup sendiri daripada orang yang menikah.2

2.3 Etiologi

2.3.1 Faktor Biologis

Dalam tubuh kita terdapat substansi kimia yang memiliki peran dalam mengendalikan
emosi seseorang. Substansi tersebut berupa neurotransmitter dimana berfungsi membawa pesan
komunikasi antar neuron di dalam otak. Bila neurotransmitter berada dalam tingkat yang normal,
maka otak akan bekerja secara harmonis. Namun apabila neurotransmitter tersebut kurang,
seperti pada salah satu riset, apabila neurotransmitter serotonin, dopamine atau norepinefrin
kurang, maka dapat menyebabkan depresi. Di sisi lain, jika neurotransmitter tersebut berlebih
dapat memicu gangguan manik.2

Serotonin merupakan neurotransmiter aminergic yang paling sering dihubungkan dengan


depresi. Penurunan neurotransmitter ini dapat menyebabkan depresi. Pada beberapa pasien yang
bunuh diri memiliki konsentrasi metabolit serotonin yang rendah di cairan serebrospinalnya.2

Dopamin juga diperkirakan memiliki peranan dalam menyebabkan depresi. Data


menunjukkan aktivitas dopamin yang menurun pada depresi dan meningkat pada mania. Obat
yang menurunkan kadar dopamin seperti reserpine dan pada penyakit yang mengalami
penurunan dopamin seperti parkinson disertai juga dengan gejala depresi. Obat-obat yang
meningkatkan kadar dopamin seperti tyrosine, amphetamine dan bupropion menurunkan gejala
depresi. Disfungsi jalur dopamin mesolimbik dan hipoaktivitas reseptor dopamin tipe 1 (D1)
terjadi pada depresi.2

Regulasi abnormal pada sumbu neuroendokrin mungkin dikarenakan fungsi abnormal


neuron yang mengandung amine biogenik. Secara teoritis, disregulasi pada sumbu neuroendokrin
seperti sumbu tiroid dan adrenal terlibat dalam gangguan mood. Pasien dengan gangguan mood
mengalami penurunan sekresi melatonin nokturnal, penurunan pelepasan prolaktin, penurunan
kadar FSH dan LH serta penurunan kadar testosterone pada laki-laki.2

5
Gangguan tiroid seringkali disertai dengan gejala afektif. Penelitian telah mengambarkan
adanya regulasi tiroid yang abnormal pada pasien dengan gangguan mood. Sepertiga dari pasien
dengan gangguan depresif berat memiliki pelepasan tirotropin yang tumpul. Penelitian terakhir
melaporkan kira-kira 10% pasien dengan gangguan mood khususnya gangguan bipolar I
memiliki antibodi antitiroid yang dapat dideteksi.2

Gangguan tidur adalah gejala yang sering ditemukan pada pasien depresi. Menurunnya
kebutuhan tidur adalah gejala klasik dari mania. Penelitian telah mengungkapkan bahwa
elektroensefalogram (EEG) saat tidur pada orang yang menderita depresi menunjukkan kelainan.
Kelainan tersebut antara lain perlambatan onset tidur, pemendekan latensi rapid eyemovement
(REM), peningkatan panjang periode REM pertama dan tidur delta yang abnormal. Pada depresi
terjadi regulasi abnormal dari irama sirkadian. Beberapa penelitian pada binatang menyatakan
bahwa terapi antidepresan efektif untuk mengubah jam biologis.2

Pada pencitraan otak pasien dengan gangguan mood terdapat sekumpulan pasien dengan
gangguan bipolar I terutama pasien laki-laki memiliki ventrikel serebral yang membesar.
Pembesaran ventrikel lebih jarang pada pasien dengan gangguan depresif berat. Pencitraan
dengan MRI juga menyatakan bahwa pasien dengan gangguan depresif berat memiliki nukleus
kaudatus yang lebih kecil dan lobus frontalis yang lebih kecil. Banyak literatur menjelaskan
penurunan aliran darah pada korteks serebral dan area korteks frontalis pada pasien depresi
berat.2

Hipotesis menyatakan gangguan mood melibatkan patologis pada sistem limbik, ganglia
basalis dan hipotalamus. Gangguan pada ganglia basalis dan sistem limbik terutama pada
hemisfer yang dominan dapat ditemukan bersamaan dengan gejala depresif. Disfungsi pada
hipotalamus dihubungkan dengan perubahan pola tidur, nafsu makan dan perilaku seksual pada
pasien dengan depresi. Postur yang membungkuk, terbatasnya aktivitas motorik dan gangguan
kognitif minor adalah beberapa gejala depresi yang juga ditemukan pada penderita dengan
gangguan ganglia basalis seperti penyakit Parkinson dan demensia subkortikal lainnya.2

2.3.2Faktor Genetik

Riwayat dalam keluarga akan meningkatkan kemungkinan menderita gangguan mood


daripada pada masyarakat pada umumnya. Tidak selalu akan muncul gangguan depresi secara

6
langsung namun perlu ada suatu kejadian yang memicu terjadinya episode depresi tersebut,
terutama pada depresi berat yang lebih besar pengaruh gen-nya dan lebih berpengaruh pada
individu muda disbanding yang lebih tua. Penelitian oleh Kendler (1992) dari Departemen
Psikiatri Virginia Commonwealth University menunjukkan bahwa resiko depresi sebesar 70%
karena faktor genetik, 20% karena faktor lingkungan dan 10% karena akibat langsung dari
depresi berat.3

Pada penelitian saudara kembar, angka kejadian gangguan bipolar pada kedua saudara
kembar monozigot adalah 33-90% dan untuk gangguan depresif berat, angka kejadian pada
kedua saudara kembar monozigot adalah 50%.Pada kembar dizigot angkanya berkisar 5-25%
untuk menderita gangguan bipolar I dan 10-25% untuk menderita gangguan depresif berat. Hal
ini menunjukkan bahwa ada factor lingkungan yang ikut di dalamnya dan tidak ada kepastian
bahwa seseorang pasti akan menderita gangguan bipolar, walaupun membawa gen yang rentan.3

Hubungan antara gangguan mood khususnya gangguan bipolar I dengan petanda genetik
telah dilaporkan pada kromosom 5, 11 dan X. Gen reseptor D1 terletak pada kromosom 5 dan
gen untuk tiroksin hidroksilase yaitu enzim yang membatasi kecepatan sintesis katekolamin
berlokasi di kromosom 11.2

Sekitar 25% dari kasus penyakit bipolar dalam keluarga terkait lokus dekat sentromer
pada kromosom 18 dan sekitar 20% terkait lokus pada kromosom 21q22.3. Tidak ada penyebab
tunggal untuk gangguan bipolar namun gangguan ini biasanya merupakan hasil dari kombinasi
faktor keluarga, biologis, psikologis dan faktor sosial.3

2.3.3 Faktor Psikososial

Dari dulu sudah diamati bahwa peristiwa dalam kehidupan yang menyebabkan stress
sering mendahului episode pada gangguan mood. Sehingga beberapa klinisi percara bahwa stress
pada masa mulai kehidupan memainkan peranan penting pada episode depresi.2

Selain itu juga hubungan antara fungsi keluarga dengan onset serta perjalanan gangguan
mood, khususnya depresi berat, dikatakan ada. Contoh pada seorang individu yang kehilangan
ibu saat masih muda, pola pengasuhan orang tua yang menuntut dan menolak kegagalan pada

7
anak, dan anak yang menerima penyiksaan fisik atau seksual, akan membuat anak lebih besar
risiko terkena depresi di masa depan.2

Aspek-aspek kepribadian juga mempengaruhi kerentanan terhadap depresi dan tinggi


rendahnya depresi yang dialami seseorang. Tipe kepribadian tertentu seperti dependen, obsesif
kompulsif, histerikal, antisosial dan paranoid beresiko mengalami depresi.2

Menurut Gordon Parker, seseorang yang mengalami kecemasan tingkat tinggi, mudah
terpengaruh, pemalu, suka mengkritik diri sendiri, memiliki harga diri yang rendah, hipersensitif,
perfeksionis dan memusatkan perhatian pada diri sendiri (self focused) memiliki resiko terkena
depresi.2

E Bibring memandang depresi sebagai suatu afek yang berasal dari ketegangan dalam
ego antara aspirasi seseorang dengan kenyataan yang ada. Pasien yang terdepresi menyadari
bahwa mereka tidak hidup dengan ideal sehingga mereka merasa putus asa dan tidak berdaya.
Menurut Heinz Kohut, orang yang terdepresi merasakan suatu ketidaklengkapan dan putus asa
kerena tidak menerima respon yang diinginkan.2

Menurut teori kognitif, interpretasi yang keliru dalam menilai pengalaman hidup,
penilaian diri yang negatif, pesimis dan keputusasaan yang terus-menerus berhubungan dengan
depresi. Pandangan negatif yang terus dipelajari selanjutnya akan menimbulkan perasaan
depresi.2

2.4 Kriteria Diagnosis PPDGJ III Gangguan Afektif Bipolar

2.4.1 F31 Gangguan Afektif Bipolar

Gangguan ini tersifat oleh episode berulang (yaitu sekurang-kurangnya dua) yang
menunjukkan suasana perasaan (mood) pasien dan tingkat aktivitasnya jelas terganggu, dan
gangguan ini pada waktu tertentu terdiri dari peninggian suasana perasaan (mood) serta
peningkatan enersi dan aktivitas (mania atau hipomania), dan pada waktu lain berupa penurunan
suasana perasaan (mood) serta pengurangan enersi dan aktivitas (depresi). Yang khas ialah
bahwa biasanya ada penyembuhan sempurna antar episode, dan insidensi pada kedua jenis
kelamin kurang lebih sama dibanding dengan gangguan perasaan (mood) lainnya. Dalam
perbandingan, jarang ditemukan pasien yang menderita hanya episode mania yang berulang-

8
ulang; dan karena pasien-pasien tersebut menyerupai (dalam riwayat keluarga, kepribadian
premorbid, usia onset, dan prognosis jangka panjang) pasien yang mempunyai juga episode
depresi sekali-sekali, maka pasien itu digolongkan sebagai bipolar (F31.8).

Episode Manik biasanya mulai dengan tiba-tiba dan berlangsung antara 2 minggu sampai
4-5 bulan (rata-rata sekitar 4 bulan). Depresi cenderung berlangsung lebih lama (rata-rata sekitar
6 bulan) meskipun jarang melebihi setahun kecuali pada orang lanjut usia. Kedua macam episode
itu sering kali menyusul peristiwa hidup yang penuh stress atau trauma mental lain, akan tetapi
adanya stress tidak esensial untuk penegakkan diagnosis. Episode pertama bisa timbul pada
setiap usia dari masa kanak sampai tua. Frekuensi bervariasi, meskipun remisi cenderung untuk
menjadi makin lama makin pendek sedangkan depresinya menjadi lebih sering dan lebih lama
berlangsungnya setelah usia pertengahan.

Sekali pun konsep psikosis manik-depresif semula meliputi juga pasien-pasien yang
menderita hanya depresi, sekarang istilah gangguan atau psikosis manik-depresif digunakan
terutama sebagai sinonim untuk gangguan bipolar.

1. F31.0 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Hipomanik


Untuk diagnosis pasti:
(a) Episode sekarang harus memenuhi kriteria untuk hipomania (F30.0); dan
(b) Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif lain (hipomanik, manik, depresif atau
campuran) di masa lampau.
2. F31.1 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Manik Tanpa GejalaPsikotik
Untuk diagnosis pasti:
(a) Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk mania tanpa gejala psikotik (F30.1);
dan
(b) Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif lain (hipomanik, manik, depresif atau
campuran) di masa lampau.
3. F31.2 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Manik Dengan GejalaPsikotik
Untuk diagnosis pasti:
(a) Episode yang sekarang harus memenuhi kriteria untuk mania dengan gejala psikotik (F30.2);
dan

9
(b) Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif lain (hipomanik, manik, depresif atau
campuran) di masa lampau.
4. F30.0 Hipomania
Derajat gangguan yang lebih ringan dari mania (F30.1), afek yang meninggi atau berubah
disertai peningkatan aktivitas, menetap selama sekurang-kurangnya beberapa hari
berturut-turut, pada suatu derajat intensitas dan yang bertahan melebihi apa yang
digambarkan bagi siklotimia (F34.0), dan tidak disertai halusinasi atau waham.
Biasanya perasaan sejahtera yang mecolok, efisiensi baik fisik maupun mental,
peningkatan kemampuan untuk bergaul, bercakap, keakraban yang berlebihan, dan
pengurangan waktu tidur; namun tidak sampai menjurus pada kekacauan berat pada
pekerjaan atau penolakan oleh masyarakat.
Pengaruh nyata atas kelancaran pekerjaan dan aktivitas sosial memang sesuai dengan
diagnosis hipomania, akan tetapi bila kakacauan itu berat atau menyeluruh, maka
diagnosis mania (F30.1 atau F30.2) harus ditegakkan.

2.4.2 F32 Episode Depresif

Gejala utama (pada derajat ringan, sedang, dan berat):


Afek depresif
Kehilangan minat dan kegembiraan, dan
Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata
sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas
Gejala lainnya :
(a) Kosentrasi dan perhatian berkurang
(b) Harga diri dan kepercayaan berkurang
(c) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
(d) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
(e) Gagasan atau perbuatan membahayakan diri sendiri atau bunuh diri.
(f) Tidur terganggu
(g) Nafsu makan berkurang

10
Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahantersebut diperlukan masa sekurang-
kurangnya 2 minggu untuk penegakan diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat
dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.
Kategori diagnosis episode depresif ringan (F32.0), sedang (F32.1) dan berat (F32.2)
hanya digunakan untuk episode depresi tunggal (yang pertama). Episode depresif
berikutnyaharus diklasifikasikan di bawah salah satu diagnosis gangguan depresif
berulang (F33.-)

2.5 Gambaran Klinik

2.5.1 Episode Depresi

Mood yang depresif serta hilangnya minat atau kesenangan adalah kunci gejala depresi.
Pasien data mengatakan bahwa mereka merasa sedih, tidak ada harapan, bersusah hati, atau tidak
berharga. Untuk seorang pasien, mood yang depresif sering memiliki kualitas yang khas yang
membedakannya dengan emosi normal kesedihan atau berkabung. Pasien sering menggambarkan
depresi sebagai satu penderitaan emosi yang sangat mendalam serta kadang-kadang mengeluh
tidak dapat menangis, gejala yang pulih ketika pasien membaik.2

Sekitar dua pertiga pasien depresi berpikir untuk melakukan bunuh diri, dan 10-15%
melakukan bunuh diri. Mereka yang baru-baru ini dirawat di rumah sakit dengan percobaan
bunuh diri atau memiliki gagasan bunuh diri memiliki risiko seumur hidup yang lebih besar
untuk berhasil melakukan bunuh diri dari pada mereka yang belum pernah dirawat di rumah
sakit. Beberapa pasien depresi kadang-kadang tampak tidak menyadari depresi yang dialami dan
tidak mengeluhkan adanya gangguan mood, walaupun mereka menunjukkan penarikan diri dari
keluarga, teman, dan aktivitas yang sebelumnya menarik bagi mereka. Hampir semua pasien
depresi (97%) mengeluh berkurangnya energi; mereka merasa sulit menyelesaikan tugas,
terganggu di sekolah dan tempat kerja, serta memiliki motivasi yang menurun untuk menangani
proyek baru. Sekitar 80% pasien mengeluh sulit tidur, terutama terbangun sangat dini hari (yang
merupakan insomnia terminal) serta terbangun berulang di malam hari, saat terbangun itu pasien
merenungkan masalahnya. Banyak pasien mengalami penurunan nafsu makan dan penurunan
berat badan, tetapi pasien lain mengalami peningkatan nafsu makan dan kenaikan berat badan

11
dan tidur yang lebih lama dari biasanya. Pasien ini digolongkan dalam DSM-IV-TR memiliki ciri
atipikal.2

Pada 90% pasien depresi, lazimnya terdapat gejala ansietas. Berbagai perubahan asupan
makanan dan istirahat dapat memperburuk penyakit medis yang telah ada, misalnya diabetes,
hipertensi, penyakit paru obstruktif kronik, dan penyakit jantung. Gejala vegetatif lainnya adalah
menstruasi abnormal dan menurunnya minat serta kinerja di dalam aktivitas seksual. Masalah
seksual kadang-kadang dapat menyebabkan salah merujuk, misalnya konseling pernikahan dan
terapi seks, ketika klinisi gagal mengenali gangguan depresif yang mendasari. Ansietas
(termasuk serangan panik), penyalahgunaan alkhohol, dan keluhan somatik (misalnya konstipasi
dan sakit kepala) sering mempersulit terapi depresi.4

2.5.2 Episode Manik

Mood yang meningkat, ekspansif, atau iritabel adalah tanda khas episode manik. Mood
yang meningkat bersifat euforik dan sering menular serta bahkan dapat menyebabkan
penyangkalan countertransferential penyakit tersebut oleh klinisi yang tidak berpengalaman.
Walaupun orang yang tidak terlibat mungkin tidak mengenali sifat mood pasien yang tidak biasa,
orang yang mengenal pasien menyadari bahwa hal tersebut tidak normal. Sebaliknya, mood
dapat iritabel, khususnya ketika rencana seseorang yang ambisius dan terang-terangan dirintangi.
Pasien sering menunjukkan perubahan mood yang dominan dari euphoria pada awal perjalanan
penyakit menjadi iritabilitas di kemudian hari.2,4

Terapi pasien manik di bangsal perawatan dapat dipersulit dengan pengujian mereka
terhadap batasan peraturan bangsal, kecenderungan mengalihkan tanggung jawab terhadap
perbuatan mereka kepada orang lain, eksploitas terhadap kelemahan orang lain, serta
kecenderungan memecah-belah petugas. Di luar rumah sakit, pasien manik sering meminum
alkohol berlebihan, mungkin sebagai upaya mengobati diri sendiri. Sifat disinhibisi pasien
dicerminkan melalui penggunaan telepon berlebihan, terutama interlokal pada waktu dini hari.2

Terdapat gejala khas pada gangguan ini berupa judi patologi, kecenderungan
menanggalkan pakaian di tempat umum, menggunakan pakaian serta perhiasan dengan warna
mencolok dengan kombinasi yang tidak biasa atau aneh, serta ketidakpedulian terhadap hal-hal

12
kecil (misalnya lupa menutup telepon). Pasien bertindak secara impulsif dan di waktu bersamaan
dengan rasa yakin dan bertujuan. Pasien manik sering memiliki preokupasi pada gagasan
keagamaan, politik, keuangan, seksual atau ide kejar yang dapat berubah menjadi sistem waham
yang rumit. Terkadang, pasien manik mengalami regresi dan bermain-main dengan urin serta
fesesnya.2,4

2.6 Diagnosis Banding

2.6.1 F30 EPISODE MANIK

Kesamaan karakteristik dalam afek yang meningkat,disertai peningkatan dalam jumlah


dan kecepatan aktivitas fisikdan mental, dalam berbagai derajat keparahan. Kategori inihanya
untuk satu episode manik tunggal (yang pertama),termasuk gangguan afektif bipolar, episode
manik tunggal. Jikaada episode afektif (depresi, manik atau hipomanik)sebelumnya atau
sesudahnya, maka gangguannya termasuk gangguan afektifbipolar. (F31).
1. F30.1 Mania Tanpa Gejala Psikotik
Episode harus berlangsung sekurang-kurangnya 1 minggu, dan cukup berat sampai
mengacaukan seluruh atau hampir seluruh pekerjaan dan aktivitas sosial yang biasa
dilakukan.
Perubahan afek yang meningkat (elasi)harus disertai dengan energi yang bertambah
sehingga terjadi aktivitas berlebihan, percepatan dan kebanyakan bicara, kebutuhan
tidur yang berkurang, ide-ide perihal kebesaran/ grandiose ideas dan terlalu
optimistik.
2. F30.2 Mania Dengan Gejala Psikotik
Gambaran klinis merupakan bentuk mania yang lebih berat dari F30.1 (mania tanpa
gejala psikotik).
Harga diri yang membumbung dan gagasan kebesaran dapat berkembang menjadi
waham kebesaran (delusion of grandeur), irritabilitas dan kecurigaan menjadi waham
kejar (delusion of persecution). Waham dan halusinasi sesuai dengan keadaan afek
tersebut (mood congruent).

13
2.7 Prognosis

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dan perjalanan penyakit dari pasien
tersebut. Penyakit ini sendiri memiliki tingkat kekambuhan yang tinggi pula dan berpotensi
mengalami episode manik berulang dalam 2 tahun sejak episode pertama.2

Faktor yang membuat prognosis lebih baik apabila lama episode manik yang singkat,
onset pada usia lanjut, sedikit pikiran bunuh diri, serta sedikitnya masalah medis atau psikiatri
yang juga timbul bersamaann denga episode yang muncul.2

Sedangkan faktor yang memperburuk prognosa adalah pekerjaan pramorbid yang buruk,
ketergantungan alkhohol, menunjukkan ciri psikotik, menunjukkan ciri depresif sebelumnya,
serta jenis kelamin laki-laki.2

2.8 Terapi

A. Terapi Farmakologis. Pemberian Mood stabilizer merupakan pilihan utama untuk mengatasi
keadaan ini. Obat yang dianggap paling efektif adalah lithium, yang merupakan kation
monovalent yang kecil dan sudah dikenal sebagai pengobatan yang paling sesuai pada
gangguan bipolar, khususnya fase manik.Dosis pemberian 300mg/hari, dengan batas dosis
max 500mg/hari. Selain itu dapat juga menggunakan asam valproate apabila gagal terhadap
terapi dengan lithium. Dosis pemberian tablet 250mg 3x1.5
B. Apabila episode manik bersamaan dengan munculnya gejala psikotik, maka diberikan juga
terapi farmaka tambahan berupa antipsikotik. Obat yang bisa diberikan adalah haloperidol
tablet 1,5mg 2x1.5
C. Psikoterapi yang dapat digunakan adalah terapi keluarga dimana dapat membantu dengan
berfokus pada peningkatan komunikasi di antara anggota keluarga, membantu orang dengan
penyakit bipolar memahami manfaat minum obat mereka secara konsisten dan belajar
strategi untuk mencegah kambuh. Dalam hal ini jenis pengobatan, anggota keluarga bisa
merasa didukung dan individu dengan penyakit dapat belajar cara-cara baru untuk
mempertahankan pemulihan. Perawatan psychoeducational membantu orang dan anggota
keluarganya untuk lebih memahami penyakit bipolar sehingga pemulihan dapat dicapai lebih
cepat.

14
BAB III

Penutup

Gangguan afektif bipolar episode manik merupakan salah satu bentuk gangguan suasana
perasaan yang sebelumnya didahului dengan satu episode mania, hipomania, atau depresi. Baik
memiliki tanda gejala psikotik ataupun tidak.Disebut Bipolar karena penyakit kejiwaan ini
didominasi adanya fluktuasi periodik dua kutub, yakni kondisi manik (bergairah tinggi yang
tidak terkendali) dan depresi.Untuk menegakkan diagnosis ini dapat menggunakan pedoman
diagnosis dari PPDGJ III. Tatalaksana bisa diberikan secara farmakoterapi (lithium atau asam
valproate) dan psikoterapi. Prognosis untuk gangguan ini tergantung hal yang memperingan dan
memperberat prognosis itu sendiri.

15
Daftar Pustaka

1. Departemen Kesehatan RI. PPDGJ III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 1993.h. 141-51
2. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock buku ajar psikiatri klinis. Edisi ke-2. Jakarta:
EGC; 2010.h.169-87
3. Soreff S, McInnes LA. Bipolar Affective Disorder. [Online].27 May 2014[cited 23 June
2014]; Available from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/286342-overview
4. Utama H. Buku ajar psikiatri. Edisi 2. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, 2013.h. 204-16
5. Katzung BG. Basic and Clinical Pharmacology 10th ed: Antipsychotic Agents and Lithium,
Antidepressant Agents. San Fransisco: McGraw-Hill. 2006

16

Anda mungkin juga menyukai