TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Neonatus adalah bayi baru lahir yang berusia di bawah 28 hari. Kejang (konvulsi)
merupakan gangguan fungsi otak tanpa sengaja paroksismal yang dapat nampak sebagai
gangguan atau kehilangan kesadaran, aktivitas motorik abnormal, kelainan perilaku,
gangguan sensoris, atau disfungsi autonom. Kejang pada neonatus adalah perubahan
paroksismal fungsi neurologis (tingkah laku dan atau fungsi motorik) akibat aktifitas
yang terus menerus dari neuron diotak dan terjadi dalam 28 hari pertama kehidupan pada
bayi cukup bulan atau sampai usia konsepsi 44 minggu pada bayi kurang bulan.2,6
B. Etiologi
Etiologi kejang pada neonatus adalah sebagai berikut :
a. Ensefalopati iskemik hipoksik
Merupakan penyebab tersering (60-65%) kejang pada BBL, biasanya terjadi
dalam waktu 24 jam pertama, dapat terjadi pada BCB maupun BKB terutama bayi
dengan asfiksia. Bentuk kejang subtle atau multifokal klonik serta fokal klonik. Kasus
iskemik hipoksik disertai kejang, 20 % akan mengalami infark serebral. Manifestasi
klinis ensefalopati hipoksik iskemik dapat dibagi dalam 3 stadium,yaitu : ringan,
sedang dan berat. Manifestasi kejang terjadi pada stadium sedang dan berat.2
b.Perdarahan Intrakranial
Perdarahan matriks germinal atau intraventrikel adalah penyebab kejang tersering
pada bayi preterm. Scher menentukan 45 % bayi preterm dengan kejang mengalami
perdarahan matriks germinal atau intraventrikel (GMH-IVH). Perdarahan intrakranial
sering sulit disebut sebagai penyebab tunggal kejang, biasanya berhubungan dengan
penyebab lain, yaitu :
Perdarahan sub arachnoid
Perdarahan yang sering dijumpai pada BBL, kemungkinan karena robekan vena
superfisial akibat partus lama. Pada mulanya bayi tampak baik, tiba-tiba dapat terjadi
kejang pada hari pertama atau hari kedua. Pungsi lumbal harus dikerjakan untuk
mengetahui apakah terdapat darah di dalam cairan serebrospinal. Pemeriksaan CT-Scan
1
Kejang Neonatus
sangat berguna untuk menentukan letak dan luasnya perdarahan. Pemeriksaan perdarahan
perlu dikerjakan untuk menyingkirkan kemungkinan koagulopati. 7
perdarahan subdural
Perdarahan ini umumnya terjadi akibat robekan tentorium di dekat falks serebri.
Keadaan ini akibat molase kepala yang berlebihan pada letak verteks , letak muka dan
partus lama. Darah terkumpul di fosa posterior dan dapat menekan batang otak.
Manifestasi klinis hampir sama dengan ensefalopati hipoksik-iskemik ringan sampai
sedang. Bila terjadi penekanan pada batang otak terdapat pernapasan yang tidak teratur,
kesadaran menurun, tangis melengking, ubun-ubun besar menonjol dan kejang.
Perdarahan pada parenkim otak kdang-kadang dapat menyertai perdarahan subdural.
Deteksi kelainan ini dengan pemeriksaan USG atau CT-Scan. Perdarahan yang kecil tidak
membutuhkan pengobatan, tetapi pada perdarahan yang besar dan menekan batang otak
perlu dilakukan tindakan bedah untuk mengeluarkan darah. Mortilitas tinggi, dan pada
bayi yang hidup biasanya terdapat gejala sisa neurologis. 2,7
Perdarahan periventrikuler/ intraventrikuler
Gambaran klinis perdarahan intraventrikuler tergantung kepada beratnya penyakit
dan saat terjadinya perdarahan. Pada bayi yang mengalami trauma atau asfiksia biasanya
kelainan timbul pada hari pertama atau kedua setelah lahir. Pada NKB dapat mengalami
perdarahan hebat, gejala timbul dalam waktu beberapa menit sampai beberapa jam
berupa gangguan napas, kejang tonik umum, pupil terfiksasi, kuadriparesis flaksid,
deserebrasi dan stupor atau koma yang dalam. Pada perdarahan sedikit, gejala timbul
dalam beberapa jam sampai beberapa hari sampai penurunan kesadaran, kurang aktif,
hipotonia, kelainan posisi dan pergerakan bola mata seperti deviasi, fiksasi vertical dan
horizontal disertai dengan gangguan respirasi. Bila keadaan memburuk akan timbul
kejang. NCB biasanya disertai riwayat intrapartum misalnya trauma, pasca-pemberian
cairan hipertonik secara cepat terutama natrium bikarbonat dan asfiksia. Manifesasi klinis
yang timbul bervariasi mulai dari asimtomatik sampai gejala yang hebat. Gejala
neurologis yang paling umum dijumpai adalah kejang yang dapat bersifat fokal,
multifokal atau umum. Di samping itu terdapat manifestasi berupa apnu, sianosis, letargi,
jitteriness, muntah, ubun-ubun besar menonjol, tangis melengking dan perubahan tonus
otot.3
c. Metabolik
2
Kejang Neonatus
Penyebab paling sering kejang metabolik adalah :
Hipoglikemia
Bayi dengan kadar glukosa darah < 45 mg/dL disebut hipoglikemia. Kadang asimtomatis.
Tanda dan gejala dapat berupa kejang, tremor, letargi atau kesadaran menurun.
Hipoglikemia yang berkepanjangan dan berulang dapat mengakibatkan dampak yang
menetap pada SSP. BBL yang mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya hipoglikemia
adalah : Bayi Kecil untuk masa kehamilan, Bayi Besar untuk masa kehamilan dan bayi
dari Ibu dengan Diabetes Mellitus. Hipoglikemi dapat menjadi penyebab dasar pada
kejang BBL dan gejala neurologis lainnya seperti apnu, letargi dan jiterness. Kejang
seperti hipoglikemia ini sering dihubungkan dengan penyebab kejang yang lain. Hanya
sekitar 3% yang benar disebabkan Karena hipoglikemia. Tidak ada keraguan pemberian
terapi dextrose intravena jika ditemukan kadar glukosa rendah pada bayi kejang, untuk
mengembalikan kadar gula darah kembali secepatrnya.
Hipokalsemia/ hipomagnesemia
Kejadian awal kejang akibat hipokalsemia pada hari pertama dan kedua. Lebih sering
didapatkan pada BBLR dan sering dihubungkan dengan keadaan asfiksia serta bayi dari
ibu dengan diabetes mellitus. Hipokalsemia didefinisikan kadar kalsium < 7,5 mg/dL
(<1,87 mmol/L), biasanya disertai kadar fosfat > 3 mg/dL (> 0,95mmol/L), seperti
hipoglikemia kadang asimtomatis. Sering berhubungan dengan prematuritas atau
kesulitan persalinan dan asfiksia. Kadar magnesium yang rendah sering terjadi bersama
dengan hipokalsemi dan perlu diterapi agar memberikan respon yang baik untuk
menghentikan kejang. Mekanisme terjadinya hipokalsemia bersamaan dengan
hipomagnesemia belum jelas. Bila kejang pada bayi berat lahir rendah yang disebabkan
oleh hipokalsemia diberikan kalsium glukonat kejang masih belum berhenti harus
dipikirkan adanya hipomagnesemia. 2,7
Hiponatremia dan hipernatremia
Kadar natrium serum yang sangat tinggi, sangat rendah atau yang mengalami perubahan
dengan sangat cepat, sering terjadi pada kondisi tertentu seperti Syndrome of
Inappropreiate Anti-Diuretic Hormone (SIADH), sindroma Bartter atau dehidrasi berat
dapat menyebabkan kejang. SIADH berhubungan dengan keadaan sekunder dari
meningitis atau perdarahan intracranial, terapi diuretika, kehilangan garam yang
berlebihan atau asupan cairan yang mengandung kadar natrium yang rendah,
3
Kejang Neonatus
hiponatremia dapat terjadi akibat minum air, pemberian infus intravena yang berlebihan
atau akibat pengeluaran natrium yang berlebihan lewat kencing dan feses. Hipernatremia
terjadi akibat dehidrasi berat atau iatrogenik atau sekunder akibat asupan natrium yang
berlebihan. Dapat juga terjadi akibat pemberian natrium yang berlebihan secara oral
maupun parenteral.3,6
d. Infeksi
Infeksi terjadi sekitar 5-10% dari seluruh penyebab kejang BBL, bakteri, nonbakteri
maupun kongenital dapat menyebabkan kejang BBL, biasanya terjadi setelah minggu
pertama kehidupan.
Infeksi digolongkan menjadi
1. Infeksi akut
Infeksi bakteri atau virus pada SSP dengan atau tanpa keadaan sepsis dapat
mengakibatkan kejang, biasanya sering berhubungan dengan meningitis. Kuman gram
negative sering mengakibatkan infeksi intrakranial dan sistemik pada BBL. Bakteri yang
sering ditemukan adalah group B streptococcus, Eschericia coli, Listeria sp,
Staphylococcus dan Pseudomonas species.
2. Infeksi kronik
Infeksi intrauterin yang berlangsung lama : toxoplasmosis, rubella, cytomegalovirus,
herpes (TORCH), treponema pallidum .7
e. Kernikterus/ensefalopati bilirubin
Suatu keadaan ensefalopati akut dengan sekuele neurologis yang disertai meningkatkan
kadar serum bilirubin dalam darah. Bilirubin indirek menyebabkan kerusakan otak pada
BCB apabila melebihi 20mg/dl. Pada bayi prematur yang sakit, kadar 10mg/dl sudah
berbahaya. Kemungkinan kerusakan otak yang terjadi tidak hanya disebabkan oleh kadar
bilirubin yang tinggi tetapi tergantung kepada lamanya hiperbilirubinemia. BKB yang
sakit dengan sindrom distress pernapasan, asidosis mempunyai risiko yang tinggi untuk
terjadinya kernikterus. Manifestasi klinis kernikterus terdiri dari hipotonia, letargi dan
refleks menghisap lemah. Pada hari kedua terdapat gejala demam, regiditas dan posisi
dalam opistotonus. Selanjutnya gambaran klinis bulan pertama menunjukkan tonus otot
meningkatkan progresif. Sindrom klinis yang tampak sesudah tahun pertama meliputi : 1)
disfungsi ekstra piramidal biasanya berbentuk atetosis dan kora; 2)gangguan gerak bola
mata vertikal, ke atas lebih dari pada ke bawah, terdapat 90% kasus; 3) kehilangan
4
Kejang Neonatus
pendengaran frekuensi tinggi terdapat pada 60% kasus; 4) retardasi mental terdapat pada
25% kasus.
i. Idiopatik
Kejang pada BBL yang tidak diketahui penyebabnya, secara relatif sering
menunjukkan hasil yang baik. Tetapi pada kejang beulang yang lama, resisten terhadap
pengobatan atau kejang terulang sesudah pengobatan dihentikan menunjukkan
kemungkinan adanya kerusakan di otak. Pada golongan idiopatik terdapat 2 hal yang
perlu mendapat perhatian yaitu, kejang BBL familial jinak dan kejang hari kelima
6
Kejang Neonatus
kejang bayi tampak normal. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat keluarga ada
yang pernah mengalami kejang. Kelainan elektrografis yang spesifik berupa gelombang
datar diikuti gelombang bilateral spike dan slow. Kejang dapat dihentikan dengan obat-
obatan biasa dan prognosis untuk perkembangan anak baik.
Awitan Kejang
Kebanyakan dimulai antara 12 hingga 48 jam setelah lahir. Penelitian pada
binatang menunjukkan bahwa kejang muncul 3-13 jam setelah terjadi keadaan hipoksik
iskemik dan sesuai dengan yang kita ketahui tentang pelepasan dan penghancuran
glutamate selama fase reperfusi sekunder. Keadaan yang sama dapat terjadi pada bayi.
Kejang onset lanjut member kesan meningitis, kejang familial benigna atau hipokalsemia.
Awitan kejang pada setiap etiologi dapat berbeda, perbedaan tersebut dapat digunakan
untuk memperkirakan penyebab kejang.
7
Kejang Neonatus
0-3 >3 Kurang bulan Cukup bulan
Perdarahan + + ++ +
intracranial
J.Infeksi + + ++ ++
Gangguan + + ++ ++
perkembangan
otak
Hipoglikemia + + +
Hipokalsemi + + + +
Sindrom + + +
epileptic
Angka kejadian kejang pada neonatus umumnya berkisar antara 1,5-14 per 100
kelahiran hidup. Kejadiannya lebih tinggi pada bayi kurang bulan (3,9%) yaitu pada bayi
dengan usia kehamilan < 30 minggu. Di Amerika Serikat, angka kejadian kejang pada
neonatus belum jelas terdeteksi, diperkirakan sekitar 80-120 per 100.000 neonatus per
tahun. Perbandingannya antara 1-5:1000 angka kelahiran. Menurut menurut SDKI 2002-
2003 angka kematian pada neonatus di Indonesia menduduki angka 57% dari angka
kematian bayi (AKB) sedangkan kematian neonatus yang diakibatkan oleh kejang sekitar
10%. 3,7
Di India angka insiden 5 per 1000 kelahiran hidup antara 1959 dan 1962. Nasional
Neonatal Perinatal Database (NNPD) dari India yang dikumpulkan informasi dari 18
pusat dari di seluruh negeri pada tahun 2002-03 telah melaporkan insiden 1.0%. 9
8
Kejang Neonatus
D. Klasifikasi
Klasifikasi kejang pada neonatal dibagi menjadi 2 yaitu clinical seizure dan
electroenchepalographic seizure. 9
Clinical seizure :
o Subtle
o Tonik
o Klonik
o myoklonik
Electroenchephalographic seizure :
o Epileptic
o Non Epileptic
E. Patogenesis
Kejang pada neonatus berbeda dengan kejang pada bayi atau anak yang lebih
besar. Karena perkembangan otak neonatus yang belum sempurna. Korteks pada
neonatus belum matur dibandingkan batang otaknya. Myelinisasi dan sinaps aksodendrit
(sinaptogenesis) yang belum sempurna pada daerah korteka menyebabkan penyebaran
rangsang ke seluruh korteks (sinkronisasi bilateral suatu rangsang) tidak terjadi.
Rangsang dapat menyebar perlahan-lahan ke hemisfer kontralateral dan tidak
berlangsung sekaligus bersama-sama. Inilah yang menyebabkan kejang pada neonatus
tidak pernah bersifat kejang tonik klonik umum. 11
Mekanisme dasar terjadinya kejang akibat loncatan muatan listrik yang berlebihan
dan sinkron pada otak atau depolarisasi otak yang mengakibatkan gerakan yang berulang.
Terjadinya depolarisasi pada syaraf akibat masuknya Natrium dan repolarisasi terjadi
karena keluarnya Kalium melalui membrane sel. Untuk mempertahankan potensial
9
Kejang Neonatus
membrane memerlukan energi yang berasal dari ATP dan tergantung pada mekanisme
pompa yaitu keluarnya Natrium dan masuknya Kalium.
Depolarisasi yang berlebihan dapat terjadi paling tidak akibat beberapa hal :
Perubahan fisiologis selama kejang berupa penurunan yang tajam kadar glukosa
otak dibanding kadar glukosa darah yang tetap normal atau meningkat disertai
peningkatan laktat. Keadaan ini menunjukkan mekanisme transportasi pada otak tidak
dapat mengimbangi peningkatan kebutuhan yang ada. Kebutuhan oksigen dan aliran
darah otak juga meningkat untuk mencukupi kebutuhan oksigen dan glukosa. Laktat
terakumulasi selama terjadi kejang, dan pH arteri sangat menurun. Tekanan darah
sistemik meningkat dan aliran darah otak naik. Efek dramatis jangka pendek ini diikuti
oleh perubahan struktur sel dan hubungan sinaptik. 4
Fenomena kejang pada BBL dijelaskan oleh Volpe karena keadaan anatomi dan
fisiologi pada masa perinatal yang sebagai berikut 12:
o Sinaptogenesis belum
10
Kejang Neonatus
Keadaan fisiologis perinatal
Gejala dan tanda kejang yang sering ditemui pada neonatus adalah:
Kejang Tonik (Kejang tonik dapat berbentuk umum atau fokal) 2,9
Kejang tonik umum: Terutama bermanifestasi pada neonatus kurang bulan (<
2500 gram). Fleksi atau ekstensi tonik pada ekstremitas bagian atas, leher atau
batang tubuh dan berkaitan dengan ekstensi tonus pada ekstremitas bagian
bawah. Pada 85% kasus kejang tonik tidak berkaitan dengan perubahan otonomis
apapun seperti meningkatnya detak jantung atau tekanan darah, atau kulit
memerah.
11
Kejang Neonatus
Kejang tonik fokal: Terlihat dari postur asimetris dari salah satu ekstremitas atau
batang tubuh atau deviasi tonik kepala atau mata kepala atau mata. Sebagian besar
kejang tonik terjadi bersamaan dengan penyakit sistem syaraf pusat yang difus
dan perdarahan intraventrikular.
Kejang Klonik
Terdiri dari gerakan kejut pada ekstremitas yang perlahan & berirama (1-3 /menit),
2
penyebabnya mungkin fokal/multi-fokal. Setiap gerakan terdiri dari satu fase gerakan
yang cepat dan diikuti oleh fase yang lambat diikuti oleh fase yang lambat. Perubahan
posisi atau memegang ekstremitas yang bergerak tidak akan menghambat gerakan
tersebut. Biasanya terjadi pada neonatus cukup bulan. Tidak terjadi hilang kesadaran.
Berkaitan dengan trauma fokal,infarks atau gangguan metabolik.
Dikenal 2 bentuk :
a. Fokal : terdiri dari gerakan bergetar dari satu atau dua ekstremitas pada sisi unilateral
dengan atau tanpa adanya gerakan wajah. Gerakan ini pelan dan ritmik dengan atau tanpa
gerakan wajah. Gerakan ini pelan dan ritmik dengan frekuensi 1-4 kali perdetik.
b. Multifokal : Kejang klonik pada BBL dapat mempunyai lebih dari satu focus atau
migrasi terdiri dari gerakan dari satu ekstremitas yang kemudian secara acak pindah ke
ekstremitas lainnya. Bentuk kejang merupakan gerakan klonik salah satu atau lebih
anggota gerak yang berpindah-pindah atau terpisah secara teratur, misalnya kejang klonik
lengan kiri diikuti dengan kejang klonik tungkai bawah kanan. Kadang-kadang karena
kejang yang satu dengan kejang yang lain sering bersinambungan, seolah-olah member
kesan sebagai kejang umum. Bentuk kejang ini biasanya terdapat pada gangguan
metabolik. Kejang ini lebih sering dijumpai pada BCB dengan berat lebih 2500 gram. 2,9
Kejang Mioklonik
Terdiri dari :
12
Kejang Neonatus
Kejang mioklonik multi-fokal terlihat sebagai gerakan kejutan yg tidak sinkron pd
beberapa bagian tubuh.
Kejang mioklonik umum terlihat sangat jelas berupa fleksi masif pada kepala dan
batang tubuh dengan ekstensi atau fleksi pada ekstremitas. Kejang ini berkaitan
dengan patologi SSP yang difus 1
Kejang subtle
Bentuk kejang ini lebih sering terjadi dibanding tipe kejang yang lain, hampir
50% dari kejang BBL baik pada BKB maupun cukup bulan. Manifestasi klinis berupa
orofasial, termasuk deviasi mata, kedipan mata, gerakan alis (lebih sering pada NKB)
yang bergetar berulang-ulang, mata yang tiba-tiba terbuka dengan bola mata terfiksasi ke
satu arah (lebih sering pada NKB) gerakan seperti menghisap, mengunyah, mengeluarkan
air liur, menjulurkan lidah, mendayung, bertinju, atau bersepeda. Episode apneu dapat
disebabkan oleh kejang, diagnosis ini dipertimbangkan jika terdapat respon yang lambat
terhadap ventilasi dengan balon dan sungkup khususnya pada neonates preterm dengan
lesi intrakranial. 2
Gerakan yang menyerupai kejang pada BBL
1. Apneu
Pada BBLR biasanya pernapasan tidak teratur, diselingi dengan berhentinya
pernapasan 3-6 detik dan sering diikuti hiperpnea selam 10-50 detik. Bentuk pernapasan
ini disebabkan belum sempurnanya pernapasan di batang otak dan berhubungan denagn
derajat prematuritas.
Serangan apneu yang termasuk gejala kejang apabila disertai dengan bentuk
serangan kejang yang lain dan tidak disertai bradikardia. Serangan apne tiba-tiba disertai
kesadaran menurun pada bayi berat lahir rendah perlu dicurigai adanya perdarahan
intrakranial dengan penekanan pada batang otak. Pada keadaan ini USG perlu segera
dikerjakan.2
2. Jitterness
Jitterness adalah fenomena yang sering terjadi pada BBL normal dan harus
dibedakan dengan kejang. Jitterness lebih sering pada bayi yang lahir dari ibu yang
menggunakan mariyuana, dapat menjadi tanda dari sindroma abstinensia BBL. Bentuk
gerakan adalah tremor simetris dengan frekuensi yang cepat 5-6 kali per detik. Jitterness
13
Kejang Neonatus
tidak termasuk wajah (tidak seperti kejang subtle) merupakan akibat dari sensitifitas
terhadap stimulus dan akan mereda jika anggota gerak ditahan.
Tabel perbedaan jitternes dengan kejang
e. Perubahan fungsi - +
autonom
3.Hiperekpleksia
Merupakan kelainan yang ditandai dengan hiopertoni. Respon kejut ini dapat
terlihat seperti kejang mioklonik dan keluarnya suara dengan nada tinggi. Hiperekpleksia
kemungkinan sama dengan kondisi yang sebelumnya disebut dengan sindroma stiff
baby herediter. Meslkipun gambaran EEG normal, spasme tonik dapat berbahaya dan
terapi sangat diperlukan 7
4. Spasme
Spasme pada tetanus neonatorum hampir mirip dengan kejang, tetapi kedua hal
tersebut harus dibedakan karena manajemen keduanya yang berbeda.
G. Diagnosis
Diagnosis kejang pada BBL didasarkan pada anamnesis yang lengkap, riwayat yang
berhubungan dengan penyebab penyakitnya, manifestasi klinis kejang, pemeriksaan fisik
serta pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Faktor resiko :
Riwayat kejang dalam keluarga
14
Kejang Neonatus
Riwayat yang menyatakan adanya kejang pada masa BBL pada anak terdahulu atau
bayi meninggal pada masa BBL tanpa diketahui penyebabnya.
Riwayat kehamilan/ prenatal
Infeksi TORCH atau infeksi lain saat ibu hamil
Preeklamsia, gawat janin
Pemakaian obat golongan narkotika, metadon
Imunisasi anti tetanus, Rubela
Riwayat persalinan
Asfiksia, episode hipoksik
Trauma persalinan
KPD (Ketuban Pecah Dini)
Anestesi lokal/ blok
Riwayat pascanatal
Infeksi BBL, keadaan bayi yang tiba-tiba memburuk
Bayi dengan pewarnaan kuning dan timbulnya dini
Perawatan tali pusat tidak bersih dan kering, infeksi tali pusat
Kejang oleh suara bising atau karena prosedur perawatan
Waktu atau awitan kejang mungkin berhubungan dengan etiologi
Bentuk gerakan abnormal yang terjadi 1,2,13
2. Pemeriksaan fisik
Inspeksi dan palpasi kepala : depresi, fraktur, moulase yang terlalu hebat
Transluminasi membantu diagnosis penimbunan cairan di subdural setempat, atau
adanya kelainan kongenital seperti porensefali atau hidransefali. Bila ubun-ubun
menonjol tanpa tanda-tanda infeksi selaput otak dilakukan tap subdural secara
hati-hati.11
Funduskopi sangat penting : perdarahan retina menunjukan kemungkinan
perdarahn intrakranial, koriorenitis dapat terjadi pada toxoplasmosis, infeksi
cytomegalo virus atau rubella. Adanya stasis vaskuler dengan pelebaran vena
dengan bentuk berkelok-kelok ditemukan pada sindrom hiperviskositas. 9
Pemeriksaan jantung dan paru
Pemeriksaan kulit : petekie, sianosis, ikterus, dsb
Pemeriksaan abdomen : hepatosplenomegali
Pemeriksaan neurologis : bentuk kejang, hemysnydrome, hilangnya reflex moro,
dsb
3. Pemeriksaan Laboratorium
Glukosa darah, Kalsium dan magnesium darah, Pemeriksaan darah lengkap,
diferensiasi leukosit dan trombosit, Elektrolit, Analisis Gas Darah, Analisis dan kultur
cairan serebrospinalis, Kultur darah.
15
Kejang Neonatus
4. Pemeriksaan lainnya
Titer TORCH
kadar amonia
USG kepala dan asam amino dalam urine.
EEG: Normal pada sekitar 1/3 kasus
USG kepala: Untuk perdarahan dan luka parut
CT Scan: Untuk mendiagnosis malformasi dan perdarahan otak 11
H. Diagnosis Banding
- Hipoglikemia
- Tetanus neonatorum
- Meningitis
- Asfiksia neonatorum
- Perdarahan intraventrikuler 2
I. Komplikasi
- Malformasi otak (15-20%)
- Retardasi mental
- Serebral palsy
J. Penatalaksanaan
Langkah pertama dalam manajemen kejang adalah Pertahankan homeostasis sistemik
(pertahankan jalan nafas, usaha nafas dan sirkulasi). O2 harus mulai, IV akses harus
diamankan, dan darah harus dikumpulkan untuk gula dan penyelidikan lain. Sejarah
relevan harus diperoleh dan cepat klinis pemeriksaan harus dilakukan. Semua ini
seharusnya tidak membutuhkan lebih dari 2-5 menit.
Terapi etiologi spesifik :
Hipoglikemia
GD < 25mg% atau ada tanda hipoglikemia :
Pasang infus dextrose 10 % dosis rumatan
Berikan Dextrose 10 % dosis 2ml/kgbb bolus iv (5mnt )
Jika infus belum bisa beri personde dosis sama
Periksa kadar glukose 1 jam kemudian dan tiap 3 jam
Bila kadar glukosa masih < 25 mg% :
Ulangi bolus dextr. 10 % dosis sama dan infus diteruskan
Bila kadar glukosa 25-45 mg% :
Lanjutkan infus dan periksa kadar glukosa setiap 3 jam s/d kadar 45mg
% atau lebih
Bila dalam 2 kali pemeriksaan > 45 mg%
Tangani secara normal, infus diteruskan sambil tetesan dikurangi, dan berikan
ASI.
Glukosa darah 25mg% tanpa tanda hipoglikemi :
16
Kejang Neonatus
Anjurkan ASI / PASI
Pantau tanda hipoglikemia, bila ada tangani lagi
Periksa kadar glukosa / 3 jam:atau sebelum minum berikutnya
Bila < 25mg% atau ada tanda klinik tangani HG
Bila 25 mg%-45mg% naikkan frekwensi minum sampai kadar glukosa darah
normal.
Setelah glukosa darah normal , periksa tiap 12 jam.
L. Prognosis
Ini terutama tergantung pada penyebab primer gangguan ini atau beratnya
serangan. Pada kasus bayi hipoglikemia dari ibu diabetes atau hipokalsemia akubat
makan fosfat berlebihan, prognosisnya sangat baik. Sebaliknya, anak dengan kejang yang
bandel karena ensefalopati hipoksik-iskemik atau kelainan sitoarkitektural otak biasanya
tidak akan berespon dengan anti konvulsan dan rentan terhadap status epileptikus dan
kematian awal. Tantangan pada dokter adalah untuk mengenali penderita yang akan
sembuh dengan pengpbatan segera dan mengjindari penundaan diagnosis yang dapat
menyebabkan cidera neurologis berat irreversibel. 8
18
Kejang Neonatus
BAB II
KESIMPULAN
1. Kejang merupakan gangguan neurologis yang lazim pada kelompok umur pediatri dan
terjadi dengan frekuensi 4-6 kasus/1000 anak.
2. Kejang ini merupakan penyebab yang paling lazim untuk rujukan pada praktek neurologi
anak.
3. Neonatus menghadapi risiko khusus terserang kejang karena penyakit metabolik, toksik,
struktural, dan infeksi lebih mungkin menjadi nampak selama waktu selama waktu ini
daripada pada periode kehidupan lain kapanpun.
4. Kejang neonatus tidak sama dengan kejang pada anak atau orang dewasa karena konvulsi
tonik klonik cenderung tidak terjadi selama umur bulan pertama. Proses pertumbuhan akson
dan tonjolan dendrit juga mielinisasi tidak sempurna pada otak neonatus. Discharge kejang
19
Kejang Neonatus
karenanya tidak dapat dengan mudah dijalarkan ke seluruh otak neonatus untuk
menimbulkan kejang menyeluruh. Dengan perawatan yang baik dan benar diharapkan akan
memperkecil angka kejadian kejang pada neonatus.
DAFTAR PUSTAKA
1. Haslam R. Kejang Neonatus. Editor: Waldo E. Dalam: Buku Ilmu Kesehatan Anak.
Jakarta : EGC. 2000; (vol: 3 ed: 15) 2064-2066
2. Irawan G. Kejang dan spasme. Editor: Kosim M. Dalam: Buku Ajar Neonatologi. Jakarta
: Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008; (edisi 1) 226-249
3. Adre J. Neonatal seizures. Dalam : Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care;
edisi ke-5. Boston : Lippincott Williams & Wilkins, 2004; 507-23.
4. Depkes RI. Buku bagan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit). Metode tepat
guna untuk paramedis, bidan dan dokter. Depkes RI, 2001.
5. Sankar J, Agarwal R. Seizures in the newborn. Department of Pediatrics. All India
Institute of Medical Sciences. Dimuat pada tahun 2010. Diunduh dari
http://www.newbornwhocc.org diakses tanggal 14 januari 2012
6. Khosim S, Indarso F, Irawan G, Hendrarto TW. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri
Neonatal Emergensi Dasar. Jakarta : Depkes RI, 2006; 84-92
7. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology, management,
procedures, on call problems disease and drugs; edisi ke-5. New York : Lange Books/Mc
Graw-Hill, 2004; 310-3.
20
Kejang Neonatus
8. Mizrahi EM, Kellaway P. Characterization and classification. In Diagnosis and
management of neonatal seizures. Lippincott-Raven, 1998; 15-35
9. Young TE, Mangum B. Neofax, edisi ke-7, 2004 : 154-155
10. Etika R. Kejang pada Neonatus. Dimuat pada tahun 2010. Diunduh dari
http://www.pediatrik.com/ Diakses tanggal 8 januari 2012.
11. Anonim. Kejang pada bayi baru lahir. Dimuat tahun 2009. Diunduh dari
http://www.supportunicefindonesia.org . Diakses tanggal 6 januari 2012.
12. Volpe JJ. Neonatal zeisures. Dalam: Volpe JJ, penyunting. Neurology of the newborn.
Edisi ke 4. Philadelphia: W B Saunders, 2001. h. 178-214
13. Wilker RE. Hypoglycemia and hyperglycemia Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual
of neonatal care; edisi ke-5. Boston : Lippincott Williams & Wilkins, 2004; 569-76.
14. Tjipta G. Kejang pada Neonatus. Dimuat tahun 2008. Diunduh dari
http://ocw.usu.ac.id/course/download/1125-NEONATOLOGI-ATAU-PERINATOLOGI
diakses tanggal 5 januari 2012.
21
Kejang Neonatus