Klasifikasi Jumlah
Ordo 21
Famili 85
Genera 301
Spesies 1240
Dari tabel tersebut maka dapat diketahui jumlah ordo ikan air tawar di
Indonesia didapatkan sejumlah 21 ordo. Pada tahun 2002 ditemukan 85 jenis
famili yang ada di Asia (Leveque dkk, 2008), jumlah tersebut sama dengan
jumlah famili yangdi dapatkan sekarang di Indoenesia. Dari 85 jumlah famili
maka 301 jumlah genera terdapat di dalamnya. Jumlah genera di Indonesia
adalah 301 genera dimana sama dengan 68,41% dari genera yang berada di
wilayah Oriental atau sama dengan 13,0472% dari jumlah genera di 6 wilayah
biogeografis dunia. Spesies ikan air tawar yang ada di Indonesia pada tahun
2002 ditemukan lebih dari 1240 spesies (Budiman dkk, 2002), sedangkan untuk
spesies ikan air tawar yang ditemukan tahun sekarang hanya didapatkan 1.240
spesies. Jadi spesies tersebut mengalami penurunan yang diakibatkan oleh
punahnya spesies tersebut atau spesies tersebut mengalami penggabungan atau
perubahan genera.
Tabel 2. Lima ordo ikan air tawar yang paling mendominasi
Ordo Jumlah
Famili Genera Spesies
Perciformes 30 103 365
Siluriformes 11 46 219
Cypriniformes 7 67 357
Atheriniformes 5 14 86
Beloniformes 3 8 60
Dari 21 jumlah ordo ikan air tawar yang ditemukan, terdapat 5 ordo ikan
air tawar yang paling mendominasi di perairan Indonesia. Ordo perciformes
memiliki habitat disekitar sungai yang terdapat puing dan bebatuan kayu. Ordo
Silluformes berasal dari benua bagian selatan yang lama-kelamaan berkembang
ke Amerika Selatan dan Afrika. Ordo Cypriniforme memiliki daerah
penyebaran di Asia Tenggara dan di Indonesia terdapat di Sumatera,
Kalimantan dan Jawa. Ordo Atherinformes terdistribusi oleh adanya invasi
habitat air tawar yang terus-menerus berlangsung.
14
300
200
150 123
100
62
45 44 37
50 34
13 9 9
0
Cyprinidae Gobiidae Eleotridae Siluridae Cobitidae
Famili
Genera Spesies
Gambar 1. Grafik lima famili ikan air tawar yang ada di Indonesia beserta
genera dan spesies
Dari grafik tersebut ditampilkan 5 famili yang paling mendominasi di
Indonesia. Famili Cyprinidae memmpunyai 70 species yang sudah tervalidasi
valid dan tersebar di seluruh Dunia. Gobiidae dapat ditemukan di seluruh
wilayah indo-pasifi dengan keragaman spesies yang dimilikinya. Famili
Eleotridae daerah persebaran dari Barat Hemisphere sampai Asia. Famili
Siluridae paling banyak ditemukan di Asia Tenggara tetapi di Asia timur
kearagamannya menurun dikarenakan suhu yang mulai menaik dan tidak cocok
untuk jenis famili ini. Famili Cobitidae daerah persebarannya kebanyakan
berada di Asia Timur.
60 56
52
50
41
Jumlah (spesies)
40
30
24
20
20
10
0
Rasbora Betta MelanotaeniaOsteochilus Pangio
Genera
b. Rhizophora mucronata
R. mucronata memiliki daun lebar dengan ujung daun yang
meruncing, di bagian bawah/belakang daun terdapat bintik-bintik
16
b. Halophila ovalis
Daunnya pipih,berbentuk bulat seperti telur, mempunyai tangkai
daun berwarna merah (bagian tengah).mempunyai panjang
helaian yang dapat mencapai 1,3cm. pertulangan daun berjumlah
10-25 pasang.
c. Thalassia hemprichii
Bentuknya menyerupai E. acoroides, tetapi dengan ukuran yang
lebih kecil dan tidak memiliki Rimpang berdiameter 2-4 mm
tanpa rambut-rambut kaku. Panjang daun 1-3 cm dan lebar daun
4-10 m.
a. Kerapatan lamun
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan apabila
dibandingkan dengan penelitian yang telah dilakukan di Pulau
Lima pada tahun 2012 menunjukkan bahwa kerapatan E.
acoroides mengalami penurunan (Lampiran 1). Tahun 2012
kerapatan lamun jenis E. acoroides dan T. hemprichii mencapai
25 ind/m2 dan 85 ind/m2 (Sudiarsa, 2012). Berbeda dengan
sekarang yang hanya 11 ind/m2 dan 5 ind/m2. Namun untuk jenis
H. ovalis baru ditemukan di Pulau Lima dengan kerapatan paling
tinggi mencapai 30,9 ind/m2. Ini membuktikan bahwa di daerah
sekitar Pulau Lima telah mengalami kerusakan pencemaran
sehingga membuat jumlah individu spesies lamun berkurang.
Tetapi tidak dengan H. ovalis karena spesies ini pertumbuhannya
sangat cepat sehingga banyak ditemuka di Pulau Lima
19
b. Frekuensi lamun
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan di Pulau
Lima maka didapatkan hasil nilai frekuensi jenis yang tertinggi
adalah lamun jenis E. acoroides sebesar 0,63 ind/ha. Dalam hal
ini maka jenis E. acoroides memiliki peluang kehadiran jenis
yang banyak tetapi jumlah individunya sedikit sehingga
mempengaruhi nilai kerapatannya.
c. Tutupan Lamun
Apabila dilihat dari ukuran morfologinya E. acoroides memiliki
ukuran yang paling besar dibandingkan dengan T. hemprichii dan
H. ovalis. Tetapi, berdasarkan analisis data dapat dilihat bahwa
H. ovalis mempunyai nilai tutupan relatif yang paling tinggi yaitu
sebesar 73 ind/m2, E. acoroides sebesar 17 ind/m2 dan T.
hemprichii sebesar 9 ind/m2. Hal ini disebabkan karena jarak
antar spesies khususnya Enhalus acoroides saling berjauhan,
berbeda dengan Halophila emprichii yang jaraknya berdekatan
dan jumla individunya banyak.
d. Indeks Nilai Penting
Berdasarkan hasil analisis dan pengamatan maka dapat diperoleh
apabila Indeks Nilai Penting yang paling tinggi adalah jenis
Halophila ovalis sebesar 156,94. Ini menunjukkan bahwa
Halophila ovalis memiliki peranan yang yang lebih tinggi
terhadap lingkungan daripada jenis Enhalus acoroides dan
Thallasia emprinchii.
4.2.3 Terumbu Karang
A. Identifikasi jenis karang
Adapun komponen penyusun terumbu karang yang ada di Pulau
Lima yaitu terdiri dari Hard coral, Dead Coral, Algae, Other Biota dan
Abiotic. Unsur abiotik merupakan penyusun terbanyak yang terdapat di
Pulau Lima. Pengukuran kualitas air menunjukkan bahwa nilai salinitas
sebesar 31 ppt, pH 5 dan suhu perairan 290C. Untuk terumbu karang yang
terdapat di Pulau Lima hanya terdapat 5 jenis yaitu Acropora Branching,
Branching Coral, Coral Entrusting, Massive Coral, Submassive Coral.
Lereng terumbu karang di Pulau lima sangat landai, sehingga
kedalamannya tidak sampai 1 m. Berikut gambaran Hard Coral yang ada
di Pulau Lima:
Death Coral
Abiotic
12%
56%
Algae
0%
Other Biota
11%
curah hujan yang tidak tentu, debit aliran air sungai yang masuk serta kontur
tanah berpengaruh terhadap tinggi rendahnya permukaan yang terjadi.
Berdasarkan data pengamatan yang telah dilakukan selama 30 hari
diperoleh rata-rata perbedaan tinggi rendah permukaan air. Waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai pasang tertinggi yaitu sekitar 6 jam sedangkan
waktu yang dibutuhkan untuk turun ke surut terendah adalah sekitar 18 jam.
Kondisi seperti ini tidak sebanding atau bisa dibilang tidak simetris, dimana
waktu yang dibutuhkan dari pasang menuju surut lebih lama dibandingkan
waktu yang dibutuhkan dari surut menuju pasang. Kondisi ketidaksimetrisan ini
merupakan suatu kondisi pasang surut yang umum diketahui didaerah sungai
dan muara sungai (Surbakti, 2010). Agar lebih jelasknya maka akan
ditampilkan data pasang-surut setiap 6 jam sekali.
40
Tinggi air (cm)
30
20
10
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Waktu pengamatan
MSL dimana kondisi tertinggi terlihat pada hari pertama pengamatan dimana
itu bertepatan dengan bulan penuh (purnama). Walaupun sebenarnya metode
ini salah dikarenakan pengamatan dan penancapan patok seharusnya dilakukan
pada posisi surut terendah, dikarenakan beberapa pertimbangan maka kondisi
seperti ini tetap dilakukan.
4.4 Pengelolaan Lingkungan Perairan
4.4.1 Parameter Biologi
Berdasarkan indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener,
keanekaragaman plankton pada stasiun 1 termasuk dalam kategori
sedang. Untuk stasiun lainnya berada pada tingkat keanekaragaman
rendah, karena 0<H<2,3. Indeks keseragaman terendah yaitu pada
stasiun 5, yaitu 0,28. Hal tersebut menjelaskan dominansi satu spesies
pada stasiun ini tinggi (0<E<0,4), mengindikasikan bahwa tidak dalam
kondisi seimbang (Lampiran 3).
Keanekaragaman plankton pada 3 stasiun menunjukkan dalam
keadaan rendah (0<H<2,3). Stasiun 2 menunjukkan Indeks Dominansi
yang tinggi, dengan nilai indeks 0,65 (E>0,6) daripada 2 stasiun yang
termasuk dalam kategori rendah (0<E<0,4) (Lampiran 3). Hal ini terjadi
dikarenakan pada perairan Sungai Cibanten sudah mulai tercemar,
adanya aktifitas bongkar muat kapal nelayan dan pabrik pengolah
rajungan di sepanjang sungai mengakibatkan kondisi perairan mulai
tercemar. Maka hanya plankton yang memiliki toleransi tinggi terhadap
aktifitas antropogenik yang dapat berkembang.
Kondisi plankton di Sungai Cengkok dapat dilihat yang
menunjukkan bahwa indeks keanekaragaman pada seluruh stasiun
berada pada kategori rendah (0<H<2,3). Tetapi keseragaman seluruh
stasiun dalam keadaan homogen dan tinggi yaitu E>0,6. Dominansi
pada stasiun 3 masuk dalam kategori tinggi, dengan nilai 0,69,
sedangkan stasiun lainnya berada pada kategori rendah (0<E<0,4)
(Lampiran 3).
Kelimpahan planton yang berada di Teluk Banten, Sungai
Cibanten dan Sungai Cengkok menunjukkan adanya 3 jenis plankton
yang mendominansi perairan yaitu Oscilatoria sp, Anabaena sp,
Vaucheria sp dengan persentase 19%, 9% dan 5%. Dari ketiga jenis
plankton tersebut apabila dilihat dari tingkat toleransinya terhadap
lingkungan maka termasuk dalam toleransi yang sedang terhadap
pencemaran.
4.4.2 Parameter Kimia
A. Salinitas
Salinitas yang ada di perairan Teluk Banten dan Sungai-sungai dapat
diketahui bahwa salinitas di perairan laut Teluk Banten relatif sama
berkisar antara 30/31 ppt. Salinitas di perairan Sungai Cibanten, dari
muara sungai (St.1) sampai jempatan (St.3) salinitas semakin
menurun. Tetapi untuk sungai Cengkok untuk seluruh stasiun
salinitas perairan 0 ppt, dikarenakan ukuran sungai yang besar
sehingga air laut tidak terlalu berpengaruh terhadap air sungai
tersebut (Lampiran 4).
23
B. pH
pH di Perairan laut Teluk Banten, Sungai Cibanten dan Sungai
Cengkok rata-rata sama yaitu antara 4-5 (Lampiran 4). Sehingga
perairan di Teluk Banten ini cenderung bersifat asam. Rendahnya
nilai pH tersebut mengakibatkan menurunnya kualitas perairan yang
pada akhirnya berdampak terhadap lingkungan dan kehidupan biota
di dalamnya.
C. Karbondioksida
Di perairan Teluk Banten memiliki kadar CO2 adalah 0 ini
mengindikasikan bahwa telah terjadi reaksi kesetimbangan
didalamnya. Tetapi untuk kadar CO2 di Sungai Cengkok dan Sungai
Cibanten tergolong cukup tinggi (Lampiran 4). Ini disebabkan oleh
banyaknya kandungan bahan organik yang berasal dari pembuangan
sisa-sisa sampah yang mengendap dan membusuk.
D. Alkalinitas
Rata-rata alkalinitas yang terkandung di perairan adalah rendah,
karena kandungan alkalinitas yang baik di perairan adalah berkisar
antara 30 500 mg/L CaCO3 (Lampiran 4). Rendahnya suatu nilai
Alkalinitas menandakan bahwa perairan tersebut memiliki sistem
buffer yang rendah (Pratiwi dkk., 2007).
4.4.3 Parameter Fisika
A. Kecepatan Arus
Kecepatan arus Teluk Banten dan Sungai Cibanten apabila dirata-
ratakan terbilang rendah. Sedangkan kecepatan arus di Sungai
Cengkok tergolong tinggi berkisar 0,16 m/s sampai 0,22 m/s
(Lampiran 4). Kecepatan arus di laut dipengaruhi oleh kondisi
fluktuasi pasang surut air laut. Kecepatan arus juga dipengaruhi
oleh kemiringan, kekasaaran, kedalaman, dan kelebaran dasar
perairan tersebut.
B. Kecerahan
Hasil pengukuran pada 3 perairan pengamatan menunujukkan
bahwa kecerahan pada Teluk Banten beragam antara 0,25m - 4,31
m. Sedangkan di Sungai Cengkok dan Sungai Cibanten berkisar
0,08m 0,45m (Lampiran 4). Rendahnya kecerahan di sungai
disebabkan karena tingginya sedimentasi lumpur, sehingga
berdampak terhadap rendahnya penetrasi cahaya yang masuk ke
perairan. Secara umum kecerahan di sungai berada dalam kondisi
buruk karena perairan dengan kecerahan dibawa 1 m tidak baik
untuk kelangsungan hidup biota perairan tersebut.
C. Suhu
Suhu di perairan baik pada Sungai Cibanten, Sungai Cengkok dan
Teluk Banten masih dalam keadaan optimal yaitu berkisar 280C
320C. Tetapi untuk St.2 Sungai Cibanten dan St.3 Sungai Cengkok
suhu perairan kurang dari 280C tetapi masih dapat ditolerir karena
perbedaan suhu tidak terlalu besar (Lampiran 4). Perbedaan suhu air
menyebabkan kadar oksigen terlarut menurun sehingga
menyebabkan terjadinya degradasi anaerobic yang akan menggangu
kehidupan biota di dalamnya (Hastomo, 2015).
24
Rp2,900,000.00
Rp2,800,000.00 Rp2,860,000.00
Rp2,700,000.00
RUPIAH (RP)
Rp2,600,000.00
Rp2,500,000.00
Rp2,510,500.00
Rp2,400,000.00
Rp2,300,000.00
Pendapatan 1 Pengeluaran
SD
70%
(60%), lulusan SMP (12%), lulusan SMA (12%) dan tidak pernah bersekolah (6%).
Pola pikir masyrakat dengan pendidikan akhir yang hanya sampai SD dengan pola
pikir masyrakat yang sudah kuliah tentu saja berbeda. Mereka hanya memikirkan
bagaimana cara mendapatkan penghasilan untuk hari itu saja, mereka tidak bisa
memanage pengdapatan yang di hasilkan dengan pengeluaran yang harus
dikeluarkan. Masyrakat dengan pendidikan yang kurang juga akan berakibat
kepada cara berpikir mereka yang susah menyesuaikan dengan teknologi yang
sedang berkembang. Sehingga nelayan tradisional sebagian besar hidup di bawah
garis kemiskinan.
4.6 Etika, Kebijakan dan Kelembagaan
5. KESIMPULAN
1. Spesies ikan air tawar yang terdapat di Indonesia ada 1240 spesies. Dalam
1240 spesies tersebut termasuk di dalam 301 genus, 85 famili dan 21 ordo.
2. Kondisi mangrove di sekitar kawasan PPN Karangantu untuk tingkat pohon
menurun dan rusak sedangkan kondisi mangrove untuk tingkat pancang dan
semai masih dalam kondisi baik. Untuk kondisi lamun dan terumbu karang
yang ada di Pulau Lima saat ini dalam keadaan rusak dan perlu dilakukan
kegiatan konservasi.
3. Rata-rata selisih tinggi pasang surut perharinya adalah 1-7 cm. Kondisi
pasang tertinggi pasang tertinggi terjadi pada tanggal 11 Februari 2017 dan
3 Maret 2017. Sedangkan untuk kondisi surut terendah terjadi pada tanggal
25 Februari 2017.
4. Kondisi kualitas air yang ada di Teluk Banten dapat diambil kesimpulan
bahwa perairan tersebut masih dalam keadaan batas normal. Tetapi untuk
kondisi perairan di sungai Cibanten dan Sungai Cengkok adalah buruk dan
dapat dikatakan tersemar.
5. Perekonomian di Desa Karangantu masih tergolong rendah, kondisi
pendapatan masyrakatnya lebih kecil dibandingkan dengan UMR kota
Serang. Kondisi sosial di Desa Karangantu sangat baik dan untuk tingkat
pendidikan di Desa Karangantu masih tergolong rendah.
6. Tugas dan fungsi lembaga yang ada di Desa Karangantu belum sepenuhnya
berjalan dengan baik. Pengawasan dari lembaga-lembaga yang ada di Desa
Karangantu sangat kurang.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Adrianto, L., Sobari, M., & Azis, N. (2006). Analisis Ekonomi Alternatif
Pengelolaan Ekosistem Mangrove Kecamatan Barru, Kabupaten
Barru.Link
4. Astuti, L. P., Warsa, A., & Satria, H. (2009). Kualitas Air Dan Kelimpahan
Plankton Di Danau Sentani, Kabupaten Jayapura. Journal Of Fisheries
Sciences, 11(1), 66-77.Link
7. Budiarto, A., Adrianto, L., & Kamal, M. (2015). Status Pengelolaan Perikanan
Rajungan (Portunus Pelagicus) Dengan Pendekatan Ekosistem Di Laut
Jawa (Wppnri 712). Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia, 7(1), 9-24.Link
10. Damar, A., Bengen, D. G., & Mukhlis Kamal, M. (2014). Optimasi
Kelembagaan Dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Perikanan
(Kasus Di Kabupaten Tangerang Provinsi Banten). Link
11. Dewi, K. T., Natsir, S. M., & Siswantoro, Y. (2010). Mikrofauna (Foraminifera)
Terumbu Karang Sebagai Indikator Perairan Sekitar Pulau-Pulau Kecil.
Ilmu Kelautan, 1, 1-9.Link
15. Hadijah, O. (2002). Kajian Morfometri Dan Karakteristik Kualitas Air Situ
Cilala, Kemang, Bogor, Jawa Barat (Doctoral Dissertation, Ipb (Bogor
Agricultural University)).Link
18. Indrayanti, M. D., Fahrudin, A., & Setiobudiandi, I. (2015). Penilaian Jasa
Ekosistem Mangrove Di Teluk Blanakan Kabupaten Subang. Jurnal Ilmu
Pertanian Indonesia, 20(2), 91-96. Link
19. Izuan, M., Viruly, L., & Razai, T. S. (2014). Kajian Kerapatan Lamun
Terhadap Kepadatan Siput Gonggong (Strombus Epidromis) Di Pulau
Dompak. Jurnal. Link
20. Johan, O. (2003). Metode Survei Terumbu Karang Indonesia. Yayasan Terangi.
Jakarta, 9.Link
22. KEPMEN-LH Nomor 200 Tahun 2004 Tentang Kriteria Baku Kerusakan Dan
Pedoman Penentuan Status Padang Lamun. Link
23. KEPMEN-LH Nomor 201 Tahun 2004 Tentang Kriteria Baku Dan Pedoman
Penentuan Kerusakan Mangrove. Link
27. Levque, C., Oberdorff, T., Paugy, D., Stiassny, M. L. J., & Tedesco, P. A.
(2008). Global Diversity Of Fish (Pisces) In Freshwater. Hydrobiologia,
595(1), 545-567.Link
28. Lolong, M., & Masinambouw, J. (2011). Penentuan Karakteristik Dan Kinerja
Hidro Oceanografi Pantai (Study Kasus Pantai Inobonto). Jurnal Ilmiah
Media Engineering, 1(2).Link
31. Muliawan, I., Fahrudin, A., Fauzi, A., & Boer, M. (2014). Analisis Stakeholders
Pada Perikanan Tangkap Kerapu, Preliminary Study Menuju Implementasi
Ecosystem Approach For Fisheries Management Di Kepulauan Spermonde
Kota Makassar. Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan Dan Perikanan, 9(2), 233-
246. Link
32. Mulyaningsih, A., Sahami, F. M., & Hamzah, S. N. (2015). Komposisi Dan
Kerapatan Jenis Serta Pola Penyebaran Lamun Di Perairan Teluk Tomini
Desa Wonggarasi Timur Kecamatan Wonggarasi Kabupaten Pohuwato.
Kim Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan, 3(3).Link
34. Nurudin, F. A., Martuti, N. K. T., & Irsadi, A. (2013). Keanekaragaman Jenis
Ikan Di Sungai Sekonyer Taman Nasional Tanjung Puting Kalimantan
Tengah. Life Science, 2(2). Link
37. Pratiwi, N. T., Adiwilaga, E. M., Basmi, J., Krisanti, M., & Hadijah, O. (2007).
Status Limnologis Situ Cilala Mengacu Pada Kondisi Parameter Fisika,
Kimia, Dan Biologi Perairan. Journal Of Fisheries Sciences, 9(1), 82-94.
Link
39. Puspasari, R., Wudianto, W., & Faizah, R. (2014). Penerapan Eafm Dalam
Pengelolaan Perikanan Malalugis (Decapterus Macarellus) Di Perairan Laut
Sulawesi. Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia, 6(1), 29-36.Link
40. Putri, L. F., & Manoy, J. T. (2013). Identifikasi Kemampuan Matematika Siswa
Dalam Memecahkan Masalah Aljabar Di Kelas Viii Berdasarkan
Taksonomi Solo. Jurnal Mathedunesa, 2(1), 1-8.Link
41. Saputra, H. M., Marusin, N., & Santoso, P. (2013). Struktur Histologis Insang
Dan Kadar Hemoglobin Ikan Asang (Osteochilus Hasseltii Cv) Di Danau
Singkarak Dan Maninjau, Sumatera Barat. Jurnal Biologi Universitas
Andalas, 2(2).Link
42. Saputra, S. W., Sukimin, S., Boer, M., Affandi, R., & Monintja, D. R. (2016).
Dinamika Populasi Udang Jari (Metapenaeus Elegans De Man 1907) Di
Laguna Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan
Dan Perikanan Indonesia, 12(1), 51-58.Link
44. Satrya, C., Yusuf, M., Shidqi, M., Subhan, B., & Arafat, D. (2017). Keragaman
Lamun Di Teluk Banten, Provinsi Banten. Jurnal Teknologi Perikanan Dan
Kelautan, 3(2), 29-34.Link
45. Selvia, M., Holilulloh, H., & Adha, M. M. (2014). Persepsi Masyarakat
Pendatang Terhadap Kearifan Lokal Di Lampung Barat Tahun 2013. Jurnal
Kultur Demokrasi, 2(5). Link
49. Susana, T. (2010). Tingkat Keasaman (Ph) Dan Oksigen Terlarut Sebagai
Indikator Kualitas Perairan Sekitar Muara Sungai Cisadane. Jurnal
Teknologi Lingkungan Universitas Trisakti, 5(2), Pp-33. Link
51. Sutarno, S., & Setyawan, A. D. (2015). Genetic Diversity Of Local And
Exotic Cattle And Their Crossbreeding Impact On The Quality Of
Indonesian Cattle. Biodiversitas, 16(2). Link
52. Suwelo, I. S. (2016). Spesies Ikan Langka Dan Terancam Punah Perlu
Dilindungi Undang-Undang. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan Dan Perikanan
Indonesia, 12(2), 161-168. Link
54. Tanto, T. A. (2009). Kinerja Ott Ps 1 Sebagai Alat Pengukur Pasang Surut Air
Laut Di Muara Binuangeun, Provinsi Banten. Link
56. Wiyanto, D. B., & Faiqoh, E. (2015). Analisis Vegetasi Dan Struktur Komunitas
Mangrove Di Teluk Benoa, Bali. Journal Of Marine And Aquatic Sciences,
1(1), 1-7.Link
Kerapatan
No Ekosistem Spesies Hasil Pengamatan Ket
pengamatan lainnya
1 Mangrove A.marina 5 9* pohon
(ind/100m2)
A.marina 14 0* pancang
(ind/25m2)
A.marina 2 0* semai
(ind/m2)
2 Lamun Enhalus 11 25** -
acoroides
(ind/m2)
Thalassia 5 85** -
hemprichii
(ind/m2)
Halophila 30 0** -
ovalis
(ind/m2)
Ket : *) = (Humaidy, 2010)
**) = (Sudiarsa, 2012)
35
Ket : Rasio perbandingan : 100%
SR : Saving ratio
SR : 100%
39