Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Konsep kunci
1. Pasien tidak dibenarkan meninggalkan kamar operasi kecuali jika jalan nafasnya
stabil dan paten, ventilasi dan oksigenasi yang adekuat, serta hemodinamik stabil.
2. Sebelum pasien berespon penuh, nyeri sering dimanifestasikan sebagai
kegelisahan pasca bedah. Gangguan sistemik serius (seperti hipoksemia, asidosis,
atau hipotensi), distensi kandung kemih, atau komplikasi pembedahan (seperti
perdarahan intraabdominal tersembunyi) harus selalu dipertimbangkan.
3. Menggigil yang terus menerus menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen,
produksi CO2, dan curah jantung. Efek-efek fisiologis ini seringkali tidak
ditoleransi dengan baik oleh pasien-pasien dengan penyakit jantung atau paru
sebelumnya.
4. Masalah respirasi adalah komplikasi serius yang paling sering dijumpai di unit
perawatan pasca anestesia (postanesthesia care unit, PACU). Kebanyakan
berkaitan dengan obstruksi jalan nafas, hipoventilasi, atau hipoksemia.
5. Hipoventilasi di PACU hampir selalu disebabkan oleh efek sisa zat-zat anestesi
yang mendepresi rangsangan nafas.
6. Sumbatan jalan nafas, depresi sirkulasi, atau asidosis berat (pH darah arteri <
7,15) adalah indikasi intubasi endotrakea segera pada pasien-pasien yang
mengalami hipoventilasi.
7. Setelah pemberian nalokson untuk meningkatkan respirasi, pasien harus diawasi
penuh kemungkinan terulangnya depresi nafas oleh opioid (renarkotisasi),
mengingat nalokson mempunyai durasi yang lebih pendek daripada kebanyakan
opioid.
8. Peningkatan pintas intrapulmoner dari kapasitas residual fungsional yang
menurun jadi kapasitas menutup adalah penyebab utama hipoksemia setelah
anestesi umum.
9. Kemungkinan pneumothoraks pasca bedah harus selalu dipertimbangkan setelah
pemasangan jalur sentral, blok interkostal, fraktur iga, diseksi leher, trakeostomi,
nefrektomi, atau prosedur retroperitoneal atau intraabdominal lainnya (termasuk
laparaskopi), terutama apabila kemungkinan diafragma tertusuk.
10. Hipovolemia adalah penyebab hipotensi tersering di PACU.
11. Rangsangan noksius dari nyeri insisional, intubasi endotrakea, atau distensi
kandung kemih biasanya menjadi penyebab hipertensi pasca bedah.
Ruang pemulihan sudah ada hampir 50 tahun di hampir semua pusat-pusat medis.
Sebelumnya, banyak kematian dini pasca bedah terjadi segera setelah anesthesia dan
pembedahan. Menyadari bahwa banyak kematian tersebut dapat dicegah, sehingga
ditekankan perlunya perawatan khusus segera setelah pembedahan. Kekuranangan
perawat di Amerika Serikat setelah Perang Dunia II mungkin juga yang menyebabkan
sentralisasi perawatan di ruang pemulihan, di mana satu atau lebih perawat dapat
mengawasi pasien secara ketat pada saat yang bersamaan. Oleh karena prosedur
pembedahan menjadi lebih kompleks dan dilakukan pada pasien yang sakitnya lebih
berat, perawatan ruang pemulihan sering diperpanjang daripada beberapa jam pertama
setelah operasi, dan beberapa pasien dengan penyakit kritis ditahan di ruang pemulihan
semalaman. Kesuksesan ruang pemulihan mula-mula ini menjadi faktor utama evolusi
unit perawatan intensif bedah modern. Ironisnya, ruang pemulihan mendapatkan status
perawatan intensif relatif belum lama ini di hampir semua rumah sakit, di mana disebut
sebagai unit perawatan pasaca anestesi atau postanesthesia care unit (PACU). Di
beberapa pusat medis PACU berfungsi sebagai bed ICU tambahan (untuk semalaman)
apabila ICU penuh.
Salah satu transformasi dramatis dalam pelayanan kesehatan selama dua decade
terakhir adalah pergeseran dari bedah rawat inap menjadi bedah rawat jalan (disebut juga
bedah sehari). Diperkirakan 60-70% prosedur pembedahan di Amerika Serikat dilakukan
berbasis rawat jalan. Pencetus utama perubahan ini adalah penghematan ekonomis
dengan cara tidak merawat pasien pada malam hari sebelum pembedahan atau merawat
pasien pada malam setelah pembedahan,. Keuntungan lain dari bedah rawat jalan
termasuk pemulihan dini, kenyamanan pasien, dan mengurangi risiko infeksi nosokomial.
Pada akhir setiap prosedur yang membutuhkan anesthesia, zat-zat anestetik
dihentika, monitor dilepaskan, dan pasien (sering masih teranestesi) dibawa ke PACU.
Setelah anestesi umum, bila pasien diintubasi dan ventilasi dinilai adekuat, pipa
endotrakea biasanya dilepaskan sebelum pindah. Pasien juga secara rutin diobservasi di
PACU setelah anestesi regional, dan dalam kebanyakan keadaan juga setelah pelayanan
anestesi bermonitor (anestesi local dengan sedasi). Kebanyakan petunjuk prosedur yang
mengharuskan seorang pasien dimasukkan ke PACU setelah pemberian anesthesia jenis
apapun, kecuali atas instruksi khusus dokter anestesi yang hadir. Setelah laporan lisan
singkat kepada perawat PACU, pasien ditinggalkan di PACU sampai efek utama
anesthesia dinilai telah hilang. Periode ini ditandai dengan relative tingginya insidensi
komplikasi respirasi dan sirkulasi yang mengancam nyawa.
Di beberapa pusat, pasien rawat jalan dipulangkan ke rumah langsung dari PACU;
pusat lainnya memisahkan PACU dan area pasien rawat jalan. Area tersebut juga
berfungsi sebagai area preoperative dan area pemulihan pasca anesthesia tingkat dua
(sebelum pindah). Sehingga, dua fase pemulihan dapat dikenali pada pasien rawat jalan.
Fase 1 adalah pemulihan tingkat perawatan intensif segera yang merawat pasien selama
pengakhiran dan bangun dari anesthesia dan berlangsung terus sampai criteria PACU
standar terpenuhi (lihat Kriteria Pemindahan di bawah ini); Fase 2 adalah perawatan
tingkat yang lebih rendah yang memastikan pasien siap untuk pulang. Fast-tracking
untuk pasien-pasien rawat jalan tertentu membolehkan pasien melewati pemulihan fase 1
dengan aman dan langsung masuk ke area fase 2.
Bab ini mendiskusikan komponen-komponen esensial PACU modern, perawatan
umum pasien pulih dari anesthesia, dan komplikasi respirasi dan sirkulasi yang paling
sering dijumpai.
Peralatan
Monitor oksimetri pulsa (SpO2), elektrokardiogram (EKG), dan pengukur
tekanan darah non invasive ototmatis (non invasive blood pressure, NIBP) untuk tiap
jarak dikehendaki tapi tidak diharuskan. Akan tetapi ketiga monitor tersebut harus segera
tersedia untuk tiap pasien. Beberapa PACU hanya memonitor SpO2 dan NIBP untuk tiap
pasien pada fase awal pemulihan dari anesthesia (perawatan fase 1); EKG hanya
digunakan untuk pasien-pasien dengan riwayat kelainan jantung sebelumnya atau yang
menunjukkan kelainan EKG intra operatif. Kadang-kadang perlu mengurangi monitor.
Kebanyakan insiden PACU yang menyebabkan morbiditas serius atau mortalitas
berhubungan dengan monitor yang tidak adekuat. Monitor yang mampu mentransduksi
setidaknya dua tekanan secara simultan harus tersedia untuk monitor tekanan arterial
langsung, vena sentral, arteri pulmonalis, atau tekanan intracranial. Kapnografi mungkin
berguna untuk pasien yang terintubasi. Strip sensitive suhu mungkin berguna untuk
mengukur suhu di PACU akan tetapi secara umum tidak cukup akurat untuk memantau
hipotermia atau hipertermia; thermometer air raksa atau elektronik harus digunakan bila
dicurigai ada kelainan dalam temperature. Alat penghangat udara, lampu penghangat, dan
selimut penghangat/pendingin harus tersedia.
PACU harus mempunyai sendiri peralatan emergensi, terpisah dari kamar operasi.
Termasuk di antaranya kanula oksigen, berbagai sungkup, jalan nafas oral dan nasal,
laringoskop, pipa endotrakea, LMA, dan kantung untuk ventilasi. Kateter untuk kanulasi
vaaskuler (vena, arteri, vena sentral, atau arteri pulmonalis) harus tersedia. Kateter pacu
transvena dan sebuah generator harus ada juga. Alat defibrilasi dengan kemampuan
transkutaneus dan sebuah lemari dengan obat-obatan dan alat-alat untuk bantuan hidup
lanjut (lihat Bab 47) dan pompa infuse harus ada dan secara periodik diperiksa.
Trakeostomi, pipa dada, dan peralatan vena seksi juga penting.
Peralatan terapi respirasi untuk terapi bronkodilator aerosol, continuous positive
airway pressure (CPAP), dan ventilator harus berada dekat dengan ruang pemulihan.
Bronkoskopi untuk PACU diharapkan tetapi tidak wajib.
Staff
Yang menjadi staf PACU hanyalah para perawat yang terlatih khusus menangani
pasien-pasien yang pulih dari anesthesia. Mereka harus ahli dalam manajemen jalan nafas
dan ACLS, begitu juga dengan masalah-masalah yang sering ditemukan pada pasien
surgikal yang berkaitan dengan perawatan luka, kateter drainase, dan perdarahan pasca
bedah.
PACU harus diarahkan oleh dokter spesialis anestesi. Seorang dokter yang
ditugaskan purna waktu di PACU dianjurkan di pusat-pusat yang sibuk tapi tidak wajib di
tempat-tempat yang fasilitasnya kecil. Manajemen pasien di PACU tidak boleh berbeda
dengan manajemen pasien di kamar operasi dan harus menunjukkan koordinasi antara
dokter anestesi, ahli bedah, dan konsultan manapun. Dokter spesialis anestesi tetap
menangani analgesia sebagaimana juga masalah jalan nafas, jantung, paru-paru, dan
metabolic, sedangkan ahli bedah menangani masalah-masalah yang berkaitan langsung
dengan prosedur pembedahan itu sendiri. Berdasarkan asumsi bahwa rata-rata lama
tinggal di PACU adalah 1 jam dan rata-rata prosedur berlangsung 2 jam, rasio satu
perawat ruang pemulihan untuk dua pasien umumnya memuaskan. Pengorganisasian
perawat harus disesuaikan dengan kekhasan tindakan pada tiap-tiap fasilitas. Jumlah
minimum dua perawat memastikan bahwa jika satu pasien memerlukan perawatan
kontinu, pasien-pasien lainnya akan tertangani adekuat. Yang terakhir ini juga penting
secara medikolegal, oleh karena jumlah staf yang tidak adekuat sering disebut-sebut
sebagai faktor utama penyebab masalah-masalah di PACU. Apabila kamar operasi secara
reguler sering dijadwalkan untuk pasien-pasien pediatrik atau prosedur yang singkat,
rasio satu perawat untuk satu pasien sering dibutuhkan. Kepala perawat harus ditugaskan
untuk memastikan pengorganisasian yang optimal sepanjang waktu.
PERAWATAN PASIEN
Pengakhiran Tertunda
Penyebab tersering pengakhiran tertunda (apabila pasien tidak menjadi sadar
dalam 30-60 menit setelah anestesi umum) adalah efek sisa zat anestetik, sedatif, dan
analgesia. Pengakhiran tertunda dapat terjadi sebagai akibat overdosis obat absolut atau
relatif atau potensiasi zat-zat anestetik oleh pemakaian obat sebelumnya (alkohol).
Pemberian nalokson (0,04 mg setiap kali) dan flumazenil (0,2 mg setiap kali) dapat
menghilangkan efek opioid dan benzodiazepin. Fisostigmin 1-2 mg dapat mengatasi efek
zat-zat lain secara parsial. Stimulator saraf dapat dipakai untuk menghilangkan blokade
neuromuskular yang nyata pada pasien yang mendapat ventilasi mekanik yang bernafas
dengan volume tidal yang tidak adekuat.
Penyebab lain pengakhiran tertunda yang lebih jarang di antaranya hipotermia,
gangguan metabolik yang bermakna, dan stroke perioperatif. Suhu tubuh kurang dari
33oC memberikan efek anestetik dan berpotensiasi sangat besar dengan efek obat-obat
yang mendepresi susunan saraf pusat. Alat penghangat udara adalah yang paling efektif
menaikkan suhu tubuh. Hipoksemia dan hiperkarbia dapat dikenali dari analisis gas
darah. Hiperkalsemia, hipermagnesemia, hiponatremia, dan hipoglikemia adalah
penyebab-penyebab yang jarang, yang membutuhkan pemeriksaan laboratorium untuk
mendiagnosisnya. Stroke periopoeratif jarang terjadi kecuali setelah pembedahan
neurologis, jantung, dan serebrovaskuler (lihar Bab 27); untuk diagnosisnya perlu
konsultasi neurologis dan pemeriksaan radiologis.
PEMULIHAN RUTIN
Anestesi Umum
Patensi jalan nafas, tanda-tanda vital, dan oksigenasi harus diperiksa segera saat
tiba. Pengukuran tekanan darah, laju nadi, dan laju respirasi secara rutin dilakukan
setidaknya tiap 5 menit selama 15 menit sampai stabil, dan selanjutnya tiap 15 menit.
Oksimetri pulsa harus dipantau kontinu pada semua pasien yang sedang pulih dari
anestesi umum, setidaknya sampai mereka kembali sadar. Kejadian hipoksemia tidak
harus berkaitan dengan kesadaran. Fungsi neuromuskular harus dinilai secara klinis,
misalnya mengangkat kepala. Setidaknya satu pengukuran suhu harus dilakukan. Monitor
tambahan termasuk penilaian nyeri (mis, skala numeris atau deskriptif), ada atau tidaknya
mual atau muntah, dan cairan keluar masuk termasuk aliran urine, drainase, dan
perdarahan. Setelah tanda-tanda vital inisial dicatat, dokter anestesi harus memberikan
laporan singkat kepada perawat PACU termasuk riwayat perioperatif (termasuk status
mental dan setiap permasalahan komunikasi seperti masalah bahasa, ketulian, kebutaan,
atau retardasi mental), kejadian-kejadian penting selama operasi (jenis anestesi, prosedur
pembedahan, kehilangan darah, penggantian cairan, dan komplikasi lainnya), masalah
pasca bedah yang akan timbul, dan instruksi pasca anesthesia (perawatan kateter epidural,
transfuse, ventilasi pasca bedah, dan lain-lain).
Semua pasien yang pulih dari anestesi umum harus mendapatkan 30-40 %
oksigen selama pengakhiran oleh karena hipoksemia sementara dapat terjadi pada pasien
yang sehat sekalipun. Pasien-pasien yang berisiko tinggi hipoksemia, seperti yang dengan
disfungsi paru atau yang menjalani prosedur abdmen atas atau thoraks, harus selalu
dimonitor dengan oksimetri pulsa meski sudah berakhir dan mungkin perlu suplemen
oksigen jangka panjang. Keputusan rasional bekenaan terapi oksigen kontinu pada saat
mengeluarkan pasien dari PACU didasarkan pada pengukuran SpO 2 dengan udara kamar.
Pengukuran gas darah arteri dapat dilakukan untuk memastikan pembacaan oksimetri
abnormal. Terapi oksigen harus diperhatikan penuh pada pasien-pasien dengan penyakit
paru obstruktif kronis atau dengan riwayat retensi CO 2. Pasien harus dirawat dengan
posisi kepala di atas apabila memungkinkan untuk mengoptimalkan oksigenasi. Akan
tetapi, mengangkat kepala tempat tidur sebelum pasien berespon dapat menyebabkan
obstruksi jalan nafas. Pada kasus-kasus seperti itu, jalan nafas oral dan nasal harus tetap
dipasang sampai pasien bangun. Pasien juga harus disuruh menarik nafas dalam dan
batuk secara periodik.
Anestesi Regional
Pasien-pasien yang disedasi secara penuh atau dengan hemodinamik tidak stabil
setelah anestesi regional harus pula mendapat suplemen oksigen di PACU. Level motoris
dan sensoris harus dicatat secara periodik setelah anestesi regional untuk
mendokumentasikan sejauh mana blok terjadi. Peringatan mungkin perlu diberikan untuk
mencegah cedera akibat gerakan lengan tak terkoordinasi setelah blok plexus brakhialis.
Tekanan darah harus selalu diawasi ketat setelah anestesi spinal dan epidural. Kateterisasi
kandung kemih mungkin perlu bagi pasien-pasien yang mendapat anestesi spinal atau
epidural lebih dari 4 jam.
Kontrol Nyeri
Pemberian NSAID pra bedah dengan atau tanpa asetaminofen secara nyata dapat
menurunkan kebutuhan opioid pasca bedah untuk prosedur-prosedur tertentu.
Penggunaan selective cyclooxygenase-2 inhibitors (mis, rofecoxib dan parecoxib)
mengurangi efek samping potensial pada fungsi platelet dan komplikasi gastrointestinal.
Hal serupa, infiltrasi luka dan blok saraf intra operatif (mis, ilioinguinal dan kaudal)
untuk prosedur-prosedur tertentu dapat pula mengurangi kebutuhn analgesia operatif.
Nyeri sedang hingga berat di PACU dapat ditangani dengan opioid parenteral atau
intraspinal, anesthesi regional, atau blok saraf tertentu (lihat Bab 18). Bila menggunakan
opioid, titrasi dosis kecil intravena pada umumnya aman. Meskipun bervariasi,
kebanyakan pasien cukup sensitif terhadap opioid dalam jam pertama anestesi umum.
Analgesia adekuat harus mengimbangi sedasi berlebihan. Opioid kerja sedang sampai
panjang, seperti meperidin, 10-20 mg (0,25-,5 mg/kg pada anak-anak), hidromorfon
0.250.5 mg (0.0150.02 mg/kg pada anak-anak), atau morfin, 24 mg (0.0250.05
mg/kg pada anak-anak), paling sering digunakan. Efek obat-obat analgesik biasanya
mencapai puncak dalam 4-5 menit. Depresi respirasi maksimal, khususnya dengan morfin
dan hidromorfon, mungkin tidak tampak sampai 20-30 menit kemudian. Saat pasien
bangun penuh, patient-controlled analgesia (PCA) dapat diberikan untuk pasien rawat
inap (lihat Bab 18). Pemberian opioid intramuskular memiliki kerugian berupa mula kerja
yang lambat dan bervariasi (10-20 menit) dan depresi respirasi tertunda (sampai 1 jam).
Apabila kateter epidural dipertahankan, pemberian fentanil, 50100 g, sufentanil,
2030 g, atau morfin, 35 mg lewat epidural, dapat mengurangi nyeri dengan baik bagi
orang dewasa; akan tetapi risiko depresi respirasi tertunda denga morfin mengharuskan
pengawasan khusus selama 12-24 jam setelahnya (lihat Bab 18). Anestesi interkosta,
interskalenus, femoral, epidural, atau kaudal sering berguna apabila analgesia opioid
tidak memuaskan (lihat Bab 18).
Agitasi
Sebelum pasien berespon penuh, nyeri sering dimanifestasikan sebagai
kegelisahan pasca bedah. Gangguan-gangguan sistemik yang serius (seperti hipoksemia,
asidosis, atau hipotensi), distensi kandung kemih, atau komplikasi bedah (seperti
perdarahan intraabdomen terselubung) harus selalu diperhatikan. Agitasi bermakna
mungkin perlu untuk dilakukan pengikatan lengan dan kaki untuk mencegah cedera,
terutama pada anak-anak. Apabila gangguan fisiologis serius telah dikesampingkan pada
anak-anak, kehadiran orang-orang yang dekat atau orang tua (jika mereka dibenarkan
masuk PACU) seringkali menenangkan pasien pediatrik. Faktor-faktor lainnya dia
antaranya ansietas pra bedah dan ketakutan sebagaimana juga efek samping obat (dosis
obat-obat antikolinergik, fenotiazin, atau ketamin yang besar). Fisostigmin 1-2 mg
intravena (0,05 mg/kg pada anak-anak), paling efektif untuk mengatasi delirium akibat
atropin dan skopolamin tetapi juga berguna untuk kasus lainnya. Jikalau gangguan
sistemi serius dan nyeri dapat diatasi, agitasi persisten mungkin perlu diberikan sedasi
midazolam dosis intravena 0.51 mg (0.05 mg/kg pada anak-anak) secara intermiten.
Faktor-faktor pasien
Usia muda
Wanita, terutama bila sedang menstruasi pada hari pembedahan atau pada
trimester pertama kehamian
Tubuh besar
Teknik anestesi
Anestesi umum
Obat-obatan
Opioid
Gas volatile
? Neostigmin
Prosedur pembedahan
Bedah strabismus
Bedah telinga
Laparoskopi
Orchiopeksi
Pengangkatan ovum
Tonsillektomi
Hipotensi
Kontroversi timbul tentang penggunaan profilaksis PONV secara rutin untuk
semua pasien. Jelas semua pasien dengan faktor-faktor risiko multipel harus mendapat
profilaksis. Sebagai tambahan, penggunaan dua atau lebih obat-obat antiemetik lebih
efektif daripada satu obat. Penelitian hasil dan survei kepuasan menduga sedikit atau
tidak ada perbedaan antara profilaksis rutin dan strategi terapi sesuai kebutuhan.
Kriteria Pengeluaran
PACU
Semua pasien harus dinilai oleh dokter anestesi sebelum keluar dari PACU
kecuali ada kriteria pengeluaran yang ketat. Kriteria pengeluaran pasien dari PACU
ditetapkan oleh departemen anestesiologi dan staf medis rumah sakit. Mereka boleh
membenarkan perawat PACU untuk menentukan bila pasien dapat dipindahkan tanpa
kehadiran dokter jika seluruh kriteria telah terpenuhi. Kriteria dapat bervariasi,
bergantung apakah pasien akan pindah ke unit perawatan intensif, ruang perawatan biasa,
departemen rawat jalan (pemulihan fase 2), atau langsung pulang ke rumah.
Sebelum keluar, pasien harus dipantau apakah ada depresi respirasi setidaknya 20-
30 menit setelah dosis narkotik parenteral terakhir diberikan. Kriteria pengeluaran
minimum lainnya untuk pasien yang pulih dari anestesi umm biasanya termasuk:
(1) Mudah dibangunkan
(2) Orientasi penuh
(3) Kemampuan mempertahanan dan menjaga jalan nafas
(4) Tanda-tanda vital stabil sekurangnya selama 15-30 menit
(5) Kemampuan meminta tolong bila diperlukan
(6) Tidak ada komplikasi bedah yang jelas (seperti perdarahan aktif)
Mengendalikan nyeri pasca bedah, mengendalikan mual dan muntah, dan
mengembalikan normotermia sebelum keluar sangat diharapkan. Sistem skor secara luas
dipakai. Kebanyakan menilai SpO2 (atau warna), kesadaran, sirkulasi, respirasi, aktivitas
motor (Tabel 48-2). Kebanyakan pasien dapat memenuhi kriteria pengeluaran dalam 60
menit di PACU. Pasien yang akan dipindahkan ke fasilitas perawatan intensif lainnya
tidak perlu memenuhi semuanya.
Respirasi
Dapat bernafas dalam dan batuk Bernafas dalam dan batuk sendiri 2
Sirkulasi
Tekanan darah berkisar lebih > 50% Tekanan darah lebih dari 50 mm Hg 0
normal normal
Kesadaran
Kriteria Asli Kriteria Termodifikasi Nilai
Poin
Bangun, awas, berorientasi Bangun penuh 2
Aktivitas
1
Berdasarkan Aldrete JA, Kronlik D: A postanesthetic recovery score. Anesth Analg
1970;49:924 and Aldrete JA: The post-anesthesia recovery score revisited. J Clin
Anesth 1995;7:89.
2
Idealnya, pasien harus dikeluarkan bila skor total 10 tetapi minimum yang
dibutuhkan 9.
RAWAT JALAN
Sebagai tambahan terhadap pengakhiran dan bangun, pemulihan dari anesthesia
setelah prosedur pasien rawat jalan mencakup dua tahap tambahan: siap pulang ke rumah
(pemulihan fase 2) dan pemulihaan psikomotor lengkap. Sistem skor telah dikembangkan
untuk membantu menilai kesiapan pulang ke rumah (Tabel 48-3). Pemulihan
propriosepsi, tonus simpatis, fungsi kandung kemih, dan kekuatan motoris adalah kriteria
tambahan setelah anestesi regional. Sebagai contoh, propriosepsi yang intak terhadap
jempol besar, perubahan ortostatik minimal, dan fleksi plantar normal adalah tanda-tanda
penting pemulihan dari anestesi spinal. Urinasi sebelum keluar dan makan/minum
sebelum keluar tidak lagi secara umum diharuskan; pengecualian termasuk pasien dengan
riwayat retensi urine dan diabetes.
Kriteria Poin
Tanda-tanda vital
Tingkat aktivitas
Perlu bantuan 1
Tidak 1
Perdarahan surgikal
1
Berdasarkan Marshall SI, Chung F: Discharge criteria and complications after
ambulatory surgery. Anesth Analg 1999;88:508.
2
Skor 9 boleh keluar.
Semua pasien rawat jalan boleh pulang ke rumah dengan ditemani oleh orang
dewasa yang dapat bertanggung jawab yang akan bersamanya semalaman. Pasien harus
diberikan instruksi pasca bedah tertulis tentang bagaimana mendapatkan pertolongan
emergensi dan untuk melakukan perawatan ruitn. Penilaian kesiapan pulang ke rumah
adalah tanggung jawab dokter, lebih diharapkan dokter anestesi, yang dekat dengan
pasien. Kewenangan memulangkan pasien dapat didelegasikan kepada perawat bila
kriteria pemulangan yang telah disetujui dilaksanakan secara ketat.
Kesiapan pulang ke rumah tidak berarti pasien boleh membuat keputusan penting,
mengendarai kendaraan, atau kembali bekerja. Aktivitas ini memerlukan pemulihan
psikomotor komplit, yang kadang tidak tercapai dalam 24-72 jam pasca bedah. Semua
pusat pasien rawat jalan harus menggunakan beberapa sistem pemantauan pasca bedah
yang mencakup penggunaan kuesioner pasien atau lebih diharapkan kontak telepon pada
hari setelah pulang.
KOMPLIKASI RESPIRASI
Masalah respirasi adalah komplikasi serius yang paling sering dijumpai di PACU.
Hampir semua berhubungan dengan obstruksi jalan nafas, hipoventilasi, atau hipoksemia.
Oleh karena hipoksemia adalah masalah umum terakhir yang mengarah kepada
morbiditas serius dan kematian, monitor oksimetri pulsa secara rutin di PACU dapat
mengenali komplikasi ini secara dini dan memperkecil hasil yang buruk.
Hipoventilasi
Hipoventilasi, yang biasanya didefinisikan sebagai PaCO2 lebih besar daripada 45
mm Hg, adalah kejadian umum setelah anestesi umum. Hampir dalam semua kejadian,
hipoventilasi sifatnya ringan, dan dalam banyak kasus terabaikan. Hipoventilasi nyata
biasanya bermakna klinis hanya jika PaCO2 lebih besar daripada 60 mm Hg atau pH
darah arteri kurang dari 7,25. Tanda-tandanya bervariasi dan termasuk somnolen yang
berat dan lama, obstruksi jalan nafas, laju respirasi yang lambat, takipnea dengan nafas
dangkal, atau nafas yang berat. Asidosis respirasi ringan hingga sedang menyebabkan
takikardi dan hipertensi atau iritabilitas jantung (melalui stimulasi simpatis), tetapi
asidosis yang lebih berat menyebabkan depresi sirkulasi (lihat bab 30). Jika hipoventilasi
nyata dicurigai, pengukuran gas darah arteri harus dilakukan untuk menilai seberat mana
dan mengarahkan terapi selanjutnya.
Hipoventilasi di PACU paling sering diakibatkan oleh efek sisa obat-obat
anestetik terhadap pusat nafas. Depresi respirasi oleh opioid ditandai dengan laju nafas
lambat, seringkali dengan volume tidal yang besar. Sedasi berlebihan juga sering
menyebabkan, tetapi pasien masih berespon dan dapat meningkatkan nafas jika disuruh.
Pola bifasik atau berulan dari depresi respirasi telah dilaporkan dengan semua opioid.
Mekanisme yang diduga termasuk variasi dalam intensitas stimulasi selama pemulihan
dan pelepasan opioid dari perifer yang tertunda seperti otot rangka (atau mungkin paru
dengan fentanil) saat pasien menghangat kembali dan mulai bergerak. Sekresi opioid
yang diberikan secara intravena ke dalam cairan gaster setelah reabsorpsi telah dijelaskan
akan tetapi tampaknya tidak dapat menjelaskannya oleh karena ekstraksi hepatik tinggi
untuk kebanyakan opioid.