Anda di halaman 1dari 10

PERJANJIAN KERJA

1. Pengertian Perjanjian Kerja

Perjanjian kerja dalam bahasa Belanda adalah Arbeidsoverenkoms, mempunyai


beberapa pengertian. Pasal 1601 a KUHPerdata memberikan pengertian sebagai berikut :

Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak ke-1 (satu)/buruh atau pekerja
mengikatkan dirinya untuk dibawah perintah pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu
tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 14


memberikan pengertian yakni :

Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan pengusaha atau
pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak.

Selain pengertian normatif diatas, Iman Soepomo (53 : 1983) berpendapat bahwa
perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu (buruh), mengikatkan diri untuk
bekerja dengan menerima upah dari pihak kedua yakni majikan, dan majikan mengikatkan
diri untuk memperkerjakan buruh dengan membayar upah.

Menyimak pengertian perjanjian kerja menurut KUHPerdata, bahwa ciri khas


perjanjian kerja adalah adanya di bawah perintah pihak lain sehingga tampak hubungan
antara pekerja dan pengusaha adalah hubungan bawahan dan atasan (subordinasi).

Sedangkan pengertian perjanjian kerja menurut Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan sifatnya lebih umum, karena menunjuk hubungan antara pekerja
dan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.

Perjanjian kerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang


Ketenagakerjaan tidak menyebutkan bentuk perjanjian kerja itu lisan atau tertulis, demikian
juga mengenai jangka waktunya ditentukan atau tidak sebagaimana sebelumnya diatur dalam
UU No. 25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan.

2. Unsur-unsur dalam Perjanjian Kerja

Berdasarkan pengertian perjanjian kerja diatas, dapat ditarik beberapa unsur dari
perjanjian kerja, yakni :

a. Adanya Unsur Work atau Pekerjaan

Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (objek perjanjian),
pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja, hanya dengan seizin majikan
dapat menyuruh orang lain. Hal ini dijelaskan dalam KUHPerdata Pasal 1603 a yang
berbunyi :

Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanya dengan seizin majikania dapat
menyuruh orang ketiga menggantikannya.
Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena bersangkutan
ketrampilan/keahliannya, maka menurut hukum jika pekerja meninggal dunia maka
perjanjian kerja tersebut putus demi hukum.

b. Adanya Unsur Perintah

Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha adalah
pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan
sesuai dengan yang diperjanjikan. Di sinilah perbedaan hubungan kerja dengan hubungan
lainnya.

c. Adanya Unsur Upah

Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja, bahkan dapat dikatakan
bahwa tujuan utama orang bekerja pada pengusaha adalah untuk memperoleh upah. Sehingga
jika tidak unsur upah, maka suatu hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja.

3. Syarat Sahnya Perjanjian Kerja

Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya, perjanjian kerja harus memenuhi syarat
sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan juga pada Pasal 1
angka 14 Jo Pasal 52 ayat 1 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, definisi perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan
pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para
pihak. Dalam Pasal 52 ayat 1 menyebutkan bahwa :

1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar:

kesepakatan kedua belah pihak;

kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;

adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan

pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan,


dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan.

3) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum.

Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang mengikatkan
dirinya, bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja harus setuju/sepakat, seia-
sekata mengenai hal-hal yang diperjanjikan.

Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian harus
haruslah cakap membuat perjanjian (tidak terganggu kejiwaan/waras) ataupun cukup umur
minimal 18 Tahun (Pasal 1 angka 26 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan).

Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dalam istilah Pasal 1320 KUHPerdata adalah hal
tertentu. Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan objek dari perjanjian. Objek perjanjian
haruslah yang halal yakni tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum
dan kesusilaan.

Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi semuanya baru dapat
dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah. Syarat kemauan bebas kedua belah pihak dan
kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak dalam membuat perjanjian dalam hukum
perdata disebut sebagai syarat subjektif karena menyangkut mengenai orang yang membuat
perjanjian.

4. Bentuk dan Jangka Waktu Perjanjian Kerja

Perjanjian kerja dapat dibuat dalam bentuk lisan dan/ atau tertulis (Pasal 51 ayat 1
Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan). Secara normatif bentuk
tertulis menjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak, sehingga jika terjadi perselisihan
akan sangat membantu proses pembuktian.

Dalam Pasal 54 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan


menyebutkan bahwa perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya
membuat keterangan :

a. Nama, alamat perusahaan dan jenis usaha;

b. Nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja/buruh;

c. Jabatan atau jenis pekerjaan;

d. Tempat pekerjaan;

e. Besarnya upah dan cara pembayarannya;

f. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;

g. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;

h. Tempat dan tanggal perjanjian dibuat; dan

i. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

Berdasarkan Pasal 56 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang


Ketenagakerjaan, terdapat 2 (dua) jenis perjanjian kerja, yaitu Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
a. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

Menurut Pasal 56 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaanperjanjian kerja dapat dibuat untuk waktu tertentu dan untuk waktu tidak
tertentu. Dalam Pasal 56 ayat (2) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaanmengatur bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu didasarkan atas
jangka waktu atau selesainya satu pekerjaan tertentu.

Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis (Pasal 57
ayat 1 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan). Ketentuan ini
dimaksudkan untuk lebih menjamin atau menjaga hal-hal yang tidak dinginkan sehubungan
dengan berakhirnya kontrak kerja.

Masa percobaan adalah masa atau waktu untuk menilai kinerja, kesungguhan dan
keahlian seorang pekerja. Lama masa percobaan adalah 3 (tiga) bulan, dalam masa percobaan
pengusaha dapat mengakhiri hubungan kerja secara sepihak. Ketentuan yang tidak
membolehkan adanya masa percobaan dalam perjanjian kerja untuk waktu tertentu karena
perjanjian kerja berlansung relatif singkat. Dalam hal ini pengusaha dilarang membayar upah
dibawah upah minimum yang berlaku.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi


Republik Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Kepmenakertrans 100/2004), pengertian Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha
untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu atau
untuk pekerjaan tertentu yang bersifat sementara selanjutnya disebut Kepmen 100/2004.
Pengertian tersebut sependapat dengan pendapat Prof. Payaman Simanjuntak bahwa PKWT
adalah perjanjian kerja antara pekerja/ buruh dengan pengusaha untuk melaksanakan
pekerjaan yang diperkirakan selesai dalam waktu tertentu yang relatif pendek yang jangka
waktunya paling lama 2 tahun,dan hanya dapat diperpanjang satu kali untuk paling lama
sama dengan waktu perjanjian kerja pertama, dengan ketentuan seluruh (masa) perjanjian
tidak boleh melebihi tiga tahun lamanya. Lebih lanjut dikatakan, bahwa PKWT dibuat untuk
jangka waktu 1 (satu) tahun, maka hanya dapat diperpanjang satu kali denan jankga waktu
(perpanjangan) maksimum 1 (satu) tahun. Jika PKWT dibuat untuk 1 1/2 tahun, maka dapat
diperpanjang 1/2 tahun.

Demikian juga apabila PKWT untuk 2 tahun, hanya dapat diperpanjang 1 tahun
sehingga seluruhnya maksimum 3 tahun . PKWT adalah perjanjian bersayarat, yakni (antara
lain) dipersyaratkan bahwa harus dibuat tertulis dan dibuat dalam bahasa Indonesia, dengan
ancaman bahwa apabila tidak dibuat secara tertulis dan tidak dibuat dengan bahasa Indonesia,
maka dinyatakan (dianggap) sebagai PKWTT (pasal 57 ayat (2) UUK).

Dalam Pasal 59 ayat 1 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang


Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu (kontrak) hanya
dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya
akan selesai dalam waktu tertentu, yakni :
Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan
paling lama 3 (tiga) tahun;

Pekerjaan yang bersifat musiman; dan

Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan
yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelaslah bahwa perjanjian kerja untuk waktu
tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.

b. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi


Republik Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Kepmenakertrans 100/2004), pengertian Perjanjian Kerja
Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan
pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap.

PKWTT dapat dibuat secara tertulis maupun secara lisan dan tidak wajib mendapatkan
pengesahan dari instansi ketenagakerjaan terkait. Jika PKWTT dibuat secara lisan, maka
klausul-klausul yang berlaku di antara mereka (antara pengusaha dengan pekerja) adalah
klausul-klausul sebagaimana yang di atur dalam UU Ketenagakerjaan.

PKWTT dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan. Selama
masa percobaan pengusaha wajib membayar upah pekerja dan upah tersebut tidak boleh lebih
rendah dari upah minimum yang berlaku.

Menurut Pasal 15 Kepmenakertrans 100/2004, PKWT dapat berubah menjadi PKWTT,


apabila:

PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin berubah menjadi
PKWTT sejak adanya hubungan kerja;

Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam jenis
pekerjaan yang dipersyaratkan, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak adanya
hubungan kerja;

Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru
menyimpang dari ketentuan jangka waktu perpanjangan, maka PKWT berubah menjadi
PKWTT sejak dilakukan penyimpangan;

Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang waktu 30 (tiga puluh)
hari setelah berakhirnya perpanjangan PKWT dan tidak diperjanjikan lain, maka PKWT
berubah menjadi PKWTT sejak tidak terpenuhinya syarat PKWT tersebut;
Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap pekerja dengan hubungan
kerja PKWT sebagaimana dimaksud dalam angka (1), angka (2), angka (3) dan angka (4),
maka hak-hak pekerja dan prosedur penyelesaian dilakukan sesuai ketentuan peraturan
perundang- undangan bagi PKWTT.

5. Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Kerja

a. Kewajiban Buruh/Pekerja

Dalam KUHPerdata ketentuan mengenai kewajiban buruh/pekerja diatur dalam Pasal


1603, 1603a, 1603b dan 1603c yang pada intinya adalah sebagai berikut:

Buruh/Pekerja wajib melakukan pekerjaan; melakukan pekerjaan adalah tugas utama


dari seorang pekerja yang harus dilakukan sendiri, meskipun demikian dengan seizin
pengusaha dapat diwakilkan.

Buruh/Pekerja wajib menaati peraturan dan petunjuk majikan/pengusaha; dalam


melakukan pekerjaan buruh/pekerja wajib menaati petunjuk yang diberikan oleh pengusaha.
Aturan yang wajib ditaati oleh pekerja sebaiknya dituangkan dalam peraturan perusahaan
sehingga menjadi lebih jelas ruang lingkup dari petunjuk tersebut.

Kewajiban membayar ganti rugi dan denda; jika buruh/pekerja melakukan perbuatan
yang merugikan perusahaanbaik karena kesengajaan atau kelalaian, maka sesuatu dengan
prinsip hukum pekerja wajib membayar ganti rugi dan denda.

b. Kewajiban Pengusaha

Kewajiban membayar upah; dalam hubungan kerja kewajiban utama pengusaha adalah
membayar upah kepada pekerjanya secara tepat waktu. Ketentuan tentang upah ini juga telah
mengalami perubahan pengaturan ke arah hukum publik dengan adanya campur tangan
Pemerintah dalam menetapkan besarnya upah terendah yang harus dibayar pengusaha yang
dikenal dengan upah minimum, maupun pengaturan upah dalam Peraturan Pemerintah No. 8
Tahun 1981Tentang Perlindungan Upah.

Kewajiban memberikan istrahat/cuti; pihak majikan/ pengusaha diwajibkan untuk


memberikan istrahat tahunan kepada pekerja secara teratur. Cuti tahunan lamanya 12(dua
belas) hari kerja. Selain itu pekerja juga berhak atas cuti panjang selama 2 (dua) bulan setelah
bekerja terus-menerus selama 6 (enam) bulan pada suatu perusahaan(Pasal 79 ayat 2 Undang
Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan).

Kewajiban mengurus perawatan dan pengibatan; majikan/pengusaha wajib mengurus


perawatan/pengobatan bagi pekerja yang bertempat tinggal dirumah majikan (Pasal
1602xKUHPerdata). Dalam perkembangan hukum ketenagakerjaan, kewajiban ini tidak
hanya terbatas bagi pekerja yang bertempat tinggal dirumah majikan. Perlindungan bagi
tenaga kerja yang sakit, kecelakaan, dan kematian telah dijamin melalui perlindingan
Jamsostek sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang
Jamsostek dan sekarang telah dirubah menjadi BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial)
Ketenagakerjaan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN
2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL.

Kewajiban memberikan surat keterangan; kewajiban ini didasarkan pada ketentuan


Pasal 1602a KUHPerdata yang menentukan bahwa majikan/pengusaha wajib memberikan
surat keterangan yang diberi tanggal dan dibubuhi tanda tangan. Dalam surat keterangan
tersebut dijelaskan mengenai sifat pekerjaan yang dilakukan, lamanya hubungan kerja (masa
kerja). Surat keterangan itu juga diberikan meskipu inisiatif PHK (Pemutusan Hubungan
Kerja) datangnya dari pihak pekerja. Surat keterangan tersebut sebagai bekal pekerja dalam
mencari pekerjaan baru, sehingga dia diperlakukan sesuai dengan pengalaman pekerjaannya.

PERJANJIAN KERJA UNTUK WAKTU TERTENTU


Definisi perjanjian kerja menurut Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau
pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.

Menurut Pasal 56 ayat (1) UU Ketenagakerjaan perjanjian kerja dapat dibuat untuk waktu tertentu dan untuk
waktu tidak tertentu. Pada artikel ini akan dibahas mengenai perjanjian kerja untuk waktu tertentu. Dalam Pasal
56 ayat (2) UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu didasarkan atas jangka
waktu atau selesainya satu pekerjaan tertentu.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor
KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Kepmenakertrans
100/2004), pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh
dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu.

PKWT didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. PKWT dibuat secara tertulis serta
harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin dan PKWT wajib didaftarkan kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Selain itu, PKWT tidak dapat mensyaratkan adanya masa
percobaan kerja dan tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.

PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya
akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:

1. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;


2. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga)
tahun;
3. pekerjaan yang bersifat musiman, yaitu pekerjaan yang pelaksanaannya tergantung pada musim atau cuaca
sehingga hanya dapat dilakukan untuk satu pekerjaan pada musim tertentu; atau
4. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam
percobaan atau penjajakan.

PKWT yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya
boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun serta dapat diperbaharui 1 (satu)
kali untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun. Pengusaha yang bermaksud memperpanjang PKWT tersebut,
paling lama 7 (tujuh) hari sebelum PKWT berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada
pekerja/buruh yang bersangkutan. Pembaruan PKWT hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang
waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya PKWT yang lama.

Khusus untuk PKWT yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih
dalam percobaan atau penjajakan tidak dapat dilakukan pembaharuan perjanjian kerja.

Apa yang dimaksud dengan Kontrak Kerja?


Kontrak Kerja/Perjanjian Kerja menurut Undang-Undang No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan
adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat
syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.

Bagaimana membuat kontrak kerja yang memenuhi


syarat? Ada saja yang ada di dalamnya?
Menurut pasal 54 UU No.13/2003, Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang
kurangnya harus memuat:

a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha

b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh

c. jabatan atau jenis pekerjaan

d. tempat pekerjaan

e. besarnya upah dan cara pembayarannya

f. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh

g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja

h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dani. tanda tangan para pihak dalam perjanjian
kerja.

Apa syarat kontrak kerja dianggap sah?


Pada dasarnya untuk menyatakan suatu perjanjian kerja dianggap sah atau tidak maka wajib
untuk memperhatikan ketentuan dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata) yang menyatakan bahwa :

Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;

kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya


kecakapan untuk membuat suatu perikatan
suatu pokok persoalan tertentu
suatu sebab yang tidak terlarang

Pasal 52 ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga menegaskan bahwa :

Perjanjian kerja dibuat atas dasar:


kesepakatan kedua belah pihak
kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
adanya pekerjaan yang diperjanjikan
pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan
peraturan perundang undangan yang berlaku.

Apa saja jenis kontrak kerja menurut bentuknya?


a) Berbentuk Lisan/ Tidak tertulis

Meskipun kontrak kerja dibuat secara tidak tertulis, namun kontrak kerja jenis ini tetap bisa
mengikat pekerja dan pengusaha untuk melaksanakan isi kontrak kerja tersebut.

Tentu saja kontrak kerja jenis ini mempunyai kelemahan fatal yaitu apabila ada beberapa isi
kontrak kerja yang ternyata tidak dilaksanakan oleh pengusaha karena tidak pernah dituangkan
secara tertulis sehingga merugikan pekerja.

b) Berbentuk Tulisan

Perjanjian yang dituangkan dalam bentuk tulisan, dapat dipakai sebagai bukti tertulis apabila
muncul perselisihan hubungan industrial yang memerlukan adanya bukti-bukti dan dapat
dijadikan pegangan terutama bagi buruh apabila ada beberapa kesepakatan yang tidak
dilaksanakan oleh pengusaha yang merugikan buruh.

Dibuat dalam rangkap 2 yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, masing-masing buruh
dengan pengusaha harus mendapat dan menyimpan Perjanjian Kerja (Pasal 54 ayat 3 UU
13/2003).

Apa saja jenis perjanjian kerja menurut waktu


berakhirnya?
a) Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang pekerjanya sering disebut karyawan
kontrak adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan
kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu.

PKWT harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

didasarkan atas jangka waktu paling lama tiga tahun atau selesainya suatu pekerjaan tertentu
dibuat secara tertulis dalam 3 rangkap : untuk buruh, pengusaha dan Disnaker (Permenaker No.
Per-02/Men/1993), apabila dibuat secara lisan maka dinyatakan sebagai perjanjian kerja waktu
tidak tertentu
dalam Bahasa Indonesia dan huruf latin atau dalam Bahasa Indonesia dan bahasa asing dengan
Bahasa Indonesia sebagai yang utama;
tidak ada masa percobaan kerja (probation), bila disyaratkan maka perjanjian kerja BATAL DEMI
HUKUM (Pasal 58 UU No. 13/2003).
b) Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu, pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu adalah perjanjian kerja antara
pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap.
Pekerjanya sering disebut karyawan tetap

Selain tertulis, PKWTT dapat juga dibuat secara lisan dan tidak wajib mendapat pengesahan dari
intstansi ketenagakerjaan terkait. Jika PKWTT dibuat secara lisan maka perusahaan wajib
membuat surat pengangkatan kerja bagi karyawan yang bersangkutan. PKWTT dapat
mensyaratkan adanya masa percobaan kerja (probation) untuk paling lama 3 (tiga) bulan, bila
ada yang mengatur lebih dari 3 bulan, maka demi hukum sejak bulan keempat, si pekerja sudah
dinyatakan sebagai pekerja tetap (PKWTT). Selama masa percobaan, Perusahaan wajib
membayar upah pekerja dan upah tersebut tidak boleh lebih rendah dari upah minimum yang
berlaku.

Sekarang kita telah mengetahui dasar-dasar mengenai jenis kontrak kerja. Yang paling sering
ditanyakan adalah mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) untuk para pekerja
kontrak. Maka dari itu, Gajimu akan mencoba membahasnya dengan lebih detail.

Apakah ada aturan hukum mengenai penahanan


surat-surat berharga milik karyawan?
Peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan, termasuk UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan tidak mengatur boleh-tidaknya perusahaan menahan surat-surat
berharga milik karyawan, seperti misalnya ijazah.

Penahanan ijazah pekerja/karyawan oleh perusahaan, diperbolehkan, sepanjang memang


menjadi kesepakatan antara kedua belah pihak. Kesepakatan antara pekerja dan pengusaha
biasa dituangkan dalam perjanjian kerja yang mengikatpekerja dan pengusaha dalam hubungan
kerja. Artinya, penahanan ijazah oleh pengusaha diperbolehkan sepanjang Anda
menyepakatinya dan Anda masih terikat dalam hubungan kerja.

Apabila ijazah Anda tetap ditahan dan tidak dikembalikan setelah Anda berhenti bekerja, Anda
dapat mengupayakan cara-cara kekeluargaan terlebih dahulu. Misalnya, dengan mendatangi
perusahaan tersebut untuk meminta kembali ijazah Anda. Namun, apabila memang pihak
perusahaan tidak mau mengembalikan ijazah Anda, Anda dapat menggugat perusahaan
tersebut atas dasar perbuatan melawan hukum atau melaporkan ke polisi atas tuduhan
penggelapan.

Sedangkan, penggelapan diatur dalam Pasal 372 KUHP. Yang termasuk penggelapan adalah
perbuatan mengambil barang milik orang lain sebagian atau seluruhnya) di mana penguasaan
atas barang itu sudah ada pada pelaku, tapi penguasaan itu terjadi secara sah. Misalnya,
penguasaan suatu barang oleh pelaku terjadi karena pemiliknya menitipkan barang tersebut.
Atau penguasaan barang oleh pelaku terjadi karena tugas atau jabatannya, misalnya petugas
penitipan barang. Tujuan dari penggelapan adalah memiliki barang atau uang yang ada dalam
penguasannya yang mana barang/uang tersebut pada dasarnya adalah milik orang lain.

Anda mungkin juga menyukai