Anda di halaman 1dari 39

Bagian Ilmu Bedah Refleksi Kasus

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

Hidrosefalus ec. Suspect Meningitis

Disusun oleh:
Mayshia Prazitya S 1410029050

Pembimbing:
Dr. dr. Arie Ibrahim, Sp. BS

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
RSUD ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA
JUNI 2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Meningitis adalah sebuah inflamasi dari membran pelindung yang menutupi
otak dan medula spinalis yang dikenal sebagai meninges. Inflamasi dari meningen
dapat disebabkan oleh infeksi virus, bakteri atau mikroorganisme lain dan penyebab
paling jarang adalah karena obat-obatan. Meningitis dapat mengancam jiwa dan
merupakan sebuah kondisi kegawatdaruratan. Klasifikasi meningitis dibuat
berdasarkan agen penyebabnya, yaitu meningitis bakterial, meningitis viral,
meningitis jamur, meningitis parasitik dan meningitis non infeksius (Huldani, 2012).
Meningitis bakterial merupakan meningitis yang disebabkan infeksi bakteri dan
merupakan kondisi yang serius yang dapat jika tidak segera ditangani akan
menyebabkan kerusakan otak dan bahkan kematian. Berdasarkan penelitian
epidemiologi mengenai infeksi sistem saraf pusat di Asia, pada daerah Asia Tenggara,
meningitis yang paling sering dijumpai adalah meningitis tuberkulosis (Huldani,
2012).
Pongsakdi Visudiphan dkk pada penelitiannya mendapatkan 36 dari 49
anak-anak dengan meningitis TB mengalami hidrosefalus, dengan catatan 8 anak
dengan hidrosefalus obstruktif dan 26 anak dengan hidrosefalus komunikans.
Hidrosefalus yang terjadi sebagai komplikasi meningitis bakteri dapat dijumpai
pada semua usia, tetapi lebih sering pada bayi daripada anak-anak (Wijaya, 2006).

1.2 Tujuan
Refleksi kasus ini bertujuan untuk merefleksikan fakta yang tidak sesuai
pada kasus pasien ini terhadap teori yang ada.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

Identitas pasien
Nama : Tn. S
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 60 tahun
Alamat : Jl. Wiraguna dalam RT.7
Pendidikan terakhir : Swasta
Suku : Jawa
Agama : Islam
MRS : 30 Mei 2017

Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesa pada tanggal 2 Juni 2017 dengan
anak kandung pasien.

Keluhan Utama :
Pusing berputar sejak 2 bulan yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke IGD RSUD AWS dengan pusing berputar sejak 2 bulan
yang lalu. Menurut anak kandung pasien, pasien merasa seperti benda
disekelilingnya bergerak dan goyang. Pusing berputar dirasakan muncul tiba-tiba,
tidak berdasarkan perubahan posisi, dan hilang timbul. Awalnya pusing berputar
dirasakan tidak terlalu sering, namun lama kelamaan frekuensi serangan menjadi
lebih sering. Tiap serangan hanya berlangsung beberapa menit saja kemudian
membaik. Sejak keluhan ini muncul, nafsu makan dan minum pasien juga
menurun, akibatnya badan pasien sering terasa lemas dan berat badan pasien juga
dirasa menurun.
Pasien kemudian dirawat di ruang flamboyan dan mendapatkan pengobatan.
Pada hari ke-3 perawatan, kesadaran pasien menurun secara tiba-tiba. Dari
anamnesis didapatkan, sebelumnya pasien juga mengeluhkan adanya nyeri kepala
yang dirasakan sejak 2 minggu terakhir, nyeri terasa pada seluruh kepala seperti
tertekan dan seperti mau pecah, namun muncul hanya kadang-kadang saja

3
sehingga pasien tidak terlalu menghiraukan keluhan ini. Sebelumnya pasien juga
sempat mengeluhkan demam yang dirasakan sejak 1 bulan terakhir, demam
dirasakan tidak terlalu tinggi (terkadang seperti meriang), hilang timbul, dan tidak
ada waktu tertentu munculnya demam. Selain itu, 2 hari sebelumnya pasien juga
sempat mengeluhkan muntah sebanyak 1 kali, muntah tidak menyembur, dan
berisi makanan. Tidak ada keluhan batuk pilek sebelumnya, batuk lama, ataupun
batuk darah. Tidak ada keluhan kejang, penglihatan kabur ataupun penglihatan
ganda. Buang air besar dan buang air kecil tidak ada keluhan.
Kemudian dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala cito pada pasien dan
didiagnosis hidrosefalus. Pasien kemudian dikonsulkan kespesialis bedah saraf.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya.
Pasien tidak pernah mengalami kejang dari saat kecil hingga sekarang.
Pasien memiliki riwayat penyakit jantung, dan rutin kontrol di poli jantung
serta mengkonsumsi obat secara teratur.
Riwayat operasi kepala, cedera kepala, ataupun MRS sebelumnya disangkal.
Riwayat tekanan darah tinggi, kencing manis, ataupun alergi obat disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak terdapat anggota keluarga lain yang menderita penyakit yang serupa
dengan yang dialami pasien.
Riwayat batuk lama dalam keluarga disangkal, di tetangga dan lingkungan
sekitar tidak diketahui.
Tidak ada riwayat penyakit jantung, tekanan darah tinggi, kencing manis,
ataupun alergi obat dalam keluarga.

PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal
Kesadaran : E4V5M6

4
Tanda Vital
Tekanan darah : 110/70
Frekuensi nadi : 96 x/menit, reguler, kuat angkat
Frekuensi napas : 22 x/menit
Temperatur : 37,0o C per axila

Kepala dan Leher


Kepala : normosefali, diameter frontooksipital 57 cm, fontanela
tertutup, sefal hematoma (-)
Mata : mata simetris, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-), Refleks Cahaya (+/+), Pupil Isokor (3mm/3mm),
mata cowong (-/-)
Hidung : kelainan bentuk (-), rhinorea (-/-)
Telinga : kelainan bentuk (-), otorhea (-/-)
Leher : jejas (-), deformitas tulang leher (-), kaku kuduk (+),
tidak ada pembesaran KGB

Thoraks-Cardiovaskuler
Inspeksi : Bentuk dan gerak dinding dada simetris dextra = sinistra,
retraksi (-), Ictus cordis tampak di ICS V MCL sinistra
Palpasi : gerakan dinding dada simetris dextra = sinistra, Ictus
cordis teraba di ICS V MCL sinistra
Perkusi : sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : vesikuler (+/+), Rhonki (+/+), S1S2 tunggal reguler,
murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Tampak datar
Palpasi :Soefl, nyeri tekan (-), organomegali (-), turgor kulit
kembali cepat
Perkusi : Timpani seluruh kuadran
Auskultasi : Bising usus (+) normal

5
Ekstremitas : Akral hangat (+), oedem (-), capillary refill test < 2 detik

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
GCS : E4V5M6
Kesadaran : komposmentis
1. Rangsang meningeal
Kaku kuduk (+), kernig sign (?), laseque (?)
2. Pemeriksaan nervus kranialis
a. Nervus kranialis I : penghidu kesan normal
b. Nervus kranialis II :
OD OS
Ketajaman tde tde
penglihatan
Lapang pandang sama dengan pemeriksa sama dengan pemeriksa
Funduskopi tde tde

c. Nervus kranialis III, IV, VI :


Posisi bola mata : esotropia
Pupil : ukuran 3 mm, bulat, isokor, RCL (+/+), RCTL
(+/+)
Gerakan bola mata : gerakan bola mata kanan dan kiri tidak terbatas,
nistagmus (-)
d. Nervus kranialis V : refleks kornea (+)
e. Nervus kranialis VII : otot wajah kesan simetris
f. Nervus kranialis VIII : gangguan pendengaran (-), tes pendengaran tidak
dilakukan.
g. Nervus kranialis IX dan X :
Posisi arkus faring : normal, uvula ditengah
Refleks menelan/muntah : (+)
Suara : normal, pelo (-)
h. Nervus kranialis XI :
m. sternocleidomastoideus : memalingkan kepala dengan/tanpa tahanan
(+) normal

6
m. trapezius : mengangkat bahu (+) normal
i. Nervus kranialis XI : deviasi lidah (-), pergerakan lancer kesegala arah,
simetris, disartria (-)

3. Refleks fisiologis
a. Biseps : +/+
b. Triseps : +/+
c. Patella : +/+
d. Achilles : +/+

4. Refleks patologis
a. Babinski : +/+
b. Chaddok : +/+
c. Klonus : -/-

5. Motorik
Superior Inferior
Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra
Pergerakan Normal Normal Normal Normal
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus otot Normal Normal Normal Normal

6. Sensorik
a. Raba : +/+
b. Nyeri : +/+
c. Suhu : +/+
Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap ()
Leu 13.100 Na 128 Ur 28,5
Hb 11,5 K 3,7 Cr 0,9
HCT 33,5 % Cl 99 CT 2
Tro 324.000 GDS 134 LED 21 mm/jam
HbsAg NR 112 NR

CT-Scan Kepala
Kesan : hidrosefalus

7
Diagnosis Kerja
Hidrocephalus ec susp meningitis
CHF

Penatalaksanaan
EVD
Digoxin tablet 1x1 mg

Prognosis
Dubia

8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 MENINGITIS TUBERKULOSIS


3.1.1 Definisi
Meningitis tuberkulosis adalah peradangan selaput otak atau meningen
yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Meningitis
tuberkulosis merupakan hasil dari penyebaran hematogen dan limfogen bakteri
Mycobacterium tuberculosis dari infeksi primer pada paru (Huldani, 2012).
Meningitis sendiri dibagi menjadi dua menurut pemeriksaan Cerebrospinal
Fluid (CSF) atau disebut juga Liquor Cerebrospinalis (LCS), yaitu: meningitis
purulenta dengan penyebab bakteri selain bakteri Mycobacterium tuberculosis,
dan meningitis serosa dengan penyebab bakteri tuberkulosis ataupun virus. Tanda
dan gejala klinis meningitis hampir selalu sama pada setiap tipenya, sehingga
diperlukan pengetahuan dan tindakan lebih untuk menentukan tipe meningitis. Hal
ini berkaitan dengan penanganan selanjutnya yang disesuaikan dengan
etiologinya. Untuk meningitis tuberkulosis dibutuhkan terapi yang lebih spesifik
dikarenakan penyebabnya bukan bakteri yang begitu saja dapat diatasi dengan
antibiotik spektrum luas. World Health Organization (WHO) pada tahun 2009
menyatakan meningitis tuberkulosis terjadi pada 3,2% kasus komplikasi infeksi
primer tuberkulosis, 83% disebabkan oleh komplikasi infeksi primer pada paru
(Huldani, 2012).

3.1.2 Epidemiologi
Meningitis TB merupakan salah satu komplikasi TB primer. Penyakit ini
merupakan tuberkulosis ekstrapulmoner kelima yang sering dijumpai dan
diperkirakan sekitar 5,2% dari semua kasus tuberkulosis ekstrapulmoner serta
0,7% dari semua kasus tuberkulosis. Morbiditas dan mortalitas penyakit ini tinggi
dan prognosisnya buruk. Komplikasi meningitis TB terjadi setiap 300 kasus TB
primer yang tidak diobati. Centers for Disease Control (CDC) melaporkan pada
tahun 1990 morbiditas meningitis TB 6,2% dari seluruh kasus TB ekstrapulmonal.
Insiden meningitis TB sebanding dengan TB primer, umumnya bergantung pada

9
status sosio-ekonomi, higiene masyarakat, umur, status gizi dan faktor genetik
yang menentukan respon imun seseorang. Faktor predisposisi berkembangnya
infeksi TB adalah malnutrisi, penggunaan kortikosteroid, keganasan, cedera
kepala, infeksi HIV dan diabetes melitus. Penyakit ini dapat menyerang semua
umur, anak-anak lebih sering dibanding dengan dewasa terutama pada 5 tahun
pertama kehidupan. Jarang ditemukan pada usia dibawah 6 bulan dan hampir
tidak pernah ditemukan pada usia dibawah 3 bulan. Meningitis tuberkulosis
menyerang 0,3% anak yang menderita tuberkulosis yang tidak diobati (Huldani,
2012).

3.1.3 Anatomi Meningen


Meningen terdiri dari tiga lapis, yaitu (Huldani, 2012):
1. Pia mater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang
menutupi permukaan otak dan membentang ke dalam sulkus, fisura dan sekitar
pembuluh darah di seluruh otak. Piamater juga membentang ke dalam fisura
transversalis di bawah corpus callosum. Di tempat ini piamater membentuk tela
choroidea dari ventrikel tertius dan lateralis, dan bergabung dengan ependim dan
pembuluh-pembuluh darah choroideus untuk membentuk pleksus choroideus dari
ventrikel-ventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di atas atap dari ventrikel
keempat dan membentuk tela choroidea di tempat itu.
2. Arachnoid merupakan selaput halus yang memisahkan pia mater dan
durameter.
3. Dura mater merupakan lapisan paling luar yang padat dan keras berasal
dari jaringan ikat yang tebal dan kuat. Dura kranialis atau pachymeninx adalah
struktur fibrosa yang kuat dengan lapisan dalam (meningen) dan lapisan luar
(periosteal). Duramater lapisan luar melekat pada permukaan dalam cranium dan
juga membentuk periosteum. Di antara kedua hemispher terdapat invaginasi yang
disebut falx cerebri yang melekat pada crista galli dan meluas ke crista frontalis
ke belakang sampai ke protuberantia occipitalis interna, tempat dimana duramater
bersatu dengan tentorium cerebelli yang meluas ke kedua sisi.

10
Gambar 3.1.3 Struktur meningen dari luar

3.1.3 Patofisiologi
Meningitis tuberkulosis terjadi akibat penyebaran infeksi secara
hematogen ke meningen. Dalam perjalanannya meningitis tuberkulosis melalui 2
tahap yaitu mula-mula terbentuk lesi di otak atau meningen akibat penyebaran
basil secara hematogen selama infeksi primer. Penyebaran secara hematogen
dapat juga terjadi pada TB kronik, tetapi keadaan ini jarang ditemukan.
Selanjutnya meningitis terjadi akibat terlepasnya basil dan antigen TB dari fokus
kaseosa (lesi permukaan di otak) akibat trauma atau proses imunologi, langsung
masuk ke subaraknoid. Meningitis tuberkulosis biasanya terjadi 3-6 bulan setelah
infeksi primer (Ramalingan, 2016) .
Kebanyakan bakteri masuk ke cairan serebrospinal dalam bentuk
kolonisasi dari nasofaring atau secara hematogen menyebar ke pleksus koroid
parenkim otak, atau selaput meningen. Vena-vena yang mengalami penyumbatan
dapat menyebabkan aliran retrograde transmisi dari infeksi. Kerusakan lapisan
dura dapat disebabkan oleh fraktur, paska bedah saraf, infeksi steroid secara

11
epidural, tindakan anestesi, adanya benda asing seperti implan koklear, VP shunt,
dan lain-lain. Sering juga kolonisasi organisme pada kulit dapat menyebabkan
meningitis. Meskipun meningitis dikatakan sebagai peradangan selaput meningen,
kerusakan meningen dapat berasal dari infeksi yang dapat berakibat edema otak,
peyumbatan vena dan menghalang aliran cairan serebospinal yang dapat berakhir
dengan hidrosefalus, peningkatan tekanan intrakranial dan herniasi (Ramalingan,
2016).
Terjadi peningkatan inflamasi granulomatous di leptomeningen (pia mater
dan araknoid) dan korteks serebri di sekitarnya menyebabkan eksudat cenderung
terkumpul di daerah basal otak (Ramalingan, 2016).
Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis
tuberculosis :
1. Araknoiditis Proliferatif
Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa
fibrotik yang melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus pembuluh
darah. Reaksi radang akut di leptomeningen ini ditandai dengan adanya eksudat
gelatin, berwarna kuning kehijauan di basis otak. Secara mikroskopik, eksudat
terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan nekrosis perkijuan. Pada stadium lebih
lanjut, eksudat akan mengalami organisasi dan mungkin mengeras serta
mengalami kalsifikasi. Adapun saraf kranialis yang terkena akan mengalami
paralisis. Saraf yang paling sering terkena adalah saraf kranial VI, kemudian III
dan IV, sehingga akan timbul gejala diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf
kranial II, maka kiasma optikum menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan
kabur bahkan bisa buta bila terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai
saraf kranial VIII akan menyebabkan gangguan pendengaran yang sifatnya
permanen (Ramalingan, 2016).
2. Vaskulitis
Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal
yang melintasi membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal ini
menyebabkan timbulnya radang obstruksi dan selanjutnya infark serebri. Kelainan
inilah yang meninggalkan sekuele neurologis bila pasien selamat. Apabila infark
terjadi di daerah sekitar arteri cerebri media atau arteri karotis interna, maka akan

12
timbul hemiparesis dan apabila infarknya bilateral akan terjadi quadriparesis. Pada
pemeriksaan histologis arteri yang terkena, ditemukan adanya perdarahan,
proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika adventisia ditemukan adanya infiltrasi sel
dengan atau tanpa pembentukan tuberkel dan nekrosis perkijuan. Pada tunika
media tidak tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang ringan dan kadang
perubahan fibrinoid. Kelainan pada tunika intima berupa infiltrasi subendotel,
proliferasi tunika intima, degenerasi, dan perkijuan. Yang sering terkena adalah
arteri cerebri media dan anterior serta cabang-cabangnya, dan arteri karotis interna
(Ramalingan, 2016).
3. Hidrosefalus
Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis
yang akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis (Ramalingan,
2016).

3.1.4 Manifestasi Klinis


Gejala klinis meningitis TB berbeda untuk masing-masing penderita.
Faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap gejala klinis erat kaitannya
dengan perubahan patologi yang ditemukan. Tanda dan gejala klinis meningitis
TB muncul perlahan-lahan dalam waktu beberapa minggu (Nofareni, 2003).
Keluhan pertama biasanya nyeri kepala. Rasa ini dapat menjalar ke
tengkuk dan punggung. Tengkuk menjadi kaku dan Kaku kuduk disebabkan oleh
mengejangnya otot-otot ekstensor tengkuk. Bila hebat, terjadi opistotonus, yaitu
tengkuk kaku dalam sikap kepala tertengadah dan punggung dalam sikap
hiperekstensi. Kesadaran menurun, tanda Kernigs dan Brudzinsky positif. Gejala
pada bayi yang terkena meningitis, biasanya menjadi sangat rewel muncul bercak
pada kulit tangisan lebih keras dan nadanya tinggi, demam ringan, badan terasa
kaku, dan terjadi gangguan kesadaran seperti tangannya membuat gerakan tidak
beraturan (Ramalingan, 2016).
Gejala klinis meningitis tuberkulosis dapat dibagi dalam 3 (tiga) stadium
(Ramalingan, 2016) :
1. Stadium I : Prodormal

13
Selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala infeksi
biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat subakut, sering tanpa demam,
muntah-muntah, nafsu makan berkurang, murung, berat badan menurun, mudah
tersinggung, cengeng, opstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan keadaran
berupa apatis.
Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala,
konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, dan sangat
gelisah.
2. Stadium II : Transisi
Berlangsung selama 1-3 minggu dengan gejala penyakit lebih berat
dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat dan kadang-kadang disertai
kejang terutama pada bayi dan anak-anak. Tanda-tanda rangsangan meningeal
mulai nyata, seluruh tubuh dapat menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan
intrakranial, ubun-ubun menonjol dan muntah yang lebih hebat.
3. Stadium III : Terminal
Ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan kesadaran sampai koma. Pada
stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam waktu tiga minggu.

3.1.5 Diagnosis
Diagnosis pada meningitis TB dapat dilakukan dengan beberapa cara :
3.1.5.1 Anamnesis
Pada anamnesa dapat diketahui adanya trias meningitis seperti demam,
nyeri kepala dan kaku kuduk. Gejala lain seperti mual muntah, penurunan nafsu
makan, mudah mengantuk, fotofobia, gelisah, kejang, penurunan kesadaran
adanya riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis. Pada neonatus, gejalanya
mungkin minimalis dan dapat menyerupai sepsis, berupa bayi malas minum,
letargi, distress pernafasan, ikterus, muntah, diare, hipotermia. Anamnesa dapat
dilakukan pada keluarga pasien yang dapat dipercaya jika tidak memungkinkan
untuk autoanamnesa (Ramalingan, 2016).
3.1.5.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat mendukung diagnosis meningitis biasanya
adalah pemeriksaan rangsang meningeal (Sidharta, 2009).

14
Yaitu sebagai berikut :
1. Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi
kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan pada
pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot.
2. Kernig`s sign
Pasien berbaring terlentang, dilakukan fleksi padas sendi panggul
kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mungkin tanpa rasa
nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135
(kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha biasanya
diikuti rasa nyeri.
3. Brudzinski I (Brudzinski leher)
Pasien berbaring dalam sikap terlentang, tangan kanan ditempatkan
dibawah kepala pasien yang sedang berbaring, tangan pemeriksa yang satu lagi
ditempatkan didada pasien untuk mencegah diangkatnya badan kemudian kepala
pasien difleksikan sehingga dagu menyentuh dada. BrudzinskiI positif (+) bila
gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi disendi lutut dan panggul
kedua tungkai secara reflektorik.
4. Brudzinski II (Brudzinski Kontralateral tungkai)
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi
panggul (seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+) bila
pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter padasendi panggul dan lutut
kontralateral.
5. Brudzinski III (Brudzinski Pipi)
Pasien tidur terlentang tekan pipi kiri kanan dengan kedua ibu jari
pemeriksa tepat dibawah os ozygomaticum. Tanda Brudzinski III positif (+) jika
terdapat flexi involunter extremitas superior.
6. Brudzinski IV (Brudzinski Simfisis)
Pasien tidur terlentang tekan simpisis pubis dengan kedua ibu jari tangan
pemeriksaan. Pemeriksaan Budzinski IV positif (+) bila terjadi flexi involunter
extremitas inferior.
7. Lasegue`s Sign

15
Pasien tidur terlentang, kemudian diextensikan kedua tungkainya. Salah
satu tungkai diangkat lurus. Tungkai satunya lagi dalam keadaan lurus. Tanda
lasegue positif (+) jika terdapat tahanan sebelum mencapai sudut 70 pada dewasa
dan kurang dari 60 pada lansia.
3.1.5.3 Pemeriksaan Penunjang
a. Uji Mantuox/Tuberkulin
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan screening tuberkulosis
yang paling bermanfaat. Terdapat beberapa cara melakukan uji tuberkulin, tetapi
hingga saat ini cara mantoux lebih sering dilakukan. Pada uji mantoux, dilakukan
penyuntikan PPD (Purified Protein Derivative) dari kuman Mycobacterium
tuberculosis. Tes Mantoux dinyatakan positif apabila diameter indurasi > 10 mm
(Ramalingan, 2016).
b. Pemeriksaan Laboratorium
Dilakukan pemeriksaan darah rutin, Laju Endap Darah (LED), kadar glukosa,
kadar ureum dan kreatinin, fungsi hati, elektrolit.
1. Pemeriksaan LED meningkat pada pasien meningitis TB :
a. Pada meningitis bakteri didapatkan peningkatan leukosit polimorfonuklear
dengan shift ke kiri.
b. Elektrolit diperiksa untuk menilai dehidrasi.
c. Glukosa serum digunakan sebagai perbandingan terhadap glukosa pada cairan
serebrospinal.
d. Ureum, kreatinin dan fungsi hati penting untuk menilai fungsi organ dan
penyesuaian dosis terapi.
e. Tes serum untuk sifilis jika diduga akibat neurosifilis.
2. Lumbal Pungsi
Lumbal Pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan
protein cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan
tekanan intrakranial. Lumbal pungsi adalah tindakan memasukkan jarum lumbal
pungsi ke dalam kandung dura lewat processus spinosus L4-L5 / L5-S1 untuk
mengambil cairan serebrospinal (Ramalingan, 2016).
Pada meningitis TB, sering ditemukan glukosa pada cairan serebrospinalis
di bawah 5 mg/dl dengan warna yang jernih, hitung jenis sel darah putih

16
menunjukkan peningkatan limfosit sebesar 50% atau lebih pada 50 sampai 500
per L sel darah putih di dalam cairan serebrospinalis. Kandungan protein di atas
1 g/L dan glukosa kurang dari 2.2 mmol/L. Namun pada beberapa kasus bisa
ditemukan hasil penemuan laboratorium yang berbeda (Huldani, 2012).
c. Pemeriksaan Radiologis
1. Foto Toraks
Pemeriksaan radiologis meliputi pemeriksaan foto toraks, foto kepala, CT-
Scan dan MRI. Foto toraks untuk melihat adanya infeksi sebelumnya pada paru-
paru misalnya pada pneumonia dan tuberkulosis, sementara foto kepala dilakukan
karena kemungkinan adanya penyakit pada mastoid dan sinus paranasal. Pada
penderita dengan meningitis tuberkulosis umumnya didapatkan gambaran
tuberkulosis paru primer pada pemeriksaan rontgen toraks, kadang-kadang
disertai dengan penyebaran milier dan kalsifikasi. Gambaran rontgen toraks yang
normal tidak menyingkirkan diagnosa meningitis tuberkulosis (Ramalingan,
2016).
2. Computed Tomography Scan / Magnetic Resonance Imaging Scan
Pemeriksaan Computed Tomography Scan (CT- Scan) dan Magnetic
Resonance Imaging Scan (MRI) kepala dapat menentukan adanya dan luasnya
kelainan di daerah basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus. Gambaran dari
pemeriksaan CT-scan dan MRI kepala pada pasien meningitis tuberkulosis adalah
normal pada awal penyakit. Seringnya berkembangnya penyakit, gambaran yang
sering ditemukan adalah enhancement di daerah basal, tampak hidrosefalus
komunikans yang disertai dengan tanda-tanda edema otak atau iskemia fokal yang
masih dini. Selain itu, dapat juga ditemukan tuberkuloma yang silent, biasanya di
daerah korteks serebri atau talamus (Ramalingan, 2016).
2.8.1.6 Pemeriksaan Gene Xpert
Gene Xpert adalah tes baru untuk tuberkulosis. Hal ini dapat mengetahui
apakah seseorang terinfeksi TB, dan juga jika bakteri TB dari orang yang
memiliki ketahanan terhadap salah satu obat TB umum, rifampisin. Gene Xpert
adalah mesin yang dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dalam sampel
dahak. Mesin mencari Deoxyribonucleic acid (DNA) spesifik untuk bakteri TB.

17
Teknik ini disebut PCR (polymerase chain reaction), dan mungkin mesin untuk
juga melihat struktur gen (Ramalingan, 2016).
Gene Xpert dapat menguji resistensi terhadap salah satu obat TB yang
paling umum, rifampisin. Ini berarti bahwa hal itu dapat memberitahu kita dua hal
yaitu, apakah seseorang memiliki TB, dan apakah penderita TB tersebut telah
dapat diobati dengan rifampisin (Ramalingan, 2016).

3.1.6 Penatalaksanaan
Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis yaitu
(Ramalingan, 2016) :
1. Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis,
yaitu isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.
2. Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yaitu isoniazid dan
rifampisin hingga 12 bulan.

Tabel 2.6.1 Guideline pemberian obat anti TB untuk infant dan anak-anak

Ethambutol susah masuk ke dalam cairan serebrospinalis sehingga untuk


regimen meningitis TB biasanya diganti dengan ethionamide atau streptomycin.

18
Isoniazid 15-20 mg/kg/day (dosis harian maksimum 400 mg). Rifampicin 15-20
mg/kg/day (dosis harian maksimum 600 mg). Ethionamide 15-20 mg/kg/day
(dosis harian maksimum 1 g). Pyrazinamide 30-40 mg/kg/day (dosis harian
maksimum 2 g). Meningitis TB juga merupakan indikasi penggunaan
kortikosteroid, biasanya yang digunakan adalah prednisone oral yang diberikan
dosis 2 mg/kg/hari (maksimum 60 mg per hari) selama empat minggu sebagai
tambahan obat TB dan dilakukan tapering off setelah dua minggu (total
penggunaan kortikosteroid 6 minggu) (Huldani, 2012).
Di samping tuberkulostatik dapat diberikan rangkaian pengobatan dengan
deksametason untuk menghambat edema serebri dan timbulnya perlekatan
antaraaraknoid dan otak (Ramalingan, 2016).
Steroid diberikan untuk:
- Menghambat reaksi inflamasi
- Mencegah komplikasi infeksi
- Menurunkan edema serebri
- Mencegah perlekatan
- Mencegah arteritis/infark otak
Indikasi Steroid :
- Kesadaran menurun
- Defisit neurologist fokal
Dosis steroid :
- Deksametason 10 mg bolus intravena, kemudian 4 kali 5 mg intravena
selama 2 minggu selanjutnya turunkan perlahan selama 1 bulan (Ramalingan,
2016).

3.1.7 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada meningitis tuberkulosis (Ramalingan,
2016) :
- Hidrosefalus
- Cairan subdural
- Abses otak
- Cedera kepala

19
- Gangguan pendengaran
- Peningkatan tekanan dalam otak ( tekanan itrakranial )
- Kerusakan otak
- Kejang
- Serangan otak
- Araknoiditis

3.1.8 Prognosis
Angka kematian pada meningitis tuberkulosis berkisar antara 10-20%.
Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya 18% pasien yang akan kembali
normal secara neurologis dan intelektual (Huldani, 2012).
Prognosis meningitis tuberkulosis lebih baik sekiranya didiagnosa dan
diterapi seawal mungkin. Sekitar 15% penderita meningitis nonmeningococcal
akan dijumpai gejala sisanya. Secara umumnya, penderita meningitis dapat
sembuh, baik sembuh dengan cacat motorik atau mental atau meninggal
tergantung :
- Umur penderita.
- Jenis kuman penyebab
- Berat ringan infeksi
- Lama sakit sebelum mendapat pengobatan
- Kepekaan kuman terhadap antibiotik yang diberikan
- Adanya dan penanganan penyakit.
Prognosis yang buruk terjadi pada bayi, lanjut usia, pasien malnutrisi, dan
pasien dengan penyakit yang menular atau dengan peningkatan tekanan
intrakranial (Ramalingan, 2016).

3.2 HIDROSEFALUS
3.2.1 Definisi
Hidrosefalus berasal dari kata hidro yang berarti air dan chepalon yang
berarti kepala. Hidrosefalus merupakan penumpukan cairan serebrospinal (CSS)
secara aktif yang menyebabkan dilatasi sistem ventrikel otak dimana terjadi
akumulasi CSS yang berlebihan pada satu atau lebih ventrikel atau ruang

20
subarachnoid. Keadaan ini disebabkan oleh karena terdapat ketidak seimbangan
antara produksi dan absorpsi dari CSS. Bila akumulasi CSS yang berlebihan
terjadi diatas hemisfer serebral, keadaan ini disebut higroma subdural atau koleksi
cairan subdural. Pada kasus akumulasi cairan yang berlebihan terjadi pada sistem
ventrikuler, keadaan ini disebut sebagai hidrosefalus internal (Sjamsuhidajat,
2004).

3.2.2 Epidemiologi
Secara keseluruhan, insiden dari hidrosefalus diperkirakan mendekati 1 :
1000. sedangkan insiden hidrosefalus kongenital bervariasi untuk tiap-tiap
populasi yang berbeda. Hershey BL mengatakan kebanyakan hidrosefalus pada
anak-anak adalah kongenital yang biasanya sudah tampak pada masa bayi. Jika
hidrosefalus tampak setelah umur 6 bulan biasanya bukan oleh karena kongenital.
Mujahid Anwar dkk mendapatkan 40 50% bayi dengan perdarahan
intraventrikular derajat 3 dan 4 mengalami hidrosefalus. Pongsakdi Visudiphan
dkk pada penelitiannya mendapatkan 36 dari 49 anak-anak dengan meningitis TB
mengalami hidrosefalus, dengan 3 catatan 8 anak dengan hidrosefalus obstruktif
dan 26 anak dengan hidrosefalus komunikans. Hidrosefalus yang terjadi sebagai
komplikasi meningitis bakteri dapat dijumpai pada semua usia, tetapi lebih sering
pada bayi daripada anak-anak. Berdasarkan catatan medik di bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK UNUD/RSUP Denpasar dari tahun 1991 s/d Desember 1993
telah dirawat 21 penderita hidrosefalus dimana 4 diantaranya adalah hidrosefalus
kongenital (Wijaya, 2006).

3.2.3 Anatomi dan Fisiologi


Struktur anatomi yang berkaitan dengan hidrosefalus, yaitu bangunan-
bangunan dimana CSS berada (Wijaya, 2006).
a. Sistem ventrikel otak dan kanalis sentralis.
1. Ventrikel lateralis
Ada dua, terletak didalam hemispherii telencephalon. Kedua ventrikel
lateralis berhubungan denga ventrikel III (ventrikel tertius) melalui foramen
interventrikularis (Monro).

21
2. Ventrikel III (Ventrikel Tertius)
Terletak pada diencephalon. Dinding lateralnya dibentuk oleh thalamus
dengan adhesio interthalamica dan hypothalamus. Recessus opticus dan
infundibularis menonjol ke anterior, dan recessus suprapinealis dan recessus
pinealis ke arah kaudal. Ventrikel III berhubungan dengan ventrikel IV melalui
suatu lubang kecil, yaitu aquaductus Sylvii (aquaductus cerebri).
3. Ventrikel IV (Ventrikel Quartus)
Membentuk ruang berbentuk kubah diatas fossa rhomboidea antara
cerebellum dan medulla serta membentang sepanjang recessus lateralis pada
kedua sisi. Masing-masing recessus berakhir pada foramen Luschka, muara lateral
ventrikel IV. Pada perlekatan vellum medullare anterior terdapat apertura mediana
Magendie.
4. Kanalis sentralis medula oblongata dan medula spinalis
Saluran sentral korda spinalis: saluran kecil yang memanjang sepanjang
korda spinalis, dilapisi sel-sel ependimal. Diatas, melanjut ke dalam medula
oblongata, dimana ia membuka ke dalam ventrikel IV.
b. Ruang subarakhnoidal
Merupakan ruang yang terletak diantara lapisan arakhnoid dan piamater.
CSS dihasilkan oleh plexus choroideus dan mengalir dari ventrikel lateral
ke foramen Monroe ke dalam ventrikel III, dan dari sini melalui aquaductus Sylvii
masuk ke ventrikel IV. Di sana cairan ini memasuki spatium liquor serebrospinalis
externum melalui foramen lateralis dan medialis dari ventrikel IV. Pengaliran CSS
ke dalam sirkulasi vena sebagian terjadi melalui villi arachnoidea, yang menonjol
ke dalam sinus venosus atau ke dalam lacuna laterales; dan sebagian lagi pada
tempat keluarnya nervi spinalis, tempat terjadinya peralihan ke dalam plexus
venosus yang padat dan ke dalam selubung-selubung saraf (suatu jalan ke circulus
lymphaticus) (Wijaya, 2006).
Kecepatan pembentukan CSS 0,3-0,4 cc/menit atau antara 0,2- 0,5%
volume total per menit dan ada yang menyebut antara 14-38 cc/jam. Sekresi total
CSS dalam 24 jam adalah sekitar 500-600cc, sedangkan jumblah total CSS adalah
150 cc, berarti dalam 1 hari terjadi pertukaran atau pembaharuan dari CSS
sebanyak 4-5 kali/hari (Wijaya, 2006).

22
Gambar 3.2.3 Intracranial hydrodynamics represented as a circuit diagram
with a parallel pathway of CSF flow and cerebral blood flow.

3.2.4 Etiologi
Hidrosefalus timbul akibat terjadi ketidak seimbangan antara produksi
dengan absorpsi dan gangguan sirkulasi CSS (Wijaya, 2006).

23
Selain akibat gangguan pada produksi, absorpsi, dan sirkulasi, hidrosefalus
juga dapat timbul akibat : Disgenesis serebri dan atrofi serebri.

3.2.5 Klasifikasi
Hidrosefalus dapat diklasifikasikan atas beberapa hal, antara lain
(Sjamsuhidajat, 2004):
a. Hidrosefalus tipe obstruksi / non komunikans
Terjadi bila CSS otak terganggu (Gangguan di dalam atau pada sistem
ventrikel yang mengakibatkan penyumbatan aliran CSS dalam sistem ventrikel
otak). Terjadi peningkatan tekanan cairan serebrospinal yang disebabkan obstruksi
pada salah satu tempat pembentukan likuor, antara pleksus koroidalis sampai
tempat keluarnya dari ventrikel IV melalui foramen Magendi dan Luschka. Tipe
ini kebanyakan disebabkan oleh kongenital : stenosis akuaduktus Sylvius
(menyebabkan dilatasi ventrikel lateralis dan ventrikel III. Ventrikel IV biasanya
normal dalam ukuran dan lokasinya). Yang agak jarang ditemukan sebagai
penyebab hidrosefalus adalah sindrom Dandy-Walker, Atresia foramen Monro,
malformasi vaskuler atau tumor bawaan. Radang (Eksudat, infeksi meningeal).
Perdarahan/trauma (hematoma subdural). Tumor dalam sistem ventrikel (tumor
intraventrikuler, tumor parasellar, tumor fossa posterior).
b. Hidrosefalus tipe komunikans
Jarang ditemukan. Terjadi peningkatan tekanan cairan serebrospinal tanpa
disertai penyumbatan sistem ventrikel. Terjadi karena proses berlebihan atau
gangguan penyerapan (Gangguan di luar sistem ventrikel).
- perdarahan akibat trauma kelahiran menyebabkan perlekatan lalu
menimbulkan blokade villi arachnoid.
- Radang meningeal
- Kongenital :
- Perlekatan arachnoid/sisterna karena gangguan pembentukan.
- Gangguan pembentukan villi arachnoid
- Papilloma plexus choroideus

3.2.6 Patofisiologi

24
Secara teoritis hidrosefalus terjadi sebagai akibat dari tiga mekanisme
yaitu; produksi liquor yang berlebihan, peningkatan resistensi aliran liquor,
peningkatan tekanan sinus venosa. Sebagai konsekuensi dari tiga mekanisme
diatas adalah peningkatan tekanan intrakranial sebagai upaya mempertahankan
keseimbangan sekresi dan absorbsi. Mekanisme terjadinya dilatasi ventrikel masih
belum dipahami dengan jelas, namun hal ini bukanlah hal yang sederhana
sebagaimana akumulasi akibat dari ketidakseimbangan antara produksi dan
absorbsi (Saputra, 2015).
Produksi liquor yang berlebihan hampir semua disebabkan oleh tumor
pleksus khoroid (papiloma dan karsinoma). Adanya produksi yang berlebihan
akan menyebabkan tekanan intrakranial meningkat dalam mempertahankan
keseimbangan antara sekresi dan absorbsi liquor, sehingga akhirnya ventrikel
akan membesar. Adapula beberapa laporan mengenai produksi liquor yang
berlebihan tanpa adanya tumor pada pleksus khoroid (Saputra, 2015).
Gangguan aliran liquor merupakan awal dari kebanyakan dari kasus
hidrosefalus. Peningkatan resistensi yang disebabkan oleh gangguan aliran akan
meningkatkan tekanan liquor secara proporsional dalam upaya mempertahankan
resorbsi yang seimbang. Derajat peningkatan resistensi aliran cairan liquor ada
kecepatan perkembangan gangguan hidrodinamik berpengaruh pada penampilan
klinis (Saputra, 2015).

3.2.7 Hidrosefalus dan Meningitis


Hidrosefalus dapat terjadi akibat proses infeksi atau inflamasi. Efek
inflamasi kronis menyebabkan organisasi eksudat inflamasi untuk membentuk
jaringan fibrotik dan gliosis. Fibrosis dan gliosis ini menyebabkan obstruksi dari
perjalanan cairan serebrospinal di dalam sistem ventrikel dan di ruang
subarachnoid (misalnya di sisterna basal) dan ruang subarachnoid di permukaan
korteks. Infeksi bakteri, parasit, dan infeksi granulomatosa lebih sering
menyebabkan hidrosefalus dibandingkan infeksi virus (Saputra, 2015).
Akibat infeksi dapat timbul perlekatan meningen sehingga terjadi
obliterasi ruang subarachnoid. Pelebaran ventrikel pada fase akut meningitis
purulenta terjadi bila aliran cairan serebrospinal terganggu oleh obstruksi mekanik
eksudat purulen di akuaduktus Sylvius atau sisterna basalis. Pembesaran kepala

25
dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan sesudah sembuh dari
meningitisnya. Secara patologis terlihat penebalan jaringan piamater dan
arakhnoid sekitar sisterna basalis dan daerah lain. Pada meningitis serosa
tuberkulosa, perlekatan meningen terutama terdapat di daerah basal sekitar
sisterna kiasmatika dan interpendunkularis, sedangkan pada meningitis purulenta
lokasinya lebih tersebar (Saputra, 2015).

3.2.8 Gejala Klinis


Manifestasi klinis hidrosefalus pada anak tergantung dari usia. Pada bayi
yang suturanya belum menutup, manifestasi klinis yang menonjol adalah lingkar
kepala yang membesar. Pada anak yang suturanya telah menutup, manifestasi
klinis yang muncul disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial (Saputra,
2015).
Gejala klinis bervariasi sesuai dengan umur penderita. Gejala yang tampak
berupa gejala akibat tekanan intracranial yang meninggi. Pada pasien hidrosefalus
berusia di bawah 2 tahun gejala yang paling umum tampak adalah pembesaran
abnormal yang progresif dari ukuran kepala. Makrokrani mengesankan sebagai
salah satu tanda bila ukuran lingkar kepala lebih besar dari dua deviasi standart di
atas ukuran normal, atau persentil 98 dari kelompok usianya. Pada bayi yang lebih
tua dan anak-anak, tengkorak menjadi lebih kaku, sehingga penampilan klinis
berupa paralisis Nervus Abdusens dan Paralisis gerak bola mata vertikal (tanda
Perinaud) (Saputra, 2015).
Kerusakan saraf yang memberi gejala kelainan neurologis berupa
gangguan kesadaran, motoris atau kejang, kadang-kadang gangguan pusat vital,
bergantung kepada kemampuan Kepala untuk membesar dalam mengatasi tekanan
intracranial yang meninggi. Bila proses berlangsung lambat, maka mungkin tidak
terdapat gejala neurologis walaupun telah terdapat pelebaran ventrikel yang belum
begitu melebar (Saputra, 2015).
Gejala lainnya yang dapat terjadi ialah spastisistas yang biasanya
melibatkan ekstremitas inferior (sebagai konsekuensi peregangan traktus
pyramidal sekitar ventrikel lateral yang dilatasi) dan berlanjut sebagai gangguan

26
berjalan, gangguan endoktrin (karena distraksi hipotalamus dan pituitari stalk
oleh dilatasi ventrikel III) (Saputra, 2015).

3.2.9 Diagnosis
- Gejala klinis
- Pemeriksaan Fisik
Pengukuran dan pemantauan lingkar kepala anak dapat diukur melalui grafik
lingkar kepala standar pada anak. Grafik lingkar kepala khusus telah tersedia
untuk mengukur lingkar kepala pada anak yang prematur dan yang menderita
achondroplasia. Penilaian lingkar kepala pada grafik tersebut menggunakan satuan
persentil. Disamping lingkar kepala, keluhan yang sering dikatakan oleh orang tua
adalah anaknya menjadi lebih rewel (irritable), matanya cenderung melirik
kebawah (sunsetting) atau menjadi juling (akibat paresis nervus abdusens)
(Wijaya, 2006).
Pada anak-anak yang suturanya telah menyatu, lingkar kepala yang terukur
bisa saja normal, tetapi keluhan yang menonjol berupa nyeri kepala, mual dan
muntah. Bila proses peningkatan tekanan intrakranial terus berlanjut, maka akan
dijumpai edema papil pada pemeriksaan funduskopi. Edema papil ini mungkin
tidak terdeteksi pada anak yang suturanya masih terbuka, kecuali telah mencapai
lingkar kepala yang sangat besar. Keluhan-keluhan tersebut yang terjadi pada
beberapa tahun pertama dari anak yang mengalami hidrosefalus, merupakan
petunjuk bahwa hidrosefalus tersebut diakibatkan oleh proses patologi sekunder
seperti akibat tumor, cedera kepala atau meningitis (Saputra, 2015).
- X-ray Foto kepala, didapatkan
Tulang tipis
Disproporsi kraniofasial
Sutura melebar
Dengan prosedur ini dapat diketahui :
a. Hidrosefalus tipe kongenital/infantil
b. Hidrosefalus tipe juvenile/adult : oleh karena sutura telah menutup maka dari
foto rontgen kepala diharapkan adanya gambaran kenaikan tekanan intrakranial.

27
- Transiluminasi ; penyebaran cahaya diluar sumber sinar lebih dari batas,
frontal 2,5 cm, oksipital 1 cm
- Pemeriksaan CSS. Dengan cara aseptik melalui punksi ventrikel / punksi
fontanela mayor. Menentukan :
- Tekanan
- Jumlah sel meningkat, menunjukkan adanya keradangan / infeksi
- Adanya eritrosit menunjukkan perdarahan
- Bila terdapat infeksi, diperiksa dengan pembiakan kuman dan kepekaan
antibiotik (Wijaya, 2006).
- Ventrikulografi ; yaitu dengan cara memasukkan kontras berupa O2 murni atau
kontras lainnya dengan alat tertentu menembus melalui fontanella anterior
langsung masuk ke dalam ventrikel. Setelah kontras masuk langsung difoto, maka
akan terlihat kontras mengisi ruang ventrikel yang melebar. Pada anak yang besar
karena fontanela telah menutup untuk memasukkan kontras dibuatkan lubang
dengan bor pada karanium bagian frontal atau oksipitalis. Ventrikulografi ini
sangat sulit dan mempunyai resiko yang tinggi. Di rumah sakit yang telah
memiliki fasilitas CT scan, prosedur ini telah ditinggalkan (Wijaya, 2006).
- CT scan kepala (Wijaya, 2006)
Pada hidrosefalus obstruktif CT scan sering menunjukkan adanya
pelebaran dari ventrikel lateralis dan ventrikel III. Dapat terjadi di atas
ventrikel lebih besar dari occipital horns pada anak yang besar. Ventrikel
IV sering ukurannya normal dan adanya penurunan densitas oleh karena
terjadi reabsorpsi transependimal dari CSS.
Pada hidrosefalus komunikan gambaran CT scan menunjukkan dilatasi
ringan dari semua sistem ventrikel termasuk ruang subarakhnoid di
proksimal dari daerah sumbatan.
Keuntungan CT scan :
o Gambaran lebih jelas
o Non traumatik
o Meramal prognose
o Penyebab hidrosefalus dapat diduga
- USG

28
Dilakukan melalui fontanela anterior yang masih terbuka.
Dengan USG diharapkan dapat menunjukkan sistem ventrikel yang melebar.
Pendapat lain mengatakan pemeriksaan USG pada penderita hidrosefalus ternyata
tidak mempunyai nilai di dalam menentukan keadaan sistem ventrikel hal ini
disebabkan oleh karena USG tidak dapat menggambarkan anatomi sistem
ventrikel secara jelas, seperti halnya pada pemeriksaan CT-scan (Wijaya, 2006).

3.2.10 Penatalaksanaan
a. Terapi medikamentosa
Terapi obat-obatan pada hidrosefalus digunakan untuk menunda intervensi
bedah. Terapi obat-obatan dapat digunakan pada hidrosefalus paska perdarahan
(tanpa adanya hidrosefalus akut). Terapi obat-obatan tidaklah efektif untuk
pengobatan jangka panjang dari hidrosefalus kronis. Terapi ini dapat memicu
perubahan metabolik dan dengan demikian penggunaannya hanya sebagai usaha
sementara saja (Saputra, 2015).
Dapat dicoba pada pasien yang tidak gawat, terutama pada pusat-pusat
kesehatan dimana sarana bedah saraf tidak ada. Obat yang sering digunakan
adalah (Wijaya, 2006):
- Asetasolamid
Cara pemberian dan dosis; Per oral 2-3 x 125mg/hari, dosis ini dapat
ditingkatkan sampai maksimal 1.200 mg/hari
- Furosemid
Cara pemberian dan dosis; Per oral, 1,2 mg/kgBB 1x/hari atau injeksi iv
0,6 mg/kgBB/hari.
Bila tidak ada perubahan setelah satu minggu pasien diprogramkan untuk
operasi.
b. Lumbal pungsi berulang (serial lumbar puncture)
Mekanisme pungsi lumbal berulang dalam hal menghentikan progresivitas
hidrosefalus belum diketahui secara pasti. Pada pungsi lumbal berulang akan
terjadi penurunan tekanan CSS secara intermiten yang memungkinkan absorpsi
CSS oleh vili arakhnoidalis akan lebih mudah (Wijaya, 2006).

29
Indikasi : umumnya dikerjakan pada hidrosefalus komunikan terutama
pada hidrosefalus yang terjadi setelah perdarahan subarakhnoid, periventrikular-
intraventrikular dan meningitis TBC. Diindikasikan juga pada hidrosefalus
komunikan dimana shunt tidak bisa dikerjakan atau kemungkinan akan terjadi
herniasi (impending herniation) (Wijaya, 2006).
c. Terapi Operatif
Operasi biasanya langsung dikerjakan pada penderita hidrosefalus. Pada
penderita gawat yang menunggu operasi biasanya diberikan :
Mannitol per infus 0,5-2 g/kgBB/hari yang diberikan dalam jangka waktu 10-30
menit (Wijaya, 2006).
1. Third Ventrikulostomi/Ventrikel III
Lewat kraniotomi, ventrikel III dibuka melalui daerah khiasma optikum, dengan
bantuan endoskopi. Selanjutnya dibuat lubang sehingga CSS dari ventrikel III
dapat mengalir keluar.
2. Operasi pintas/Shunting
Ada 2 macam :
a. Eksternal
CSS dialirkan dari ventrikel ke luar tubuh, dan bersifat hanya sementara.
Misalnya: pungsi lumbal yang berulang-ulang untuk terapi hidrosefalus tekanan
normal.
b. Internal
a. CSS dialirkan dari ventrikel ke dalam anggota
tubuh lain.
~Ventrikulo-Sisternal, CSS dialirkan ke sisterna magna (Thor- Kjeldsen)
~Ventrikulo-Atrial, CSS dialirkan ke atrium kanan.
~Ventrikulo-Sinus, CSS dialirkan ke sinus sagitalis superior
~Ventrikulo-Bronkhial, CSS dialirkan ke Bronkhus
~Ventrikulo-Mediastinal, CSS dialirkan ke mediastinum
~Ventrikulo-Peritoneal, CSS dialirkan ke rongga peritoneum
b. Lumbo Peritoneal Shunt
CSS dialirkan dari Resessus Spinalis Lumbalis ke rongga peritoneum dengan
operasi terbuka atau dengan jarum Touhy secara perkutan.

30
Komplikasi Shunting
Komplikasi shunt dikategorikan menjadi tiga komplikasi yaitu; infeksi,
kegagalan mekanis, dan kegagalan fungsional, yang disebabkan jumlah aliran
yang tidak adekuat. Infeksi meningkatkan resiko akan kerusakan intelektual,
lokulasi ventrikel dan bahkan kematian. Kegagalan mekanis mencakup
komplikasi komplikasi seperti; oklusi aliran di dalam shunt (proksimal katub atau
distal), diskoneksi atau putusnya shunt, migrasi dari tempat semula, tempat
pemasangan yang tidak tepat. Kegagalan fungsional dapat berupa drainase yang
berlebihan atau malah kurang lancarnya drainase. Drainase yang terlalu banyak
dapat menimbulkan komplikasi lanjutan seperti terjadinya efusi subdural,
kraniosinostosis, lokulasi ventrikel, hipotensi ortostatik (Saputra, 2015).
Anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa biasa dengan gejala dengan
sakit kepala, febris, vomitus, dan meningismus. Dengan ventriculoperitoneal
shunts, nyeri perut dapat terjadi, shunts dapat bertindak sebagai saluran untuk
metastasis extraneural tumor tertentu (misalnya medulloblastoma), komplikasi
dari ventriculoperitoneal shunt termasuk; peritonitis, hernia inguinal, perforasi
organ abdomen, obtruksi usus, volvulus, dan cairan serebrospinal asites (Saputra,
2015).

31
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus, Pasien awalnya datang dengan keluhan pusing berputar sejak 2
bulan SMRS. Dari anamnesis didapatkan, sebelumnya pasien juga mengeluhkan
adanya nyeri kepala yang dirasakan sejak 2 minggu terakhir. Sebelumnya pasien
juga sempat mengeluhkan demam yang dirasakan sejak 1 bulan terakhir, dan
muntah sebanyak 1 kali, muntah tidak menyembur, dan berisi makanan. Tidak
ada keluhan batuk pilek sebelumnya, batuk lama, ataupun batuk darah. Tidak ada
keluhan kejang, penglihatan kabur ataupun penglihatan ganda. Buang air besar
dan buang air kecil tidak ada keluhan.
Dalam hal ini, hal yang sesuai dengan teori yaitu :
1. Gejala hidrosefalus yang dapat ditemui pada usia tua yaitu : gangguan mental
dan fungsi kognitif, nyeri kepala (terutama saat pagi hari), nyeri leher
(menandakan adanya herniasi tonsilar), mual hingga muntah, pandangan kabur
(akibat dari papilledema) , penglihatan ganda (terkait palsy N.VI), spastik, dan
mudah mengantuk. Namun gejala hidrosefalus tidak terlalu khas pada pasien
ini.
2. Pada anamnesa dapat diketahui adanya trias meningitis seperti demam, nyeri
kepala dan kaku kuduk.
Hal yang tidak sesuai:
1. Angka kejadian hidrosefalus pada orang tua lebih rendah dibanding pada anak
(Nelson, 2016). Adapun bentuk hidrosefalus yang sering ditemukan pada usia
tua yaitu hydrocephalus ex vacuo dan normal pressure hydrocephalus (NPH).
Dimana hydrocephalus ex vacuo dapat disebabkan karena proses alami
ataupun trauma yang menyebabkan gangguan pada otak dan penyusutan
volume otak. Contohnya pada pasien usia lanjut atau pasien dengan
Alzheimer, dimana volume CSF meningkat untuk mengisi ruangan yang
kosong. Dalam hal ini terjadi peningkatan volume ventrikel namun tidak
diikuti dengan peningkatan tekanan intracranial. Sedangkan NPH terjadi
akibat adanya penyumbatan secara bertahap pada aliran CSF di otak, dimana
terjadi pembesaran ventrikel dan penekanan ataupun bahkan kerusakan dari

32
jaringan otak akibat dari peningkatan jumlah CSF, namun dalam hal ini tidak
terjadi peningkatan dari tekanan intracranial atau hanya terjadi sedikit
peningkatan tekanan intracranial (Well, 2007).

TEORI KASUS
ANAMNESIS
Pasien awalnya daang dengan
keluhan pusing berputar sejak 2
bulan SMRS
Dari anamnesis didapatkan,
sebelumnya pasien juga
Hal yang sesuai:
mengeluhkan adanya nyeri
3. Pada anamnesa dapat diketahui
kepala yang dirasakan sejak 2
gejala hidrosefalus berupa :
minggu terakhir. Sebelumnya
4. Pada anamnesa dapat diketahui
pasien juga sempat mengeluhkan
adanya trias meningitis seperti
demam yang dirasakan sejak 1
demam, nyeri kepala dan kaku
bulan terakhir, dan muntah
kuduk. Hal yang tidak sesuai:
sebanyak 1 kali, muntah tidak
2. Hidrosefalus lbh sering pada anak,
menyembur, dan berisi makanan.
dan jika ditemukan hidrosfalus Tidak ada keluhan batuk pilek
pada usia tua : Kemungkinan sebelumnya, batuk lama, ataupun
penyebab NPH dan ex vacuo batuk darah. Tidak ada keluhan
kejang, penglihatan kabur
ataupun penglihatan ganda.
Buang air besar dan buang air
kecil tidak ada keluhan.

PEMERIKSAAN
Hal yang sesuai: Laboratorium :
1. Pada pasien ini dilakukan Leu : 13.100
pemeriksaan CT scan, dimana Hb : 11,5
pemeriksaan CT Scan dapat HCT : 33,5 %
membantu mendiagnosis Trombosit : 324.000
hidrosefalus dan dapat mengetahui GDS : 134

33
ukuran ventrikel serta struktur lain. Na : 128
2. Pada pasien dengan kecurigaan K : 3,7
meningitis dapat dilakukan analisa Cl : 99
cairan cerebrospinal dengan syarat Ur : 28,5
tidak ditemukan adanya Cr : 0,9
peningkatan tekanan intracranial, HbsAg : NR
untuk menganalisa jumlah sel dan 112 : NR
protein cerebrospinal. Namun pada CT Scan kepala : hidrosefalus
pasien ini hasilnya belum
diketahui.
3.
Hal yang tidak sesuai:
1. Pemeriksaan fisik yang dapat
ditemukan pada pasien hidrosefalus
dewasa yaitu :
Papilledema
Kepala membesar
Parese N.VI (sekunder akibat
peningkatan TIK)
Gangguan dalam berjalan
Pada saat dilakukan pemeriksaan
fisik pasien sudah mengalami
penurunan kesadaran sehingga
hasil temuan pemeriksaan fisik
hidrosefalus pada pasien ini tidak
khas.
2. Pada pasien dengan kecurigaan
meningitis, dapat dilakukan
pemeriksaan foto toraks untuk
melihat adanya infeksi sebelumnya
pada paru-paru misalnya pada
pneumonia dan tuberculosis.
DIAGNOSIS

34
Hal yang sesuai: CKB GCS 7 + EDH temporal (D)+
Diagnosis ditegakkan melalui fraktur depressed temporoparietal
anamnesis dan pemeriksaan fisik (S)
serta penunjang berupa CT scan Ditegakkan melalui anamnesis,
dan analisis cairan LCS. pemeriksaan fisik, dan penunjang
Hal yang tidak sesuai: dalam hal ini adalah CT scan kepala.
1. Perlu dilakukannya
pemeriksaan tambahan seperti
pemeriksaan foto toraks untuk
menunjang diagnosis
meningitis
2. Pada anamnesis perlu digali
mengenai mekanisme trauma,
seperti jatuh dari ketinggian
atau kecelakaan akibat
kecepatan tinggi atau pada
kasus kecelakaan lalu lintas.
3. Riwayat yang harus diketahui
adalah sebagai berikut:
Status pre injury
(alkohol, nyeri dada),
energi pada saat injury
(kecepatan kendaraan,
ketinggian apabila
terjatuh), status
kesadaran dan stabilitas
hemodinamik pasien
setelah kecelakaan dan
waktu yang diperlukan
untuk menuju IGD.
Adanya amnesia
Riwayat pengobatan,
terutama penggunaan
antikoagulan.

35
Menggali lebih detail
mengenai riwayat
kesehatan pasien,
termasuk alergi dan
obat-obatan yang biasa
dikonsumsi terutama
antiplatelet, yang
berpotensi memerlukan
transfusi platelet selama
pembedahan, dan
antikoagulan yang
mungkin memerlukan
reversal.
4. Dapat ditemukan
trombositopenia akibat DIC
karena penghancuran sawar
darah otak pada kasus fraktur
depressed.
PENATALAKSANAAN
Hal yang sesuai: A. Kraniotomi cito
B. M20 4x150 cc
EDH merupakan kondisi
C. Injeksi ranitidin 2 x 1 ampul
emergensi. Tujuan D. Injeksi ceftriakson 2 x 1 gr
E. Pertahankan airway breathing
penatalaksanaannya meliputi:
circulation
Menyelamatkan hidup
F. Pasang NGT
Mengontrol gejala
Meminimalkan atau mencegah
kerusakan otak permanen. Hampir
selalu dibutuhkan kraniotomi
emergensi.
Sebagian besar fraktur terbuka
juga memerlukan eksplorasi,
debridement, dan elevasi fragmen
tulang. Penggunaan antibiotik

36
profilaksis spektrum luas normal
digunakan dalam kasus ini.

Hal yang tidak sesuai:


1. Salah satu dari strategi dalam
penanganan pasien dengan
cidera kepala adalah waktu
resusitasi yang efisien dan
tepat waktu. Pada kasus ini,
pasien terlambat dibawa
karena terlambat ditemukan
dan jauhnya rujukan.
2. Penanganan harus dimulai
ketika di lokasi kejadian
dengan intubasi, oksigenasi,
dan bantuan jalan napas.
3. Kontrol jalan napas dan
tekanan darah merupakan hal
yang penting. Pasang IV line,
berikan oksigen dan lakukan
monitoring.
4. Elevasi kepala sebesar 30
dapat dilakukan setelah cidera
servikal disingkirkan untuk
menurunkan TIK dan
meningkatkan drainase vena.

37
BAB V
PENUTUP

Meningitis tuberkulosis (TB) merupakan komplikasi hasil dari penyebaran


hematogen dan limfogen bakteri Mycobacterium tuberculosis dari infeksi primer
pada paru ke meningen. Insidensi meningitis TB di Indonesia masih banyak
sehingga diperlukan diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat. Meningitis TB
merupakan penyakit yang mengancam jiwa dan memerlukan penanganan tepat
karena mortalitas mencapai 30%, sekitar 5:10 dari pasien bebas meningitis TB
memiliki gangguan neurologis walaupun telah di berikan antibiotik yang adekuat.
Diagnosis awal dan penatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan untuk
mengurangi rIsiko gangguan neurologis yang mungkin dapat bertambah parah
jika tidak ditangani.

38
DAFTAR PUSTAKA

Huldani. 2012. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Meningitis Tuberkulosis. Referat.


Banjarmasin : Universitas Lambung Mangkurat.
Nofareni, 2003. Status Imunisasi BCG dan Faktor Lain yang Mempengaruhi
Terjadinya Meningitis Tuberkulosa. Master. Medan: University of Sumatera
Utara.
R.Sjamsuhidat, Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi 2. Jakarta : EGC
(hal 809-810).
Ramalingan. 2016. Gambaran Karakteristik Penderita Meningitis Tuberkulosis
Yang dirawat Di Ruang Rawat Inap Anak RSUP Haji Adam Malik periode
2011-2014. Master. Medan : University of Sumatera Utara.
Saputra, Indra. 2015. Pengaruh Kadar Protein dan Jumlah Sel CSF dengan Angka
Kejadian Malfungsi VP Shunt di Rumah Sakit Haji Adam Malik. Master.
Medan : University of Sumatera Utara
Sidharta, Priguna, 2009. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Edisi Ketujuh.
Jakarta:Dian Rakyat.
Wijaya, Yoppy. 2006. Hidrosefalus. Referat. Surabaya : Universitas Wijaya
Kusuma.

39

Anda mungkin juga menyukai