Anda di halaman 1dari 32

Laporan Kasus

RINITIS ALERGI

Oleh:
Lianita, S.Ked
Nini Irmadoly, S.Ked

Pembimbing:
dr. Puspa Zuleika, Sp T.H.T.K.L(K), FICS

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL RSMH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2016
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Judul: Rinitis Alergi

Disusun oleh: Lianita, S.Ked (04054821517079)


Nini Irmadoly, S.Ked (04084821517044)

Telah diterima sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP
dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 15 Februari 2015 19 Maret 2016.

Palembang, Maret 2016


Pembimbing

dr. Puspa Zuleika, Sp T.H.T.K.L(K), FICS

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan diskusi kasus dengan
judul Rinitis Alergi untuk memenuhi tugas diskusi kasus yang merupakan bagian
dari sistem pembelajaran dan penilaian kepaniteraan klinik, khususnya Bagian Ilmu
Kesehatan THT-KL Universitas Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Hj.
Puspa Zuleika, Sp T.H.T.K.L (K), FICS, selaku pembimbing yang telah membantu
memberikan ajaran dan masukan sehingga laporan ini dapat selesai.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan ini
disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa
yang akan datang. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat dan pelajaran bagi
kita semua.

Palembang, Maret 2016

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ..i


HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
KATA PENGANTAR...........................................................................................iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................. v
DAFTAR TABEL ................................................................................................. vi

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Anatomi telinga dan fisiologi pendengaran ....................................................... 2
2.2 Definisi OMK ....................................................................................................3
2.3 Klasifikasi OMK ................................................................................................3
2.4 Epidemiologi ......................................................................................................7
2.5 Etiologi...............................................................................................................7
2.6 Patogenesis.........................................................................................................9
2.7 Patologi ..............................................................................................................10
2.8 Tanda Klinis .......................................................................................................10
2.9 Pemeriksaan Penunjang .....................................................................................12
2.10 Penatalaksanaan ...............................................................................................14
2.11 Komplikasi .......................................................................................................21

BAB III KESIMPULAN ..................................................................................... 33

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 35

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi telinga ..................................................................................2


Gambar 2. Kolesteatoma kongenital ....................................................................5
Gambar 3. Kolesteatoma ......................................................................................7
Gambar 4. Timpanoplasti ..................................................................................20

v
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jenis-jenis timpanoplasti ......................................................................20

vi
PENDAHULUAN
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh alergi pada
pasien yang atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut. Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and Its
Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-
bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen
yang diperantarai oleh IgE.1
Prevalensi rinitis di dunia saat ini mencapai 10-25% atau lebih dari 600
juta penderita dari seluruh etnis dan usia.2 Di Amerika Serikat, lebih dari 40 juta
warganya menderita rinitis alergi. Rinitis alergi pada anak lebih sering terjadi
pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, sedangkan pada dewasa
prevalensi rinitis alergi laki-laki sama dengan perempuan. Sekitar 80% kasus
rinitis alergi berkembang mulai usia 20 tahun. Insidensi rinitis alergi pada anak-
anak 40% dan menurun sejalan dengan usia.3 Di Indonesia belum ada angka yang
pasti, tetapi di Bandung prevalensi rinitis alergi pada usia 10 tahun ditemukan
cukup tinggi (5,8%).2
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Terapi pada rinitis alergi adalah
menghindari kontak dengan alergen penyebab, medikamentosa, operatif dan
imunoterapi.1-8
Komplikasi rinitis alergi yang sering adalah polip hidung, otitis media, dan
sinusitis paranasal, asma bronkial, gangguan fungsi tuba eustachius.1,3,6,9

KEKERAPAN
Prevalensi rinitis di dunia saat ini mencapai 10-25% atau lebih dari 600 juta
penderita dari seluruh etnis dan usia.2 Di Amerika Serikat, lebih dari 40 juta
warganya menderita rhinitis alergi. Rinitis alergi pada anak lebih sering terjadi
pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, sedangkan pada dewasa
prevalensi rinitis alergi laki-laki sama dengan perempuan. Sekitar 80% kasus
rhnitis alergi berkembang mulai usia 20 tahun. Insidensi rinitis alergi pada anak-

1
anak 40% dan menurun sejalan dengan usia.3 Di Indonesia belum ada angka yang
pasti, tetapi di Bandung prevalensi rinitis alergi pada usia 10 tahun ditemukan
cukup tinggi (5,8%).2

ANATOMI HIDUNG
Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga
hidung dengan pendarahan serta persarafannya. Hidung luar berbentuk piramid
dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1) pangkal hidung, 2) dorsum nasi,
3) puncak hidung, 4) ala nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares
anterior).1,10
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os
nasalis, 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal.
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari.1) sepasang kartilago nasalis
lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago ala
mayor), 3) beberapa pasang kartilago ala minor, dan 4) tepi inferior kartilago
septum. 1,10
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi di bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. 1,4,10
Septum bagian luar dilapisi oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding
hidung licin, yang disebut agar nasi dan di belakangnya terdapat konka-konka
yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.1
Pada dinding lateral terdapat 4 konka, dari yang terbesar sampai yang
terkecil adalah konka inferior, konka media, konka superior, dan konka suprema.
Konka suprema ini biasanya rudimeter. 1
Di antara konka-konka dan dinding laterla hidung terdapat rongga sepit
yang disebut meatus. Terdapat 3 meatus, yaitu meatus inferior, meatus media, dan

2
meatus superior. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimaris, pada meatus media terdapat muara sinus frontalis, sinus
maksilaris, dan sinus etmoid anterior. Sedangkan pada meatus superior bermuara
sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.1,10
Pendarahan hidung berasal dari a. maksilaris interna (bagian bawah hidung),
a. fasialis (bagian depan hidung). Bagian depan anastomosis dari cabang a.
sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior, dan a. palatina mayor, yang
disebut pleksus Kieselbach. 1 Vena-vena membentuk pleksus yang luas di dalam
submucosa. Pleksus ini dialirkan oleh vena-vena yang menyertai arteri.10
Persarafan hidung pada bagian depan dan atas, saraf sensoris n. etmoid
anterior (cabang n. nasolakrimalis, cabang N. oftalmikus). Rongga hidung lainnya
saraf sensoris n. maksila. Saraf vasomotor (autonom) melalui ganglion
sfenopalatinum. 1

Gambar 1: Anatomi eksternal hidung

3
Gambar 2: Anatomi Dinding Lateral Hidung

Mukosa hidung berdasar histologik dan fungsional dibagi atas mukosa


pernapasan dan mukosa penghidu (olfaktorius). Mukosa pernapasan terdapat pada
sebagian besar rongga hidung berupa epitel torak berlapis semu yang mempunyai
silia dan di antaranya terdapat sel goblet. Pada bagian yang lebih sering terkena
aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang berubah menjadi epitel
skuamosa. 1
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah
karena diliputi oleh palut lendir pada permukaannya yang dihasilkan oleh kelenjar
mukosa dan sel-sel goblet. Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai
arti penting dalam mobilisasi palut lendir di dalam kavum nasi yang didorong ke
arah nasofaring. 1
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu
yang tidak bersilia. 1
Mukosa sinus paranasal berhubungan langsung dengan mukosa rongga
hidung di daerah ostium. Mukosa sinus menyerupai mukosa hidung, hanya lebih
tipis dan sedikit mengandung pembuluh darah. 1

4
DEFINISI
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh alergi pada
pasien yang atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut.1
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma)
tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa
gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai
oleh IgE.1

ETIOLOGI
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:1,3,5
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya
tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, serta
jamur.
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting, dan kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin dan sengatan lebah.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik, perhiasan.

Gambar 3. Alergen pencetus rinitis alergi

5
PATOGENESIS
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi
terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase
cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan allergen sampai satu jam
setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.1,6
Pada kontak pertama dengan allergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap allergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung
dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major
Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T Helper
(Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL1) yang
akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilakan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan IL13. IL4 dan IL13
dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B
menjadi aktif dan akan memproduksi IgE. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke
jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel
mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah
tersensitisasi terpapar dengan allergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan
mengikat allergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit
dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk
(Preformed Mediators) terutama histamine. Selain itu juga dikeluarkan Newly
Formed Mediators, antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrein D4 (LTD4),
Leukotrein C4 (LTC4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai
sitokin. Inilah yang disebut sebagai reaksi alergi fase cepat (RAFC).1
Histamine akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamine juga akan

6
menyebabkan sel mukosa dan sel goblet megalami hipersekresi dan permeabilitas
kapiler meningkat sehingga terjadi rinorea. Gejala lain dalah hidung tersumbat
akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamine merangsang ujung saraf vidianus,
juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran
Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).1
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eusinofil dan noutrofil di jaringan target. Timbulnya
gejala hiperaktif atau hiper responsive hidung adalah akibat peranan eosinofil
dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti ECP, EDP, MBP, EPO. Pada
fase ini, selain factor spesifik (allergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca,
dan kelembaban udara yang tinggi.1

Gambar 4. Patogenesis rinitis alergi

GAMBARAN HISTOLOGIK
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga pembesaran ruang
inter seluler dan penebalan membrane basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel
eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.1

7
KLASIFIKASI
Berdasarkan sifat berlangsungnya rinitis alergi dibagi menjadi :1,6,7
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Rinitis hanya ada di
negara yang mempunyai 4 musim. Allergen penyebabnya spesifik, yaitu
tepungsari (pollen), rerumputan, dan spora jamur.
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala penyakit ini timbul intermiten
atau terus menerus, tanpa variasi musim. Penyebab yang paling sering ialah
alergen inhalan dan alergen ingestan.

Berdasarkan WHO Initiative ARIA, rinitis alergi berdasarkan sifat


berlangsungnya dibagi menjadi:1,11
1. Intermitten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang
dari 4 minggu.
2. Persisten/ menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4
minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi


menjadi:1
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan akivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang-berat bila terdapat salah satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.

GEJALA KLINIS
Gejala klinis yang khas adalah bersin yang berulang. Bersin biasanya pada
pagi hari dan karena debu. Bersin lebih dari lima kali sudah dianggap patologik
dan perlu dicurigai adanya rinitis alergi dan ini menandakan reaksi alergi fase
cepat. Gejala lain berupa keluarnya ingus yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, mata gatal dan banyak air mata. Pada anak-anak sering gejala tidak
khas dan yang sering dikeluhkan adalah hidung tersumbat.

8
Pada anak-anak, akan ditemukan tanda yang khas seperti:
1. Allergic salute
Allergic salute adalah gerakan pasien menggosok hidung dengan tangannya
karena gatal.

Gambar 5. Allergic salute


2. Allergic crease
Allergic crease adalah alur yang melintang di sepertiga bawah dorsum nasi akibat
sering menggosok hidung.

Gambar 6. Allergic crease


3. Allergic shiner
Allergic shiner adalah bayangan gelap di bawah mata yang terjadi akibat stasis
vena sekunder akibat obstruksi hidung.

Gambar 7. Allergic shiner

9
4. "Bunny rabbit" nasal twiching sound
Bunny-rabbit sound adalah suara yang dihasilkan karena lidah menggosok
palatum yang gatal dan gerakannya seperti kelinci mengunyah.
Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga
akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding
posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta
dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic
tongue).

Gambar 8. Facies Adenoid

Gambar 9. Geographic Tongue

10
DIAGNOSIS
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:1
a. Anamnesis
Pada anamnesis didapati keluhan serangan bersin yang berulang.
Bersin ini merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang RAFL sebagai
akibat dilepaskannya histamin. Gejala lain adalah keluar ingus (rinore) yang
encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-
kadang disertai dengan banyak keluar air mata (lakrimasi).1
Riwayat penyakit alergi dalam keluarga perlu ditanyakan. Pasien juga
perlu ditanya gangguan alergi selain yang menyerang hidung, seperti asma,
eczema, urtikaria, atau sensitivitas obat. Keadaan lingkungan kerja dan
tempat tinggal juga perlu ditanya untuk mengaitkan awitan gejala. 3,4
Rinitis alergi dapat terjadi karena adanya kontak pasien dengan bahan
alergen seperti tungau debu rumah, jamur, rokok, antigen hewan peliharaan,
serbuk sari tumbuh-tumbuhan atau bunga di pekarangan, kadang-kadang
makanan dapat menimbulkan gejala serupa. Anamnesis lingkungan adalah
langkah penting dalam mengidentifikasi faktor pemicu.

Tujuan anamnesis lingkungan, yaitu:


1. Mencari hubungan sebab-akibat
2. Survei untuk tes alergen yang dicurigai dan saran untuk keluarga pasien

Unsur-unsur dalam anamnesis lingkungan berupa:


1. Lingkungan rumah: usia rumah, jenis penghangat ruangan, adanya jamur
atau lumut, usia karpet, dan frekuensi pembersihan rumah
2. Kamar tidur (waktu yang paling banyak dihabiskan, terutama pada anak):
seprai, jenis kasur, jumlah barang dan buku-buku
3. Hewan peliharaan: sering dokter dikeluhkan dengan komentar keluarga
"Hewan peliharaan saya jelas bukan penyebab alergi saya sebab saat saya
timbul bersin hewan itu tidak ada bersama saya", hal ini perlu diluruskan

11
karena antigen hewan seperti anjing terdapat pada air liur dan bulu yang
lepas bahkan saat anjing tersebut telah lama dikeluarkan

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik untuk rinitis alergi berfokus pada hidung, tetapi
pemeriksaan wajah, mata, telinga, leher, paru-paru, dan kulit juga penting.
Wajah
- Allergic shiners yaitu dark circles di sekitar mata dan berhubungan
dengan vasodilatasi atau obstruksi hidung
- Nasal crease yaitu lipatan horizontal (horizontal crease) yang
melalui setengah bagian bawah hidung akibat kebiasaan
menggosok hidung keatas dengan tangan.
Hidung
- Pada pemeriksaan hidung digunakan nasal speculum atau bagi
spesialis dapat menggunakan rhinolaringoskopi
- Pada rinoskopi akan tampak mukosa edema, basah, berwarna
pucat, disertai adanya sekret encer yang banyak.
- Tentukan karakteristik dan kuantitas mukus hidung. Pada rinitis
alergi mukus encer dan tipis. Jika kental dan purulen biasanya
berhubungan dengan sinusitis. Namun, mukus yang kental,
purulen dan berwarna dapat timbul pada rinitis alergi.
- Periksa septum nasi untuk melihat adanya deviasi atau perforasi
septum yang dapat disebabkan oleh rinitis alergi kronis, penyakit
granulomatus.
- Periksa rongga hidung untuk melihat adanya massa seperti polip
dan tumor. Polip berupa massa yang berwarna abu-abu dengan
tangkai. Dengan dekongestant topikal polip tidak akan menyusut.
Sedangkan mukosa hidung akan menyusut.
Telinga, mata dan orofaring
- Dengan otoskopi perhatikan adanya retraksi membran timpani, air-
fluid level, atau bubbles. Kelainan mobilitas dari membran timpani

12
dapat dilihat dengan menggunakan otoskopi pneumatik. Kelaianan
tersebut dapat terjadi pada rinitis alergi yang disertai dengan
disfungsi tuba eustachius dan otitis media sekunder.
- Pada pemeriksaan mata akan ditemukan injeksi dan
pembengkakkan konjungtiva palpebral yang disertai dengan
produksi air mata.
Leher: perhatikan adanya limfadenopati
Paru-paru: perhatikan adanya tanda-tanda asma
Kulit: kemungkinan adanya dermatitis atopi.

c. Pemeriksaan Penunjang
In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test)
sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien
lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga
menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk
prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga
dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah dengan RAST
(Radio Immunosorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno
SorbentAssay Test).1
Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan
diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya
eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan.
Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan
jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.1
In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit,
uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan
menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat

13
kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat
alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. 1
Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat
diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan
provokasi (Challenge Test).1
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari.
Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada
pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya.
Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu
makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu
jenis makanan. 1

DIAGNOSIS BANDING
NARES (non-allergic rhinitis with eosinophilic syndrome) dapat
disingkirkan bila tes kulit menunjukkan positif terhadap alergen lingkungan.
Penyebab keluhan pada NARES adalah alergi pada makanan. Rinitis vasomotor
dapat dibedakan dengan rinitis alergi dengan keluhan bersin pada perubahan suhu
ekstrim, rokok, tidak terdapat gatal pada mata, udara lembab, hidung tersumbat
pada posisi miring dan bergantian tersumbatnya. Selain itu mukosa yang pucat
atau merah gelap, licin, edema juga mendukung rinitis vasomotor. Pada tes kulit
bernilai negatif. Rinitis alergi dan vasomotor dapat pula terjadi bersamaan dengan
memberi gambaran rinoskopi anterior yang bercampur seperti mukosa pucat tetapi
positif pada tes kulit. Sekresi hidung yang kekuningan dan tampak purulen tetapi
eosinofilik sering terjadi pada rinitis alergi, tetapi pada sekresi yang berbau busuk
dan purulen dan terjadi unilateral perlu dicurigai adanya benda asing.

14
Gambar 10. Rhinitis vasomotor

PENATALAKSANAAN
Pengobatan paling efektif dari rinitis alergi adalah menyingkirkan faktor
penyebab yang dicurigai. Bila faktor penyebab tidak mampu dilakukan maka
terapi selanjutnya adalah pemberian farmakoterapi maupun tindakan bedah
berupa:
1. Antihistamin
2. Dekongestan oral
3. Sodium kromolin
4. Kortikosteroid inhalasi
5. Imunoterapi
6. Netralisasi antibodi
7. Konkotomi

Antihistamin
Antihistamin adalah pengobatan rinitis alergi yang paling sering diresepkan.
Obat ini bekerja secara kompetitif dengan mediator alergi, histamin, pada reseptor
Histamin-1. Efeknya berupa mengurangi vasodilatasi, hipersekresi kelenjar
mukus, dan refleks iritasi untuk bersin. Antihistamin yang bekerja pada reseptor
H-1 dibagi menjadi dua generasi berdasarkan sifat sedatifnya, generasi pertama
bersifat sedatif karena bersifat lipofilik dan generasi kedua bersifat lipofobik.
Contoh antihistamin generasi pertama adalah klorfeniramin, difenhidramin,
siproheptadin. Antihistamin generasi kedua memiliki keuntungan tidak

15
menyebabkan sedasi, namun efek samping lain ternyata dilaporkan suatu kasus
kecil berupa anemia aplastik dan golongan tertentu tidak boleh diberikan pada
penderita dengan gangguan jantung karena menyebabkan aritmia. Antihistamin
generasi kedua yang aman adalah loratadin, setirizin, feksofenadin. Dianjurkan
konsumsi antihistamin agar dimakan secara reguler dan bukan dimakan
seperlunya saja karena akan memberikan efek meredakan gejala alergi yang
efektif. Apabila antihistamin generasi pertama dipilih, maka pemberian secara
reguler akan memberi toleransi kepada pasien terhadap efek sedasi sehingga ia
mampu tetap toleran terhadap pekerjaannya.

Dekongestan
Dekongestan oral mengurangi edema pada membran mukus hidung karena
bersifat vasokonstriksi (alfa adrenergik), sehingga efek obat ini melengkapi
pengobatan gejala rinitis alergi oleh antihistamin dengan mengurangi edema
membran mukus. Contoh obat dekongestan oral adalah pseudoefedrin,
fenilpropanolamin, fenilefrin. Obat ini cukup diberikan beberapa hari saja.
Dianjurkan pemberian dekongestan oral dibandingkan dekongestan topikal karena
efek "rebound phenomena" obat tersebut terhadap mukosa hidung yang dapat
menyebabkan rinitis medikamentosa. Pemberian obat ini merupakan
kontraindikasi bila pasien sedang mengonsumsi atau dalam fase "tappering off"
dari obat-obatan monoamin oksidase inhibitor karena bahaya akan terjadinya
krisis hipertensi.

Sodium kromolin
Sodium kromolin bekerja pada intraseluler dengan menstabilkan dinding sel
mastosit yaitu berupa mencegah pelepasan mediator-mediator ke luar sel. Kerja
dari obat ini adalah dengan menghambat influks Ca2+ lebih banyak ke dalam sel
mast sehingga degranulasi mediator terhambat. Obat ini dapat diberikan sebagai
pilihan alternatif apabila antihistamin tidak dapat ditoleransi pada pasien.

16
Kortikosteroid
Kortikosteroid inhalasi bekerja dengan mengurangi kadar histamin. Kadar
histamin dikurangi dengan mencegah konversi asam amino histidin menjadi
histamin, selain itu kortikosteroid juga meningkatkan produksi c-AMP sel mast.
Secara umum kortikosteroid mencegah epitel hidung bersifat sensitif terhadap
rangsangan alergen baik pada fase cepat maupun lambat. Efek kortikosteroid
bekerja secara langsung mengurangi peradangan di mukosa hidung dan efektif
mengurangi eksaserbasi. Preparat yang tersedia seperti beklometason, budesonid,
dan flunisolid. Efek samping kortikosteroid inhalasi lebih kecil dibanding steroid
sistemik kecuali pasien diberikan dalam dosis sangat tinggi atau sedang menjalani
pengobatan penyakit paru.

Imunoterapi
a. Imunoterapi spesifik
Imunoterapi spesifik efektif jika diberikan secara optimal. Imunoterapi
subkutan masih menimbulkan pertentangan dalam efektifitas dan keamanan.
Oleh karena itu, dianjurkan penggunaan dosis optimal vaksin yang diberi
label dalam unit biologis atau dalam ukuran masa dari alergen utama. Dosis
optimal untuk sebagian besar alergen utama adalah 5 sampai 20 g.
Imunoterapi subkutan harus dilakukan oleh tenaga terlatih dan penderita
harus dipantau selama 20 menit setelah pemberian subkutan.
Indikasi imunoterapi spesifik subkutan
- Penderita yang tidak terkontrol baik dengan farmakoterapi konvensional
- Penderita yang gejala-gejalanya tidak dapat dikontrol baik dengan
antihistamin H1 dan farmakoterapi
- Prnderita yang tidak menginginkan farmakoterapi
- Penderita dengan farmakoterapi yang menimbulkan efek samping yang
tidak diinginkan
- Penderita yang tidak ingin menerima terapi farmakologis jangka panjang.
Imunoterapi spesifik nasal dan sublingual dosis tinggi-imunoterapi
spesifik oral

17
- Dapat digunakan dengan dosis sekurang-kurangnya 50-100 kali lebih
besar dari pada yang digunakan untuk imunoterapi subkutan.
- Pada penderita yang mempunyai efek samping atau menolak imunoterapi
subkutan
- Indikasinya mengikuti indikasi dari suntikan subsukatan
Pada anak-anak, imunoterapi spesifik adalah efektif. Namun tidak
direkomendasikan untuk melakukan imunoterapi pada anak dibawah
umur 5 tahun.
b. Imunoterapi non-spesifik
Imunoterapi non-spesifik menggunakan steroid topikal. Hasil akhir sama
seperti pengobatan imunoterapi spesifik-alergen konvensional yaitu sama-sama
mampu menekan reaksi inflamasi, namun ditinjau dari aspek biomolekuler
terdapat mekanisme yang sangat berbeda.
Glukokortikosteroid (GCSs) berikatan dengan reseptor GCS yang berada di
dalam sitoplasma sel, kemudian menembus membran inti sel dan mempengaruhi
DNA sehingga tidak membentuk mRNA. Akibat selanjutnya menghambat
produksi sitokin pro-inflammatory.

Antibodi netralisasi
Bekerja dengan cara memberikan anti IgE monoklonal. Antibodi ini
berikatan dengan IgE yang bebas di dalam tubuh dan tentu saja secara langsung
akan mengurangi produksi IgE selanjutnya oleh sel B. Hasil akhirnya adalah
konsentrasi IgE yang rendah mengurangi sensitivitas basofil. Cara ini tidak hanya
digunakan untuk rinitis alergi, tetapi jenis alergi lain seperti alergi makanan.

Konkotomi
Konkotomi dilakukan pada konka inferior, dikerjakan apabila hipertrofi
berat tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau
triklor asetat.

18
Bagan 1. Alur Penatalaksanaan Rinitis Alergi

19
KOMPLIKASI
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:1,3,7,13
1. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah
satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip
hidung. Polip hidung biasanya tumbuh di meatus medius dan merupakan
manifestasi utama akibat proses inflamasi kronis yang menimbulkan
sumbatan sekitar ostia sinus di meatus medius. Polip memiliki tanda
patognomonis : inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi
yang luar biasa banyaknya (lebih-lebih eosinofil dan limfosit T CD4+),
hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.
Ditemukan juga mRNA untuk GM-CSF, TNF-alfa, IL-4 dan IL-5 yang
berperan meningkatkan reaksi alergis.
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak
3. Sinusitis paranasal
Merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi
akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa. Edema
mukosa ostia menyebabkan sumbatan ostia. Penyumbatan tersebut akan
menyebabkan penimbunan mukus sehingga terjadi penurunan oksigenasi
dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan
pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob. Selain dari itu, proses
alergi akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat
dekstruksi mukosa oleh mediator-mediator protein basa yang dilepas sel
eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah.
Pengobatan komplikasi rinits alergi harus ditujukan untuk menghilangkan
obstruksi ostia sinus dan tuba eustachius, serta menetralisasi atau menghentikan
reaksi humoral maupun seluler yang terjadi lebih meningkat. Untuk tujuan ini
maka pengobatan rasionalnya adalah pemberian antihistamin, dekongestan,
antiinflamasi, antibiotika adekuat, imunoterapi dan bila perlu operatif.

20
PROGNOSIS
Kebanyakan gejala rintis alergi dapat diobati. Pada kasus yang lebih parah
dapat memerlukan imunoterapi. Beberapa orang (terutama anak-anak) semakin
dewasa akan semakin kurang sensitif terhadap. Namun, sebagai aturan umum, jika
suatu zat menjadi penyebab alergi bagi seorang individu, maka zat tersebut dapat
terus mempengaruhi orang itu dalam jangka panjang.14
Secara umum, pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon
dengan pengobatan memiliki prognosis baik. Pada pasien yang diketahui alergi
terhadap serbuk sari, maka kemungkinan rinitis pasien ini dapat terjadi musiman.
Prognosis sulit diprediksi pada anak-anak dengan penyakit sinusitis dan telinga
yang berulang. Prognosis yang terjadi dapat dipengaruhi banyak faktor termasuk
status kekebalan tubuh maupun anomali anatomi. Perjalanan penyakit rinitis alergi
dapat bertambah berat pada usia dewasa muda dan tetap bertahan hingga dekade
lima dan enam. Setelah masa tersebut, gejala klinik akan jarang ditemukan karena
menurunnya sistem kekebalan tubuh.

LAPORAN KASUS
Seorang laki-laki berusia 28 tahun pada tanggal 26 Februari 2016 datang
berobat ke Klinik THT-KL RSMH dengan keluhan mimisan satu hari sebelum
berobat. Mimisan terjadi pada saat penderita sedang beristirahat, banyaknya darah
satu kain sapu tangan, keluarnya darah menetes. Tidak ada riwayat trauma,
riwayat darah tinggi. Penderita pernah mengalami mimisan serupa sekitar 3 bulan
yang lalu. Penderita juga mengeluh pilek terus menerus sejak kecil terutama saat
terpapar debu, suhu dingin, dan asap. Keluhan dirasakan hampir setiap pagi
setelah bangun tidur. Keluhan hidung tersumbat (+), lendir di hidung (+) berwarna
putih, encer, banyak, berbau busuk (-), bersin-bersin (+), perdarahan dari hidung
(-), rasa gatal pada hidung dan mata (+), nyeri tekan wajah (-), terasa berat saat
menundukkan kepala (-), nyeri pada telinga (-), rasa penuh pada telinga (-), keluar
cairan dari telinga (-), telinga berdenging (-), demam (-), penderita tidak
mengalami kesulitan dalam menelan makanan (padat/lunak) dan minum, suara
serak (-), sesak nafas (-). Penderita mengaku aktivitas sehari-hari terganggu.

21
Hasil pemeriksaan fisik umum dalam batas normal. Pemeriksaan fisik
hidung pada rinoskopi anterior didapatkan cavum nasi cukup lapang, terdapat
sekret serous pada kedua cavum nasi, mukosa konka inferior dan konka media
kanan dan kiri hipertrofi, basah, licin, warna pucat, mukosa septum nasi hipertrofi.
Pemeriksaan fisik tenggorokan didapatkan granuler pada dinding faring belakang.
Pemeriksaan telinga dalam batas normal.

DISKUSI
Dilaporkan angka kekerapan rinitis di dunia saat ini mencapai 10-25%
atau lebih dari 600 juta penderita dari seluruh etnis dan usia. Rinitis alergi pada
anak lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan,
sedangkan pada dewasa prevalensi rinitis alergi laki-laki sama dengan perempuan.
Sekitar 80% kasus rinitis alergi berkembang mulai usia 20 tahun. Insidensi rinitis
alergi pada anak-anak 40% dan menurun sejalan dengan usia.

22
Dari hasil anamnesis, keluhan utama pasien adalah mimisan yang terjadi
satu hari sebelum pasien berobat. Pasien juga mengeluh pilek terus menerus
terutama saat terpapar debu, asap dan udara dingin. Ingus bening, encer, dan tidak
berbau. Keluhan hidung berair dirasakan terus menerus hampir setiap hari
terutama pagi hari. Dari keterangan anamnesis selanjutnya pada pasien ini juga
didapatkan keluhan sering bersin berulang, hidung tersumbat dan rasa gatal pada
hidung dan mata. Pasien mengaku keluhan yang timbul terkadang menganggu
aktivitas sehari-hari.
Hasil pemeriksaan fisik umum dalam batas normal. Pemeriksaan fisik
hidung pada rinoskopi anterior didapatkan cavum nasi cukup lapang, terdapat
sekret serous pada kedua cavum nasi, mukosa konka inferior dan konka media
kanan dan kiri hipertrofi, basah, licin, warna pucat, mukosa septum nasi hipertrofi.
Pemeriksaan fisik tenggorokan didapatkan granuler pada dinding faring belakang.
Pemeriksaan telinga dalam batas normal.
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan yang didapatkan, diagnosis pada
pasien ini yaitu rinitis alergi dan paska epistaksis. Rinitis alergi adalah penyakit
inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya
sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya mediator kimia
ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Gejala yang tejadi
pada rinitis alergi beupa bersin-bersin, rinore, rasa gatal, hidung tersumbat dan
kadang disertai keluarnya air mata berlebih (hiperlakrimasi).
Berdasarkan klasifikasi ARIA, berdasarkan sifat berlangsungya, penderita
diklasifikasikan rinitis alergi persisten karena gejala dirasakan lebih dari 4
hari/minggu dan lebih dari 4 minggu. Berdasarkan tingkat berat ringannya
penyakit, penderita diklasifikasikan menjadi rinitis alergi sedang-berat, karena
terdapat gangguan aktivitas sehari-hari.
Pasien ini ditatalaksana dengan nonmedikamentosa dan medikamentosa.
Untuk non medikamentosa, pasien dianjurkan untuk sebisa mungkin menghindari
kontak dengan alergen penyebab seperti debu, udara dingin dan asap. Untuk
edukasi disarankan untuk istirahat dan minum obat secara teratur sesuai petunjuk
dokter dan kontrol 2-4 minggu pasca pengobatan. Untuk pengobatan

23
medikamentosa, pasien ini diberikan antihistamin Cetirizine 10mg 1 x 1 tablet per
hari per oral (malam hari), dekongestan Pseudoefedrin HCl 30 mg 2 x 1 tablet per
hari per oral dan untuk meringankan gejala sumbatan hidung diberikan
kortikosteroid topikal Fluticasone furoate nasal spray 27,5 mcg 1 x 2 puff pada
pagi hari.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Irawati, N., Kasakeyan E., Rusmono, N. Rinitis Alergi. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi keenam.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007; hlm.128-34.
2. Sudiro, M., Madiadipoera, T., Purwanto, B. Eosinofil Kerokan Mukosa
Hidung Sebagai Diagnostik Rinitis Alergi. MKB volume 42 No.1; 2010, hlm.
6-11.
3. Sheikh, H. Allergic Rhinitis. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/134825
4. Adams, G., Boies, L R., Higler, P A. Penyakit Hidung. Dalam: Boies Buku
Ajar Penyakit THT Edisi keenam. Jakarta: EGC; 1997; hlm.210-8.
5. Snow, J B., Ballenger, J J. Allergic Rhinitis. In: Ballengers
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery Edition 9th. Spain: BC Decker;
2003; p.708-31.
6. Dhingra, PL. Allergic Rhinitis. In: Disease of Ear, Nose and Throat fourth
edition. Elsevier, p.157-9.
7. Mabry, R., Marple, B. Allergic Rhinitis. In: Cummings Otolaryngology
Head Neck Surgery Fourth Edition. USA: Elsevier, 2005; p.982-8.
8. Pasha, R. Allergy and Rhinitis. In: Otolaryngology Head and Neck Surgery
Clinical Reference Guide. Singular Thomson Learning; p.28-33.
9. Karya, I W., Aziz, A., Rahardjo S P., Djufri N I. Pengaruh Rinitis Alergi
(ARIA WHO 2001) terhadap Gangguan Fungsi Ventilasi Tuba Eustachius.
Cermin Dunia Kedokteran 166 volume 37 (7), 2008; 405-10.
10. Snell, R S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta:
EGC, 2006; hlm.803-5.
11. ARIA. ARIA at a Glance Pocket Reference 2007 1st ed. 2007.
12. Plaut, M., Valentine, M D. Allergic Rhinitis. The New England Journal of
Medicine, 2005; 1934-43.

25
13. Harsono, Ariyanto, Endaryato, Anang. Rinitis Alergika. Diunduh dari:
http://www.pediatrik.com/isi03.php?page=html&hkategori=pdt&direktori=pd
t&filepdf=0&pdf=&html=07110-bfxu225.htm
14. National Library of Medicine. Allergic Rhinitis. Diunduh dari:
http://www.nlm.nih.giv/medlineplus/ency/article/000813.htm

26

Anda mungkin juga menyukai