Anda di halaman 1dari 7

MENELISIK RAHASIA FILSAFAT KEJAWEN

MENELISIK RAHASIA FILSAFAT KEJAWEN

(seri 1)
Dalam literatur dan kaidah kebudayaan Jawa tidak ditemukan adanya
pakem dalam kalimah doa serta tata cara baku menyembah Tuhan. Dalam
budaya Jawa dipahami bahwa Tuhan Maha Universal dan kekuasaanNya tiada
terbatas. Pun dalam kejawen, karena bukan lah agama, maka dalam falsafah
kejawen yang ada hanyalah wujud laku spiritual dalam tataran batiniahnya, dan
laku ritual dalam tataran lahiriahnya. Laku ritual merupakan simbolisasi dan
kristalisasi dari laku spiritual. Ambil contoh misalnya mantra, sesaji, laku sesirih
(menghindari laku pantangan) serta laku semedi atau meditasi. Banyak kalangan
yang tidak memahami asal usul dan makna dari semua itu, lantas begitu saja timbul
suatu asumsi bahwa mantra sama halnya dengan doa. Sedangkan sesaji, laku
sesirih dan laku semedi dipersepsikan sama maknanya dengan ritual menyembah
Tuhan. Asumsi dan persepsi ini salah besar. Menurut para pengamat, kaum
akademisi dan budayawan, ada suatu unsur kesengajaan untuk mempersepsikan
dan mengasumsikan secara tidak tepat dan melenceng dari makna yang
sesungguhnya. Semoga hal itu bukan termasuk upaya politisasi sistem
kepercayaan, untuk mendestruksi budaya Jawa yang sudah mbalung sungsum di
kalangan suku Jawa, dengan harapan supaya terjadi loncatan paradigma kearifan
lokal kepada paradigma asing yang secara naratif menjamin surga. Awal dari
penggeseran dilakukan oleh bangsa asing yang akan menjalankan praktik
imperialisme dan kolonialisme di bumi nusantara sejak ratusan tahun silam.
Baiklah, terlepas dari semua anggapan, asumsi maupun persepsi di atas ada
baiknya dikemukakan wacana yang mampu mengembalikan persepsi dan asumsi
terhadap ajaran kejawen sebagaimana makna yang sesungguhnya. Setidaknya,
kejawen dapat menjadi monumen sejarah yang akan dikenang dan dikenal oleh
generasi penerus bangsa ini. Agar menumbuhkan semangat berkarya dan
nasionalisme di kalangan generasi muda. Di samping itu ada kebanggaan
tersendiri, sekalipun zaman sekarang dianggap remeh namun setidaknya nenek
moyang bangsa Indonesia pernah membuktikan kemampuan menghasilkan karya-
karya agung bernilai tinggi.
MELURUSKAN MAKNA
Mantra tidaklah sama maknanya dengan doa. Bila doa merupakan
permohonan kepada Tuhan YME, sedangkan mantra itu umpama menarik picu
senapan yang bernama daya hidup. Daya hidup manusia pemberian Tuhan Yang
Mahakuasa. Pemberian sesaji, laku sesirih (mencegah) dan laku semedi memiliki
makna tatacara memberdayakan daya hidup agar dapat menjalankan kehidupan
yang benar, baik dan tepat. Yakni menjalankan hidup dengan mengikuti kaidah
memayu hayuning bawana. Daya kehidupan manusia menjadi faktor adanya aura
magis (gelombang elektromagnetik) yang melingkupi badan manusia. Aura magis
memiliki sifatnya masing-masing karena perbedaan esensi dari unsur-unsur yang
membangun menjadi jasad manusia. Unsur-unsur tersebut berasal dari bumi,
langit, cahya dan teja yang keadaannya selalu dinamis sepanjang masa. Untuk
menjabarkan hubungan antara sifat-sifat dan esensi dari unsur-unsur jasad tersebut
lahirlah ilmu Jawa yang bertujuan untuk menandai perbedaan aura magis
berdasarkan weton dan wuku.
Aura magis dalam diri manusia dengan aura alam semesta terdapat kaitan
erat. Yakni gelombang energi yang saling mempengaruhi secara kosmis-magis.
Dinamika energi yang saling mempengaruhi mempunyai dua kemungkinan yakni
pertama; bersifat saling berkaitan secara kohesif dan menyatu (sinergi) dalam
wadah keharmonisan, kedua; energi yang saling tolak-menolak (adesif). Laku
sesirih (meredam segala nafsu) dan semedi (olah batin) merupakan sebuah upaya
harmonisasi dengan cara mensinergikan aura magis mikrokosmos dalam
kehidupan manusia (inner world) dengan aurora alam semesta makrokosmos (lihat
juga dalam posting Sejatinya Guru Sejati). Agar tercipta suatu hubungan
transenden yang harmonis dalam dimensi vertikal (pancer) antara manusia dengan
Tuhan dan hubungan horisontal yakni manusia sebagai jagad kecil dengan jagad
besar alam semesta.
PRINSIP KESEIMBANGAN, KESELARASAN & HARMONISASI
Sesaji atau sajen jika dipandang dari perspektif agama Abrahamisme,
kadang dianggap berkonotasi negatif, sebagai biang kemusyrikan (penyekutuan
Tuhan). Tapi benarkah manusia menyekutukan dan menduakan Tuhan melalui
upacara sesaji ini ? Seyogyanya jangan lah terjebak oleh keterbatasan akal-budi
dan nafsu golek menange dewe (cari menangnya sendiri) dan golek benere dewe
(cari benernya sendiri). Maksud sesaji sebenarnya merupakan suatu upaya
harmonisasi, melalui jalan spiritual yang kreatif untuk menselaraskan dan
menghubungkan antara daya aura magis manusia, dengan seluruh ciptaan Tuhan
yang saling berdampingan di dunia ini, khususnya kekuatan alam maupun makhluk
gaib. Dengan kata lain sesaji merupakan harmonisasi manusia dalam dimensi
horisontal terhadap sesama makhluk ciptaan Tuhan. Harmonisasi diartikan sebagai
kesadaran manusia. Sekalipun manusia dianggap (menganggap diri) sebagai
makhluk paling mulia, namun tidak ada alasan untuk mentang-mentang merasa
diri paling mulia di antara makhluk lainnya. Karena kemuliaan manusia
tergantung dari cara memanfaatkan akal-budi dalam diri kita sendiri. Bila
akal-budi digunakan untuk kejahatan, maka kemuliaan manusia menjadi bangkrut,
masih lebih hina sekalipun dibanding dengan binatang paling hina.
HARMONI & KESELARASAN MERUPAKAN WAHYU TUHAN
Dalam konteks kebudayaan Jawa, wahyu diartikan sebagai sebuah konsep
yang mengandung pengertian suatu karunia Tuhan yang diperoleh manusia secara
gaib. Wahyu juga tidak dapat dicari, tetapi hanya diberikan oleh Tuhan, sedangkan
manusia hanya dapat melakukan upaya dengan melakukan mesu raga dan mesu
jiwa dengan jalan tirakat, bersemadi, bertapa, maladihening, dan berbagai jalan
lain yang berkonotasi melakukan laku batin. Tapi tidak setiap kegiatan laku batin
itu akan mendapatkan wahyu, selain atas kehendak atau anugrah Tuhan Yang
Maha Esa. Sedangkan wahyu menurut kamus Purwadarminta mempunyai
pengertian suatu petunjuk Tuhan atau ajaran Tuhan yang perwujudannya bisa
dalam bentuk mimpi, ilham dan sebagainya. Dalam konteks budaya Jawa, wahyu
dipandang sebagai anugrah Tuhan yang sekaligus membuktikan bahwa Tuhan
bersifat universal, Mahaluas tanpa batas, dan Tuhan yang Mahakasih tidak akan
melakukan pilih kasih dalam menorehkan wahyu bagi siapa saja yang Tuhan
kehendaki. Falsafah Jawa memandang suatu makna terdalam dari sifat hakekat
Tuhan yang Maha Adil, yang memiliki konsekuensi bahwa wahyu bukanlah hak
atau monopoli suku, ras, golongan, atau bangsa tertentu.
Mekanisme kehidupan di alam semesta adalah bersifat
dinamis. Dinamika kehidupan berada dalam pola hubungan
yang mengikuti prinsip-prinsip keharmonisan,
keseimbangan, atau keselarasan (sinergi) jagad raya
seisinya. Dinamika dan pola hubungan demikian sudah
menjadi hukum atau rumus Tuhan Yang Maha Memelihara
sebagai ANUGRAH terindah kepada semua wujud ciptaanNYA,
baik yang bernyawa maupun yang tidak bernyawa.
WAHYU PURBA
Anugrah tersebut dalam terminologi Kejawen dikenal
istilah Wahyu Purba. Kata Purba, menurut kamus
Purwadarminta mempunyai arti memelihara. Wahyu Purba
mempunyai pengertian, Dewa Wisnu atau sama hakekatnya
dengan kebenaran Illahiah, adalah bersifat memelihara.
Ini suatu pelajaran hidup yang mengandung rumus
Tuhan bahwa di dalam kehidupan alam semesta dengan
segala isinya termasuk juga manusia, semua dipelihara
oleh kebenaran sejati, yakni kebenaran Illahi. Di mana
kehidupan alam semesta dan manusia akan mengalami
keselarasan, keselamatan, ketenteraman, kebahagiaan dan
kesejahteraan apabila nilai kebenaran bisa dihayati dan
ditegakkan dengan baik dan benar.
Walaupun manusia percaya bahwa hidup ini dipelihara
oleh kebenaran Illahi atau kebenaran Tuhan, masih juga
terdapat ketidakbenaran dan kejahatan yang dapat
menimbulkan kekacauan dan mengganggu keselarasan,
kebahagiaan, ketentraman dan kesejahteraan. Semua itu
terjadi sebagai akibat kenekadan manusia melakukan
pelanggaran hukum kebenaran. Untuk memelihara
ketenteraman dan kesejahteraan dunia maka dewa Wisnu
turun ke dunia menitis pada Prabu Arjunawijaya
(Arjunasasrabahu) raja Negara Maespati, dan kepada
Ramawijaya, raja Negara Ayodya.
WAHYU DYATMIKA
Barang siapa yang berhasil membangun harmonisasi dan sinergi atau
keselarasan energi antara jagad kecil yang ada di dalam diri pribadi (inner
world) dengan jagad raya disebut sebagai orang yang sudah memperoleh wahyu
dyatmika. Dyatmika berarti batin, atau hati, wahyu dyatmika artinya wahyu Tuhan
yang diterima seseorang untuk memiliki daya linuwih meliputi daya cipta, daya
rasa, dan daya karsa yang disebut sebagai prana. Prana dalam terminologi Jawa
berbeda dengan perguruan tenaga prana sebagaimana dikenal masyarakat sebagai
seni bela diri dan olah tenaga dalam.
HUBUNGAN MANTRA DENGAN PRINSIP KESELARASAN
Mantra adalah Teknologi Kuno
Perlu kami tegaskan lagi bahwa mantra BUKANLAH DOA, akan tetapi
merupakan sejenis SENJATA atau ALAT berujud kata-kata atau kalimat sebagai
teknologi spiritual tingkat tinggi hasil karya leluhur nusantara di masa silam.
Mantra dibuat melalui tahapan spiritual yang tidak mudah, bentuknya laku
prihatin, perilaku utama dan maneges kepada Tuhan, yang ditempuh dengan cara
tidak ringan. Hasilnya beragam, secara garis besar ada dua jenis mantra (baca;
senjata) yakni;
1. Khusus menurut fungsinya; hanya dapat digunakan untuk keperluan
tertentu misalnya menaklukkan musuh di medan perang. Atau
diperuntukkan sebagai alat medis sebagai mantra untuk penyembuhan.
2. Mantra khusus menurut sifatnya; dibagi dua; pertama, mantra yang
hanya dapat BEKERJA jika digunakan untuk hal-hal sifatnya baik saja.
Mantra jenis ini tidak dapat disalahgunakan untuk hal-hal buruk oleh si
pemakai. Mantra jenis ini paling sering digunakan di lingkungan kraton
sebagai salah satu tradisi turun temurun. Kedua; mantra yang bersifat
umum, bebas digunakan untuk acara dan keperluan apa saja tergantung
kemauan si pemakai. Ibarat pisau dapat digunakan sebagai alat bedah
operasi, alat memasak, atau disalahgunakan untuk mencelakai orang.
Namun mantra jenis ini setiap penyalahgunaannya pasti memiliki
konsekuensi yang berat berupa karma atau hukuman Tuhan yang dirasakan
langsung maupun kelak setelah ajal.
Citra Buruk Karena Pemahaman Yang Salah Kaprah
Terdapat pula kesalahan memaknai mantra secara simpang siur; di mana
mantra dianggap sebagai hal yang selalu berhubungan dengan setan/makhluk halus
dan bersifat negatif/hitam. Misalnya lafald komat-kamit yang diucapkan seorang
dukun santet, itu bukanlah sejenis mantra, namun password atau kata kunci, atau
kode isyarat berupa kata-kata untuk memanggil sekutunya yakni sejenis jin,
setan atau makhluk gaib sebagai pesuruh agar mencelakai korbannya. Perlu saya
luruskan bahwa yang demikian ini, bukan termasuk mantra. Lalu apakah
substansi dari mantra itu sendiri ? Baiklah, berikut ini kami berusaha
mendeskripsikan kronologi dan proses bagaimana mantra (teknologi kuno) dapat
diciptakan oleh manusia zaman dulu yang banyak dicap menganut faham religi
primitif.
Hamemayu Hayuning Bawono & RAT, serta Pangruwating Diyu
Di atas telah kami singgung sedikit mengenai PRANA, sebagai sinergisme
dan harmonisasi energi vertikal-horisontal, mikro-makro kosmos, inner wolrd
dengan alam semesta, jagad kecil dengan jagad besar. Mantra merupakan salah
satu bentuk pendayagunaan prana. Khusus untuk mantra umum, agar supaya
siapapun yang memanfaatkan mantra umum tidak menyalahgunakannya untuk
hal-hal yang negatif, ajaran Jawa menekankan keharusan eling dan waspada. Sikap
eling dan waspada akan memelihara seseorang dalam mendayagunakan prana yang
berwujud mantra yang dimanfaatkan untuk kebaikan hidup bersama menggapai
ketentraman dan kesejahteraan. Yang paling utama bilamana semua jenis mantra
ditujukan sebagai upaya untuk keselarasan dan harmonisasi alam semesta dalam
dimensi horisontal dan vertikal dengan Yang Transenden. Mantra adalah salah satu
bentuk pencapaian dalam pergumulan laku spiritual Sastra Jendra sedangkan
tujuannya yang mulia menjadi makna di balik Hamemayu hayuning Rat,
hamemayu hayuning bawono, lan pangruwating diyu (lihat posting; Puncak
Ilmu Kejawen). Menjadi satu kalimat dalam falsafah Jawa tingkat tinggi yakni
Sastra jendra, hayuning Rat, pangruwating diyu. Yang tidak lain untuk menyebut
pencapaian spiritual dalam konteks kemanunggalan diri dengan alam semesta
(Hamemayu hayuning Bawono). Dalam rangka panembahan pribadi
dimanifestasikan budi pekerti luhur (Hangawula kawulaning
Gusti/Pangruwating diyu), keduanya BERPANGKAL dan BERUJUNG pada
panembahan kepada Tuhan Yang Maha Tunggal (Hamemayu hayuning Rat).
Dengan kata lain budi pekerti membangun dua dimensi jagad, yakni; jagad kecil
(pribadi) dan jagad besar manembah kepada Tuhan YME.
Bentuk panembahan dalam pada tingkat tata lahir (sembah raga/syariat)
dimanifestasikan dalam berbagai kearifan budaya yang menampilkan berbagai
keindahan tradisi misalnya; upacara ruwat bumi seperti garebeg, suran,
nyadranan, apitan dan sebagainya. Atau berbagai upacara kidungan, ritual
gamelan, bedhaya ketawang, dan seterusnya. Intinya adalah rasa kebersamaan
dalam manembah pada tingkat tata batin (sembah jiwa), menyatukan kekuatan
hidup atau prana kehidupan untuk mewujudkan mantra-agung (mahamantra)
yakni sastra jendra yang berfungsi membangun keseimbangan (balancing) dan
keselarasan (harmonic) antara aura spiritual manunsia dengan aura spiritual jagad
raya seisinya. Tujuan utama dari balancing dan harmonic jelas sekali jauh dari
tuduhan subyektif musrik maupun bidah, jelas ia sebagai bentuk konkritisasi doa
untuk mohon keselamatan bagi alam semesta dan seluruh isinya.
Sayang sekali, zaman semakin berubah, perilaku budi daya yang memiliki nilai
kearifan (wisdom) yang tinggi, telah banyak ditinggalkan orang Jawa sendiri.
Alasannya demi mikul duwur mendhem jero falsafah dan budaya asing. Atau
takut oleh tuduhan-tuduhan subyektif, yang hanya berdasar prasangka buruk
(suudhon), dan tidak berdasarkan metode ilmiah maupun informasi lengkap dan
jelas. Sebuah nasib yang tragis ! Tradisi yang masih dapat dijalankan pun akhirnya
hilang nilai kesakralannya. Grebeg, suran, sadranan, apitan telah melenceng dari
nilai luhur yang sesungguhnya yakni menyatukan prana kehidupan. Sebaliknya
tradisi tersebut hanya sekedar menjadi tontonan murahan, menjadi kebiasaan yang
diulang-ulang (custom), pemerintah melestarikan tardisi hanya karena bermotif
materialistis laku dijual, dan menjadi daya tarik turis asing karena mungkin
dianggap aneh dan lucu saja. Seaneh dan selucu cara bangsa ini memandang dan
memahaminya.
Itulah, wujud sejati wong Jawa kang kajawan (ilang jawane), rib-iriban.
Manusia telah menjadi seteru Tuhan, karena telah melanggar rumus (hukum)
kodratulah, yakni harmonisasi dan keseimbangan alam semesta. Rusaknya prinsip
keseimbangan alam semesta berakibat fatal dan kini dapat kita rasakan dan
saksikan sendiri; hujan salah musim, jadwal musim kemarau-penghujan tidak
disiplin, kekeringan, kebakaran, banjir, tanah longsor, elevasi suhu bumi, distorsi
cuaca, hutan gundul, sungai banyak kering, satwa liar semakin langka dan
mengalami kepunahan. Distorsi musim mengakibatkan gagal panen, hama
tanaman, wabah penyakit aneh-aneh (pagebluk), serangan hawa panas dan hawa
dingin secara ekstrim (el-nino & la-nina).
Frequently Asked Questions (FAQ)??!!
Lantasdi mana sih peran agama (ku), peran ajaran, budi daya, katanya kita
berada di dalam bangsa yang agamis, budaya yang luhur, penuh ajaran spiritual,
peran ilmu pengetahuan, teknologi tinggi. Cukupkah aku hanya berdoa dan
berzikir di mulut saja, sambil berharap-harap Tuhan bersedia merubah nasib
bangsa ini ??? Atau jangan-jangan aku terlalu sibuk saban hari berpamrih
menghitung-hitung pahala ??? MASIH KURANGKAH TUHAN MEMBERI
ANUGRAH kepada ku ??? Kapan aku mau bersyukur ? Teramat pentingkah aku
bersukur HANYA di mulut saja dengan ucapan 100 kali, 1000 kali, bahkan
1.000.000 kali ? Atau aku mau enaknya saja tanpa susah-susah mewujudkan
syukur dalam perbuatan nyata ? NURANI ku sendiri yang tahu jawabnya.
Rahayu

Anda mungkin juga menyukai