Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN MENINGITIS BAKTERIAL

FINANINDA
NIM I4051161060

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2017
MENINGITIS BAKTERIAL

A. DEFINISI
Meningitis bakterial merupakan salah satu jenis penyakit infeksi pada selaput
pembungkus otak atau meningen serta cairan yang mengisi ruang subarakhnoid.
Meningitis bakterial sering disertai dengan peradangan parenkim otak atau yang
disebut dengan meningoensefalitis. Meningitis dapat disebabkan oleh bakteri, virus,
jamur, dan agen lainnya. Meningitis bakterial merupakan penyakit yang serius atau
penyakit kedaruratan medik apabila tidak ditangani dengan baik dan tepat.4
Meningitis bakterial (MB) adalah inflamasi meningen, terutama araknoid dan
piamater yang terjadi karena invasi bakteri ke dalam ruang subaraknoid. Pada MB
terjadi rekrutmen leukosit ke dalam cairan serebrospinal (CSS). Biasanya proses
inflamasi tidak terbatas hanya di meningen, tapi juga mengenai parenkim otak
(meningoensefalitis), ventrikel (ventrikulitis), bahkan bisa menyebar ke medula
spinalis. Kasus MB terdistribusi di seluruh belahan bumi. Di negara dengan empat
musim, MB lebih banyak terjadi di musim dingin dan awal musim semi. MB lebih
banyak terjadi pada pria. Insiden MB adalah 2-6/100.000 per tahun dengan puncak
kejadian pada kelompok bayi, remaja, dan lansia. Tingkat insiden tahunan (per
100.000) MB sesuai patogennya adalah sebagai berikut: Streptococcus pneumonia,
1,1; Neisseria meningitidis, 0,6; Streptococcus, 0,3; Listeria monocytogenes, 0,2; dan
Haemophilus influenza, 0,2.5
B. EPIDEMIOLOGI

Meningitis akut bakterial merupakan kegawatan neurologis yang mengancam


nyawa. Kejadian tahunan diperkirakan mencapai 2-5% per 100.000 orang di dunia
Barat dan angka itu 10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan negara kurang
berkembang. Meningitis akut bakterial merupakan salah satu dari 10 penyebab infeksi
terkait kematian di seluruh dunia dan 30-50% dari pasien yang selamat memiliki
gejala sisa neurologis permanen. Organisme penyebab meningitis akut bakterial dapat
diperkirakan dari usia pasien, faktor predisposisi yang mendasari penyakit dan proses
imunologi. Streptococcus pneumoniae dan Neisseria meningitidis adalah dua agen
etiologi yang paling umum. Meningitis akut bakterial pada bayi imunokompeten (> 4
minggu) dan anak-anak, serta pada orang dewasa, yang mencapai hampir 80% dari
semua kasus, diikuti oleh Listeria monocytogenes dan staphylococcus. Gram-negatif
bacilli (E. coli, Klebsiella, Enterobacter dan Pseudomonas aeruginosa) memberikan
kontribusi <10% dari kasus.2

Meningitis yang disebabkan oleh capsular Haemophilus influenzae strain b


(Hib) adalah penyebab utama meningitis pada bayi dan anak-anak. Pada pasien
immunocompromised, agen penyebab yang paling umum adalah S. Pneumoniae, L.
monocytogenes dan basil Gram-negatif, termasuk Ps. aeruginosa. Infeksi bakteri lebih
dari satu agen penyebab biasanya 1% dari semua kasus meningitis akut bakterial dan
terlihat pada pasien yang imunosupresif, patah tulang tengkorak atau eksternal dural
fistula, otitis, dan sinusitis.2

Meningitis bakteri nosokomial sering disebabkan oleh staphylococcus (aureus


dan albus, termasuk methicillinresistant strain) dan basil Gram-negatif.
Enterobacteriaceae adalah agen etiologi yang paling umum. Saat ini, S. pneumoniae
telah muncul sebagai penyebab tunggal paling umum dari community-acquired
meningitis bakterial bayi pasca natal di negara maju dan negara-negara berkembang.

Prevalensi meningitis bakterial sebesar > 2,5 kasus per 100.000 populasi di
Amerika Serikat. Streptococcus pneumoniae merupakan penyebab utama (50%),
diikuti oleh Neisseria meningitidis (25%), Sreptococcus grup B (15%), dan Listeria
monocytogenes (10%).3

Data dari salah satu rumah sakit di Surabaya pada tahun 2000 hingga
pertengahan tahun 2001 menunjukkan jumlah 31 penderita meningitis. Usia kurang
dari satu tahun 22,6%; usia 1-5 tahun 3,2%; usia 5-15 tahun 6,4%; usia 15-25 tahun
32%; usia 25-45 tahun 16,1%; usia 45-65 tahun 16;1%; usia lebih dari 65 tahun 3,2%.
Dari 31 penderita tersebut sebanyak delapan orang (25,8%) meninggal dunia.1

C. ETIOLOGI

Etiologi atau penyebab dari meningitis sebagian besar disebabkan oleh bakteri,
dan selebihnya disebabkan oleh virus, parasit serta jamur. Dari hasil laporan kasus,
bakteri penyebab meningitis terbanyak disebabkan oleh: Hemophilus influenzae,
Streptococcus pneumoniae dan Neisseria meningitidis.3

Tabel 1. Bakteri Penyebab Meningitis Bakterial Tersering Menurut Usia.


3
Bakteri patogen < 3 bln 3bln-<18 thn 18-50thn >50 thn
Sreptococcus grup B +
E. coli +
Listeria monocytogenes + +
Neisseria meningitidis + +
Streptococcus pneumoniae + + +
Hemophilus influenzae +

Siapa pun bisa terkena meningitis bakterial. Namun ada beberapa kelompok
orang yang berisiko lebih tinggi. Ini termasuk orang-orang yang memiliki sistem
kekebalan tubuh yang rendah dan mereka yang baru menjalani operasi otak atau
sinus paranasalis dengan pengobatan yang buruk atau infeksi telinga. Hal ini
memungkinkan infeksi menyebar lebih mudah. Berbagai jenis bakteri dapat
menyebabkan meningitis bakterial pada bayi, anak-anak, dewasa muda, dan orang
tua.4 Meningitis paling sering menyerang anak-anak usia 1 bulan - 2 tahun. Wabah
meningitis meningokokus bisa terjadi dalam suatu lingkungan, misalnya
perkemahan militer, asrama mahasiswa atau sekumpulan orang yang berhubungan
dekat.1

D. PATOGENESIS

Streptococcus pneumoniae dan neisseria meningitides mendahului meningitis


dengan kolonisasi di nasofaring. Bakteri-bakteri ini mampu melewati dinding epitel
nasofaring dan memasuki aliran darah melalui mekanisme endo-eksostitosis atau
melakukan invasi langsung yang merusak dinding sel vascular. Dalam aliran darah
bakteri mampu menghindari fagositosis karena memiliki kapsul polisakarida.6

Melalui aliran darah patogen ini mencapai sel-sel plexus choroid yang ada
dalam ventrikel otak dan mencapai cairan otak. Ketika berada dalam cairan otak
(Cerebro spinal fluid/CSF) bakteri mampu bermultiplikasi dengan cepat karena sel-
sel pendukung imunitas jumlahnya tidak memadai dalam CSF. Bakteri yang
mengalami lisis oleh fagositosis akan menyebabkan reaksi imun karena dinding
selnya yang bersifat toksin sehingga terjadi reaksi inflamasi purulenta. Komponen
toksik ini misalnya lippopolisakarida (LPS) dari bakteri gram negatif dan
peptidoglikan dan asam teikhoat dari S. Pneumoniae. Pelepasan komponen ini
diikuti pelepasan sitokin oleh sel microglia, endotel vascular, astrosit, dan monosit.6

Inokulasi bakteri

Kolonisasi dan penetrasi bakteri pada membran mukosa

Invasi bakteri pada sirkulasi

Invasi pada SSP

Multiplikasi di ruang subarachnoid

Peningkatan permeabilitas sawar darah otak

Pengeluaran sitokin dan prostaglandin

Kebocoran protein plasma

Edema serebri dan peningkatan TIK
Gangguan sirkulasi darah otak
Tabel 2

Early events Intermediate events Late events


Fase 1 Fase 2 Fase 3
Pelepasan sitokin pro- Ensefalopati subpial Kerusakan pada blood Gangguan CBF, Cedera focal
inflamasi dari invasi yang diinduksi oleh brain barrier, emigrasi naiknya tekanan neuronal
bakteri dan konsekuen sitokin dan mediator leukosit intracranial dan
peradangan ruang kimia transendothelial vaskulitis
subaraknoid dan proses
edema serebral

Demam, sakit kepala Meningism, kebingungan, Gangguan kesadaran, Obtundation, kejang, Kelumpuhan,
kadar glukosa CSF peningkatan tekanan gejala neurologis penurunan nilai
berkurang CSF, focal kognitif,
meningkatnya protein dan / tanda-tanda koma,
CSF, (misalnya cranial mungkin kematian
gejala fokal nerve palsies) pada
kasus yang tidak
diobati
Patofisiologi terjadinya meningitis bakterialis, telah diperlihatkan pada
percobaan binatang. Pada awalnya infeksi tersebut terjadi akibat dari masuknya
bakteri patogen yang telah berkoloni di mukosa nasofaring pada selaput
leptomeningeal (jaringan arakhnoid dan ruang subaraknoid) melalui darah. Bakteri
patogen penyebab biasanya memiliki ciri berkapsul. Setelah membentuk koloni di
rongga nasofaring, bakteri yang berkapsul itu memasuki lapisan epitel dan langsung
menuju ke aliran darah. Kapsul pada bakteri itulah yang menghambat proses
fagositosis oleh neutrofil dan antibodi yang dibentuk oleh tubuh. Dari proses
penghambatan itulah bakteri patogen meningeal memperlihatkan kemampuan untuk
mempertahankan proses bakteremianya. Pada tahap akhir, bakteri dalam darah akan
mencapai selaput leptomening dan ruang subarakhnoid yang hingga saat ini belum
diketahui secara jelas prosesnya.1
Patologi dari meningitis sebagian besar terjadi akibat peningkatan kadar
sitokin dan kemokin. Sitokin yang berperan antara lain tumor necrotic factor (TNF)
dan interleukin-1 (IL-1) yang bekerja sinergis menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah otak sehingga terjadi edema vasogenik. Exudat yang
berada di ruangan subarachnoid dan berbagai secret berisi protein mampu
menyumbat aliran CSF di ventrikel otak menyebabkan hidrosefalus yang
meningkatkan tekanan intrakranial.6

Peningkatan kadar sitokin juga akan meningkatkan kadar selectin yang


menyebabkan penempelan leukosit ke dinding endotel untuk kemudian melewati
dinding endotel menuju CSF. Leukosit yang bermigrasi ke CSF ini diyakini sebagai
komponen imun yang mengeliminasi patogen dari ruang subarachnoid bukan
leukosit yang sebelumnya ada dalam CSF. Degranulasi netrofil yang semula
ditujukan untuk membunuh bakteri menyebabkan cedera sel, edema sitotoksik, dan
kematian sel.6

Pada awal fase meningitis terjadi peningkatan aliran darah ke otak namun
demikian semakin lama pasokan darah ke otak semakin berkurang. Penurunan
pasokan darah ini diduga disebabkan oleh vasokonstriksi arteri-arteri besar akibat
sensitisasi oleh berbagai eksudat dan vaskulitis pada pembuluh darah kecil.
Vaskulitis dapat menyebabkan iskemia dan infark jaringan otak. Selain itu berbagai
gangguan vaskular juga bisa terjadi seperti trombosis yang menyebabkan obstruksi
dan trombophlebitis pada vena-vena otak. Berbagai patologi pada otak yang terjadi
bersamaan inilah yang menyebabkan mortalitas meningitis.6

E. GEJALA KLINIS
Walaupun banyak jenis organisme penyebab meningitis, secara umum tanda
dan gejalanya hampir sama. Tanda dan gejala yang ditimbulkan adalah akibat iritasi
pada meningen. Secara umum gejala meningitis pada pasien dewasa adalah sakit
kepala, demam, mual, muntah, photopobia, adanya tanda rangsang meningeal/iritasi
meningen seperti; kaku kuduk positif, tanda Kernig positif, dan tanda Brudzinski
positif, perubahan tingkat kesadaran, kejang, peningkatan tekanan intrakranial,
disfungsi saraf kranial, dan penurunan status mental. Salah satu komplikasi lanjut
dari meningitis adalah koma, hal ini merupakan prognosis yang buruk, dan dapat
terjadi pada 5%-10% pasien meningitis bakterial.5

Tanda dan gejala lain yang tidak khas pada pasien meningitis adalah terjadi
hipersensitivitas kulit, hiperanalgesia, dan hipotonus otot, walaupun fungsi motorik
masih dapat dipertahankan. Efek toksin pada otak atau thrombus pada suplai
vaskular ke area serebral menyebabkan ketidakmampuan permanen fungsi serebral,
jika terjadi perubahan patologi, maka dapat terjadi hemiparesis, demensia, dan
paralisis.5

Akut, fulminan, dengan tanda-tanda khas trias klasik (3 tanda klasik) yang
berupa: demam, kaku kuduk dan penurunan kesadaran. Tanda-tanda kaku kuduk
biasanya sulit ditemukan pada keadaan tertentu seperti pada orang tua, neutropenia,
gangguan imunologi serta pada neonatus.1
Selain tiga tanda diatas mual, muntah, kejang, fotofobia dan pada bayi
sering ditemukan bulging (benjolan) pada fontanela bayi atau neonatus. Apabila
ditemukan dalam keadaan koma, prognosinya akan buruk, dimana hal ini ditemukan
pada 5-10 % kasus yang ada.1
Kecurigaan terhadap adanya meningitis akut bakterial sangat tergantung pada
awal diketahuinya sindrom meningitis. Dalam sebuah penelitian di Belanda pasien
orang dewasa dengan community-acquired meningitis bakterial, maka sensitivitas
dari triad klasik : Kaku kuduk, demam, dan perubahan status mental menjadi rendah,
tapi hampir semua pasien dengan meningitis akut bakterial memiliki setidaknya dua
dari empat gejala sakit kepala, demam, kaku kuduk dan perubahan status mental.
Pada anak-anak, lekas marah, menolak makan, muntah dan kejang sering merupakan
sebagai gejala awal. Tingkat kesadaran pada meningitis akut bakterial adalah
variabel dan dapat berkisar dari mengantuk, kebingungan, pingsan sampai koma.2
F. DIAGNOSIS
a. Anamnesis
Awitan gejala akut (<24 jam) disertai trias meningitis : demam, nyeri kepala
hebat, dan kaku kuduk. Gejala lain yaitu : mual, muntah, fotofobia, kejang fokal
atau umum, dan gangguan kesadaran. Mungkin dapat ditemukan riwayat infeksi
paru-paru, telinga, sinus, atau katup jantung. Pada bayi dan neonatus, gejala
bersifat nonspesifik seperti demam, iritabilitas, letargi, muntah, dan kejang.
Mungkin dapat ditemukan riwayat infeksi maternal, kelahiran prematur, persalinan
lama, ketuban pecah dini.3
b. Pemeriksaan fisik dan neurologis
-
Kesadaran : bervariasi mulai dari iritable, somnolen, delirium, atau koma
-
Suhu tubuh 38C
-
Infeksi ekstrakranial : sinusitis, otitis media, mastoiditis, pneumonia
-
Tanda rangsang meningeal : kaku kuduk, Kernig, Brudzinski I dan II
-
Peningkatan tekanan intrakranial : penurunan kesadaran, edema papil, refleks
cahaya pupil menurun, kelumpuhan n. VI, postur deserebrasi, dan refleks
Cushing (bradikardi, hipertensi, respirasi irreguler)
-
Defisit neurologis fokal : hemiparesis, kejang fokal maupun umum, disfasia atau
afasia, paresis saraf kranial : n. III, n. IV, n. VI, n. VII, n. VIII. 3
c. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan biokimia dan sitologi cairan serebrospinalis (CSS)
Keruh atau purulen
Protein
Leukosit (1000-5000 sel/mm3)
Predominasi neutrofil (80-95%)
Glukosa (< 40 mg/dL)

Rasio glukosa CSS : serum 0,4 (sensitivitas 80%, spesifisitas 98% untuk
diagnosis meningitis bakterial pada pasien berusia > 2 bulan)

Pewarnaan gram cairan serebrospinalis
Cepat, murah, hasilnya bergantung pada bakteri penyebab
Sensitivitas 60-90%, spesifisitas 97%

Kultur cairan serebrospinalis
Identifikasi kuman
Butuh waktu lama (48 jam)

PCR
Sensitivitas 100%, spesifisitas 98,2%
Deteksi asam nukleat bakteri pada CSS, tidak dipengaruhi terapi antimikroba
yang telah diberikan

Kultur darah
Dilakukan segera untuk mengidentifikasi organisme penyebab. 3
d. Pencitraan

CT scan kepala
Pada permulaan penyakit, CT scan tampak normal
Adanya eksudat purulen di basal, ventrikel yang mengecil, disertai edema
otak, atau ventrikel yang membesar akibat obstruksi cairan serebrospinalis
Bila penyakit berlanjut, dapat terlihat adanya daerah infark akibat vaskulitis
Indikasi CT scan sebelum LP : adanya defisit neurologis fokal, kejang pertama
kali, edema papil, penurunan kesadaran dan penekanan status imun

MRI kepala
Lebih baik dibandingkan CT scan dalam menunjukkan daerah edema dan
iskemik di otak
Penambahan kontras gadolinium menunjukkan diffuse meningeal
enhancement. 3
Pemeriksaan CSS pada pasien dengan meningitis bakteri akut menunjukkan
gambaran pleiositosis neutrophilic (biasanya ratusan hingga beberapa ribu, dengan>
80% PMN sel). Dalam beberapa kasus meningitis L -monocytogenes (25-30%),
dominasi lymphocytic mungkin terjadi. CSF jumlah WBC yang rendah (<20 sel / uL)
menandakan adanya jumlah bakteri yang tinggi dan prognosis yang buruk. Adapun
gambaran CSF pada kasus meningitis bakterial adalah sebagai berikut : Opening

pressure 200-300, dengan WBC count 100-5000/uL (>80% terdiri dari sel-sel PMN),
kadar glukosa <40mg/dL, kadar protein >100mg/dL, ditemukan patogen spesifik 60%
pada pewarnaan Gram dan 80% dari hasil kultur. Opening pressure (kisaran antara 80-
200 mm H2O) mungkin meningkat, menunjukkan beberapa bentuk peningkatan ICP
dari edema serebral.3

G. DIAGNOSIS BANDING
Diferensial diagnosis meningitis bakteri akut ialah penyakit infektif lainnya
seperti meningitis dan meningoencephalitis (virus, TBC, jamur, leptospiral dan amuba
primer), ensefalitis viral, abses otak abses epidural spinal (daerah servikal), infeksi
parameningeal (osteomyelitis kranial, empiema subdural), aseptic meningitis (SLE
misalnya, Behcet's, sarkoidosis), chemical meningitis (misalnya setelah terapi human
IVIg, perdarahan subaraknoid).6

H. PENATALAKSANAAN
Pengobatan antibiotik pertama kali yang direkomendasikan pada kasus
meningitis akut bakterial adalah melalui jalur parenteral. Terapi antibiotik empiris
pada kasus dugaan meningitis akut bakterial adalah Ceftriaxone 2 g 12-24 jam atau
Cefotaxime 2 g 6-8 jam. Sebagai terapi alternatif dapat diberikan Meropenem 2 g 8
jam atau Kloramfenikol 1 g 6 jam. Jika dicurigai penisilin atau sefalosporin-resistant
pneumococcus bisa digunakan Ceftriaxone atau Cefotaxime ditambah Vancomycin 60
mg/kg/24 per jam (disesuaikan dengan kreatinin clearance) setelah loading dosis 15
mg / kg. Ampisilin / Amoksisilin 2 g 4 jam jika curiga Listeria.2

Terapi antibiotik untuk bakteri patogen spesifik :

Penisilin-sensitif Pneumococcal meningitis (dan termasuk spesies streptococcus


lainnya yang sensitif) : Benzil Penisilin 250 000 U / kg / hari (setara dengan 2,4 g 4
jam) atau Ampisilin / Amoksisilin 2 g 4 jam atau Ceftriaxone 2 g 12 jam atau
Cefotaxime 2 g 6-8 jam.

Alternatif terapi : Meropenem 2 g 8 jam atau 60 mg/kg/24 jam atau Vancomycin


secara continuous infusion (disesuaikan dengan klirens kreatinin)setelah 15 mg / kg
dosis loading, dengan target level serum 15-25 mg / l) ditambah Rifampisin 600 mg
12 jam atau, Moksifloksasin 400 mg per hari.

Pneumococcus dengan kepekaan yang berkurang terhadap penisilin atau


sefalosporin : Ceftriaxone atau Cefotaxime plus Vancomycin Rifampisin.

Alternatif terapi : moksifloksasin, Meropenem atau Linezolid 600 mg dikombinasikan


dengan Rifampisin.

Menigococcal meningitis : Benzil Penisilin atau Ceftriaxone atau Cefotaxime.

Alternatif terapi : Meropenem atau Kloramfenikol atau moksifloksasin.

Haemophilus infuenzae tipe B : Ceftriaxone atau Cefotaxime

Alternatif terapi : Kloramfenikol-Ampisilin / Amoksisilin.

Listerial meningitis : Ampisilin atau Amoksisilin 2 g 4 jam Gentamisin 1-2 mg 8


jam selama 7 pertama - 10 hari.

Alternatif terapi : trimetoprim-sulfametoksazol 10-20 mg / kg 6-12 jam atau


Meropenem.

Stafilokokus spesies : Flukloksasilin 2 g 4 jam atau Vankomisin jika alergi penisilin.
Rifampisin juga harus dipertimbangkan dan Linezolid untuk methicillin-resisten
staphylococcal meningitis.

Gram-negatif Enterobacteriaceae : Ceftriaxone atau Cefotaxime atau Meropenem.

Pseudomonal meningitis : Meropenem Gentamisin.2

Jangka waktu terapi

Durasi optimal terapi untuk kasus meningitis akut bakterial tidak


diketahui. Durasi yang direkomendasikan adalah sebagai berikut :

Meningitis bakteri unspesifik 10-14 hari

Pneumococcal meningitis 10-14 hari

Meningitis meningokokus 5-7 hari

Hib meningitis 7-14 hari

Listerial meningitis 21 hari

Bacillary dan Pseudomonal meningitis Gram-negatif:21-28 hari.2

Monitoring pengobatan

Secara umum, jika kondisi klinis tidak membaik dalam 48 jam setelah dimulai
antibiotik yang tepat dan sesuai (dan ada indikasi penggunaan deksametason),
pertimbangkan hal-hal berikut ini :

peningkatan tekanan intrakranial dari edema serebral atau


hidrosefalus obstruktif

komplikasi vaskular (arteritis atau vena sinus trombosis)

antibiotik yang tidak tepat

penetrasi antibiotik kurang kuat (vankomisin misalnya jika pasien juga diterapi
dengan dexamethasone)

salah diagnosis

epilepsi kejang (misalnya status non-kejang)



komplikasi metabolik (mis. SIADH)

Persistensi sumber infeksi primer (pneumonia misalnya, bakteri endokarditis,


mastoiditis atau otitis).2

Terapi Adjunctive pada meningitis akut bakterial

Kortikosteroid

Adjuvant deksametason dianjurkan dengan atau sesaat sebelum dosis pertama


parenteral antibiotik yang sebelumnya memberikan hasil baik dan orang dewasa yang
tidak imunosupresif dengan meningitis pneumokokus pada dosis 10mg setiap jam 6
selama 4 hari dan anak-anak dengan dosis
0,15mg/kg setiap 6 jam selama 4 hari untuk Hib dan pneumokokus
meningitis

Pada semua pasien yang secara klinis dicurigai pneumokokus (atau Hib) meningitis
(tanda-tanda neurologis fokal awal), kami merekomendasikan deksametason yang
diberikan bersama dengan dosis pertama terapi antibiotik empiris seperti yang telah
disebutkan di atas.

Pada meningitis akut bakterial karena etiologi bakteri lainnya,


penggunaan rutin deksametason dosis tinggi untuk saat ini tidak direkomendasikan.

Jika terapi deksametason telah dimulai pada kecurigaan klinis meningitis akut
bakterial, yang kemudian terbukti tidak akurat oleh microbiolgy CSF, pengobatan
harus segera dihentikan.2

Terapi adjunctive dan simptomatik lainnya : sirkulasi shock sebagai bagian


dari sepsis berat atau dalam meningococcemia harus ditangani di neuro ICU.
Pengobatan harus terdiri dari posisi head up 30, head midline, suction minimal, deep
sedation, normo atau moderate hipotermia, dan menghindari hypercapnia. Kepala
elevasi dan agen hiperosmolar direkomendasikan untuk pengelolaan edema serebral,
tetapi belum pernah dievaluasi secara sistematis dalam konteks bakteri meningitis.
Sebagai agen hiperosmolar manitol 20% dapat diberikan intravena baik sebagai
injeksi bolus 1 g / kg selama 10-15 menit, diulangi pada interval 4-6 jam, atau dalam
dosis kecil tapi sering (0,25 mg / kg setiap 2-3jam), untuk mempertahankan target
osmolalitas serum 315 - 320 mOsm / l.

Kejang sering terjadi pada meningitis akut bakterial dan yang terkait dengan
peradangan berat, lesi struktural otak dan pneumococcal meningitis, dapat
meningkatkan angka kematian dan harus diobati dengan parenteral anticonvulsant,
seperti fenitoin (fosphenytoin).2

Antikoagulasi profilaksis untuk mencegah trombosis vena dalam dapat


dipertimbangkan pada pasien yang tidak memiliki coagulaopathy dan dianggap berada
pada risiko tinggi terjadi deep vein thrombosis (misalnya kegemukan dan baru
menjalani operasi pada regio hip). Heparin dianggap menguntungkan dalam studi
retrospektif, pasien dengan septik dan trombosis sinus kavernosus, namun
pengalaman dengan terapi antikoagulasi untuk trombosis sinus vena pada kasus
meningitis akut bakterial terbatas dan yang terbaik disediakan untuk pasien yang
status neurologisnya memburuk karena trombosis vena sinus dan membutuhkan
pemantauan ketat profil koagulasi dan pencitraan otak.2

I. KOMPLIKASI

Kematian pada meningitis bakteri dapat terjadi dalam 48 jam pertama dan
kadang-kadang bahkan sebelum diagnosis dapat diduga. Dalam review data otopsi,
dicatat bahwa kematian karena N. meningitidis sering terjadi dalam waktu 12-24 jam
dari gejala pertama. Gejala sisa neurologis mungkin terjadi pada 20- 40% pasien.
Komplikasi audiologi telah dilaporkan pada lebih dari sepertiga anak-anak dengan
bakteri meningitis, terutama karena H. influenzae. Disfungsi kognitif, perubahan
perilaku, kejang dan penurunan motorik adalah komplikasi umum meningitis baik
pada orang dewasa dan pada anak-anak. Beberapa pasien telah mengalami
komplikasi berupa penurunan visual permanen, yang disebabkan oleh atrofi optik
dari arachnoiditis opticochiasmatic, hidrosefalus yang persisten atau sebagai akibat
dari kebutaan kortikal yang melibatkan infark arteri lobus oksipital. Kisaran defisit
motorik pasca-meningitis bisa sesisi atau bilateral hemiparesis, kelemahan gerakan
mata, paraparesis, dan kejang dengan sensori loss sesuai dengan kerusakan saraf
tulang belakang.2
Keterbelakangan pertumbuhan dan perkembangan mental yang tertunda
merupakan komplikasi meningitis bakteri yang terjadi pada anak-anak. Kisaran
komplikasi pada pneumokokus meningitis sangat parah. Austria sydrome adalah
kondisi parah pneumokokus invasif yang ditandai dengan meningitis, endokarditis
dan pneumonia yang membawa tingkat kematian yang tinggi. Sebuah studi baru-
baru ini pada orang dewasa telah menarik perhatian untuk masalah seperti myelitis
dan pendarahan subaraknoid dan insiden lesi serebrovaskular lebih tinggi (22%
arteri dan 9% vena stroke)]. Kelelahan kronis, depresi dan gangguan tidur secara
signifikan lebih tinggi di antara yang selamat dari meningitis dan yang lebih kecil
proporsi pasien yang disertai dengan epilepsi di tahun-tahun kemudian.2

J. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Berikut diagnosa keperawatan yang dapat muncul :8, 9

1. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan obstruksi,


trombophlebitis pada pembuluh darah di otak

2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler,


penurunan kekuatan motorik

3. Nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi/ inflamasi, toksin/ patogen dalam
sirkulasi jaringan serebral, peningkatan tekanan intrakranial

4. Risiko cidera berhubungan dengan terjadinya kejang akibat hipertermi,


peningkatan tekanan intrakranial

5. Risiko penyebaran infeksi berhubungan dengan penekanan/ perkembangan


respon inflamasi tubuh
NOSOKOMIAL MENINGITIS BAKTERI

A. DEFINISI

Meningitis bakteri nosokomial bisa didapatkan dari prosedur invasif


(misalnya, kraniotomi, pemasangan kateter ventrikel internal atau eksternal, pungsi
lumbal, infus intratekal atau anestesi spinal), komplikasi trauma kepala atau dalam
kasus yang jarang yaitu infeksi metastatik pada pasien dengan bakteremia yang
didapat di rumah sakit. Kasus-kasus meningitis ini disebabkan oleh mikroorganisme
dari spectrum berbeda mekanisme patogenetik yang beragam.7

B. PATOGENESIS

Sistem saraf pusat dilindungi terhadap masuknya mikroba dari aliran darah
oleh sawar darah otak dan pelindung eksternal yang dibentuk oleh tengkorak dan
leptomeninges. Dalam hal ini, patogen dapat memasuki sistem saraf pusat langsung
invasi melalui pelindung eksternal atau melalui aliran darah. Bagian berikut meninjau
predisposisi kondisi dan faktor resiko untuk berkembangnya meningitis nosokomial.7

a. Kateter ventrikel internal

Kejadian kasus meningitis yang terkait dengan kateter ventrikel internal yang
umum digunakan untuk pengobatan hidrosefalus berkisar antara 4 hingga 17%.
Faktor penyebab yang paling penting adalah kolonisasi kuman dari kateter pada
saat operasi, walaupun mayoritas infeksi diwujudkan dalam waktu 1 bulan setelah
operasi. Satu studi observasional mengidentifikasi lubang dalam sarung tangan
bedah dikombinasikan dengan penanganan langsung pemasangan kateter shunt
oleh tim bedah merupakan faktor resiko yang paling mungkin terjadi.
Penggunaan sarung tangan ganda dan mengganti sarung tangan saat pemasangan
shunt kateter sejauh ini dapat menurunkan angka infeksi.

b. Kateter Ventrikel Eksternal

Kateter ventrikular eksternal digunakan untuk pemantauan tekanan


intrakranial atau pengalihan cairan serebrospinal sementara karena terhambatnya
sistem ventrikel, atau sebagai bagian dari pengobatan kateter internal yang
terinfeksi. Tingkat infeksi berhubungan dengan penggunaan kateter eksternal
sekitar 8% . Resiko infeksi dilaporkan meningkat dengan peningkatan durasi
drainase, namun sejauh kenaikan per unit waktu tidak pasti. Meskipun satu
penelitian menunjukkan peningkatan tajam resiko infeksi setelah 5 hari drainase
eksternal, dalam percobaan acak menunjukkan bahwa pencabutan kateter
eksternal dalam 5 hari tidak perlu dan kateter dapat dibiarkan di tempat untuk
waktu yang lebih lama dengan tidak jelas peningkatan risiko infeksi dalam setiap
harinya. Karena infeksi dapat diperoleh oleh pengenalan bakteri setelah
penyisipan kateter baru, mengubah kateter tidak terinfeksi sebenarnya dapat
meningkatkan risiko infeksi. Faktor resiko lain untuk infeksi adalah pengambilan
sampel rutin cairan serebrospinal, kebocoran cairan serebrospinal, penyumbatan
drain, dan perdarahan intraventrikular.7

c. Kateter Lumbar Eksternal

Penggunaan kateter lumbal eksternal terutama untuk membantu mengukur


tekanan normal hidrosefalus, dalam hal ini berhubungan dengan meningitis
sekitar 5% . Faktor resiko yang berhubungan dengan tidak ada hubungan antara
kateter dengan system drainase dan sudah adanya infeksi lain.7

d. Trauma Kepala

Insiden meningitis akibat trauma kepala baik sedang maupun berat


diperkirakan 1,4% . Patah tulang tengkorak terbuka adalah komplikasi dari
sampai 5% dari cedera kepala dan telah dikaitkan dengan tingkat meningitis yang
berkisar dari 2 sampai 11% . Pada pasien dengan patah tulang dimana tulang
tengkorak depresi lebih dalam dari ketebalan dari tengkorak, luka harus diperiksa
dengan teliti dan dilakukan debridement dan pencegahan antimikroba terapi
harus diberikan. Nonoperative merupakan pilihan jika tidak ada klinis atau
radiografi yang membuktikan hal berikut: dural penetrasi, hematoma intrakranial
yang besar, depresi yang lebih dalam dari 1 cm, keterlibatan dari sinus frontal,
deformitas kosmetik yang luas, infeksi luka, pneumocephalus, atau kontaminasi
luka yang luas.

Mayoritas pasien meningitis berkembang sebagai komplikasi trauma kepala


tertutup memiliki patah basis tulang tengkorak, yang menyebabkan adanya
hubungan ruang subarachnoid ke rongga sinus dan berhubungan dengan
peningkatan risiko infeksi, tingkat infeksi dilaporkan sebagai setinggi 25%,
dengan waktu median antara cedera dan awal meningitis dari 11 hari.

Kebocoran cairan serebrospinal adalah faktor resiko utama untuk


berkembangnya meningitis, meskipun kebanyakan kebocoran yang terjadi setelah
trauma belum diketahui. Sebagian besar kebocoran mengalami resolusi spontan
dalam waktu 7 hari, namun intervensi bedah diindikasikan jika kebocoran
berlanjut. Trauma kepala merupakan penyebab paling umum dari meningitis
bakteri berulang.7

e. Lumbal Pungsi

Meningitis berkembang setelah pungsi lumbal sekitar 1 di antara 50.000 kasus,


dengan sekitar 80 kasus dilaporkan setiap tahun di Amerika Serikat. Mayoritas
kasus terjadi setelah anestesi spinal atau myelography. Resiko meningitis setelah
lumbal pungsi mungkin jauh menurun jika kondisi aseptic terpenuhi (yakni,
tangan disinfeksi dan penggunaan sarung tangan steril) dan jika operator
memakai masker wajah dan topi saat melakukan anestesi tulang belakang atau
myelography.7
C. BAKTERI PATOGEN
Spesifikasi bakteri yang menyebabkan meningitis nosokomial bervariasi
sesuai dengan patogenesis dan waktu terjadinya infeksi serta faktor predisposisi.
Meningitis yang berkembang setelah menjalani operasi bedah saraf atau pada pasien
yang dirawat inap dalam waktu lama setelah trauma penetrasi atau patah tulang
tengkorak basilar dapat disebabkan oleh staphylococcus atau fakultatif atau aerobik
basil gram-negatif. Pada pasien yang ditubuhnya terdapat benda asing (misalnya,
ventrikel internal yang mengalir) meningitis sering disebabkan oleh organisme kulit
seperti staphylococcus koagulase-negatif atau Propionibacterium acne.
Sebagian besar kasus meningitis yang terjadi setelah patah tulang tengkorak
basilar atau awal setelah operasi otorhinologi disebabkan oleh mikroorganisme
yang berkolonisasi di nasofaring (terutama Streptococcus pneumoniae). Dengan
mengetahui mikroorganisme yang menginfeksi penting untuk mempertimbangkan
dalam pendekatan terapi antimikroba empiris.7
D. TEMUAN KLINIS DAN DIAGNOSIS
Sebuah kecurigaan klinis meningitis bakteri nosokomial harus segera di
diagnosis dan diberi terapi antimikroba. Demam dan menurunnya tingkat
kesadaran adalah klinis yang paling konsisten meskipun mereka tidak spesifik
dan sulit untuk mengenali pada pasien yang dibius, yang baru saja mengalami
operasi bedah saraf atau yang memiliki penyakit yang mendasari yang mungkin
menyerupai gejala serupa. Infeksi yang terkait dengan cairan serebrospinal
menyebabkan gejala nonspesifik seperti demam ringan atau umum malaise;
tanda-tanda iritasi meningeal terlihat pada kurang dari 50% pasien. Gejala dan
tanda-tanda infeksi juga dapat dikaitkan dengan bagian distal shunt (yakni
peritonitis atau bakteremia).
Hasil pemeriksaan diagnostik terdiri dari neuroimaging, analisis cairan
serebrospinal (jumlah sel, pewarnaan gram, tes biokimia untuk glukosa dan
protein dan kultur), kultur darah. Neuroimaging diindikasikan pada kebanyakan
pasien yang diduga terkena nosokomial bakteri meningitis, karena
memungkinkan untuk evaluasi ukuran ventrikel dan memberikan informasi
tentang apakah ada kerusakan dari shunt atau apakah berpotensi
terkontaminasi kateter yang dipertahankan. Multislice tomografi (CT) scanner
dengan format multiplanar dapat membantu mengetahui lokalisasi kebocoran
cairan serebrospinal. Neuroimaging juga dapat menunjukkan luas massa (yakni,
perdarahan, empiema subdural, atau hidrosefalus) dan pergeseran otak , yang
harus diidentifikasi sebelum pungsi lumbal dilakukan. Cairan Cerebrospinal
dapat diperoleh melalui kateter pada pasien dengan ventrikel internal atau
eksternal kateter apabila pungsi lumbal diperlukan. Namun, pada pasien
dengan obstruktif hidrosefalus, cairan lumbal serebrospinal mungkin tidak
menjadi reflektif infeksi ventrikel karena sedikitnya hubungan antara ventrikel
dan lumbal cairan serebrospinal.
Diagnosis meningitis bakteri nosokomial dibuat berdasarkan hasil kultur
cairan serebrospinal baik aerobik dan anaerobik. Namun, kultur memerlukan
inkubasi yang lama sebelum dikonfirmasi sebagai negatif, dan hasil mungkin
negatif pada pasien yang telah menerima terapi antimikroba sebelumnya.
Cairan serebrospinal harus dianalisis untuk menentukan jumlah sel, termasuk
diferensial count , dan tes biokimia untuk glukosa dan protein, serta pewarnaan
Gram, harus dilakukan. Satu studi yang membandingkan pewarnaan Gram
dengan kultur cairan cerebrospinal untuk diagnosis meningitis bakteri
menunjukkan bahwa Pewarnaan Gram memiliki spesifisitas tinggi tetapi
kepekaannya rendah.
Jumlah sel dalam cairan serebrospinal dapat membantu tetapi memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Dalam prospektif penelitian yang melibatkan
172 pasien dengan ventricular eksternal kateter, jumlah sel dalam cairan serebrospinal
normal pada 4 dari 18 pasien yang dikonfirmasi meningitis melalui kultur. Interpretasi
dari angka sel darah putih dalam cairan serebrospinal sangat bermasalah pada pasien
yang mengalami meningitis yang berkembang setelah perdarahan intraventricular.7
Tambahan tes untuk menegakkan diagnosis meningitis bakteri telah dievaluasi.
Pada pasien yang telah menjalani bedah saraf, konsentrasi laktat 4 mmol per liter atau
lebih dalam cairan serebrospinal terbukti memiliki sensitivitas dari 88%, spesifisitas
98%, prediksi positif nilai 96%, dan nilai prediktif negatif dari 94% untuk diagnosis
meningitis bakteri. Konsentrasi C-reaktif protein dalam serum atau cairan
serebrospinal dan konsentrasi serum procalcitonin, telah dievaluasi untuk
kegunaannya dalam menentukan diagnosis, meskipun tinggi konsentrasi yang sugestif
infeksi bakteri,belum dapat menegakkan diagnosis dan selanjutnya studi diperlukan
untuk menentukan kegunaan tanda tersebut di diagnosis bakteri nosokomial
meningitis.

Amplifikasi asam nukleat-tes, seperti polimerase reaksi berantai (PCR) tes,


telah dievaluasi untuk efektivitas mereka dalam mendeteksi keberadaan DNA bakteri
dalam cairan serebrospinal dari pasien dengan kateter ventrikel. Dalam satu penelitian
yang menggunakan PCR untuk mendeteksi bakteri gram positif di 86 spesimen, 42
orang dinilai negatif melalui kultur namun positif sebagaimana dinilai dengan PCR;
ada hasil kultur positif pada pasien dengan PCR negatif hasil, menunjukkan bahwa
negatif hasil PCR adalah prediksi dari tidak adanya infeksi. Penelitian lebih banyak
diperlukan, bagaimanapun, sebelum penggunaan rutin tes PCR direkomendasikan
untuk diagnosis meningitis bakteri, terutama karena bakteri mengkontaminasi dapat
menyebabkan hasil positif palsu.7

E. TERAPI ANTIMIKROBA

Pilihan terapi antimikroba empiris untuk meningitis bakteri nosokomial


tergantung pada patogenesis infeksi . Terapi untuk pasien meningitis yang terkena
setelah operasi bedah saraf atau untuk pasien yang dirawat inap dalam waktu lama
setelah kepala penetrasi trauma atau patah tulang tengkorak basilar harus terdiri dari
vankomisin dalam kombinasi dengan cefepime, ceftazidime, atau meropenem, pilihan
kedua agen harus didasarkan pada antimicrobial susceptibility yang profil lokal basil
gram negatif. Meropenem adalah agen pilihan jika satu dari carbapenems digunakan,
mengingat resiko yang lebih rendah bangkitan kejang dengan meropenem
dibandingkan dengan imipenem, dan studi klinis telah menunjukkan kegunaan dalam
pengobatan meningitis bakteri. Empiris terapi setelah patah tulang tengkorak basilar
atau awal setelah operasi otorhinologic harus terdiri vankomisin ditambah generasi
ketiga cephalosporin (baik cefotaksim atau ceftriaxone). Setelah patogen tertentu telah
diisolasi, antimikroba terapi dapat dimodifikasi untuk terapi yang optimal.

Kekhawatiran telah timbul mengenai kecukupan penetrasi vankomisin ke


cairan serebrospinal pada pasien dengan nosokomial meningitis, serta potensi efek
samping ketika vankomisin terhambat pada pasien dengan sistem multiorgan
dysfunction. Linezolid dan daptomycin telah terbukti memiliki khasiat dalam
beberapa kasus staphylococcal meningitis, linezolid juga telah terbukti memiliki
karakteristik farmakokinetik yang menguntungkan (yaitu penetrasi cairan
serebrospinal sekitar 80%) pada pasien bedah saraf di perawatan kritis units. Namun,
vankomisin dianjurkan sebagai terapi lini pertama dan dikelola pada dosis bertujuan
untuk mencapai serum melalui konsentrasi 15 sampai 20 ug per mililiter.

F. MULTIDRUG - Resisten Basil Gram Negatif

Mengingat munculnya-MDR basil gram negatif, pendekatan untuk terapi


antimikroba pada pasien dengan meningitis nosokomial yang disebabkan oleh patogen
telah menjadi bermasalah.

Secara khusus, spesies Acinetobacter telah menjadi lebih umum pada pasien
dengan nosokomial meningitis dan bakteri ini sering resisten terhadap generasi ketiga
dan generasi keempat sefalosporin, resistensi terhadap carbapenems juga telah
dilaporkan. Oleh karena itu, konsentrasi yang memadai dari agen-agen di
serebrospinal cairan tidak dapat dicapai setelah pemberian parenteral.

Untuk pengobatan empiris Acinetobacter meningitis, meropenem intravena,


dengan atau tanpa suatu aminoglikosida melalui intraventrikular atau rute intratekal,
telah direkomendasikan, jika organisme ini kemudian ditemukan menjadi resisten
terhadap carbapenems, colistin (biasanya dirumuskan sebagai natrium colistimethate)
atau polimiksin B harus diganti untuk meropenem. Dalam review 14 pasien dengan-
MDR Acinetobacter baumanii meningitis atau ventriculitis yang dirawat dengan
colistin diberikan baik intravena atau dengan rute intraventrikular atau intratekal,
sterilisasi cairan serebrospinal dicapai pada semua kasus, dan 13 pasien terobati.
Dalam sebuah studi retrospektif review 51 kasus meningitis Acinetobacter, 8 pasien
yang dirawat dengan infus dan intratekal colistin dapat bertahan.

G. PELEPASAN KATETER
Jika meningitis bakteri berkembang pada pasien yang memakai kateter
ventrikular eksternal, kateter harus dilepas untuk meningkatkan kemungkinan bahwa
infeksi dapat disembuhkan. Dalam kasus internal ventrikel kateter, terapi antimikroba,
penghapusan dari semua komponen kateter yang terinfeksi, dan penempatan drainase
eksternal tampaknya pengobatan yang paling efektif, dengan sukses lebih dari 85%
pasien; drainase eksternal menyebabkan resolusi lebih cepat dari ventriculitis,
memungkinkan pemantauan temuan cairan serebrospinal dan memungkinkan
pengobatan lanjutan dari hidrosefalus.

Waktu optimal untuk reimplantation dari shunt tidak didefinisikan secara jelas.
Pada pasien dengan infeksi shunt yang disebabkan koagulase negatif Staphylococcus
atau P. Acne yang berhubungan dengan kelainan dari serebrospinal cairan (misalnya,
pleositosis), terapi antimikroba direkomendasikan diberi selama 7 hari sebelum
pemasangan shunt yang baru.

Pelepasan perangkat kateter, diikuti oleh langsung penggantian dan


antimikroba intravena terapi, menyembuhkan sekitar 65% dari pasien dengan kateter
terkait infections. Terapi konservatif (yaitu, meninggalkan kateter internal dan
pemberian intravena atau intraventrikular antimikroba terapi) secara umum dikaitkan
dengan tingkat keberhasilan yang rendah (sekitar 35%). Dalam sebuah studi
pengamatan 43 pasien, 84% sembuh dengan sistemik dan agen antimikroba
intraventrikular (diinfuskan melalui perangkat ventrikel akses terpisah), dengan
tingkat keberhasilan 92% dalam kasus infeksi yang disebabkan oleh bakteri selain S.
aureus. Terlepas dari cara pengobatan, infeksi dari cairan serebrospinal dapat kambuh.
Dalam satu studi, tingkat kekambuhan adalah 26%, dengan dua pertiga dari kasus
yang disebabkan oleh mikroorganisme yang sama.
Referensi :

1. Heyman,David.2005. Deadly and disease Meningitis. Page 35- 47.


2. Chaudhuri, A. et al.,2008.EFNS guideline on the management of community-acquired
bacterial meningitis: report of an EFNS Task Force on acute bacterial meningitis in older
children and adults. European Journal of Neurology 2008, 15: 649659
3. Dewanto, G.,2009. Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran.
4. Spencer, D., 2010. Changing treatments for bacterial meningitis. American Academy of
Neurology.
5. Clarke C, Howard R, Rossor M, Shorvon S. Neurology: A queen square textbook.
London: Blackwell Publishing; 2009.
6. Van de Beek, Diedrik. 2010. Nosocomial Bacterial Meningitis. NEJM Journal of
Medicine. Department of Neurology.
7. Koedel, Uwe. 2005.Meningitis-Associated Central Nervous System Complication.
Department of Neurology, Klinikum Grosshadern, Munich, Germany;
8. Smeltzer, S. C. Bare, B. G. Hinkle, J. L & Cheever, K. H. 2010. Brunner & suddarths
textbook of medical surgical nurisng. 11th edition. Philadhelpia : Lippincott Williams &
Wilkins.
9. Nur Arif Amin.H dan Kusuma Hardhi. 2016. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan
Diagnosa Medis dan NANDA NIC-NOC jilid 1 & 2. Yogyakarta : MediaACtion.

Anda mungkin juga menyukai