Anda di halaman 1dari 10

3.

Diagnosis Banding
Hipertensi kronik
Hipertensi kronik dengan superimpose preeklampsia
Hipertensi gestasional
Eklampsia
Epilepsi

4. Pencegahan
Yang dimaksud pencegahan adalah upaya untuk mencegah terjadinya
preeklampsia pada wanita hamil yang mempunyai resiko terjadinya preeklampsia (POGI,
2005).
Penerangan tentang manfaat istirahat dan diet berguna dalam pencegahan.
Istirahat tidak selalu berarti berbaring di tempat tidur, namun pekerjaan sehari-hari perlu
dikurangi dan dianjurkan lebih banyak duduk dan berbaring. Diet tinggi protein dan
rendah lemak, karbohidrat, garam dan penambahan berat badan yang tidak berlebihan
perlu dianjurkan. Mengenal secara dini preeklamsi dan segera merawat penderita tanpa
memberikan diuretik dan obat antihipertensi. Memang merupakan kemajuan dari
pemeriksaan antenatal yang baik (Sarwono, 2010). Strategi-strategi yang dapat
dilakukan:
a. Antenatal care (ANC)
Tujuan pelayanan ANC yaitu untuk deteksi dini pada wanita yang berisiko
tinggi, screening untuk mengidentifikasi faktor risiko, intervensi dalam upaya
mencegah penyakit yang timbul, dan upaya pengobatan untuk mencegah
komplikasi dari penyakit yang diderita. Pelayanan ANC yang kurang
memadai merupakan penghalang utama dalam deteksi dini preeklampsia
(Hezelgrave dkk., 2012).
b. Kalsium
Kelompok wanita dengan asupan kalsium yang cukup memiliki insidensi
preeklampsia yang lebih rendah. Pemberian suplemen kalsium selama
kehamilan direkomendasikan untuk mencegah preeklampsia 19 terutama
pada daerah dengan tingkat konsumsi kalsium yang rendah (WHO, 2011).
c. Antitrombotik
Aspirin dosis rendah (75 mg/hari) dapat mengurangi produksi platelet oleh
tromboksan. Hasil uji klinis memberikan keuntungan yang sedikit namun
aspirin direkomendasikan dalam pencegahan preeklampsia terutama pada
wanita dengan faktor risiko berikut: pernah mengalami preeklampsia pada
kehamilan sebelumnya, menderita hipertensi kronik, terdapat penyakit ginjal
atau autoimun (WHO, 2011). Berbagai studi menunjukkan bahwa
penggunaan aspirin dosis rendah untuk mencegah preeklampsia tidak
menyebabkan toksisitas pada janin dan neonatal, namun penggunaan aspirin
dosis rendah pada kehamilan harus dibatasi karena masih diperlukan studi
lebih lanjut tentang rasio manfaat dan risikonya (Briggs dkk., 2010).
d. Tirah baring
Tirah baring yaitu berbaring dengan posisi miring ke satu sisi. Tirah baring
dengan posisi miring dapat menghilangkan tekanan rahim pada pembuluh
vena cava superior sehingga akan meningkatkan aliran darah balik,
menambah curah jantung, dan memperbaiki kondisi janin dalam rahim
(Angsar, 2010). Tirah baring masih diperlukan di Indonesia meskipun tidak
terbukti mencegah terjadinya preeklampsia dan persalinan preterm (POGI,
2006).

5. Penanganan
Pre Eklampsia Ringan
a. Rawat jalan:
1) Tirah baring (miring) tidak total
Tirah baring posisi miring: Menghilangkan tekanan uterus pada vena kava inferior
meningkatkan aliran darah balik meningkatkan curah jantung meningkatkan
aliran darah ke organ-organ vital ginjal: filtrasi glomerolus meningkat diuresis
meningkat ekskresi Na meningkat menurunkan reaktivitas kardiovaskular
mengurangi vasospasme.
Selain itu, peningkatan curah jantung juga menambah oksigenasi plasenta
sehingga memperbaiki kondisi janin.
2) Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, garam secukupnya, dan roboransia
prenatal.
3) Tidak diberikan obat-obat diuretik, antihipertensi, dan sedatif.
4) Dilakukan pemeriksaan lab: Hb, hematokrit, fungsi hati, fungsi ginjal, dan urin
lengkap.
(Cunningham et al., 2009; Manuaba, 2007; Saifuddin, 2006)
Rawat inap:
5) Bila tidak ada perbaikan tekanan darah dan proteinuria selama 2 minggu.
6) Ada satu/ lebih gejala dan tanda preeklampsia berat
(Cunningham et al., 2009; Manuaba, 2007; Saifuddin, 2006)
Selama di RS, lakukan:
7) Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lab.
8) Pemeriksaan kesejahteraan janin: USG, Doppler, dan NST.
9) Konsultasi ke bagian mata, jantung, dll
(Cunningham et al., 2009; Manuaba, 2007; Saifuddin, 2006)
Pada kehamilan preterm (< 37 minggu): bila tekanan darah mencapai normal,
persalinan ditunggu sampai aterm. Pada kehamilan aterm (> 37 minggu): persalinan
ditunggu sampai muncul tanda-tanda persalinan alami. Persalinan dapat dilakukan secara
spontan dengan induksi, bila perlu memperpendek kala II (Cunningham et al., 2009;
Manuaba, 2007; Saifuddin, 2006).
Pada preeklampsia, penyembuhan dilakukan dengan ekspulsi yaitu pengeluaran
trofoblast. Pada preeklampsia berat, penundaan merupakan tindakan yang salah karena
preeklampsia sendiri bisa membunuh janin (Cunningham et al., 2009; Manuaba, 2007;
Saifuddin, 2006).
Pre Eklampsia Berat
Prinsip penatalaksanaan pre eklampsia berat adalah mencegah timbulnya kejang,
mengendalikan hipertensi guna mencegah perdarahan intrakranial serta kerusakan dari
organ-organ vital, pengelolaan cairan dan saat yang tepat untuk melahirkan bayi dengan
selamat (Sarwono, 2010). Pada pre eklampsia, penyembuhan dilakukan dengan ekspulsi
yaitu pengeluaran trofoblast. Pada pre eklampsia berat, penundaan merupakan tindakan yang
salah. Karena pre eklampsia sendiri bisa membunuh janin (Cunningham et al., et al., 1995).
PEB dirawat segera bersama dengan bagian Interna dan Neurologi, dan kemudian
ditentukan jenis perawatan / tindakannya. Perawatannya dapat meliputi :
a. Sikap terhadap penyakit berupa pemberian terapi medikamentosa
b. Sikap terhadap kehamilan yaitu (Sastrawinata, 2003):
a. Perawatan aktif, yang berarti kehamilan segera diakhiri setelah mendapat terapi
medikamentosa untuk stabilisasi ibu. Indikasi bila didapatkan satu atau lebih dari
keadaan berikut ini:
a) Ibu :
Kegagalan terapi pada perawatan konservatif :
i. Setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa, terjadi kenaikan
darah yang persisten.
ii. Setelah 24 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa, terjadi kenaikan
desakan darah yang persisten
iii. Adanya tanda-tanda terjadinya impending eklampsia
iv. Gangguan fungsi hepar
v. Gangguan fungsi ginjal
vi. Dicurigai terjadi solutio plasenta
vii. Timbulnya onset partus, ketuban pecah dini, perdarahan
b) Janin :
i. Umur kehamilan lebih dari 37 minggu
ii. Adanya tanda-tanda gawat janin (bisa diketahui dari NST nonreaktif dan
profil biofisik abnormal)
iii. Adanya tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat berat (IUGR berat)
berdasarkan pemeriksaan USG
iv. Timbulnya oligohidramnion
c) Laboratorium :
Trombositopenia progresif yang menjurus ke Sindroma HELLP (POGI, 2005).
d) Tatalaksana :
1) O2 3 lpm
2) Infus larutan ringer laktat
3) Pemberian MgSO4
Cara pemberian MgSO4 :
Pemberian melalui intravena secara kontinyu ( infus dengan infusion
pump)
Dosis awal : 4 gr ( 10 cc MgSO4 40%) dilarutkan ke dalam 100 cc RL,
diberikan selama 15-20 menit
Dosis maintenance : 10 gr dalam 500 cc cairan RL, dengan kecepatan 1-2
gr/jam (20-30 tpm).
Pemberian melalui intramuskuler secara berkala
Dosis awal : 4 gr ( 20 cc MgSO4 20%) diberikan secara i.v dengan
kecepatan 1 gr/menit
Dosis maintenance : selanjutnya diberikan MgSO4 4 gr ( 10 cc MgSO4
40%) i.m setiap 4 jam. Tambahkan 1 cc lidokain 2% pada setiap
pemberian i.m untuk mengurangi perasaan nyeri dan panas.
Bila timbul kejang-kejang ulangan maka dapat diberikan 2 gr MgSO4
40% i.v selama 2 menit, sekurang-kurangnya 20 menit setelah pemberian
terakhir. Dosis tambahan 2 gr hanya diberikan sekali saja. Bila setelah
diberi dosis tambahan masih tetap kejang maka diberikan amobarbital 3-
5 mg/kgbb/i.v perlahan-lahan.
Syarat-syarat pemberian MgSO4 :
1. Harus tersedia antidotum MgSO4, yaitu kalsium glukonas 10% ( 1 gr
dalam 10 cc) diberikan i.v dalam waktu 3-5 menit
2. Reflex patella (+) kuat
3. Frekuensi pernapasan > 16x per menit
4. Produksi urine > 30 cc dalam 1 jam sebelumnya (0,5 cc/kgbb/jam)
Sulfas magnesikus dihentikan bila :
1. Ada tanda-tanda intoksikasi
2. Setelah 24 jam pasca salin
3. Dalam 6 jam pasca salin sudah terjadi perbaikan TD
Penggunaan kortikosteroid direkomendasikan pada semua wanita usia
kehamilan 24-34 minggu yang berisiko melahirkan prematur, termasuk
pasien dengan PEB.
4) Pemberian antihipertensi
Dapat diberikan pada tekanan darah mulai dari 160/110 mmHg, Target

terapi pada wanita hamil ditekankan hingga tekanan darah diastolik (TDD)

mencapai 90 mmHg karena TDD < 90 mmHg dapat mengurangi perfusi

uteroplasenta (SOGC, 2008). TD pada wanita hamil diturunkan secara

perlahan-lahan sampai < 160/110 mmHg selama beberapa jam. Hal yang perlu

diperhatikan dalam pengobatan hipertensi adalah mencegah hipotensi karena

penurunan TD yang agresif dapat menyebabkan penurunan aliran darah


plasenta dan gawat janin (Podymow dan August, 2008). Obat anti hipertensi

yang dapat digunakan antara lain nifedipin, nikardipin dan metildopa.

Nifedipine diberikan 10-20 mg oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120

mg dalam 24 jam.

5) Pemberian diuretik
Diuretik tidak boleh diberikan pada pasien preeklampsia karena dapat
memperberat hipovolemia. Pemberian diuretik seperti furosemid atau
sejenisnya hanya boleh dilakukan jika terbukti adanya edema paru, edema
anasarka dan . Pasien dapat diberikan injeksi furosemid 40 mg (SOGC, 2008;
Nugroho, 2010).
6) Pemberian antasida
Antasida dapat diberikan untuk menetralisir asam lambung sehingga bila
mendadak kejang dapat menghindari risiko aspirasi asam lambung (Angsar,
2010).
7) Pemberian kortikosteroid
Kortikosteroid dapat diberikan jika terdapat indikasi darurat yang
mengharuskan kehamilan diakhiri pada usia 24 34 minggu untuk
mempercepat pematangan paru janin
8) Diet
Diet diberikan secara seimbang, hindari protein dan kalori yang berlebih,
batasi cairan yang masuk ke dalam tubuh (POGI, 2010).
2) Pengelolaan Konservatif
Kehamilan tetap dipertahankan sehingga memenuhi syarat janin dapat dilahirkan,
meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi keselamatan ibu.
Indikasinya pada kehamilan kurang bulan (< 37 minggu) tanpa disertai tanda-tanda
impending eklampsia dengan keadaan janin baik (Sastrawinata, 2003).
Pengobatan medisinal :
Sama dengan perawatan medisinal pada pengelolaan secara aktif. Hanya dosis awal
MgSO4 tidak diberikan i.v. cukup i.m. saja (MgSO4 40% 8 gr i.m.). Sebagai
pengobatan untuk mencegah timbulnya kejang-kejang dapat diberikan
(Sastrawinata, 2003):
a) Larutan sulfas magnesikus 40 % (4 gram) disuntikan IM pada bokong kiri dan
kanan sebagai dosis permulaan, dan dapat diulang 4 gram tiap 6 jam menurut
keadaan. Tambahan sulfas magnesikus hanya diberikan bila diuresis baik, reflek
patella positif, dan kecepatan pernapasan lebih dari 16 kali per menit
b) klorpromazin 50 mg IM
c) diazepam 20 mg IM
Penggunaan obat hipotensif pada pre eklampsia berat diperlukan karena
dengan menurunkan tekanan darah kemungkinan kejang dan apopleksia serebri
menjadi lebih kecil. Apabila terdapat oligouria, sebaiknya penderita diberi glukosa
20 % secara intravena. Obat diuretika tidak diberikan secara rutin (Sastrawinata,
2003).
Untuk penderita pre eklampsia diperlukan anestesi dan sedativa lebih
banyak dalam persalinan. Pada kala II, pada penderita dengan hipertensi, bahaya
perdarahan dalam otak lebih besar, sehingga apabila syarat-syarat telah terpenuhi,
hendaknya persalinan diakhiri dengan cunam atau vakum. Pada gawat janin, dalam
kala I, dilakukan segera seksio sesarea; pada kala II dilakukan ekstraksi dengan
cunam atau ekstraktor vakum.
3) Tatalaksana eklampsia
Bila timbul kejang-kejang ulangan maka dapat diberikan 2 gr MgSO4 40% i.v
selama 2 menit, sekurang-kurangnya 20 menit setelah pemberian terakhir. Dosis
tambahan 2 gr hanya diberikan sekali saja. Bila setelah diberi dosis tambahan masih
tetap kejang maka diberikan amobarbital 3-5 mg/kgbb/i.v perlahan-lahan.
Perawatan pasien dengan serangan kejang :
- Pasien yang mengalami kejang-kejang secara berurutan ( status
konvulsivus), diberikan suntikan benzodiazepine 1 ampul (10 mg)
i.v perlahan-lahan
- Bila pasien masih tetap kejang, beri suntikan ulangan
benzodiazepine i.v setiap jam sampai 3x berturut-turut
- Selain benzodiazepine, berikan juga phenytoin ( untuk cegah kejang
ulangan) dengan dosis 3x200 mg (2 kapsul) pada hari kedua dan
3x100 mg (1 kapsul) pada hari ketiga dst
- Apabila setelah pemberian benzodiazepine i.v 3x berturut-turut
pasien masih kejang, maka berikan tetes valium ( diazepam 50 mg/5
ampul dalam 250 cc NaCl 0,9%) dengan kecepatan 20-25 tpm
selama 2 hari.

6. Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul akibat PEB diantaranya adalah (Sarwono, 2010)):
a. Impending Eklampsia
Preeklampsia berat dapat mengarah menjadi impending eclampsia dan
menjadi eclampsia. Menurut Organization Gestosis, impending eclampsia adalah
gejala-gejala oedema, protenuria, hipertensi disertai gejala subyektif dan obyektif.
Gejala subyektif antara lain : nyeri kepala, gangguan visual dan nyeri epigastrium.
Sedangkan gejala obyektif antara lain hiperreflexia, eksitasi motorik dan sianosis
(Angsar, 2003).
Nyeri epigastrium menunjukkan telah terjadinya kerusakan pada liver dalam
bentuk kemungkinan (Angsar, 2003):
Perdarahan subkapsular
Perdarahan periportal sistem dan infark liver
Edema parenkim liver
Peningkatan pengeluaran enzim liver
Tekanan darah dapat meningkat sehingga menimbulkan kegagalan dari
kemampuan sistem otonom aliran darah sistem saraf pusat (ke otak) dan menimbulkan
berbagai bentuk kelainan patologis sebagai berikut (Angsar, 2003):
Edema otak karena permeabilitas kapiler bertambah
Iskemia yang menimbulkan infark serebal
Edema dan perdarahan menimbulkan nekrosis
Edema dan perdarahan pada batang otak dan retina
Dapat terjadi herniasi batang otak yang menekan pusat vital medula oblongata.
b. Sindroma HELLP
Merupakan sindrom kumpulan gejala klinis berupa gangguan fungsi hati,
hepatoseluler (peningkatan enzim hati [SGPT,SGOT], gejala subjektif [cepat lelah,
mual, muntah, nyeri epigastrium]), hemolisis akibat kerusakan membran eritrosit oleh
radikal bebas asam lemak jenuh dan tak jenuh. Trombositopenia (<150.000/cc),
agregasi (adhesi trombosit di dinding vaskuler), kerusakan tromboksan
(vasokonstriktor kuat), lisosom (Manuaba, 2007).
c. Perdarahan otak
Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal penderita
eklampsia (Angsar, 2003).
d. Gagal ginjal
Kelainan berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan sitoplasma sel
endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur yang lainnya. Kelainan lain yang
dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal (Angsar, 2003).
e. Hipoalbuminemia
f. Ablatio retina
Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai seminggu,
dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina. Hal ini merupakan tanda
gawat akan terjadi apopleksia serebri (Angsar, 2003).
g. Edema paru
Paru-paru menunjukkan berbagai tingkat edema dan perubahan karena
bronkopneumonia sebagai akibat aspirasi. Kadang-kadang ditemukan abses paru-paru
(Angsar, 2003).
h. Solusio plasenta
Komplikasi ini terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut dan lebih sering
terjadi pada preeklampsia (Angsar, 2003).
i. Hipofibrinogenemia
Biasanya terjadi pada preeklampsia berat. Oleh karena itu dianjurkan untuk
pemeriksaan kadar fibrinogen secara berkala (Angsar, 2003).
j. Hemolisis
Penderita dengan preeklampsia berat kadang-kadang menunjukkan gejala
klinik hemolisis yang dikenal dengan ikterus. Belum diketahui dengan pasti apakah
ini merupakan kerusakkan sel hati atau destruksi sel darah merah. Nekrosis periportal
hati yang sering ditemukan pada autopsi penderita eklampsia dapat menerangkan
ikterus tersebut (Angsar, 2003).
k. Prematuritas, IUGR dan kematian janin intrauterin
l. Komplikasi Lain
Lidah tergigit, trauma dan fraktur karena jatuh akibat kejangkejang pneumonia
aspirasi dan DIC (disseminated intravascular cogulation) (Wibowo, 2009).

7. Prognosis
Prognosis PEB dan eklampsia dikatakan jelek karena kematian ibu antara 9,8
20,5%, sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yaitu 42,248,9%. Kematian ini
disebabkan karena kurang sempurnanya pengawasan antenatal, di samping itu penderita
eklampsia biasanya sering terlambat mendapat pertolongan. Kematian ibu biasanya
karena perdarahan otak, decompensatio cordis, oedem paru, payah ginjal, dan aspirasi
cairan lambung. Sebab kematian bayi karena prematuritas dan hipoksia intrauterin
(Artikasari, 2008).

Daftar Pustaka :
Angsar MD (2003). Hipertensi Dalam Kehamilan Edisi II. FK-UNAIR, pp: 10-
19
Artikasari K (2009). Hubungan antara Primigravida dengan Angka Kejadian
Preeklampsia/Eklampsia di RSUD Dr. Moewardi Surakarta Periode 1 Januari31
Desember 2008
Briggs, G.G., Freeman, R.K., dan Yaffe, S.J., 2010, Drugs in Pregnancy and
Lactation, 9th Edition, 63 1548, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia.
Coppage, KH, Polzin, WJ. Severe preeklampsia and delivery outcomes: Is
immediate cesarean delivery beneficial?. Am J Obstet Gynecol 2002; 186:921.
Cunningham, Leveno, Bloom, Hauth, Rouse, Spong (2009). Obsetri William.
Edisi 23. Jakarta: EGC.
Manuaba IBG (2007). Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC, pp 401-31
POGI (2005). Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam Kehamilan di Indonesia.
Edisi 2. Semarang: Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI
Saifuddin AB, dkk (2006). Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Jakarta: YBPSP, pp: M37-9.
Sarwono P (2010). Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
Sastrawinata S (2003). Obstetri Patologi. Jakarta: EGC.
Wibowo B (2009). Preeklampsia dan eklampsia. Dalam: Ilmu Kebidanan.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, pp: 281-299

Anda mungkin juga menyukai