Anda di halaman 1dari 11

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. DRAINASE MOLE
Pembuatan saluran drainase merupakan salah satu kegiatan utama
pada waktu menyiapkan suatu lahan pertanian. Tanaman membutuhkan
cukup air untuk pertumbuhannya tetapi bila persediaan air untuk tanaman
berlebih akan mengganggu pertumbuhan tanaman. Saluran drainase dibuat
untuk membuang kelebihan air pada suatu lahan pertanian maupun lahan
yang lainya.
Sampai saat ini telah dikenal berbagai macam jenis drainase. Menurut
Kalsim (2002), berdasarkan peruntukannya drainase dapat dibagi kedalam
empat bagian, yaitu: (1) Drainase lahan pertanian, (2) Drainase perkotaan,
(3) Drainase lapangan terbang, (4) drainase lapangan olah-raga. Berdasarkan
sifatnya drainase diklasifikasikan menjadi drainase alami (natural drainage)
dan drainase buatan (man-made drainage). Berdasarkan sasaran
pengendaliannya, drainase dibedakan menjadi drainase permukaan (surface
drainage) dan drainase bawah permukaan (sub-surface drainage). Drainase
permukaan menitik beratkan pada pengendalian genangan air di atas
permukaan tanah, sedangakan drainase bawah permukaan menitik beratkan
pada kedalaman air tanah di bawah permukaan tanah.
Drainase bawah permukaan tanah adalah dasar dari kebanyakan
pekerjaan drainase lahan. Salah satu drainase bawah permukaan yang sering
diaplikasikan adalah drainase mole. Drainase mole merupakan metode yang
sangat efektif utuk mendrainase tanah. Drainase mole merupakan saluran
bulat yang berada dibawah permukaan tanah yang dibuat oleh mole plow.
Drainase mole akan bekerja baik pada tanah dengan kandungan mineral
tanah liat minimal 30%. Drainase mole tidak akan baik pada tanah dengan
kandugan mineral tanah liat kurang dari 25% (Smart dan Herbertson, 1992).
Drainase mole umumnya cocok untuk tanah liat berat dengan
konduktivitas lambat. Tujuan utamanya bukan untuk mengendalikan
kedalaman air tanah yang biasanya sudah cukup dalam, akan tetapi untuk
membuang kelebihan air dari permukaan lahan atau dari lapisan olah yang

5
semula membentuk suatu parched water table. Air mengalir ke mole
melalui celah dan rekatan-rekatan yang terbentuk dalam pembuatan mole
(Kalsim, 2002).
Kondisi yang paling disukai untuk terjadinya moling ketika lapisan
kedalaman mole pada kondisi plastis tetapi tanah diatasnya cukup kering
untuk dihancurkan oleh mole plow. Kemiringan saluran mole ridak dapat
dibedakan dari kemiringan permukaan tanah selama operasi berlangsung.
Tergantung dari kesetabilan liat tanah mole beroperasi pada kedalaman 45
cm sampai 60 cm dibawah permukaan tanah. Drainase kolektor sebaiknya
berjarak sedekat-dektnya 20 m pada liat yang stabil dan bahkan sampai
berjarak 40 m (Smart dan Herbertson, 1992).
Menurut Kalsim (2002), umumnya efektifitas drainase mole
ditentukan oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut yaitu sifat tanah yang
menentukan stabilitas tanah, kondisi kelembaban tanah selama konstruksi
alat dan metode konstruksi yang digunakan, kecepatan aliran air dalam
saluran mole, dan laju pengendapan pada saluran mole.
Kerugian drainase mole adalah saluran tidak disokong, sehingga ada
kemungkinan tertimbun yang kelak harus dibuat lagi pada interval tertentu.
Walaupun demikian drainase mole mepunyai biaya pembuatan yang lebih
murah dan hasilnya lebih efektif daripada sistem closely spaced field
drainage (Smart dan Herbertson, 1992).

Saluran mole

Gambar 3. Retakan yang terbentuk pada drainase mole


(Smart dan Herbertson, 1992).

6
B. MOLE PLOW
Menurut Smart dan Herbertson (1992), mole plow mempunyai tiga
bagian utama. Bagian pertama adalah bingkai yang kuat atau beam yang
meluncur sepanjang permukaan luar tanah. Bagian kedua adalah blade yang
yang menempel secara vertikal pada ujung beam.Tebal blade biasanya
adalah 2.54 cm. Blade ini berfungsi untuk memotong tanah dengan
kedalaman maksimum 91.44 cm. Bagian ketiga berupa batang baja bulat
yang panjangnya bervariasi mulai dari 38.1 cm sampai 91.44 cm dan
diameternya bervariasi mulai dari 2.54 cm sampai 15.24 cm. Batang baja
bulat ini dinamakan mole yang berfungsi untuk membuat lubang di bawah
tanah.
Syarat-syarat mole yang baik dapat diringkas sebagai berikut. Mole
harus dapat menghasilkan 8.89 cm lubang yang bersih dan bundar dengan
kedalaman 66.04 cm. Untuk melakukan ini mole harus dipasang dengan
baik dengan paralel pada gagang diatasnya. Diameter minimal mole adalah
7.62 cm (Cooper, 1965).

beam

blade

mole expander

Gambar 4. Mole plow (Smart dan Herbertson, 1992).

7
C. GETARAN
Secara umum ada dua tipe getaran yaitu free vibration dan forced
vibration. Ketika sistem dipindahkan dari posisi keseimbangan statiknya
keposisi yang berbeda kemudian dilepaskan maka akan menimbulkan free
vibration. Frekuensi dari free vibration tergantung dari massa dan kekakuan
sistem (James et al., 1994).
Forced vibration terjadi ketika sistem dipengaruhi oleh satu atau
beberapa tipe eksitasi eksternal yang mana menambah energi kepada sistem.
Pada umumnya, amplitudo getaran tergantung frekuensi natural dari sistem.
Komponen frekuensi menentukan exciting force (gaya penggetaran).
Amplitudo dari forced vibration dapat menjadi sangat panjang ketika
frekuensi dari eksitasi diterapkan pada frekuensi natural dari sistem. Pada
kondisi ini akan terjadi tegangan dan regangan yang memungkinkan
menyebabkan kerusakan mesin dan struktur. Itu sebabnya sangat penting
bagi para designer untuk dapat menentukan frekuensi natural dari sistem
dengan percobaan dan pemodelan matematik (James et al., 1994).

mesin

pegas
daspot

Gambar 5. Skema forced vibration dan free vibration.

Getaran pada suatu struktur dapat diakibatkan oleh efek dari gaya
kelembaman. Gaya kelembaman adalah gaya yang disebabkan oleh
percepatan. Gaya ini sering disebut juga gaya dinamis. Dalam mesin-mesin
berkecepatan tinggi percepatan dan gaya kelembaman yang dihasilkan dapat

8
menjadi sangat besar dalam hubungannya dengan gaya statis yang
menghasilkan kerja yang bermanfaat (Martin, 1985).
Sumber getaran dengan eksentrisitas massa berputar umumnya
digunakan pada mesin penggetar pohon untuk pemanen buah. Karena desain
penggetar ini memanfaatkan inersia massa yang berputar maka harus jelas
bahwa amplitudo yang dihasilkan dari getaran terkait dengan massa relatif
dari perputaran massa penggetar inersia dan dari massa batang atau pohon
yang digetarkan. Frekuensi getaran juga sangat penting, tetapi biasanya jauh
lebih mudah untuk memonitor dan mengontrolnya. Terdapat pula hal
penting yang harus diperhatikan pada pengoperasian penggetar pohon ini.
Selama proses akselerasi penggetar tersebut dapat dioperasikan pada satu
frekuensi dengan amplitudo yang berbeda-beda pada suatu getaran.
Gambar 4 menunjukan suatu unit pembangkit getaran yang digunakan
pada penggetar pohon. Penggetar ini memiliki massa pemutar eksentris yang
ditunjukan pada posisi 2, yang mana pada tengahnya memiliki gyration
coincident pada posisi 1 yang berputar bersamaan. Eksentrisitas tersebut
dikendalikan oleh silinder hidrolik yang ditunjukan pada posisi 3
(Sirvastava et al., 1993).

2 1
3

Gambar 6. Variable eccentricity mass shaker (U.S. Patent #4,776,156).

9
D. TAHANAN TARIK
Tahanan tarik merupakan besarnya gaya tahanan tanah terhadap
implemen, disebut juga draft. Besarnya draft berbeda-beda dipengaruhi oleh
jenis tanah, kadar air, kedalaman olah, lebar olah, dan bentuk serta berat
implemen. Bertambahnya kandungan air tanah akan mengakibatkan draft
berkurang hingga mencapai titik terendah dan kemudian akan naik kembali
dengan bertambahnya kandungan air (Martin dan McColly, 1955).
Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya draft pada implemen
bajak yaitu lebar bajak, panjang bajak, kelengkungan bajak, ketajaman
bajak, dan gesekan tanah dengan alat (adhesi).
Martin dan McColly (1955) menyatakan bahwa draft dan tenaga yang
dikehendaki pada mesin pertanian harus diketahui untuk menentukan jenis
traktor yang digunakan agar sesuai dengan beban yang dapat ditarik oleh
traktor tersebut. Oleh karena itu, draft merupakan salah satu faktor yang
menentukan besarnya tenaga atau daya traktor yang dibutuhkan untuk
menarik implemen tersebut.
Menurut Kuipers (1993), besarnya tenaga tarik efektif dari traktor
untuk menarik sebuah alat sangat tergantung pada kemampuan roda
penggerak (bagian belakang) untuk mentransfer tenaga mesin yang
dihasilkan (brake horse power) menjadi tenaga tarik, dan ini tergantung
pada lapisan permukaan tanah untk menghasilkan tahanan yang cukup
(gesekan internal dan kohesi) terhadap roda-roda yang sedang slip.
Tenaga tarik efektif yang dihasilkan suatu mesin umumnya hanya
setengah dari jumlah tenaga yang dikeluarkan oleh mesin tersebut.
Disamping itu terjadi kehilangan tenaga dalam gesekan transmisi (10%
sampai 15%), kehilangan tenaga pada waktu teraktor mengatasi tahanan
gelinding (rolling resistance), dan slip roda. Kesanggupan sebuah traktor
untuk merubah secara efektif mesin menjadi tenaga tarik sangat tergantung
pada berat traktor dan luas bidang kontak roda-tanah (Kuipers, 1983).
Kadar air tanah juga sangat berpengaruh pada tahanan tarik implemen
pengolah tanah. Menurut Lal dan Shukla (2004), kekuatan tanah meningkat

10
dengan menurunya kadar air tanah. Pengeringan tanah meningkatkan
kekuatan melalui peningkatan kapilaritas kohesi.
Tahanan tarik mole plow biasanya dinyatakan dalam komponen gaya
horizontal dan gaya vertikal. Gaya horizontal menunjukan besarnya tahanan
tarik mole plow pada arah depan sedangkan gaya vertikal menunjukan
tahanan tarik mole plow pada arah samping. Tabel 1 menunjukan besarnya
komponen gaya horizontal, gaya vertikal dan momen acting dari mole plow.

Tabel 1. Horizontal, vertical force component, and moments acting on


various components of mole plough (Malik et al., 1986)

Treatment Horizonatal force Vertical force Moments acting


(kN) (kN) (kNm)
T1 16.46 3.63 12.83
T2 16.46 4.14 12.34
T3 15.86 3.74 12.12
T4 18.01 4.77 13.24

E. PENGGUNAAN GETARAN PADA ALAT PENGOLAH TANAH


Hasil penelitian menunjukan bahwa dampak pengolahan tanah yang
menggunakan getaran dengan kombinasi yang sesuai dengan parameter
diatas, dapat menurunkan tahanan tarik mencapai 50-57% jika dibandingkan
dengan alat yang sama tanpa getaran. Efek penggunaan parameter di atas
tidak tetap, tetapi secara umum telah ditemukan bahwa penurunan tahanan
tarik akan meningkat jika terjadi peningkatan kecepatan getar atau frekuensi
getar, dan akan menurun jika terjadi kecepatan maju (Verma, 1969 dalam
Kepner et al., 1972).
Radite, et al (1997) melakukan penelitian mengenai rekayasa awal
prototip bajak singkal tergetar membalik di tempat dengan memanfaatkan
PTO sebagai sumber tenaga putar. Berbeda dengan bajak singkal
konvensional, pada prototip bajak singkal ini bagian pemotong tanah dan
singkal dipisahkan. Bagian singkal tidak digetarkan, sedangkan pemotong

11
tanah digetarkan. Berdasarkan hasil pengujian menunjukan bahwa
pemilihan amplitudo getaran (a), frekuensi getaran (f) dan kecepatan operasi
(v) yang tepat dapat menurunkan draft pembajakan lebih dari 50 persen.
Secara umum meningkatnya rasio kecepatan berakibat pada menurunya
darft pembajakan. Namun demikian meningkatnya amplitudo getaran akan
membutuhkan peningkatan rasio kecepatan ( = 2fa/v) yang lebih besar
untuk mendapatkan draft yang sama.
Taufik (2001) melakukan penelitian tentang rancang bangun
mekanisme penggetar untuk bajak subsoiler getar dengan dua bilah bajak.
Mekanisme penggetar berupa kombinasi poros eksentrik dengan batang
pengubah arah gerak yang menggetarkan bagian bilah bajak secara bolak-
balik kearah depan dan belakang. Tenaga yang digunakan adalah putaran
poros PTO dari traktor. Bajak subsoil getar ini dapat menurunkan tahanan
tarik sampai dengan 50% pada jenis tanah liat dengan kedalaman olah 30
cm. Berdasarkan hasil pengujian, tahanan tarik yang dihasilkan menurun,
akan tetapi kedalaman olahnya kurang dalam. Selain itu getaran yang
diteruskan ke badan traktor yang dihasilkan oleh penggetaran bilah bajak
subsoil cukup besar.
Efektifitas penggunaan getaran pada subsolier dipengaruhi oleh
kecepatan maju dan kedalaman pengolahan. Pada kecepatan maju
pengolahan yang rendah, efektifitas penggunaan getaran dalam menurunkan
tahanan tarik menjadi lebih tinggi. Kedalaman olah berpengaruh terhadap
tinggi rendahnya tahanan tarik yang dihasilkan. Tahanan tarik cenderung
lebih tinggi pada saat kedalaman olah tinggi (Radite et al., 2003).
Hidayat (2006) melakukan penelitian untuk mengembangkan desain
bajak subsoil getar prototip-1 agar dapat bekerja pada kedalaman olah 35
cm di PG Jatitujuh yaitu desain bajak subsoil getar dengan pemupuk
mekanis untuk budidaya tebu lahan kering (SIGAP prototip-2), dengan
adanya tambahan konstruksi pemupuk maka batang penggetar diletakan di
depan. Hal ini dimaksudkan agar penggetar dapat bergerak bebas, sehingga
tidak terganggu lubang pupuk yang diletakan dibelakang chisel. Mekanisme
penggetar memakai sistem empat batang hubung tipe engkol lengan ayun

12
dengan jarak engkol 3.5 cm, mengakibatkan sudut angkat maksimum sayap
penggetar bagian kanan adalah 20 dan minimum 5. Sedangkan pada
bagian kiri sudut angkat sayap maksimum adalah 21 dan minimum 3. Jadi
amplitudo yang terjadi pada sayap penggetar bagian kanan 7 cm dan bagian
kiri 6.5 cm. Berdasarkan hasil pengujian tahanan tarik yang dihasilkan
dengan penggetaran subsoil menurun sampai 30% pada kedalaman olah
rata-rata 37 cm. Hasil pengujian di PG Jatitujuh mampu mencapai
kedalaman olah rata-rata 41 cm.
Sigit (2009) melakukan penelitian tentang modifikasi bajak subsoiler
getar dengan pemupuk mekanis (SIGAP) utuk budidaya tebu lahan kering.
Hasil pengujian di Kebun Percobaan Leuwikopo IPB, Bogor pada kadar air
tanah rata-rata 41.1% menunjukan bahwa efek penggetaran dengan sayap
penggetar pada bajak subsoil dapat menurunkan tahanan tarik secara nyata
dibanding dengan bajak subsoil tanpa getar. Dengan penggetaran, tahanan
tarik turun pada kisaran 6.1% sampai 29.9% dengan rata-rata 14.6%.

F. DESAIN (PERANCANGAN)
Menurut Harsokoesoemo (1999) perancangan adalah kegiatan awal
dari usaha merealisasikan suatu produk yang keberadaannya dibutuhkan
oleh masyarakat untuk meringankan hidupnya. Perancangan terdiri dari
serangkaian kegiatan yang berurutan, oleh karena itu perancangan kemudian
disebut sebagai proses yang mencakup seluruh kegiatan yang terdapat dalam
proses perancangan tersebut. Kegiatan-kegiatan dalam proses perancangan
disebut fase. Salah satu deskripsi proses perancangan adalah deskripsi yang
menyebutkan bahwa proses perancangan terdiri dari fase-fase seperti terlihat
pada Gambar 7.
Menurut Harsokoesoemo (1999), proses perancangan dianggap
dimulai dengan diidentifikasikannya kebutuhan produk yang diperlukan
masyarakat. Berawal dari diidentifikasikannya kebutuhan produk tersebut
maka proses perancangan berlangsung.
Hasil analisis masalah yang utama adalah pernyataan masalah atau
prblem statement tentang produk baru. Pernyataan masalah tersebut

13
belumlah berupa solusi/produk-baru, tetapi mengandung keterangan-
keterangan tentang produk yang akan dirancang
Spesifikasi produk mengandung keinginan-keinginan
pengguna/bagian pemasaran tentang produk yang akan dibuat. Spesifikasi
produk merupakan dasar dan pemandu bagi perancang dalam merancang
produk dan spesifikasi produk tersebut akan menjadi tolak ukur pada
evaluasi hasil rancangan dan evaluasi produk yang sudah jadi. Spesifikasi
produk mengandung beberapa hal, yaitu : (1) kinerja harus dapat dicapai
produk, (2) kondisi lingkungan yang akan dialami produk, (3) kondisi
operasi lain, (4) jumlah produk yang akan dibuat, (5) dimensi produk, (6)
berat produk, (7) ergonomik, (8) keamanan dan safety, (9) harga produk
(Harsokoesoemo, 1999).
Konsep produk adalah solusi-solusi alternatif dari masalah dalam
bentuk skema. Masalah dalam hal ini adalah produk baru, yang dipandang
sebagai masalah perancangan yang memerlukan solusi. Fase ini dalam
perancangan dikenal dengan fase pencarian konsep-konsep produk yang
memenuhi fungsi dan karakteristik produk, sebagaimana tercantum dalah
spesifikasi produk.
Pada fase perancangan produk, solusi alternatif dalam bentuk skema
dikembangkan lebih lanjut menjadi produk atau benda teknik yang bentuk,
material dan dimensi komponen-komponennya telah ditentukan. Jika
terdapat lebih dari satu solusi alternatif, maka harus ditentukan satu solusi
akhir yang terbaik melalui proses pemilihan solusi terbaik. Solusi terbaik
tersebut dituangkan dalam bentuk general arrangement drawing atau
gambar susunan umum. Sebelum terpilih solusi akhir, fase ini memberi
umpan balik ke fase sebelumnya yaitu fase analisis masalah dan
perencanaan proyek. Proses iteratif seperti ini bisa terjadi diantara fase-fase
dalam suatu proses perancangan (Harsokoesoemo, 1999).
Produk hasil fase perancangan produk haruslah dapat spesifikasi
produk, yaitu dapat memenuhi fungsinya, mempunyai karakteristik yang
harus dipunyai dan dapat melakukan kinerja atau performance seperti yang
disyaratkan. Untuk memudahkan evaluasi tersebut, maka dapat dibuatkan

14
sebuah atau beberapa prototipe, yang secara fisik dapat diuji untuk
mengetahui apakah fungsi, karakteristik dan kinerjanya memenuhi
persyaratan. Jika pembuatan prototipe fisik mahal, maka dibuat prototipe
pada komputer dan kemudian dilakukan simulasi.
Gambar hasil rancangan produk terdiri dari : (1) gambar skema
komponen produk lengkap dengan bentuk geometrinya, dimensi,
kekasaran/kehalusan permukaan material, (2) gambar susunan, (3)
spesifikasi yang memuat keterangan-keterangan yang tidak dapat dimuat
pada gambar dan (4) bill of materials.

Kebutuhan

Analisis masalah, spesifikasi produk,


dan perancangan proyek

Perancangan konsep produk

Perancangan produk

Evaluasi produk hasil rancangan

Dokumen untuk pembuatan produk

Gambar 7. Diagram alir proses perancangan (Harsokoesoemo, 1999).

15

Anda mungkin juga menyukai