Anda di halaman 1dari 4

TEMPO.

CO , Jakarta: Deputi Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, menyambut baik kebijakan pemerintah
untuk menurunkan harga BBM premium. "Ada tiga manfaat yang dapat kita rasakan," ujar Perry di Bank
Indonesia, Rabu, 31 Desember 2014.

Manfaat tersebut menurut Perry adalah pertama mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Alokasi dapat
dilakukan ke yang lebih produktif sehingga meningkatkan kapasitas produksi nasional. (Baca: Ini Dia Harga
Baru Premium dan Solar)

Kedua, penurunan premium juga akan memudahkan dalam pengendalian inflasi. Di Indonesia, biasanya inflasi
tinggi saat ada penyesuaian harga BBM.

Dengan harga BBM premium yang sesuai dengan harga pasar dan solar yang fix, inflasi dapat stabil. "Karena
naik turunnya harga akan terrecord pada inflasi per bulan," ujar dia. (Baca:Premium Turun, Begini Formula
Penetapan Harganya)

Manfaat ketiga adalah Januari mendatang dengan turunnya harga BBM akan mengalami deflasi pada komponen
harga BBM. "Kami akan hitung dari Rp 8.500 ke Rp 7.600 berapa dampak first round-nya, tarif angkutan,
dampak terhadap barang-barang lain," ujar dia. "Akan dihitung setelah Rapat Dewan Gubernur (RDG),"

Hal tersebut menurut Perry akan memudahkan inflasi menurun. Selain itu, pola konsumsi masyarakat juga akan
terkendali dan impor migas lebih rendah. "Dampak secara total penurunan CAD bergantung dari ekspansi
pemerintah," ujar dia.

Dalam jangka pendek, penurunan CAD (defisit transaksi berjalan) tidak terlalu besar tapi jangka panjangnya
besar sehingga CAD akan turun lebih cepat.
Jakarta - Harga bahan bakar minyak (BBM), utamanya bensin premium dan solar, merupakan faktor utama pemicu
meningkatnya biaya atau harga komoditi lain, seperti biaya transportasi, harga beras, harga sayur mayur, dan harga-harga
kebutuhan pokok lainnya. Ujung-ujungnya harga BBM menjadi salah satu pemicu utama naiknya inflasi di Indonesia.

Di saat kebutuhan BBM Indonesia mencapai sekitar 1,6 juta barel/hari dengan produksi dalam negeri hanya kurang dari 800
ribu barel/hari, membuat Indonesia harus mengimpor 60% kebutuhan BBMnya. Kebutuhan ini tentunya sangat berdampak
pada beban Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN) yang cukup besar setiap tahunnya.

Rencana Pemerintahan Jokowi untuk mengurangi beban subsidi BBM supaya alokasi anggaran untuk pembangunan
infrastruktur meningkat, berakibat harga BBM bersubsidi harus dinaikkan. Untuk itu, harga BBM bersubsidi dinaikkan pada
tanggal 1 November 2014. Di tengah harga minyak mentah dunia sedang tinggi tentunya kebijakan ini dapat mengurangi
beban negara untuk mengimpor dan mensubsidi BBM secara signifikan. Namun tidak pada saat harga minyak dunia rendah
seperti saat ini.

Kondisi ini idealnya menguntungkan pemerintah karena dapat segera mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk
pembangunan infrastruktur. Namun setelah pemerintah menurunkan harga BBM pada tanggal 1 Januari 2015, kembali ketika
pemerintah akan menurunkan harga BBM pada tanggal 19 Januari 2015, muncul pertanyaan saya: apakah penurunan kembali
harga BBM akan menurunkan harga komoditas, transportasi dan menguntungkan rakyat? Apakah dengan turunnya harga
BBM, sumber energi baru dan terbarukan dapat tumbuh secara ekonomis untuk memenuhi kebutuhan energi nasional?

Dampak Turunnya Harga BBM

Ketika harga premium turun dari Rp 8.500/liter menjadi Rp 7.600/liter sementara harga solar juga turun dari Rp 7.500/liter
menjadi Rp 7.250/liter pada 1 Januari 2015 (berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No 39/2014), saya langsung memantau
dampak sosial ekonomi dari beberapa harga komoditi pangan dan biaya transportasi. Ternyata tidak ada yang turun. Artinya
dampak turunnya harga BBM bersubsidi bagi rakyat kecil tidak banyak manfaatnya. Bagaimana bagi negara?

Bagi negara, yang pasti merugikan karena pendapatan negara dari penjualan BBM bersubsidi akan hilang sekitar 10,6% untuk
per liter premium dan 3,33% untuk per liter solar. Artinya pendapatan negara yang dialokasikan untuk pembangunan
infrastruktur akan berkurang karena pendapatan berkurang, sementara untuk rakyat tidak bermanfaat secara signifikan karena
tidak ada penurunan harga-harga komoditi pangan, transportasi, dan lain-lain.
JAKARTA - Masyarakat dihebohkan dengan berbagai isu mengenai Bahan Bakar Minyak (BBM)
beberapa waktu terakhir ini. Mulai dari kebijakan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi, rencana
pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi, hingga kelangkaan BBM bersubsidi.

Namun tidak banyak yang tau apa keuntungan bagi Indonesia jika harga BBM dinaikkan. Deputi Gubernur
Senior Bank Indonesia (BI), Mirza Adityaswara mengatakan, ada empat keuntungan yang bisa didapatkan
negara jika harga BBM bisa disesuaikan.

Pertama, adalah membantu penurunan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Menurutnya, salah satu yang menyebabkan direvisinya APBN 2014 adalah karena pembengkakan yang
terjadi pada subsidi BBM.

"Defisit yang besar kan butuh pembiayaan artinya pemerintah harus utang lebih besar, memang solusinya
harus ada penyesuaian harga," kata Mirza di Gedung DPR, Rabu (27/8/2014).

Kemudian yang kedua, jika harga BBM disesuaikan bisa menurunkan beban impor. Mirza menyebutkan,
saat ini biaya yang diperlukan untuk impor BBM setiap minggu sekitar USD3,7 sampai USD4 miliar.

"BBM itu membebani impor karena konsumsi bbm meningkat maka impor meningkat. Impor BBM itu
Tiap minggu USD3,7 miliar sampai USD4 miliar, itu besar dan itu kan menggunakan devisa, salah satu
cara untuk menurunkan impor BBM memang harus ada penyesuaian harga BBM," jelas dia.

Hal berikutnya adalah penyesuaian harga BBM bisa menurunkan utang luar negeri. Mirza menilai, impor
BBM saat ini membuat utang luar negeri jangka pendek untuk membiayai impor meningkat.

"Kalau konsumsi BBM turun, utang luar negeri juga turun," tambahnya.

Saat ini, lanjut dia, yang menikmati subsidi BBM adalah mereka yang memiliki kendaraan. Padahal
manfaatnya bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur transportasi umum.

Jadi tiga hal yang bisa terbantu adalah penurunan defisit APBN, penurunan impor dan penurunan utang
luar negeri, keempat dana subsidi BBM bisa dialokasikan ke hal lain," tukas Mirza
Belum lagi kita selesai mengevaluasi dampak penurunan harga BBM bersubsidi, hari ini Senin 19 Januari 2015, pemerintah
kembali menurunkan harga BBM bersubsidi untuk bensin premium menjadi Rp 6.600/liter (turun 13,16%) dan solar menjadi Rp
6.400/liter (turun 11,72%). Jadi sejak kenaikan bulan November 2014, pendapatan negara dari penjualan premium menurun
sekitar 23,76% dan solar menurun hingga 15,05%. Sementara kebutuhan BBM terus meningkat, penerimaan negara dari
sektor migas juga ikut turun.

Lalu apa yang akan terjadi ketika nanti, jika kuartal II (Q II) 2015 harga minyak dunia naik, misalnya kembali ke harga di atas
90 USD/barel? Pastinya pemerintah akan kesulitan mengalokasikan dana subsidi BBM yang membengkak dan merugikan
rakyat karena harga-harga akan kembali melambung. Penurunan harga minyak mentah dunia tidak selalu menguntungkan
perekonomian Indonesia, mengingat pendapatan dari sektor ekspor migas masih lumayan besar.

Ingat harga minyak mentah dunia merupakan komoditas politik untuk mengendalikan dunia bagi beberapa negara adi daya
(Amerika, China dan Rusia) dan dampaknya akan terasa sangat besar bagi negara pengimpor minyak, seperti Indonesia.
Kondisi ini harus diwaspadai dan dipantau sangat ketat oleh Menteri Koordinator Perekonomian dan jajarannya.

Terus turunnya harga BBM bersubsidi akan membuat harga BBM murah yang idealnya menguntungkan rakyat. Namun situasi
ini akan kembali mengganggu pengembangan energi nonfosil atau sumber energi baru terbarukan yang bukan berasal dari
fosil, misalnya minyak nabati, bioetanol, dan sebagainya. Bahkan gas pun akan sulit dikembangkan sebagai energi utama
menggantikan BBM untuk rumah tangga maupun transportasi ketika harga BBM bersubsidi semakin murah.

Seperti kita ketahui bersama bahwa untuk mengembangkan energi baru terbarukan sebagai sumber energi utama yang akan
menggantikan peran BBM diperlukan investasi yang tidak sedikit. Investasi ini sebaiknya dibiayai oleh pemerintah melalui
APBN supaya harga energi baru terbarukan terjangkau oleh rakyat. Lalu bagaimana pendapatan negara bisa bertambah jika
harga BBM terus diturunkan dengan patokan turunnya harga minyak mentah dunia? Pertanyaan lain, apakah upaya Menteri
ESDM ini untuk membantu rakyat atau hanya pencitraan seperti pemerintahan yang lalu?

Masih segar dalam ingatan kita membengkaknya anggaran subsidi BBM di tahun 2014 yang salah satunya disebabkan karena
Presiden SBY menurunkan harga BBM bersubsidi 2 kali. Coba jika saat itu SBY tidak menurunkan harga BBM bersubsidi,
pemerintah tidak perlu menganggarkan dana subsisdi BBM nyaris mendekati Rp 300 triliun. Masih terekam dalam pikiran saya
ketika harga BBM diturunkan, sama sekali tidak berdampak pada turunnya harga kebutuhan pokok dan ongkos transportasi
masal kala itu. Saya yakin demikian pula saat ini

Pertama, selama mayoritas harga komoditi masih sangat terpengaruh oleh harga BBM, jangan terapkan pemberlakuan tarif
pasar harga BBM bersubsidi yang bisa naik turun kapan saja. Kecuali pemerintah akan segera menghapus bensin bersubsidi
RON 88 menjadi RON 92 atau yang lebih tinggi.

Kedua, penerapan harga BBM bersubsidi mengikuti harga atau tren dunia akan mengurangi kemampuan dana pemerintah
untuk membangun infrastruktur dan pengembangan energi baru terbarukan. Kedua program ini tidak akan pernah bisa
dilaksanakan ketika energi pokok (BBM) harga sangat murah. Energi pokok harganya harus mahal sehingga membuat rakyat
mau berpartisipasi dalam program pengembangan energi baru terbarukan.

Ketiga, dengan pola seperti ini, sulit bagi pemerintah untuk merencanakan kemandirian energi Indonesia ke depan.
Ketergantungan pada BBM impor akan semakin tinggi karena tingginya laju pertumbuhan penduduk Indonesia, sementara itu
energi baru terbarukan semakin dilupakan. Saya mohon kepada Presiden Jokowi supaya dalam 5 tahun mendatang lebih
bijaksana dalam membuat kebijakan energi Indonesia demi keberlangsungan bangsa ini

Anda mungkin juga menyukai