PENDAHULUAN
1
ditemukan berupa laringospasme, gelisah pasca operasi, mual, muntah, kematian
pada saat induksi pada pasien dengan hipovolemia, hipersensitif terhadap obat
anestesi serta hipotensi dan henti jantung.6
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TONSILEKTOMI
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil
palatina. Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan
limfoid di nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.
Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, namun hal ini
bukan berarti tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap memerlukan
keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam pelaksanaannya. Di
AS karena kekhawatiran komplikasi, tonsilektomi digolongkan pada operasi
mayor. Di Indonesia, tonsilektomi digolongkan pada operasi sedang karena durasi
operasi pendek dan teknik tidak sulit.8
Indikasi Tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat
perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini.
Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat
ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi
tonsil.9 Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran napas, indikasi
tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun, indikasi
relatif tonsilektomi pada keadaan non emergency dan perlunya batasan usia pada
keadaan ini masih menjadi perdebatan. Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa
usia tidak menentukan boleh tidaknya dilakukan tonsilektomi
Indikasi Absolut
Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas,
disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner
Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan
drainase
Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi
anatomi
3
Indikasi Relatifx6 (AAO)
Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi
antibiotik adekuat
Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan
pemberian terapi medis
Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik -laktamase resisten. 7,8
Pada keadaan tertentu seperti pada abses peritonsilar (Quinsy), tonsilektomi dapat
dilaksanakan bersamaan dengan insisi abses
4
Analgesia (bebas dari nyeri)
Relaksasi otot (mengurangi ketegangan tonus otot)
Untuk mecapai trias tersebut, dapat digunakan satu jenis obat, misalnya
eter atau dengan memberikan beberapa kombinasi obat yang mempunyai efek
khusus seperti tersebut di atas yaitu obat yang khusus sebagai hipnotik,
analgetik, dan obat pelumpuh otot. Agar anastesi umum dapat berjalan dengan
baik, pertimbangan utamanya adalah memiliki anestetika ideal. Pemilihan ini
didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat
anastetika, jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan serta obat yang tersedia.
Sifat anastetika yang ideal antara lain mudah didapat, murah, tidak mudah
terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan relaksasi otot yang baik,
kesadaran cepat kembali.1,7
5
1. Konsentrasi zat anestetika yang diinhalasi; semakin tinggi konsentrasi,
semakin cepat kenaikan tekanan parsial
2. Ventilasi alveolus; semakin tinggi ventilasi, semakin cepat kenaikan
tekanan parsial
B. Faktor Sirkulasi
Saat induksi, konsentrasi zat anestetika dalam darah arterial lebih besar
daripada darah vena. Faktor yang mempengaruhinya adalah:6
Perubahan tekanan parsial zat anestetika yang jenuh dalam alveolus
dan darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestetika diserap
jaringan dan sebagian kembali melalui vena.
Koefisien partisi darah/gas yaitu rasio konsentrasi zat anestetika dalam
darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan
seimbang.
Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung.
C. Faktor Jaringan
Perbedaan tekanan parsial obat anestetika antara darah arteri dan
jaringan
Koefisien partisi jaringan/darah
Aliran darah dalam masing-masing 4 kelompok jaringan (jaringan kaya
pembuluh darah/JKPD, kelompok intermediate, lemak, dan jaringan
sedikit pembuluh darah/JSPD)
D. Faktor Zat Anestetika
Potensi dari berbagai macam obat anestetika ditentukan oleh MAC
(Minimal Alveolus Concentration), yaitu konsentrasi terendah zat anestetika
dalam udara alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon)
terhadap rangsang rasa sakit. Semakin rendah nilai MAC, semakin poten zat
anestetika tersebut.6
E. Faktor Lain
Ventilasi, semakin besar ventilasi, semakin cepat pendalaman anestesi
Curah jantung, semakin tinggi curah jantung, semakin lambat induksi dan
pendalaman anestesia
Suhu, semakin turun suhu, semakin larut zat anestesia sehingga
pendalaman anestesia semakin cepat.6
6
2.5 Stadium Anestesi
Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium yaitu: 6
a. Stadium I
Stadium I (analgesi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai
hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah
dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan pembedahan ringan,
seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar dapat dilakukan pada stadium ini
b. Stadium II
Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya kesadaran
dan refleks bulu mata sampai pernapasan kembali teratur.
c. Stadium III
Stadium III (pembedahan) dimulai dengan tcraturnya pernapasan sampai
pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana yaitu:
Plana 1 : Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi
gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil midriasis,
refleks cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah
tidak ada, dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna.
(tonus otot mulai menurun).
Plana 2 : Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak
menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di
tengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot
sedang, dan refleks laring hilang sehingga dikerjakan intubasi.
Plana 3 : Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai
paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring
dan peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempuma (tonus
otot semakin menurun).
Plana 4 : Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal
paralisis total, pupil sangat midriasis, refleks cahaya hilang, refleks
sfmgter ani dan kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik
sempuma (tonus otot sangat menurun).
d. Stadium IV
7
Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya
pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. pada stadium ini tekanan
darah tak dapat diukur, denyut jantung berhenti, dan akhirnya terjadi kematian.
Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan
pernapasan buatan.
8
2.9 Komplikasi Anestesi Umum
a. Komplikasi Kardiovaskular
Hipotensi : tekanan sistol kurang dari 70 mmHg atau turun 25% dari
sebelumnya.
Hipertensi : umumnya tekanan darah dapat meningkat pada periode
induksi dan pemulihan anestesia. Komplikasi ini dapat membahayakan
khususnya pada penyakit jantung, karena jantung akan bekerja keras
dengan kebutuhan O2 miokard yang meningkat, bila tak tercukupi
dapat timbul iskemia atau infark miokard. Namun bila hipertensi
karena tidak adekuat dapat dihilangkan dengan menambah dosis
anestetika.
Aritmia Jantung : anestesi ringan yang disertai maniplasi operasi dapat
merangsang saraf simpatiks, dapat menyebabkan aritmia. Bradikardia
yang terjadi dapat diobati dengan atropin
Gagal Jantung : mungkin terjadi bila pasien mendapat cairan IV
berlebihan.
b. Komplikasi Respirasi
Obstruksi jalan nafas
Batuk
Cekukan (hiccup)
Intubasi endobronkial
Apnoe
Atelektasis
Pneumotoraks
Muntah dan regurgitas
c. Komplikasi Mata
Laserasi kornea, menekan bola mata terlalu kuat
d. Komplikasi Neurologi
Konvulsi, terlambat sadar, cedera saraf tepi (perifer)
9
e. Perubahan Cairan Tubuh
Hipovolemia, Hipervolemia
f. Komplikasi Lain-Lain
Menggigil, gelisah setelah anestesi, mimpi buruk, sadar selama operasi,
kenaikan suhu tubuh.7
10
Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang
mungkin dapat menjadi penyulit dalam anestesi, antara lain:
penyakit alergi, diabetes mellitus, penyakit paru-paru kronik
(asma bronchial, pneumonia, bronchitis), penyakit jantung dan
hipertensi (infark miokard, angina pectoris, dekompensasi
kordis), penyakit hati, dan penyakit ginjal.
Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan
mungkin menimbulkan interaksi dengan obat-obat anestetik.
Misalnya kortikosteroid, obat antihipertensi, obat-obat
antidiabetik, antibiotika golongan aminoglikosida, obat penyakit
jantung seperti digitalis, diuretika, obat anti alergi, tranquilizer,
monoamino oxidase inhibitor, bronkodilator.
Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang
lalu, berapa kali, dan selang waktunya. Apakah pasien
mengalami komplikasi saat itu seperti kesulitan pulih sadar,
perawatan intensif pasca bedah.
Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi
jalannya anestesi seperti: merokok dan alkohol.1,7
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi,
tindakan buka mulut, lidah relative besar sangat penting untuk diketahui
apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek
dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum
tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.1,7
c. Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang
mengharuskan uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat
untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit,
11
masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien
di atas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks. Praktek-
praktek semacam ini harus dikaji ulang mengingat biaya yang harus
dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji semacam ini.
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium, selanjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik
anestesi yang akan digunakan. Misalnya pada diabetes mellitus, induksi
tidak menggunakan ketamin yang dapat menimbulkan hiperglikemia.
Pada penyakit paru kronik, mungkin operasi lebih baik dilakukan
dengan teknik analgesia regional daripada anestesi umum mengingat
kemungkinan komplikasi paru pasca bedah. Dengan perencanaan
anestesi yang tepat, kemungkinan terjadinya komplikasi sewaktu
pembedahan dan pasca bedah dapat dihindari. 1,7
e. Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi
isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan
risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anesthesia. Untuk
meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk
operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral
(puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia. Pada pasien
dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4
jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi
anesthesia. Minuman bening, air putih, the manis sampai 3 jam dan
untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1
jam sebelum induksi anesthesia.7
12
f. Klasifikasi status fisik
Skor ASA
ASA (American Society of Anaesthesiologist) adalah klasifikasi
yang lazim digunakan untuk menilai status fisik pasien pra-anestesi.
Klasifikasi ini berasal dari The American Society of Anesthesiologist
yang terdiri dari:6
Skor Mallampati
Skor Mallampati adalah suatu perkiraan kasar dari ukuran
relatif lidah terhadap rongga mulut yang digunakan untuk
memperkirakan tingkat kesulitan intubasi. Skor Mallampati
ditentukan dengan melihat anatomi dari rongga mulut, khususnya
berdasarkan visibilitas dari dasar uvula, arkus tonsilaris anterior dan
13
posterior, dan palatum mole. Semakin tinggi skor mallampati,
semakin tinggi pula tingkat kesulitan untuk dilakukan intubasi.1
Kelas 1 tonsil, palatum mole, dan uvula terlihat jelas seluruhnya
14
g. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi
anesthesia dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan
bangun dari anesthesia diantaranya : 8
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Memperlancar induksi anesthesia
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestetik
Mengurangi mual muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi refleks yang membahayakan
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada
situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat
membangun kepercayaan dan menenteramkan pasien. Obat pereda
kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam
sebelum induksi anestesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya, dapat
diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular.
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan
pneumonitis asam. Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat
diberikan antagonis reseptor H2 histamin misalnya oral simetidin 600
mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi.
Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan
premedikasi suntikan intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg
atau ondansentron 2-4 mg (zofran, narfoz).
15
Fungsi mesin anestesi (mesin gas) ialah menyalurkan gas atau campuran
gas anestetik yang aman ke rangkaian sirkuit anestetik yang kemudian
dihisap oleh pasien dan membuang sisa campuran gas dari pasien.
Rangkaian mesin anestesi sangat banyak ragamnya, mulai dari yang sangat
sederhana sampai yang diatur oleh komputer. Mesin yang aman dan ideal
ialah mesin yang memenuhi persyaratan berikut:6
1. Dapat menyalurkan gas anestetik dengan dosis tepat
2. Ruang rugi (dead space) minimal
3. Mengeluarkan CO2 dengan efisien
4. Bertekanan rendah
5. Kelembaban terjaga dengan baik
6. Penggunaannya sangat mudah dan aman
Komponen dasar mesin anestetik terdiri dari:
1. Sumber O2, N2O, dan udara tekan.
Dapat tersedia secara individual menjadi satu kesatuan mesin
anestetik atau dari sentral melalui pipa-pipa. Rumah sakit besar
biasanya menyediakan O2, N2O, dan udara tekan secara sentral
untuk disalurkan ke kamar bedah sentral, kamar bedah rawat jalan,
ruang obstetrik, dll.
2. Alat pantau tekanan gas (pressure gauge)
Berfungsi untuk mengetahui tekanan gas pasok. Kalau tekanan gas
O2 berkurang, maka akan ada bunyi tanda bahaya (alarm)
3. Katup penurun tekanan gas (pressure reducing valve)
Berfungsi untuk menurunkan tekanan gas pasok yang masih tinggi,
sesuai karakteristik mesin anestesi.
4. Meter aliran gas (flowmeter), untuk mengatur aliran gas setiap
menitnya.
5. Satu atau lebih penguap cairan anestetik (vaporizers), dapat tersedia
satu, dua, tiga, sampai empat.
6. Lubang keluar campuran gas (common gas outlet)
7. Kendali O2 darurat (oxygen flush control)
Berfungsi untuk keadaan darurat yang dapat mengalirkan O2 murni
sampai 35-37 liter/menit tanpa melalui meter aliran gas.
16
Tabung gas beserta alat tambahannya dan penguap diberi warna
khusus untuk menghindari kecelakaan yang mungkin timbul. Kode
warna internasional yang telah disepakati ialah:
T
Oksigen N2O Udara CO2 Halotan Enfluran Isofluran Desfluran Sevofluran
a
Putih Biru Putih- Abu- Merah Jingga Ungu Biru kuning
b hitam abu
e kuning
l
3. Kode warna inhalasi
Sirkuit anestesi
Sirkuit anestesi atau sistem penghantar gas atau sistem anestesi ialah
alat yang bukan saja menghantarkan gas atau uap anestetik dan oksigen dari
mesin ke jalan napas atas pasien, tetapi juga harus sanggup membuang CO2
dengan mendorongnya dengan aliran gas segar atau dengan menghisapnya
dengan kapur soda.
Sirkuit anestesi umumnya terdiri dari:
1. Sungkup muka, sungkup laring, atau pipa trakea
2. Katup ekspirasi dengan per atau pegas (expiratory loaded spring
valve, pop-off valve, APL, adjustable pressure limiting valve)
3. Pipa ombak, pipa cadang (corrugated tube, reservoir tube)
4. Bahan karet hitam (karbon) atau plastik transparent anti statik, anti
tertekuk
5. Kantong cadang (reservoir bag)
6. Tempat masuk campuran gas anestetik dan O2 (fresh gas inlet).
Untuk mencegah terjadinya barotraumas akibat naiknya tekanan gas
yang mendadak tinggi, katup membatasi tekanan sampai 50 cm H2O.
Sirkuit anestesi yang popular sampai saat ini ialah sirkuit lingkar
(circle system), sirkuit Magill, sirkuit Bain, dan system pipa T atau pipa Y
dari Ayre.
Sungkup muka
Pemakaian sungkup muka berguna untuk menyalurkan oksigen atau
gas anestesi ke pasien. Terdapat beberapa jenis sungkup. Dengan sungkup
17
trasparan berguna untuk obervasi kelembapan udara yang diekshalasi dan
mengetahui jika pasien muntah. Sungkup karet hitam dapat digunakan
untuk mengadaptasi struktur muka yang tidak biasa.
Ventilasi efektif memerlukan baik sungkup yang kedap udara dan
jalan nafas yang baik. Teknik sungkup muka yang salah dapat berakibat
deflasi yang berkelanjutan pada reservoir bag saat katup tekanan ditutup,
biasanya mengindikasikan adanya kebocoran di sekitar sungkup.
Sebaliknya pembentukan tekanan pernapasan yang tinggi dengan gerakan
dada minimal dan suara pernafasan menandakan obstruksi jalan nafas.
Sungkup dipegang melawan muka dengan tekanan ke bawah pada
badan sungkup dilakukan dengan jempol kiri dan jari telunjuk. Jari tengah
dan manis memegang mandibula untuk membantu ekstensi sendi
atlantooksipital. Jari kelingking diletakkan di bawah sudut rahang dan
digunakan untuk menahan dagu ke depan, maneuver paling penting untuk
ventilasi pasien.
Gambar 2. Face mask atau sungkup wajah (kiri) dan Jackson-Rees Sirkuit
18
Endotracheal tube (ETT)
ETT dapat digunakan untuk memberikan gas anestesi secara langsung
ke trakea dan memberikan ventilasi dan oksigenasi terkontrol. Bentuk dan
kekerasan ETT dapat diubah dengan stilet. Resistensi terhadap aliran udara
tergantung pada diameter tabung, tetapi juga dipengaruhi oleh panjang
tabung dan kurvatura.
Ukuran ETT yang digunakan pada wanita dewasa diameter internal 7-
7.5 mm dengan panjang 24 cm. pada pria dewasa diameter internal 7.5-9
mm dengan panjang 24cm.
19
Pemakaian LMA memerlukan anestesi lebih kuat dibandingkan dengan
insersi jalan nafas oral. Kontraindikasi LMA pada pasien dengan patologi
faring seperti abses, obstruksi faring, perut penuh seperti hamil atau
komplians paru rensah seperti penyakit jalan nafas restriktif.
20
Memasukkan NTT dibantu dengan pemberian lubrikan/lidokain gel, pipa
secara berangsur-angsur dimasukkan hingga ujungnya terlihat di orofaring
melalui laringoskop. Jika terdapat kesulitan dalam memasukkan ujung pipa
menuju pita suara dapat dibantu dengan menggunakan forcep Magil yang
dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusak balon. Memasukkan pipa
nasal berbahaya pada pasien dengan trauma wajah yang berat disebabkan
adanya resiko masuk ke intracranial.
21
dapat diatasi dengan lebih cepat dan lebih baik. Untuk persiapan induksi
anestesi, sebaiknya diingat kata STATICS:6
22
2. Anestetik intravena
Beberapa obat anestetik diberikan secara intravena baik tersendiri
maupun dalam bentuk kombinasi dengan anestetik lainnya untuk
mempercepat tercapainya stadium anestesi atau pun sebagai obat penenang
pada penderita gawat darurat yang mendapat pernafasan untuk waktu yang
lama, Yang termasuk :
Barbiturat (tiopental, metoheksital)
Benzodiazepine (midazolam, diazepam)
Opioid analgesik dan neuroleptik
Obat-obat lain (profopol, etomidat)
Ketamin, arilsikloheksilamin yang sering disebut disosiatif anestetik.
23
tidak dianjurkan pada pasien dengan tekanan darah tinggi (tekanan darah >
160 mmHg). Ketamin menyebabkan pasien tidak sadar, tetapi dengan mata
terbuka.
24
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau
midazolam. Tanda-tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu
mata. Jika bulu mata disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak mata.
25
dapat juga berpengaruh pada tanda-tanda anestesi. Atropin, digunakan
untuk mengurangi skresi, sekaligus mendilatasi pupil; obat-obatnya seperti
tubokurarin suksinilkolin yang dapat mempengaruhi tonus otot; serta obat
analgetik narkotik yang dapat menyebabkan efek depresan pada
pernafasan.tanda yang paling dapat diandalkan untuk mencapai stadium
operasi adalah hilangnya refleks kelopak mata dan adanya pernapasan yang
dalam dan teratur.
26
dalam trakea dan tidak masuk terlalu dalam yaitu di salah satu bronkus
atau di eosofagus. Pipa endotrakea di fiksasi, lalu pasang guedel di mulut
supaya pipa endotrakea tidak tergigit. Lalu mata ditutup dengan plester
supaya tidak terbuka dan kornea tidak menjadi kering. Lalu pipa
endotrakea dihubungkan dengan konektor pada sirkuit nafas alat anestesi.
3. Teknik anestesi dengan pipa endotrakea dan nafas kendali
Teknik induksi anestesi dan intubasi sama seperti diatas.
Nafas dikendalikan secara manual atau dengan respirator. Bila
menggunakan respirator setiap inspirasi (volume tidal) diusahakan + 10
ml/kgBB dengan frekuensi 10/14 per menit. Apabila nafas dikendalikan
secara manual, harus diperhatikan pergerakan dada kanan dan kiri yang
simetris. Menjelang akhir operasi setelah menjahit lapisan otot selesai
diusahakan nafas spontan dengan membantu usaha nafas sendiri secara
manual. Halotan dapat dihentikan sesudah lapisan fasi kulit terjahit. N2O
dihentikan kalau lapisan kulit mulai dijahit.
Ekstubasi dapat dilakukan setelah nafas spontan normal kembali
dengan volume tidal 300 ml. O2 diberi terus 5-6 L selama 2-3 menit untuk
mencegah hipoksia difusi.
4. Ekstubasi
Mengangkat keluar pipa endotrakea (ekstubasi) harus mulus dan tidak
disertai batuk dan kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas,
hipoksia sianosis.4,6
27
pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama
dengan anestesi total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot, dan
ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara +
O2 atau N2O + O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1
ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol%, atau isofluran 2-4
vol%, atau sevofluran 2-4 vol% bergantung apakah pasien bernapas
spontan, dibantu (assisted), atau dikendalikan (controlled). 4,6
Skor Aldrete
Skor aldrete adalah suatu kriteria untuk menilai keadaan pasien selama
observasi di ruang pemulihan (recovery room) yang digunakan untuk
menentukan boleh tidaknya pasien dikeluarkan dari ruang pemulihan.
Kriteria yang digunakan dan umumnya yang dinilai pada saat observasi di
ruang pulih adalah warna kulit atau saturasi O2, kesadaran, sirkulasi,
pernafasan, dan aktivitas motorik. Idealnya, pasien baru boleh dikeluarkan
bila jumlah skor total adalah 10 (skor maksimal). Namun, bila skor total
telah di atas 8 , pasien boleh keluar dari ruang pemulihan. 4,6
Kriteria Skor
Kesadaran
Sadar penuh 2
Terangsang oleh stimulus verbal 1
Tidak terangsang oleh stimulus verbal 0
Respirasi
Dapat bernapas dalam dan batuk 2
28
Dispnea atau hanya dapat bernapas dangkal 1
Tidak dapat bernapas tanpa bantuan (apnea) 0
Tekanan Darah
Berbeda 20% dari tekanan darah sebelum operasi 2
Berbeda 20 50% dari tekanan darah sebelum operasi 1
Berbeda > 50% dari tekanan darah sebelum operasi 0
Oksigenasi
SpO2 > 92% pada udara ruangan 2
Memerlukan O2 tambahan untuk mencapai SpO2 > 90% 1
SpO2 < 90% meskipun telah mendapat O2 tambahan 0
Tabel 5. Aldretes Score
29
BAB III
STATUS PASIEN
3.2 ANAMNESIS
Keluhan utama
Pasien mengeluhkan nyeri tenggorokan dan nyeri menelan sejak 2 bulan SMRS.
30
P (Past Illness) : riwayat asma (-), DM (-), HT (-), penyakit jantung dan paru
(-), riwayat operasi (-)
L (Last Meal) : puasa sejak 8 jam yang lalu.
E (Events Leading): -
Riwayat alergi
Tidak ada
Status General
Kepala : Mata : konjungtifa anemis -/-, sklera ikterik -/-
Airway : Jalan nafas bersih, Mallampati II, T3-T3
Thoraks : Jantung : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : vesikuler +/+ n, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : datar, lemas, nyeri tekan (-) BU (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat : Ekstremitas atas +/+
Ekstremitas bawah +/+
Edema : Ekstremitas atas -/-
Ekstremitas bawah kanan -/-
31
3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Pemeriksaan Laboratorium (Tanggal 11 April 2017)
6 CT 9 10-15 menit
7 BT 3 1-6 menit
3.5 DIAGNOSIS
Tonsilitis kronis dengan ASA II
3.6 PENATALAKSANAAN
IVFD RL gtt 20 x/menit
Paracetamol syr 3 x 1 c
OBP syr 3 x 1 c
Ceftriaxone 1 x 100 mg
Dexamethason 1 x 1 amp
Pro tonsilektomi
32
o Persiapan : pasien berbaring dalam posisi supine, terpasang infus
dengan iv cateter no. 18 G di tangan kiri dengan cairan maintenance
RL. Terpasang monitor standar. Dipasang O2 via nasal kanul.
o Premedikasi : injeksi ondansetron 4 mg IV
o Prosedur general anastesi :
Pasien posisi supine, dilakukan induksi dengan profopol 100 mg,
segera kepala di ekstensikan face mask di dekatkan pada hidung
dengan O2 6L/menit. Setelah reflek bulu mata menghilang.
Atracurium Besylate 10 mg di masukan IV dan Injeksi fentanyl 50
mg. Sesudah tenang dilakukan intubasi dengan nasal endotrakheal
tube no. 5. Balon dikembangkan. Setelah terpasang baik dihubungkan
dengan mesin anastesi untuk mengalirkan N2O: O : sevo = 4L : 6L
permenit. Kemudian operasi dimulai dan tanda vital dimonitoring tiap
15 menit. Infus RL 500 cc. Injeksi ketorolac 30 mg dan injeksi
tranexamat 250 mg.
5. Tekanan Darah :
o Pasien masuk dengan tekanan darah 120/82mmHg (10.35)
o Setelah induksi, tekanan darah berkisar 110/70 mmHg (10.45) hingga
operasi selesai (12.15)
6. DenyutJantung : 90 kali/menit
7. RR : 16 kali/menit.
Post Operatif
Pasien masuk ruang pemulihan, dirawat dalam posisi supine. Oksigen 2
liter/menit, awasi respirasi, nadi dan tensi tiap 15 menit. Bila tensi turun di
bawah 90/60, berikan kristaloid atau efedrin 10 mg. Bila muntah, berikan
ondansentron 4 mg. Bila kesakitan, berikan ketorolac 15 mg. Setelah sadar
bila ALDRETTE skor 8 dipindahkan keruang perawatan
Tatalaksana Farmakologi :
Ceftriaxone 2 x 100 mg iv
OBP syr 3 x 1
Paracetamol syr 3 x 1
Observasi tanda- tanda vital dalam batas normal
o Kesadaran: compos mentis
33
o TD : 120/80 mmHg
o Nadi : 92x/min
o SpO2 : 100 %
o RR : 16 x/menit
34
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien An. J, 5 tahun dengan diagnosa tonsilitis kronis dengan ASA II.
Diagnosa ini sudah tepat dimana pada Anamnesis adanya nyeri tenggorok dan
sulit menelan sejak 2 bulan, pada pemeriksaan fisik ditemukan T3/T3 dan pada
pemeriksaan penunjang didapatkan peningkatan leukosit. Diagnosa ASA
ditegakkan berdasarkan Klasifikasi status fisik menurut ASA sebagaiberikut :
ASA 1 :Pasien tidak memiliki kelainan organic maupun sistemik selain penyakit
yang akan dioperasi.
ASA 2 : Pasien yang memiliki kelainan sistemik ringan sampai dengan sedang.
Misalnya diabetes mellitus yang terkontrolatauhipertensiringan
ASA 3 :Pasien memiliki kelainan sistemik berat selain penyakit yang akan
dioperasi, tetapi belum mengancam jiwa. Misalnya diabetes mellitus yang tak
terkontrol, asma bronkial, hipertensi tak terkontrol
ASA 4 : Pasien memiliki kelainan sistemik berat yang mengancam jiwa selain
penyakit yang akan dioperasi. Misalnya asma bronkial yang berat, koma
diabetikum
ASA 5 :Pasien dalam kondisi yang sangat jelek dimana tindakan anestesi
mungkin saja dapat menyelamatkan tapi risiko kematian tetap jauh lebih besar.
Misalnya operasi pada pasien koma berat
ASA 6 :Pasien yang telah dinyatakan telah mati otaknya yang mana organnya
akan diangkat untuk kemudian diberikan sebagai organ donor bagi yang
membutuhkan.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan yang telah dilakukan pasien tidak
menderita penyakit sistemik apapun riwayat asma, diabetes melitus dan hipertensi
disangkal sehingga dapat disimpulkan pasien diklasifikasikan dalam ASA II.
Pra-operatif
a. Anamnesis
Keadaan pasien sebelum operasi baik, kooperatif. Riwayat hipertensi,
asma disangkal, alergi disangkal.
b. Pemeriksaan Fisik
35
Airway (A): clear, mallampati II
Breathing (B): spontan, RR 20x/menit, Ronchi (-), Wheezing (-)
Circulation (C): Nadi 92x/menit
Disability (D): GCS 15, Temp: 36,60C, ASA II
c. Pemeriksaan penunjang
Hb : 14,5 gr%
CT : 9
BT : 3
Pemantauan intra-operatif
Pasien memasuki ruang operasi, diposisikan supine, dilakukan
pemasangan monitoring tekanan darah, nadi dan saturasi oksigen. Diberikan obat
premedikasi berupa ondansetrone 4 mg IV. Tindakan premedikasi sendiri,
yaitu pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesia bertujuan untuk
melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia diantaranya untuk
meredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi anestesia,
mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah obat
anestetik, mengurangi mual-muntah pasca bedah,menciptakan amnesia,
mengurangi isi cairan lambung, mengurangi refleks yang membahayakan.
Ondansetron merupakan antagonis reseptor serotonin 5-HT3 selektif yang dapat
menekan mual dan muntah. Mekanisme kerja obat ini diduga dengan
mengantagonisasi reseptor 5-HT yang terdapat pada chemoreceptor trigger zone
di area postrema otak yang merupakan pusat muntah dan pada aferen vagal
saluran cerna. Ondansetron diberikan pada pasien untuk mencegah mual muntah
yang bisa menyebabkan aspirasi dan rasa tidak nyaman pasca pembedahan.
Keluhan pasien jika disertai nyeri karena penyakitnya dapat diberikan
preparat opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular, fentanyl 50 microgram,
ataupun morfin. Sedangkan untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering
ditambahkan premedikasi berupa ondansentron 2 -4 mg iv.
Berdasarkan status fisik pasien tersebut, jenis anestesi yang paling baik
digunakan dalam tonsilektomi adalah general anestesi. Teknik anestesi umum
yang dipilih adalah teknik balance anesthesia, nafas kendali
36
dengan nasootracheal tube nomor 5. Teknik ini dimulai dengan pemberian obat
pelumpuh otot non depolar, setelah itu dilakukan pemasangan nasotrakeal tube.
Pada pasien ini diberikan obat pelumpuh otot atracurium besylate 10 mg
iv, yang merupakan nondepolaritation intermediete acting. Sedangkan
atracurium sebagai obat pelumpuh otot non depolarisasi dipilih sebagai agen
penginduksi karena mempunyai beberapa keunggulan antara lain metabolisme
terjadi di dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia unik yang
disebut eliminasi Hofman. Reaksi ini tidak tergantung pada fungsi hati atau
ginjal. Selain itu tidak mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang dan
tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskular. Dosis intubasi dan
relaksasi otot adalah 0,5-0,6 mg/kgBB (iv), dan dosis pemeliharaan yaitu 0,1-0,2
mg/kgBB (iv). Obat pelumpuh otot kalau perlu diulangi lagi dengan 1/3 dosis
awal, yaitu apabila pasien tampak ada usaha bernafas spontan, cegukan, ada
tahanan pada inflasi paru, atau otot perut mulai tegang. Menjelang akhir operasi
saat mulai menjahit lapisan kulit diusahakan nafas spontan dengan membantu
usaha nafas sendiri secara manual.
Ektubasi dapat segera diberikan setelah spontan normal kembali dengan
volume tidal 300 ml. O2 diberikan terus ( 5-6 L ) selama 2-3 menit untuk
mencegah hipoksia difusi. Apabila nafas tetap lemah setelah ditunggu beberapa
menit dapat diberi obat anti pelumpuh otot non depolarisasi sebelum diekstubasi
yaitu neostigmin (prostigmin) dosis 0,04 mg/kg, piridostigmin 0,1-0,4 mg/kg,
atau fisostigmin 0,01-0,03 mg/kg. Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik
menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardi, kejang bronkus,
hipermotilitas usus, dan pandangan kabur, sehingga pemberiannya harus disertai
oleh obat vagolitik seperti atropin dosis 0,01-0,02 mg/kg.
Induksi anestesi merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi. Obat-obatan
yang sering digunakan untuk induksi antar lain tiopental, propofol dan ketamin.
Pada pasien ini diberikan propofol 100 mg iv.
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat, yang didistribusikan
dan dieliminasikan dengan cepat. Propofol diberikan dengan dosis bolus untuk
induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena total 4-12
mg/Kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/Kg. Efek samping
propofol pada sistem pernafasan adanya depresi pernapasan, apneu,
37
bronkospasme, dan laringospasme. Pada susunan saraf pusat adanya sakit kepala,
pusing, euforia, kebingungan, gerakan klonik-mioklonik, epistotonus, mual,
muntah. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri.
Selain itu, pada pasien juga diberikan fentanyl 100 g (dosis 1-
2g/kgbb). Fentanyl merupakan zat narkotik sintetik dan memiliki potensi 1000x
lebih kuat dibandingkan petidin dan 50-100x lebih kuat dari morfin. Mulai
kerjanya cepat dan masa kerjanya pendek. Obat ini dimetabolisme dalam hati
menjadi norfentanil dan hidroksipropionil fentanyl dan hidroksipropionil
norfentanil, yang selanjutnya dibuang melalui empedu dan urin. Efek depresi
napasnya lebih lama dibanding dengan efek analgesiknya. Efek analgesik kira-
kira hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya digunakan untuk anestesi
pembedahan tidak untuk pasca bedah.
Selesai dilakukan induksi, sampai pasien tertidur dan reflek bulu mata
hilang. Sungkup ditempatkan pada muka. Sebaiknya dagu ditahan atau sedikit
ditarik ke belakang ( posisi kepala ekstensi) agar jalan nafas bebas dan pernafasan
lancar. Pengikat sungkup muka ditempatkan dibawah kepala. Jika pernafasan
masih tidak lancar dicoba mendorong kedua pangkal rahang ke depan dengan jari
manis dan tengah tangan kiri. Kalau perlu dengan kedua tangan kita yaitu dengan
kedua ibu dan telunjuk jari yang memegang sungkup muka dan dengan jari-jari
yang lain menarik rahang ke atas. Tangan kanan kita bila brbas dapat memegang
balon pernafasan dari alat anestesi untuk membuat pernafasan ( menekan balon
sedikit bila pasien melakukan ispirasi). N2O mulai diberikan 4L dengan O2 2 L
/menit untuk memperdalamkan anestesi, bersamaan dengan ini sevo dibuka
sampai 1% dan sedikit demi sedikit ( sesudah setiap 5-10 kali tarik nafas)
dinaikkan dengan 1% sampai 3 atau 4 % tergantung reaksi dan besar tubuh
penderita. Kedalaman anestesi dinilai dari tanda-tanda mata ( bola mata
menetap), nadi tidak cepat dan terhadap rangsang operasi tidak banyak
berubah. Jika stadium anestesi sudah cukup dalam, rahang sudah lemas,
masukkan pipa orofaring. Isoflurane kemudian dikurangi dan dihentikan
beberapa menit sebelum operasi selesai. Selesai operasi N2O dihentikan dan
pasien diberi O2 100% beberapa menit mencegah hipoksia.
Pada pasien ini diberikan maintenance O2 + N2O + sevofluran . Oksigen
diberikan untuk mencukupi oksigen jaringan. Pemberian anestesi dengan N2O
harus disertai O2 minimal 25%, gas ini bersifat sebagai anestetik lemah
38
tetapi analgetiknya kuat. Sevoflurane merupakan halogenasi eter. Induksi dan
pulih anestesi lebih cepat dibandingkan isoflurane. Efek terhadap kardiovaskular
cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia. Setelah pemberian dihentikan,
isoflurane cepat dikeluarkan oleh tubuh.
Pasien ini diberikan analgetik ketorolac 30 mg dan antiemetik
ondansetron 4 mg. Pemberian ketorolac pada pasien ini bertujuan untuk
mengurangi nyeri pasca pembedahan. Ketorolac 30 mg diberikan sebagai
analgetik non opioid digunakan sebagai tambahan penggunaan opioid dosis
rendah untuk menghindari efek samping opioid yang berupa depresi pernapasan.
Sifat analgentik ketorolac setara dengan opioid (30mg ketorolac = 100 mg petidin
= 12 mg morfin), sedangkan sifat antipiretik dan anti infamasinya rendah. Cara
kerja ketorolac adalah menghambat sintesis prostaglandin di perifer tanpa
mengganggu reseptor opioid di sistem saraf pusat.
Pemantauan postoperatif
Setelah operasi selesai pasien dibawa ke Recovery Room (RR). Di ruang
inilah pemulihan dari anestesi umum atau anestesi regional dilakukan. RR
terletak berdekatan dengan ruang operasi sehingga apabila terjadi suatu kondisi
yang memerlukan pembedahan ulang tidak akan mengalami kesulitan. Pada saat
di RR, dilakukan monitoring seperti di ruang operasi, yaitu meliputi tekanan
darah, saturasi oksigen, EKG, denyut nadi hingga kondisi stabil. Bila pasien
gelisah harus diteliti apakah karena kesakitan atau karena hipoksia (TD turun,
nadi cepat , misalnya karena hipovolemik). Bila kesakitan harus diberikan
analgetik seperti petidin 15-25 mg IV, tetapi kalau gelisah karena hipoksia harus
diobati sebabnya, misalnya dengan menambah cairan elektrolit ( RL ), koloid (
dextran), darah. Oksigen selalu diberikan sebelum pasien sadar penuh. Pasien
hendaknya jangan dikirim ke ruangan sebelem sadar, tenang, reflek jalan nafas
sudah aktif, tekanan darah, nadi dalam batas normal. Pasien dapat keluar dari RR
apabila sudah mencapai skor Lockherte/Aldrete lebih dari tujuh. Sedangkan pada
pasien diatas, didapatkan skornya 10 sehingga pasien dapat dipindahkan ke
tempat perawatan selanjutnya.
39
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Anestesi umum (General anesthesia) disebut juga Narkose Umum (NU) adalah
tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat
reversible berdasarkan trias anesthesia yang ingin diperoleh yaitu hipnotik,
analgesia, dan relaksasi otot.
Prosedur anastesi umum dan monitoring pasien tidak hanya dilakukan pada saat
operasi tetapi juga mencakap persiapan pra anastesia (kunjungan dan premedikasi)
dan pasca anastesia.
Pemilihan teknik intubasi pada anastesi umum didarkan pada jenis operasi yang
akan dilakukan, usia, jenis kelamin, status fisik pasien, keterampilan pelaksana
anastesi, ketersediaan alat, serta permintaan pasien.
5.2 Saran
Untuk mencapai hasil yang maksimal dari anastesi, permasalahan pasien dapat
diantisipasi dengan melakukan penilaian atau kunjungan preanastesia agar dapat
dilakukan penentuan terhadap tindakan anastesi yang akan dilakukan, serta jenis
obat yang akan diberikan, selain itu juga dapat menekan timbulnya komplikasi
anastesi baik intra operatif ataupun pasca operatif.
Optimalisasi penilaian dan persiapan pra anastesia dapat mengurangi angka
kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi, dan meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan khususnya terhadap pasien yang akan dioperasi.
40
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi
Kedua. Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI: Jakarta.
2. Baugh RF et al. Clinical Practice Guideline: Tonsillectomy in Children.
Otolaryngology Head and Neck Surgery 2011; 144 (15):1-30.
3. Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif,
FKUI. CV Infomedia: Jakarta.
4. Burton MJ, Towler B, Glasziou P. Tonsillectomy versus non-surgical treatment for
chronic/recurrent acute tonsillitis (Cochrane Review). In: The Cochrane Library, Issue
3, 2004. Chichester, UK: John Wiley & Sons, Ltd.
5. Larizgoita I. Tonsillectomy: scientific evidence, clinical practice and uncertainties.
Barcelona: CAHTA 1999.
6. Pasternak LR, Arens JF, Caplan RA, Connis RT, Fleisher LA, Flowerdew R, et al.
Practice advisory for preanesthetic evaluation. A report by the American Society of
Anesthesiologists Task Force on Preanesthesia Evaluation 2003.
7. Mangku, Gde dan Tjokorda Gde Agung S. 2010. Buku Ajar Ilmu Anastesi dan
Reanimasi. Indeks : Jakarta.
41