Anda di halaman 1dari 39

PROPOSAL TESIS

Nama : Supriadi
Nim : 140101013
Jurusan : Hukum Keluarga Islam Melayu Nusantara
Judul Proposal : Kepastian Hukum Kepemilikan Tanah Mahar menurut
Hukum Islam (Studi Analisis Menurut Perundang-undangan)

A. Latar belakang
Perkawinan1 adalah suatu perjanjian yang suci, kuat, kokoh untuk hidup

bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk

membentuk rumah tangga yang kekal, santun menyantuni dan kasih mengasihi.2

Perkawinan adalah suatu peristiwa yang fitrah, tarbiyah, dan sarana paling agung

dalam memelihara keturunan dan memperkuat hubungan antarsesama manusia

yang menjadi sebab terjaminnya ketenangan, cinta dan kasih sayang. Karena itu,

syariat Islam sangat memperhatikan segala permasalahan di dalamnya, yang

disebut al-ah}wa>l al-syakhs}iyyah (Hukum yang berkaitan dengan perkawinan,

talak, mahar, keturunan dan lain-lain). Demikian pula Perkawinan merupakan

bentuk ikatan kekeluargaan yang bertujuan memelihara kehormatan dan

menjaganya dari segala keharaman, sehingga tercipta ketenangan secara lahir dan

1
Pada dasarnya kata kawin merupakan terjemahan dari bahasa Arab nikah yang berarti
ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.
Alquran menggunakan kata ini untuk makna bahasa. Pada mulanya kata nikah yang bersal dari
bahasa Arab nikahun dan merupakan Masdar dari kata = nakaha, digunakan dalam arti bergabung
Muhammad al-Sharbini al-Khatib, Mughni Juz III (Mesir; Mustafa al-Babby al-Halabi wa
Awladuh,1995), h.123. Terkadang juga digunakan arti = al-wata (hubungan seksual)
atau = Aqad (perjanjian). Akan tetapi kebanyakan pemakaiannya untuk aqad1. Namun
secara leksikal, perkawinan identik dengan = nikah dan = Zauwj. Abu al-Husain Ahmad bin
Faris bin Zakariyah,Mujam Maqayis al-Lugah,Juz III (Cet.II;Mesir : Maktab al-Babiy al-Halabi wa
Awaladuh,1971), h.145
2
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia (Jakarta: UI Press, 1986), h.47

1
2

batin, karena dengannya bisa diperoleh kelembutan, kasih sayang serta kecintaan

diantara suami dan istri.

Adanya perkawinan, maka rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina

sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat. Dalam rumah tangga

berkumpul dua insan yang berlainan jenis (suami dan istri), mereka saling

berhubungan biologis agar mendapat keturunan. Insan-insan yang ada dalam

rumah tangga itulah yang disebut keluarga. Keluarga merupakan suatu unit
terkecil dari suatu bangsa, keluarga yang dicita-citakan dalam perkawinan

yang sah adalah keluarga sejahtera dan bahagia yang selalu mendapat ridha dari

Allah Swt.

Bagi masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk dalam adat istiadat,

kesukuan dan agama, masing-masing mempunyai pandangan hidup yang berbeda

antara yang satu dengan yang lainnya, khususnya dalam hal perkawinan dan

kehidupan keluarga. Perkawinan mempunyai pengaruh yang sangat luas baik

dalam hubungan kekeluargaan pada khususnya maupun dalam kehidupan

bermasyarakat dan bernegara pada umumnya. Karena itu dalam hal ini perlu
adanya peraturan hukum yang mengatur mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
perkawinan.

Pemerintah membentuk suatu Undang-undang Perkawinan Nasional yaitu

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 (Lembaran Negara Nomor 1 Tahun 1974)

dan penjelasannya terdapat dalam tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 3019 yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974. Kemudian untuk

kelancaran pelaksanaan undang-undang tersebut, pemerintah mengeluarkan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang


3

Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 (Lembaran Negara Nomor 12

Tahun 1975) pada tanggal 1 April 1975. Dengan keluarnya Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975 mulailah Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dilaksanakan

di seluruh Indonesia.

Pada Pasal (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

menyebutkan defenisi perkawinan sebagai berikut Perkawinan ialah ikatan lahir

bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa3.

Dengan demikian perkawinan merupakan akad yang agung dan penting

mempunyai pengaruh yang lebih agung, diantaranya hak istri kepada suami,

berupa mahar. Mahar termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan

memuliakan kaum wanita.

Para ulama fikih sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh suami kepada

istrinya baik secara kontan maupun secara tempo, pembayaran mahar harus sesuai

dengan perjanjian yang terdapat dalam akad perkawinan.

Di samping mahar sebagai kewajiban suami dengan hak istri, sebenarnya


hukum Islam juga memberi hak kepada masing-masing suami istri untuk memiliki

harta benda secara perseorangan, yang tidak dapat diganggu oleh pihak lain.

Suami yang menerima pemberian, warisan, dan sebagainya tanpa ikut sertanya

istri, berhak menguasai sepenuhnya harta yang diterimanya itu. Demikian pula

halnya istri yang menerima pemberian, warisan, mahar tanpa ikut sertanya suami,

3
Soesilo dan Pramudji R, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dilengkapi dengan
Uundang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam,
Uundang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (Cet.I; t.t:
Redbook Publisher, 2008), h. 461
4

berhak menguasai sepenuhnya harta benda yang diterimanya itu. Harta bawaan

yang telah mereka miliki sebelum terjadi perkawinan juga menjadi hak masing-

masing.4

Seiring dengan perkembangan hukum, perceraian terjadi tidak hanya karena

kemauan suami (cerai talak), tetapi banyak juga terjadi karena permintaan isteri

(cerai gugat). Banyak alasan yang dikemukakan isteri untuk menggugat cerai

kepada suaminya misalnya, adanya kekerasan dalam rumah tangga, ataupun


seringnya terjadi pertengkaran yang pada akhirnya melayangkan gugatan cerai ke

pengadilan. Hal ini membuktikan bahwa setiap pasangan tidak selamanya dapat

menyelesaikan konflik-konflik yang mereka alami, sehingga menempuh upaya

hukum yang ada untuk menyelesaikannya.

Apabila perceraian tersebut terjadi, sudah dapat dipastikan akan

menimbulkan akibat-akibat terhadap orang-orang yang berkaitan dalam suatu

rumah tangga. Salah satu dari pasangan suami isteri ada merasa dirugikan.

Berbagai reaksi pun akan terjadi dari pihak yang merasa dirugikan, mulai dari

perebutan hak asuh anak, penuntutan pembagian harta bersama (gono-gini),

bahkan sampai ada penuntutan pengembalian mahar oleh suami terhadap isterinya.
Menurut hukum Islam mahar yang telah diberikan kepada isteri adalah

menjadi hak milik isteri. Seorang suami tidak boleh menuntut kembali mahar yang

telah diberikan apabila isterinya tersebut telah digaulinya, namun pada

kenyataannya ada suami yang menuntut kembali pengembalian mahar tersebut

karena merasa tidak ada alasan yang kuat bagi istrinya untuk menggugat cerai.

4
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam (Yokyakarta: UII Pres, 2000), h. 65.
5

Mahar yang diberikan oleh suami kepada istri dalam bentuk apapun semata-

mata menjadi miliknya istri, kecuali istri bersedia memberikan sebahagian atau

seluruhnya dari mahar tersebut kepada suaminya maka pemberian tersebut hanya

merupakan sekedar kebaikan hati istri kepada suaminya.

Apabila ditinjau dari segi besarnya mahar yang harus dibayar oleh suami,

maka terdapat dua pembagian mahar, yaitu mahar musamma dan mahar mis|il.5

Mahar musamma atau pemberian mahar yang ditentukan dengan tegas tentang
jumlah dan jenis sesuatu barang yang dijadikan mahar pada saat terjadinya akad

nikah, Sedangkan mahar mis|il adalah adalah mahar perempuan yang menyerupai

istri pada waktu akad, dimana perempuan itu berasal dari keluarga ayahnya, bukan

keluarga ibunya jika ibunya tidak berasal dari keluarga ayahnya, seperti saudara

perempuannya, bibinya dari pihak ayah, anak pamannya dari pihak ayah, yang satu

daerah dan satu masa dengannya. Dalam kenyataan dimasyarakat mahar dapat

berupa uang, pakaian, benda bergerak atau tidak bergerak, bahkan bisa dalam

bentuk jasa seperti halnya suami memberikan mahar dalam bentuk mengajarkan

bacaan al-Quran kepada istrinya dan lain sebagainya.

Kasus pengembalian mahar pernah terjadi di Provinsi Aceh yang diputus


oleh Mahkamah Syariyah Aceh pada tahun 2011, yaitu Putusan Nomor:

15/Pdt.G/2011/MS Aceh dan di Provinsi Sulawesi Selatan dengan Putusan

Nomor: 78 /Pdt .G/ 2 011 /PTA Mks.

Begitu pula hal itu, kasus sangketa tanah mahar pernah terjadi di Desa

Sugiale Kecamatan Barebbo Kabupaten Bone Provinsi Sulawesi Selatan. Setelah

kedua orang tua mereka meninggal dunia, tanah mahar kembali dikuasai oleh

5
M. Abdul Mujid dkk, Kamus Istilah Fikih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 185
6

saudaranya yang tertua (Sulung), dikarenakan ia menganggap bahwa tanah itu

merupakan tanah warisan, pada hal tanah itu sebelumnya dikala orang tua mereka

masih hidup pernah dijadikan mahar untuk Saudaranya (Adik kandung) dan tanah

itu berstatus sebagai tanah mahar.6

Pada dasarnya bahwa penuntutan pengembalian mahar setelah dicampuri

(baik cerai talak maupun cerai gugat) atau penguasaan tanah berstatus tanah mahar

yang seharusnya dimiliki yang berhak dikuasai oleh orang yang tidak berhak
merupakan suatu permasalahan yang ada dalam masyarakat.

Sebagai konsekuensi logis bahwa Indonesia sebagai negara yang

berdasarkan hukum maka seluruh aspek kehidupan masyarakat diatur oleh hukum

termasuk mengenai perkawinan dan perceraian. Dengan lahirnya Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun

1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah salah satu bentuk unifikasi

dan kodifikasi hukum di Indonesia tentang perkawinan beserta akibat hukumnya.

Mahar KHI, diatur secara terperinci dalam satu Bab yakni Bab V yang terdiri

9 (Sembilan) Pasal yakni Pasal 30 sampai Pasal 38.

Eksistensi mahar dalam hukum keluarga di Indonesia sudah jelas


keberadaannya, namun bayak fakta kasus yang pernah ada, maka dari itu untuk

menentukan status kepemilikan harta selama perkawinan penting memperoleh

kepastian hukum. Seperti halnya apabila terjadi sangketa kemudian hari harus ada

kejelasan sebelumnya, mana yang menjadi hak istri dan mana yang menjadi hak

6
Drs. Usman Ali, Salah seorang keluarga yang berperkara tanah mahar, Desa Sugiale,
Kecematan Barebbo, Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan, Wawancara di
Watampone, Pukul 13.00. Wita Tanggal 18 Februari 2016.
7

suami. Jangan sampai suami mengambil hak istri atau sebaliknya istri mengambil

hak suami.

Jika dianalis, bahwa kententuan mahar di dalam KHI terdapat kecendrungan

bersifat materi, lebih mengarah pada benda tidak bergerak dalam hal ini berupa

tanah. Hal demikian ini sejalan dalam praktik dan adat kebiasaan masyarakat

Bugis, terutama di Kabupaten Bone bahwa pemberian mahar lebih lazim berupa

tanah.
Praktik tanah mahar dimasyarakat pada kenyataannya masih rawan terjadi

sangketa, yang dikarenakan tidak efektifnya perjanjian perkawinan yang terkait

dengan tanah mahar.

Ketentuan hukum tanah di Indonesia sebenarnya ada hukum yang mengatur

yakni Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok- Pokok Dasar

Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran

Tanah. Untuk itu persoalan tanah mahar tidak lepas dari ketentuan hukum ini,

begitupun status kepemilikan dan hak milik atau peralihan hak milik, serta

pembuktian diatur juga dalam KUHPerdata.

Merujuk pada fakta kasus pengembalian mahar dan penguasaan tanah


berstatus tanah mahar yang diungkapkan sebelumnya, maka untuk memperoleh

kepastian hukum tanah mahar tentu harus didasari dengan pembuktian hak milik

dalam penyelesaian hukum ketika terjadi sangketa di kemudian hari.

B. Rumusan masalah
8

Berdasar pada latar belakang yang telah dipaparkan, sebuah permasalahan

pokok yang dijadikan objek bahasan adalah bagaimana kepastian hukum

kepemilikan tanah mahar menurut hukum Islam.

Permasalahan pokok tersebut, kemudian dirumuskan sub masalah sebagai

berikut :

1. Bagaimana status kepemilikan tanah mahar menurut Perundang-undangan ?

2. Bagaimana kepastian hukum tanah mahar menurut Perundang-undangan?


3. Bagaimana kekuatan hukum pembuktian kepemilikan tanah mahar yang

tertuang di dalam akta nikah dan penyelesaian hukum ketika terjadi sangketa

di pengadilan?

C. Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Definisi Operasional

Agar tidak terjadi kekeliruan dalam memahami aspek-aspek yang menjadi

variabel dalam tesis ini, maka penulis menguraikan beberapa pengertian kata

atau kalimat yang bertujuan meluruskan dan menegaskan pengertian dan arah

penulisan ini. Adapun pengertian kata atau kalimat yang dimaksud sebagai

berikut:
a. Status Kepemilikan adalah keistimewaan atas suatu benda yang

menghalangi pihak lain bertindak atasnya dan memungkinkan pemiliknya

untuk bertransaksi secara langsung diatasnya selama tidak ada halangan

syara. dan hak milik pribadi adalah suatu hak yang telah menjadi milik

seseorang dengan sedemikian rupa sehingga hak tersebut tidak lagi menjadi

milik orang lain. Karena itu menurut dia, bahwa sesungguhnya sejak awal
mula manusia sudah memiliki barang milik pribadi dan bukan hanya milik
9

bersama. Dengan kata lain, sejak awal manusia sudah memiliki hak milik

pribadi.7

b. Kepastian Hukum. Menurut Gustav Radbruch8 ada empat hal mendasar

yang berhubungan dengan makna kepastian hukum, yaitu: Pertama hukum

positif artinya bahwa hukum positif itu adalah Perundang-undangan. Kedua

bahwa hukum itu didasari pada fakta, artinya didasari pada kenyataan,

Ketiga fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga


menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping mudah

dilaksanakan, Keempat hukum positif tidak boleh mudah diubah.

Pendapat Gustav Radbruch tersebut didasarkan diatas pandangannya

bahwa kepastian huum adalah kepastian hukum itu sendiri. Kepastian

hukum merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari Perundang-

undangan. Berdasarkan pendapat tersebut, maka menurut Gustav

Radbruch, hukum positif yang mengatur kepentingan-kepentingan manusia

dalam masyarakat harus selalu ditaati meskipun hukum positif itu kurang

adil.9

Menurut Sudikno Mertokusumo10 kepastian hukum adalah jaminan


hukum yang harus dilakukan, yang berhak menuntut hukum dapat

7
Sony Keraf, Hukum Kodrat & Teori Hak Milik Pribadi (Yogyakarta: Kanisius.
1997) h. 62.
8
Gustav Radbruch, Lahir di Lubeck pada tanggal 18 November 1878 dan meninggal
di Heidelberg 23 November 1949 dengan usia 71 tahun Gustav Radbruch dikenal sebagai
salah seorang ahli dibidang hukum dan filsafat hukum Jerman.
9
Lihat. M.Sulaeman Jajuli, Kepastian Hukum Gadai Tanah Dalam Islam (Cet I;
Yogyakarta: Deepublish, 2015), h.52
10
Sudikno Mertokusumo adalah salah seorang pakar hukum perdata dan hukum acara
perdata yang dilahirkan di Surabaya pada tanggal 7 Desember 1924 beliau guru besar
Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada dengan gelar Profesor Doktor. RM Sudikno
10

memperoleh haknya dan putusan harus dapat dilaksanakan. Walaupun

kepastian hukum erat kaitannya dengan keadilan, namun hukum tidak

identik dengan keadilan. Hukum bersifat umum mengikat setiap orang,

bersifat memasyarakatkan, sedangkan keadilan bersifat subjektif,

individualistis dan tidak memasyaratkan.11

Kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan

bunyinya sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum


dilaksanakan. Dalam memahami nilai kepastian hukum yang harus

diperhatikan adalah bahwa nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan

instrumen hukum yang positif dan peranan negara dalam

mengaktualisasikannya dalam hukum positif.12

c. Tanah adalah Segala sesuatu berhubungan dengan masalah tanah, baik

yang berada dalam tanah maupun permukaan tanah. 13

d. Mahar, secara etimologi berarti maskawin. Sedangkan pengertian mahar

menurut istilah ilmu fikih adalah pemberian yang wajib dari calon suami

kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami, untuk menimbulkan

Mertokusumo, S.H. Buku-buku beliau banyak membahas tentang masalah hukum di


Indonesia.
11
Sudikno Mertokusumo, Kapita Selekta Ilmu Hukum (Yogyakarta: Lyberty, 2011)
h.23
12
Lihat. M.Sulaeman Jajuli, Kepastian Hukum,h.53
13
Lihat, M. Susilo, M. Marwan dan Jimmi P, Kamus Hukum: Rangkuman dan Istilah-istilah
Pengertian Dalam Hukum Internasional, Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Islam, Hukum
Perburuhan, Hukum Agraria, Hukum Administrasi Negara, Hukum Pajak, Dan Hukum Lingkungan
(Cet; t.t: Gamma Press, 2009), h. 22
11

rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya dalam kaitannya

dengan perkawinan.14

e. Hukum Islam, dapat diartikan sebagai hukum yang bersumber dan

disalurkan dari hukum syariat Islam yang terdapat dalam al-Quran dan

sunnah Nabi Muhammad Saw. kemudian dikembangkan melalui ijtihad

oleh para ulama atau ahli fikih (hukum Islam) yang memenuhi syarat untuk

berijtihad dengan cara-cara yang telah ditetapkan.15 Sementara itu, Hasbi


Ash-Shiddieqi menyatakan bahwa hukum Islam sebenarnya tidak lain

dari pada fikih Islam atau syariat Islam, yaitu koleksi daya upaya para

fuqaha dalam menerapkan syariat Islam sesuai dengan

kebutuhan masyarakat.16

2. Ruang Lingkup Penelitian

Dari beberapa uraian definisi istilah di atas, tergambar ruang lingkup

penulisan ini, mengenai kepastian hukum kepemilikan tanah mahar menurut

hukum Islam, Kajian, kritik dan analisis terhadap status kepemilikan dan

kepastian hukum tanah mahar akan difokuskan pada beberapa landasan hukum,

diantaranya Hukum Islam, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang


perkawinan, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi

Hukum Islam (KHI), Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria, KUHPerdata, Peraturan Pemerintah Nomor 24

14
Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukaniy, Fath al Qadir (Juz I; Bairut : Dar
al- Kutub al-Ilmiyyah, t.th.), h. 531.
15
Moh. Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), h. 190.
16
Hasbi Ash-Shiddieqi, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), h.44.
12

Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah serta teori yang relavan dengan hak

milik, kepastian hukum dan pembuktian Hukum.

D. Tinjauan Pustaka

Dalam penyusunan penelitian ini, penulis akan membahas tentang status

kepemilikan dan kepastian hukum tanah mahar dalam perkawinan Islam (studi

analisis Perundang-undangan). Olehnya itu, dapat dipahami bahwa penelitian yang


akan dilakukan adalah penelitian pustaka (Library research). Oleh karena itu,

dalam penelitian ini dibutuhkan buku-buku atau literatur yang representatif

sebagai pijakan atau rujukan dalam melakukan penelitian.

1. Mahar

Mardani dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam

Modern mengatakan bahwa secara Teoretis sebenarnya tidak ada perbantahan

mengenai esiensi hukum Islam yang mestinya bermuara pada al- Quran dan

Sunnah, Salah satu kewajiban suami dalam perkawinan adalah membayar

mahar. Mahar merupakan salah satu hal penting dalam pelaksanaan

perkawinan. Kedudukan mahar adalah sebagai kewajiban perkawinan dan

sebagai syarat sahnya perkawinan. Bila tidak ada mahar maka pernikahannya
menjadi tidak sah. 17 Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. an-Nisa/3: 4.

17
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern (Yokyakarta: Graha Ilmu,
2011), hal. 10.
13

Terjemahannya :
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka
makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi
baik akibatnya.18
Muhammad Bin Ali Bin Muhammad Al-Syaukaniy, dalam bukunya Fath
Al Qadir mengatakan bahwa mahar secara etimologi berarti maskawin.

Sedangkan pengertian mahar menurut istilah ilmu fikih adalah pemberian yang

wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami,

untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya

dalam kaitannya dengan perkawinan. 19

Arti ayat dalam QS. an-Nisa/3: 4 di atas merupakan petunjuk terhadap

suami untuk memberikan maskawin kepada wanita (isteri) yang dinikahi,

karena merekalah berhak mendapatkan pemberian (maskawin) atau ketulusan

dari pribadi suami.

Abdurrahman I Doi dalam bukunya Perkawinan Dalam hukum Islam,

mengatakan Wujud mahar bukanlah untuk menghargai atau menilai


perempuan, melainkan sebagai bukti bahwa calon suami adalah orang yang

benar-benar cinta dan sayang kepada calon istrinya. Sehingga dengan suka rela

mengorbankan hartanya untuk diberikan kepada istrinya, sebagai tanda suci

18
Kementrian Agama, al-Quran Transliterasi per kata dan terjemahan per kata,
(Ciputat: Cipta Bagus Segera, 2011), h.77
19
Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukaniy, Fath al Qadir (Juz I; Bairut : Dar
al- Kutub al-Ilmiyyah, t.th.), h. 531.
14

hati dan pendahuluan bahwa suami akan terus menerus memberikan

nafkah kepada istrinya. 20

Mustofa Hasan dalam bukunya Pengantar Hukum Keluarga mengatakan

mahar atau sering disebut dengan maskawin wajib diberikan oleh suami ketika

melakukan ijab qabul perkawinan. Cara membayarannya dapat dilakukan

secara kontan atau ditunda, selama istri merasa tidak keberatan. Bahkan jika

istri tidak keberatan, mahar dapat dimanfaatkan oleh suami untuk berbagai

kepentingan rumah tangganya, baik sifatnya pinjaman dari istri untuk suami

maupun pemberian.21
Syarifuddin Latif dalam bukunya hukum perkawinan di Indonesia

mengatakan, Ulama sepakat bahwa jika suami dan istri setuju untuk

melangsungkan pernikahan mereka tanpa mahar, maka nikah mereka sah.

Namun jumhur Ulama tetap mewajibkan mahar, yaitu mahar Mis|il (mahar

yang jumlah, bentuk dan jenisnya sesuai yang berlaku pada daerah tersebut).

Sedangkan ulama madzhab Maliki dan Hambali mengatakan bahwa jika suami

istri sepakat melangsungkan pernikahan tanpa mahar, maka nikah mereka

menjadi fasid. 22
Maftuf Ahnan dan Maria Ulfa dalam bukunya Risalah Fikih Wanita,

penetapan jumlah maksimal ataupun jumlah minimal dari mahar, pada

hakikatnya agama Islam tidak memberikan batasan secara jelas. Hal ini

20
Abdurrahman I Doi, Perkawinan Dalam Syariaat Islam (Jakarta: Rineka Cipta,
1992), h. 64
21
Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga (Cet. I; Bandung: CV Pustaka Setia, 2011),
h.140
22
Syarifuddin Latif., Hukum Perkawinan Di Indonesia Hukum Perkawinan Di
Indonesia (Cet I; Watampone: CV Berkah Utami, 2010), h.100
15

disebabkan adanya tingkatan kemampuan manusia yang berbeda-beda dalam

memberinya, disamping itu harus disertai pula dengan kerelaan dan

persetujuan masing-masing pihak yang akan menikah untuk menetapkan

jumlahnya. Oleh karena itu, Islam menyerahkan jumlah mahar itu berdasarkan

kemampuan masing-masing orang, atau keadaan dan tradisi keluarga atau

masyarakat setempat.

Segala nash yang yang memberikan keterangan tentang mahar tidak


dimaksudkan kecuali untuk menunjukkan pentingnya nilai mahar (maskawin)

tersebut, tanpa melihat besar kecilnya jumlah. Jadi boleh mahar itu berupa

cincin besi,23 emas, uang, jasa atau memberikan sesuatu yang bermanfaat

misalnya mengajarkan baca tulis al-Quran dan lain sebagainya, asalkan

kedua belah pihak sudah saling menyepakati ketika akan melangsungkan

akad nikah. 24

Abdurrahman dalam bukunya Kompilasi Hukum Islam mengatakan

bahwa menurut ahli fikih di Indonesia, mahar ialah pemberian calon

mempelai pria kepada calon mempelai wanita, yang tidak bertentangan dengan

23
Dalam Hadis Nabi disebutkan bahwa:









) )
Artinya : ...Dari Sahl bin Sa'd ia berkata; Seorang wanita mendatangi Nabi SAW. Dan
berkata bahwasanya, ia telah menyerahkan dirinya untuk Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi
wasallam. Maka beliau bersabda: "Aku tidak berhasrat terhadap wanita itu." Tiba-tiba seorang laki-laki
berkata, "Nikahkanlah aku dengannya." Beliau bersabda: "Berikanlah mahar (berupa) pakaian
padanya." Laki-laki itu berkata, "Aku tidak punya." Beliau pun bersabda kembali, "Berikanlah
meskipun hanya berupa cincin besi."... (H.R Bukha>ri). Lihat Kitab 9 Imam, Kitab Bukha>ri Nomor
4641, dalam Program Lidwa Pusaka i - Software - Kitab 9 Imam Hadis, www.lidwapusaka.com.
24
Maftuf Ahnan, Maria Ulfa, Risalah Fiqih Wanita (Surabaya : Terbit Terang, tth), h. 307.
16

hukum Islam. Dalam Kompilasi Hukum Islam, mengenai mahar dijelaskan

dalam bab yang terdiri 9 (Sembilan) pasal, yakni pasal 30 sampai 38.25

2. Status kepemilikan tanah mahar

K. Wantijk Saleh dalam bukunya hak anda atas tanah mengatakan bahwa

tanah dalam arti hukum memiliki peranan yang sangat penting dalam
kehidupan manusia karena dapat menentukan keberadaan dan kelangsungan

hubungan dan perbuatan hukum, baik dari segi individu maupun dampak bagi

orang lain. Untuk mencegah masalah tanah tidak sampai menimbulkan konflik

kepentingan dalam masyarakat, diperlukan pengaturan, penguasaan dan

penggunaan tanah termasuk hal berhubungan mahar yang berupa tanah. 26

Sudjito dalam bukunya Prona Pensertifikatan Tanah Secara Massal dan

Penyelesaian Sengketa Tanah yang bersifat Strategis mengatakan bahwa dalam

kepemilikan, perpindahan hak milik dan penguasaan tanah maka

diundangkanlah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).27

Sony Keraf dalam bukunya Hukum Kodrat dan Teori Hak Milik Pribadi
mengatakan hak milik pribadi adalah suatu hak yang telah menjadi milik

seseorang dengan sedemikian rupa sehingga hak tersebut tidak lagi menjadi

25
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam ( Jakarta; Akademi Pressindo, 1992), h.113
26
K. Wantijk Saleh, Hak Anda Atas Tanah (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982) h.7
27
Sudjito, Prona Pensertifikatan Tanah Secara Massal dan Penyelesaian Sengketa Tanah
yang bersifat Strategis (Yogyakarta: Liberty, 1987), h.1
17

milik orang lain. Sesungguhnya sejak awal mula manusia sudah memiliki

barang milik pribadi dan bukan hanya milik bersama.28

3. Kepastian hukum tanah mahar

H.F.A.Vollmar dalam bukunya Hukum Benda, berpendapat bahwa cara-


cara untuk mendapatkan eigendom dalam Pasal 584 KUHPerdata, yang

terpenting adalah penyerahan yang selanjutnya ketentuan mengenai penyerahan

diatur dalam Pasal 612-618 KUHPerdata.29


Subekti dalam bukunya Pokok- Pokok Hukum Perdata, Mengatakan bahwa

Penyerahan yang sering juga disebut dengan istilah levering atau

overdracht mempunyai dua arti. Pertama perbuatan yang berupa penyerahan

kekuasaan belaka (feitelijke levering). Kedua perbuatan hukum yang

bertujuan memindahkan hak milik kepada orang lain (juridische levering).

Kedua pengertian tersebut akan tampak lebih jelas dalam pemindahan hak

milik atas benda tak bergerak, karena pemindahan hak milik atas benda itu tak
cukup hanya dilakukan dengan pengalihan/ pengoperan kekuasaan atas

bendanya tetapi harus dibuat surat penyerahan yang berbentuk akte yang

memiliki kekuatan hukum dan harus didaftar di lembaga pendaftaran yang

diperuntukkan untuk itu.30

28
Keraf, Sony. Hukum Kodrat & Teori Hak Milik Pribadi. (Yogyakarta: Kanisius.
1997) h. 62.
29
H.F.A.Vollmar I., Hukum Benda, (Bandung: Tarsito, 1987), h. 98.
30
R.Subekti I., Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta; PT.Intermasa, 1980) h.71.
18

Perbuatan penyerahan atas sesuatu benda termasuk penyerahan mahar

berupa tanah bukanlah suatu perbuatan yang berdiri sendiri melainkan

merupakan suatu perbuatan yang mengikuti perbuatan yang mendahuluinya

yang disebut sebagai peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik. Hal

ini sejalan dengan ketentuan Pasal 584 KUHPerdata tersebut di atas yang

menyatakan bahwa berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan

hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap

kebendaan itu.
Kepemilikan tanah mahar merupakan peristiwa hukum sedangkan tujuan

berhukum tidak lepas tiga hal pokok yakni keadilan, kepastian dan

kemanfaatan. Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barakatullah dalam bukunya

Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum mengatakan bahwa, menurut Soedikno, apabila

kita cermati para pemikir-pemikr filsafat hukum, bahwa hukum berkisar dan

berputar pada tiga nilai dasar hukum sebagaimana diuraikan oleh Gustav

Radbrusch, yaitu Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan Hukum. Dengan

demikian masyarakat bukan hanya butuh Peraturan- peraturan yang menjamin

kepastian hukum dalam hubungan mereka satu sama lain, tetapi butuh juga
keadilan, disamping untuk melayani kepentingan- kepentingan (memberikan

kemanfaatan). 31

Dengan demikian dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus

selalu diperhatikan yaitu unsur keadilan, unsur kepastian hukum dan unsur

kemanfaatan. Jika dalam menegakkan hukum hanya diperhatikan kepastian

31
Teguh Prasetyo, Abdul Halim Barakatullah, Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum
Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat (Cet II; Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2012), h.16
19

hukumnya saja, maka unsur lain harus dikorbankan. Demikian pula kalau yang

diperhatikan unsur keadilan maka unsur kepastian hukum dan kemanfaatan juga

harus dikorbankan dan begitu selanjutnya. Itulah yang disebut antinomy yaitu

sesuatu yang bertentangan namun tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.

Dalam menegakkan hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur

tersebut, meski dalam prakteknya tidak selalu mudah mengusahakan kompromi

secara seimbang antara ketiga unsur tersebut.


Kepemilikan mahar berupa tanah menurut tinjauan hukum berhubungan

dengan hukum pembuktian yang menurut Riduan Syahrani, menduduki tempat

yang sangat penting. Diketahui bahwa hukum acara atau hukum formal

bertujuan hendak memelihara dan mempertahankan hukum material. Jadi

secara formal hukum pembuktian itu mengatur cara bagaimana mengadakan

pembuktian seperti terdapat di dalam RBg dan HIR. Sedangkan secara materil,

hukum pembuktian itu mengatur dapat tidaknya diterima pembuktian dengan

alat-alat bukti tertentu di persidangan serta kekuatan pembuktian dari alat-alat

bukti tersebut.32

Adapun penelitian terdahulu mengenai mahar sebagai berikut:


1. Heru Guntoro, dalam jurnalnya yang berjudul Eksistensi Mahar Dalam

Perkawinan (Sebuah Perspektif Hukum) berkesimpulan dalam tulisannya

bahwa;

a. Dalam sebuah perkawinan, pada waktu akad nikah (ijab dan kabul)

dilangsungkan menurut hukum calon suami (mempelai pria) diwajibkan

32
Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2004), h. 83.
20

untuk memberi mahar kepada calon isteri (mempelai wanita), baik berupa

uang atau barang (harta benda) atau jasa. Dengan adanya kewajiban ini

alangkah baiknya calon suami segera menunaikannya agar tidak

menimbulkan permasalahan dibelakang hari.

b. Kalaulah memang mahar harus ditangguhkan (dihutang), hendaklah

suami secepatnya membayar, dan apabila perkawinan putus karena

perceraian hendaklah pula mantan suami membayar mahar yang dihutang


tadi, karena apabila hal itu tidak ditunaikan maka mantan suami akan

diminta pertanggungjawabannya, baik di dunia maupun di akherat kelak.

c. Guna memberikan pendewasaan hukum kepada masyarakat, khususnya

kepada pihak isteri, perlu adanya sosialisasi atau penyuluhan hukum

kontinyu agar pihak isteri mengetahui hak-haknya dan mengetahui pula

upaya hukum yang dapat dilakukan apabila haknya tidak terpenuhi.

2. Baiq Septia Anggraeni, dalam jurnalnya yang berjudul Kedudukan Mahar

Antara Gadis Dan Janda Menurut Hukum Islam Dan Hukum Adat Studi

Kasus Di Sekarbela Kelurahan Karang Pule Kecamatan Sekarbela Kota

Mataram tulisnnya berkesimpulan dalam tulisannya bahwa;


Kedudukan mahar antara Gadis dan Janda adalah wajib atas suami

untuk istrinya dengan adanya akad nikah yang shahih, mengenai besarnya

mahar janda dengan si gadis memang benar berbeda di Sekarbela Kelurahan

Karang Pule, dengan berpedoman kepada sifat kesederhanaan dan ajaran

kemudahan yang di anjurkan islam sehingga besarnya mahar itu tidak

sampai memberatkan calon mempelai pria dan tidak bertentangan dengan


21

yang norma-norma yang berlaku di masyarakat itu sendiri dan sesuai dengan

yang disyariatkan agama kita.

Dari hasil penelitian terdahulu diatas menjukkan penekankan terhadap

kewajiban pemberian mahar terhadap isteri. Adapun perbedaan dengan penelitian

yang dikaji adalah menekankan adanya kepastian hukum kepemilikan wujud

mahar berupa tanah menurut persfektif hukum Islam dan normatif. Sehingga

penulis menganggap bahwa penelitian ini layak dikaji yakni dengan judul tesis
kepastian hukum kepemilikan tanah mahar menurut hukum Islam (studi analisis

menurut perundang-undandangan.

E. Kerangka Teoretis

Beberapa uraian yang terkait kepastian hukum kepemilikan tanah mahar

menurut hukum Islam (studi analisis menurut perundang-undangan). Kemudian

selanjutnya dapat dideskripsikan sebagai kerangka teori. Dengan demikian

penelitian ini akan memberikan interpretasi yang terkait dengan kajian penulis.

Secara Teoretis sebenarnya tidak ada perbantahan mengenai esensi hukum

Islam menurut al-Quran dan Sunnah. Salah satu kewajiban suami dalam

perkawinan adalah membayar mahar. Mahar merupakan salah satu hal penting
dalam pelaksanaan perkawinan. Kedudukan mahar adalah sebagai kewajiban

perkawinan dan sebagai syarat sahnya perkawinan. Bila tidak ada mahar maka

pernikahannya menjadi tidak sah.

Menurut ahli fikih di Indonesia, dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan jo Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa mahar

ialah pemberian calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, yang tidak
bertentangan dengan hukum Islam.
22

Kepastian hukum merupakan jaminan hukum yang harus dilakukan, yang

berhak menuntut hukum dapat memperoleh haknya dan putusan harus dapat

dilaksanakan. Walaupun kepastian hukum erat kaitannya dengan keadilan, namun

hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum bersifat umum mengikat setiap

orang, bersifat memasyarakatkan, sedangkan keadilan bersifat subyektif,

individualistis dan tidak memasyaratkan.

Penyerahan sebagai perbuatan pengalihan hak milik atas suatu benda


dari seseorang pemilik semula kepada orang lain dalam sistem hukum perdata

Indonesia dapat ditemukan dasar hukumnya dalam Pasal 584 KUHPerdata. Hak

milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan

dengan pemilikan, karena perlekatan, karena daluwarsa, karena pewarisan baik

menurut undang-undang maupun menurut surat wasiat dan karena penunjukan

atau penyerahan atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik,

dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu.

Dari ketentuan Pasal 584 KUHPerdata tersebut di atas jelas mengatur

bahwa penyerahan (levering) adalah salah satu cara memperoleh hak milik atas

sesuatu benda, di samping cara-cara lainnya yang telah diatur secara limitatif cara
perolehan hak milik atas sesuatu benda tersebut. Bahkan dari cara-cara perolehan

hak milik yang diatur dalam Pasal 584 KUHPerdata tersebut maka yang

terpenting dan bahkan yang sering terjadi di masyarakat cara perolehan hak milik

itu adalah dengan cara penyerahan (levering).

Peraturan hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah yang ada

sebagai lembaga hukum. Hak penguasaan tanah merupakan suatu lembaga hukum,

jika belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu
23

sebagai pemegang haknya. Dalam hukum tanah nasional ada bermacam-macam

hak penguasaan atas tanah dan pembuktian hak milik tanah yang diatur dalam

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Dasar Agraria jo

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

Dalam penelitian hukum normatif, kepastian hukum kepemilikan tanah

mahar menurut hukum Islam (studi analisis menurut perundang-perundangan)

disebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini acapkali
hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peundang-undanagn atau

hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan

berprilaku manusia dianggap pantas. oleh karna itu, pertama sebagai sumber

datanya hanyalah data skunder.33 maka dari itu penelitian ini akan dianalis secara

deskriptif kualitatif, menggunakan teknik berfikir deduktif.

Untuk mengidentifikasi masalah Mengenai status kepemilikan dan kepastian

hukum tanah mahar, peneliti menyusun kerangka berfikir yakni;

Bagian pertama untuk mengidentifikasi masalah pertama peneliti

mengunakan landasan hukum Islam dan teori mahar. Bagian kedua untuk

mengidentifikasi masalah kedua peneliti mengunakan landasan hukum, hak milik


tanah mahar menurut Undang-undang Nomor 1 1974 Tentang Perkawinan,

Kompilasi Hukum Islam (KHI), KUHPerdata dan hak milik menurut Undang-

undang nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok- Pokok Dasar Agraria dan menurut

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Bagian

ketiga untuk mengidentifikasi masalah ketiga peneliti mengunakan landasan teori,

perjanjian perkawinan, tujuan hukum (keadilan, kepastian dan kemanfaatan) dan

33
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum. (Cet; II;
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h.118
24

pembuktian hukum serta teori-teori yang dianggap relavan dengan masalah yang

diteliti.

Beberapa landasan hukum dan teori yang berhubungan dengan status

kepastian hukum kepemilikan tanah mahar menurut hukum Islam (studi analisis

menurut perundang-undangan) akan diramu serta didukung oleh fakta-fakta yang

bersifat dokumen-dokumen resmi dari lembaga berbadan hukum yang terkait

masalah yang diteliti sebagai bukti penguat data skunder. Sehingga penelitian ini
mampu memberikan gambaran berupa penjelasan akhirnya melahirkan sebuah

kesimpulan dan implikasi berupa kontribusi atau masukan yang berguna kepada

pihak yang terkait dengan pengelolahan admnistrasi tanah mahar.

Dari uraian yang terkait dengan tanah mahar, maka dapat dideskripsikan dan

selanjutnya dijadikan sebagai kerangka teori, sebagai berikut sebagai berikut:


25

MAHAR MENURUT HUKUM ISLAM

HAK MILIK TANAH MAHAR MENURUT KEPASTIAN HUKUM TANAH MAHAR


HUKUM PERKAWINAN MENURUT PERUNDANG-UNDANGAN

o Hak Milik Tanah Mahar menurut Undang-undang o Hak Milik Tanah Mahar menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok- Pokok Dasar
o Hak Milik Tanah Mahar menurut Kompilasi Hukum Agraria
Islam (KHI) o Hak Milik Tanah Mahar meurut KUHPerdata
o Hak Milik Tanah Mahar meurut Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

o Teori Kepemilkan
o Teori Perjanjian Perkawinan
o Teori Tujuan Hukum (Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan)
o Teori Pembuktian Hukum

Problematika Status Kepemilakan dan Faktor Kelemahan Status Kepemilikan dan


Kepastian Hukum Tanah Mahar menurut Kepastian Hukum Tanah Mahar menurut
Perundang-undangan. Perundang-undangan.

Status Kepemilikan Tanah Mahar Menurut


Perundang-undangan.

Strategi Pembuktian Kepemilikan Tanah


Mahar dan penyelesaian hukum ketika terjadi
sangketa di Pengadilan

Gambar. 1.1. Kerangka Teori


26

F. Metode Penelitian

Metodologi adalah cara meluluskan sesuatu dengan menggunakan pikiran

secara seksama untuk mencapai suatu tujuan.34 Sedangkan penelitian adalah suatu

kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan, dan menganalisis sampai


laporan.35

Dengan demikian metodologi penelitian sebagai cara yang dipakai untuk

mencari, mencatat, menganalisis sampai merumuskan untuk mencapai suatu

tujuan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian

hukum normatif berorientasi pada analisis mengenai dokumen-dokumen atau

bahan-bahan hukum yang berlaku dan berkaitan dengan kepastian hukum

kepemilikan tanah mahar menurut hukum Islam (studi analisis menurut

perundang-perundangan). Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, Penelitian


deskriptif adalah untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang

manusia, keadaan atau keadaan lainya.36 Metode deskriptif ini dimaksudkan

untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas dan dapat memberikan data

34
Cholid Narbuko dan Abu Ahmadi, Metodologi Penelitian (Cet.II; Jakarta: Bumi
Aksara Pustaka, 1997), h. 1
35
Cholid Narbuko dan Abu Ahmadi, Metodologi Penelitian, h. 1
36
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1988), h. 42
27

seteliti mungkin tentang status kepemilikan dan kepastian hukum tanah mahar

menrut hukum perkawinan.

Menurut Sarjono Soekanto penelitian hukum normatif dilakukan dengan

cara meneliti pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian hukum normatif

atau kepustakaan tersebut meliputi:

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum

b. Penelitian terhadap sistematika hukum


c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal

d. Perbandingan hukum

e. Sejarah hukum.37

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan dalam penelitian ini adalah;

a. Pendekatan Yuridis, pengkajian ini yang dikaji adalah peraturan dan

perundang-undangan yang berlaku, antara lain adalah Undang-undang

Nomor 1 1974 Tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Pokok- Pokok Dasar Agraria, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun

1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), KUHPerdata dan Peraturan


Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

b. Pendekatan Filosofis adalah pendekatan yang berusaha mengkaji hukum

berdasarkan nilai-nilai ideal dan hakekat dari hukum tersebut. Hukum yang

ideal adalah hukum yang sesuai dengan hakekatnya yaitu menegakkan nilai-

nilai keadilan. Penelitian ini juga diartikan mengkaji hukum secara

37
Uraikan lebih lanjut dapat dilihat dalam, Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar
Metode, h.120
28

mendalam sampai kepada inti atau dasarnya yang disebut sebagai hakikat

hukum atau merupakan filsafat yang mengkaji hukum secara filosofis.

c. Pendekatan Normatif-Teologis menjadi kerangka acuan penulis untuk

merangkai norma agama dengan berbagai norma hukum materil menjadi

satu kesatuan, yang pada gilirannya dapat mengantar penulisan ini sampai

pada suatu kesimpulan mengenai status kepemilikan dan kepastian hukum

tanah mahar menurut hukum perkawinan Islam.

3. Metode Pengumpulan Data

a. Teknik Pengumpulan Data

Mengacu pada kategori penelitian ini sebagai penelitian Deskriptif

kualitatif, teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah studi

dokumen atau kartu data.

b. Sumber Data

Oleh karna penelitian ini adalah Penelitian Kepustakaan (Libray

research) maka dari itu data yang dibutuhkan adalah data skunder yang

terdiri dari:

1) Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat antara


lain;

a. Dalil al-Quran dan Hadis

b. Undang-undang Nomor 1 1974 Tentang Perkawinan

c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok- Pokok

Dasar Agraria

d. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum


Islam (KHI)
29

e. KUHPerdata

f. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran

Tanah.

2) Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, yakni buku/ bahan pustaka

berupa hukum perkawinan, perjanjian perkawinan, kepastian hukum,


pembuktian hukum dan pendapat dari pakar hukum.

3) Bahan hukum tersier.

Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum skunder,

seperti kamus hukum, kamus bahasa indonesia, kamus ilmiah dan

software offline dan sebagainya.38

4. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Dalam mengelola data yang telah dikumpulkan, penulis menggunakan

cara berfikir deduktif yakni bertolak dari proposisi umum (premis mayor) yang

kebenarannya telah diketahui (premis minor) dan berakhir pada suatu


kesimpulan yang bersifat khusus.

Sedangkan analisis teks yang digunakan dalam penelitian ini adalah

analisis deskriptif kualitatif, Penelahan sinkronisasi atas peraturan Perundang-

undangan dengan telaah secara vertikal dan horizontal dan dilakukan

interprestasi hukum positif. Adapun analisis dimaksud sebagai berikut :

38
Bandingkan, Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode h.119
30

a) Analisis bahan hukum primer

1) Telaah secara deskriftif, yang dimaksud adalah agar memberikan

gambaran atau pemaparan tentang ketentuan hukum yang berkaitan

dengan mahar, hak milik, kepastian hukum, tanah dan pembuktian.

2) Telaah secara Vertikal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

penelahan Sinkronisasi Suatu Peraturan Perundang-Undangan, dapat

dilihat hirarkinya suatu Peraturan dan Perundan-perundangan dan

pemperhatikan beberapa asas perundangan-undangan.

3) Telaah secara Horizontal yang dimaksud dalam penelitian ini Penelahan

sinkronisasi suatu peraturan perundang-undangan dibidang hukum

perkawinan yang terkait dengan mahar dan peraturan perundang-

undangan dibidang hukum tanah. Artinya yang diteliti sejauh mana

peraturan peraturan perundangan yang mengatur pelbagai bidang itu

mempunyai hubungan secara fungsional dan konsisten untuk

mendapatkan data yang lengkap dan menyeluruh mengenai bidang

tertentu,39yakni bidang hukum yang dikaji pada tesis ini, yaitu kepastian

hukum kepemilikan tanah mahar menurut hukum Islam (studi analisis

menurut perundang-perundangan).

4) Analisis Perbandingan Hukum, yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah membandingkan suatu sistem hukum yang ada dengan sistem

hukum yang lain.40 Penelitian ini membadingkan hukum Islam dengan

39
Bandingkan, Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode,h.128
40
Bandingkan, Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode,h.130
31

hukum positif, bertujuan untuk mengetahui perbedaan atau persamaan

masing-masing sistem hukum yang diteliti.

5) Interpretasi Hukum Positif.

(1) Menginterpretasikan hukum baik dari segi gramatikal atau menurut

tata bahasa.

(2) Menginterpretasikan secara sistematis, yaitu mendasarkan

ketentuan pada sistem aturan serta mengartikan suatu ketentuan


hukum.

(3) Menilai hukum positif dengan cara mengevaluasi hukum positif

yang mengatur mengenai status kepemilikan dan kepastian hukum

tanah mahar menurut hukum parkawinan Islam.

b) Analisis bahan hukum skunder.

Penulis berusaha menelusuri teori-teori tentang tanah mahar, status

kepemilikan, Tujuan Hukum (Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan) dan

pembuktian hukum tanah mahar serta pendapat ahli hukum sebagai penguat

bahan hukum primer dan dirumuskan dalam satu konsep yang dapat

mendukung argumentasi peneliti tentang status kepemilikan dan kepastian


hukum tanah mahar menurut hukum parkawinan Islam.

G. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Sehubungan dengan kegiatan penelitian yang dilakukan oleh penulis,

maka adapun tujuan dan kegunaan yang hendak dicapai dalam penelitian ini

adalah:
32

1. Tujuan penelitian

a) Untuk mengetahui status kepemilikan tanah mahar menurut Perundang-

perundangan..

b) Untuk mengetahui kepastian hukum kepemilikan tanah mahar menurut

Perundang-perundangan.

c) Untuk mengetahui kekuatan hukum pembuktian kepemilikan tanah

mahar yang tertuang di dalam akta nikah dan penyelesaian hukum


ketika terjadi sangketa di pengadilan

2. Kegunaan penelitian

a) Kegunaan Ilmiah

Adapun kegunaan secara ilmiah dari pada penelitian ini adalah ;

(1) Untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang hukum Islam

khususnya kepastian hukum kepemilikan tanah mahar.

(2) Untuk mendapatkan jawaban yang faktual mengenai permasalahan

yang diangkat kemudian dituangkan dalam bentuk hasil penelitian.

b) Kegunaan Praktis

Seperti halnya tujuan yang akan dicapai di dalam pembahasan tesis


ini, penulis sangat berharap agar penelitian yang dilakukan mempunyai

kegunaan penelitian yakni:

A. Diharapkan dapat memberi kontribusi pengetahuan dalam kepastian

hukum kepemilikan serta pembuktian hukum tanah mahar ketika

terjadi sangketa di pengedilan kemudian hari.

B. Sebagai masukan yang berguna bagi lembaga yang terkait dengan

pengelolahan administrasi tanah mahar sehingga memberikan


33

jaminan hukum bagi yang memerlukan kepastian hukum tanah

mahar.

H. Garis Besar Isi Tesis

Untuk memudahkan dan memperoleh gambaran tentang isi tesis ini,

maka pada bagian ini dikemukakan tentang kedudukan dan sistematika sebagai

berikut.

Bab pertama, merupakan bab pendahuluan yang memaparkan tentang


latar belakang yang mendasari pentinnya penelitian ini, rumusan masalah,

definisi operasional dan ruang lingkup penelitian, tinjauan pustaka, metodologi,

tujuan dan kegunaan penelitian, dan garis-garis besar isi tesis yang

menggambarkan secara singkat tentang seluruh pokok-pokok pembahasan yang

menjadi bagian dari komposisi bab.

Bab kedua, berisi tinjauan mahar menurut hukum Islam mempunyai sub

bab; pengertian dan dasar hukum mahar, hikmah pemberian mahar, macam-

macam pemberian mahar dan kedudukan mahar dalam perkawinan.

Bab ketiga; berisi analisis tanah mahar perundang-undangan dan

mempunyai sub bab membahas; analisis tanah mahar menurut hukum


perkawinan, analisis tanah mahar menurut perundang-undangan, analisis teori

(perjanjian perkawinan, tujuan hukum, pembuktian hukum)

Bab keempat, berisi problematika dan faktor kelemahan, kepastian

hukum kepemilikan dan strategi pembuktian tanah mahar dan mempunyai

sub bab membahas; Problematika kepastian hukum kepemilakan tanah mahar

dalam hukum perkawinan, faktor kelemahan kepastian hukum kepemilakan


34

tanah mahar menurut Perundang-undangan, strategi Pembuktian kepemilikan

tanah mahar dan penyelesaian hukum ketika terjadi sangketa di pengadilan.

Bab kelima, merupakan bab penutup dari keseluruhan isi tesis yang

berisi tentang kesimpulan yang merujuk pada pembahasan sehingga penelitian

ini memperoleh penegasan. Selanjutnya pada bagian inplikasi, penulis

memberikan beberapa usulan dan rekomendasi dari hasil penelitian.


35

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta : Akademi Pressindo, 1992.

Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariyah,Mujam Maqayis al-Lugah,Juz III
Cet.II;Mesir : Maktab al-Babiy al-Halabi wa Awaladuh,1971.

Ahnan, Maftuf, Maria Ulfa, Risalah Fikih Wanita, Surabaya : Terbit Terang, tth.

al-Syaukaniy. Muhammad bin Ali bin Muhammad, Fath al Qadir, Juz I, Bairut :
Dar al- Kutub al-Ilmiyyah, t.th.

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cet; II;
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yokyakarta: UII Pres, 2000.

Doi, Abdurrahman I, Perkawinan Dalam Syariaat Islam, Jakarta: Rineka Cipta,


1992.

H.F.A.Vollmar I., Hukum Benda, Bandung: Tarsito, 1987.

Hasan, Mustofa, Pengantar Hukum Keluarga, Cet. I; Bandung: CV Pustaka Setia,


2011.

Imam, Kitab 9, Kitab Bukha>ri Nomor 4641, dalam Program Lidwa Pusaka i-
Software - Kitab 9 Imam Hadis, www.lidwapusaka.com.

Jajuli, M.Sulaeman, Kepastian Hukum Gadai Tanah Dalam Islam, Cet; Yogyakarta:
Deepublish, 2015.

Kementrian Agama. al-Quran Transliterasi per kata dan terjemahan per kata,
(Ciputat: Cipta Bagus Segera, 2011.

Keraf, Sony. Hukum Kodrat & Teori Hak Milik Pribadi. Yogyakarta: Kanisius.
1997.

Latif, Syarifuddin, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Cet I; Watampone: CV


Berkah Utami. 2010.

Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern , Yokyakarta: Graha


Ilmu, 2011.
35
36

Mertokusumo, Sudikno, Kapita Selekta Ilmu Hukum, Yogyakarta: Lyberty, 2011

Narbuko, Cholid dan Abu Ahmadi. Metodologi Penelitian. Cet: II; Jakarta:
Bumi Aksara Pustaka, 1997.

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Makalah dan Tesis. Cet. II; Watampone:
Pascasarjana Program Magister STAIN Watampone, 2015.

Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum
Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat , Cet
II; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012.

Saleh, K. Wantijk, Hak Anda Atas Tanah (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.

Soekanto, Soejono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1988.

Soesilo dan Pramudji R, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dilengkapi dengan


Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi
Hukum Islam, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok Agraria, Cet I; t.t: Redbook Publisher, 2008.

Subekti, R. I., Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT.Intermasa, 1980.

Sudjito, Prona Pensertifikatan Tanah Secara Massal dan Penyelesaian Sengketa


Tanah yang bersifat Strategis Yogyakarta: Liberty, 1987.

Susilo, M, M. Marwan dan Jimmi P, Kamus Hukum: Rangkuman dan Istilah-istilah


Pengertian Dalam Hukum Internasional, Hukum Pidana, Hukum Perdata,
Hukum Islam, Hukum Perburuhan, Hukum Agraria, Hukum Administrasi
Negara, Hukum Pajak, Dan Hukum Lingkungan. Cet; t.t: Gamma Press,
2009.

Syahrani, Riduan, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2004.

Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press, 1986.

Kepastian Hukum Kepemilikan Tanah Mahar menurut


37

Hukum Islam
(Studi Analisis Menurut Perundang-undangan)

Proposal Tesis

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh


Gelar Magister dalam Bidang Hukum Islam pada
Pascasarjana Program Magister
STAIN Watampone

Oleh

SUPRIADI
NIM. 140101013

PASCASARJANA PROGRAM MAGISTER


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
WATAMPONE
2016

OUT LINE
38

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Penulisan
D. Tinjauan Pustaka
E. Kerangka Teori
F. Metodologi Penelitian
G. Tujuan dan Kegunaan
H. Garis Besar Isi Tesis

BAB II TINJAUAN MAHAR DALAM PERKAWINAN ISLAM


A. Pengertian dan Dasar Hukum Mahar
B. Hikmah Pemberian Mahar
C. Macam-macam dan Syarat-syarat Mahar
D. Kedudukan Mahar dalam Perkawinan

BAB III ANALISIS TANAH MAHAR MENURUT PERUNDANG-

PERUNDANGAN

A. Analisis Tanah Mahar Menurut Hukum Pekawinan.


1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
2. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
B. Analisis Tanah Mahar Menurut Perundang-undangan.
1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok
Dasar Agraria
2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah
3. KUHPerdata
C. Analisis Tanah Mahar Menurut Teori
1. Teori Perjanjian Perkawinan
2. Teori Tujuan Hukum (Keadilan, Kepastian, Kemanfaatan)
3. Teori Pembuktian Hukum

BAB IV PROBLEMATIKA DAN FAKTOR KELEMAHAN,

KEPASTIAN HUKUM KEPEMILIKAN DAN STRATEGI


PEMBUKTIAN TANAH MAHAR
39

A. Problematika kepastian hukum kepemilakan tanah mahar dalam


hukum perkawinan.
B. Faktor kelemahan kepastian hukum kepemilakan tanah mahar
menurut Perundang-undangan.
C. Strategi Pembuktian kepemilikan tanah mahar dan penyelesaian
hukum ketika terjadi sangketa di pengadilan.

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Implikasi Penelitian

DAFTAR PUSTAKA

RIWAYAT HIDUP

Anda mungkin juga menyukai