Anda di halaman 1dari 22

BAB 1

PEDAHULUAN

Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit endokrin yang paling sering


dijumpai. Saat ini penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan
peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe-2 di berbagai penjuru dunia.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi adanya peningkatan jumlah penderita
DM yang menjadi salah satu ancaman kesehatan global.1
Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia menempati urutan ke-
4 terbesar dalam jumlah penderita Diabetes Melitus (DM). Sementara di Medan
sendiri menempati urutan pertama diatas penyakit jantung koroner. Menurut kepala
Dinas Kesehatan Kota Medan, Edwin Effendi, penyakit DM di Medan sejak tahun
2009 merupakan penyakit dengan penderita terbanyak yang terus mengalami
peningkatan jumlahnya jika dibanding dengan jumlah pasien Penyakit Jantung
Koroner atau yang lainnya.2
Pada tahun 2009 diperkirakan terdapat lebih dari 14 juta orang menderita
diabetes, tetapi hanya 50% yang terdiagnosis dan di antara mereka baru sekitar 30%
yang datang berobat teratur. Jika tidak terkendali dan terdiagnosis, DM dapat
menimbulkan gangguan yang bermakna bahkan dapat mengancam jiwa penderitanya
baik dalam proses dekompensasi akut maupun sekuele kronik. Semua kelainan ini
dapat dicegah dengan diagnosis dini dan pengendalian kadar glukosa (KG-) darah dan
kelainan-kelainan yang menyertainya sebaik mungkin.3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Diabetes Melitus (DM) merupakan kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang disebabkan oleh adanya gangguan dalam sekresi
insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. World Health Organization (WHO)
sebelumnya juga telah merumuskan bahwasanya DM secara umum dikatakan sebagai
sekumpulan masalah anatomic dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor dengan
kondisi defisiensi absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.4,5

2.2. Epidemiologi
Diabetes sudah merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat
manusia pada abad 21. WHO membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000, jumlah
pengidap DM pada umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu
25 tahun kemudian, pada tahun 2025, jumlah tersebut akan meningkat hingga 300
juta orang. Secara rinci disebutkan bahwa WHO telah mengestimasi ada sekitar 194
juta atau 5,1% dari 3,8 miliyar jiwa di seluruh dunia akan menderita DM dengan
rentang usia 20-79 tahun dan pada tahun 2025.5,6
Berbagai penelitian telah dilakukan di negara berkembang dan data terakhir
WHO menunjukkan bahwa peningkatan tertinggi penderita DM berada di Asia..
Terkait hal tersebut, menurut Whiting et al. dalam literatur Kavveshar dan Cornwall,
pada tahun 2030, ada sekitar 79,4 juta jiwa yang akan menderita DM di India, 42,3
juta jiwa di China, dan 30,3 juta jiwa di Amerika Serikat. Peningkatan prevalensi DM
di beberapa negara berkembang diakibatkan oleh peningkatan kemakmuran di negara
bersangkutan dan dikaitkan dengan peningkatan pendapatan per kapita diikuti
perubahan gaya hidup yang kebarat-baratan, khususnya di kota-kota besar. Faktor
lainnya yang disebutkan memengaruhi peningkatan jumlah penderita DM yakni
berkurangnya penyakit infeksi dan kekurangan gizi, dan juga meningkatnya
pelayanan kesehatan sehingga umur penderita DM menjadi lebih panjang. Lebih
lanjut, disebutkan bahwa prevalensi tersebut meningkat pada kelompok orang-orang
dengan berat badan berlebih dan obesitas, hipertensi, dan orang-orang yang kurang
beraktivitas fisik.5-8
Indonesia termasuk ke dalam deretan negara berkembang dengan jumlah
peningkatan penderita DM. Bahkan, literatur Shaw et al. dalam Yusuf et al.
menyebutkan bahwa Indonesia merupakan satu dari 10 negara dengan jumlah
penderita DM tertinggi. Terdapat literatur yang menyebutkan bahwa sebuah
penelitian di Jakarta sebagai ibukota Indonesia, menunjukkan peningkatan prevalensi
penderita DM dari 1,7% pada tahun 1982 menjadi 5,7% pada tahun 1993, diikuti
12,8% pada tahun 2001. Kemudian, literatur tersebut juga menyebutkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Kementrian Kesehatan pada tahun 2007 yang mana
angka prevalensi pada penduduk berusia 15 tahun ke atas yakni sebesar 5,7%.
Prevalensi terendah berada di Papua yakni sebesar 1,7%, sementara yang tertinggi
berada di Maluku Utara dan Kalimantan Barat dengan persentase sebesar 11,1%. 3,9,10

2.3 Faktor risiko


Peningkatan jumlah penderita DM yang sebagian besar DM tipe 2, berkaitan
dengan beberapa faktor yaitu faktor risiko yang tidak dapat diubah, faktor risiko yang
dapat diubah dan faktor lain. Menurut American DiabetesAssociation (ADA) bahwa
DM berkaitan dengan faktor risiko yang tidak dapat diubah meliputi riwayat keluarga
dengan DM (first degree relative), umur 45 tahun, etnik, riwayatmelahirkan bayi
dengan berat badan lahir bayi >4000 gram atau riwayat pernah menderita DM
gestasional dan riwayat lahir dengan beratbadan rendah (<2,5 kg).1,9 Faktor risiko
yang dapatdiubah meliputi obesitas berdasarkan IMT 25kg/m2 atau lingkar perut
80 cm pada wanita dan 90 cm pada laki-laki, kurangnya aktivitas fisik, hipertensi,
dislipidemi dan diet tidak sehat.11 Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes
adalah penderita polycystic ovarysindrome (PCOS), penderita sindrom
metabolikmemiliki riwatyat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah
puasa terganggu (GDPT) sebelumnya, memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler
seperti stroke, PJK, atau peripheral rrterial Diseases (PAD), konsumsi alkohol,faktor
stres, kebiasaan merokok, jenis kelamin,konsumsi kopi dan kafein.11,12,13
1. Obesitas (kegemukan)
Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa darah, pada derajat
kegemukan dengan IMT > 23 dapat menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah
menjadi 200mg%. 11
2. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat dengan tidak tepatnya
penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan dari dalam tubuh pada
sirkulasi pembuluh darah perifer.
3. Riwayat Keluarga Diabetes Mellitus
Seorang yang menderita Diabetes Mellitus diduga mempunyai gen diabetes. Diduga
bahwa bakat diabetes merupakan gen resesif. Hanya orang yang bersifat homozigot
dengan gen resesif tersebut yang menderita Diabetes Mellitus.
4. Dislipedimia
Adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah (Trigliserida >
250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma insulin dengan rendahnya
HDL (< 35 mg/dl) sering didapat pada pasien Diabetes.
5. Umur
Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena Diabetes Mellitus adalah > 45
tahun.
6. Riwayat persalinan
Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan bayi > 4000gram
7. Faktor Genetik
DM tipe 2 berasal dari interaksi genetis dan berbagai faktor mental Penyakit ini sudah
lama dianggap berhubungan dengan agregasi familial. Risiko emperis dalam hal
terjadinya DM tipe 2akan meningkat dua sampai enam kali lipat jika orang tua atau
saudara kandung mengalami penyakitini.
8. Alkohol dan Rokok
Perubahan-perubahan dalam gaya hidup berhubungan dengan peningkatan frekuensi
DM tipe 2. Walaupun kebanyakan peningkatan ini dihubungkan dengan peningkatan
obesitas dan pengurangan ketidakaktifan fisik, faktor-faktor lain yang berhubungan
dengan perubahan dari lingkungan tradisional kelingkungan kebarat- baratan yang
meliputi perubahan-perubahan dalam konsumsialkohol dan rokok, juga berperan
dalam peningkatan DM tipe 2. Alkohol akan menganggu metabolisme gula darah
terutama pada penderita DM,sehingga akan mempersulit regulasi gula darah dan
meningkatkan tekanan darah. Seseorang akan meningkat tekanan darah apabila
mengkonsumsi etil alkohol lebih dari 60ml/hari yang setara dengan 100 ml proof
wiski, 240ml wine atau 720 ml.
Faktor resiko penyakit tidak menular, termasuk DM Tipe 2, dibedakan
menjadi dua. Yang pertama adalah faktor risiko yang tidak dapat berubah misalnya
umur, faktor genetik, pola makan yang tidak seimbang jenis kelamin, status
perkawinan, tingkat pendidikan, pekerjaan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok,
konsumsi alkohol, Indeks Masa Tubuh. 11,13

2.4 Patogenesis
Pada kondisi fisiologis yang normal, konsentrasi plasma glukosa akan
dipertahankan dalam satu batasan. Tetapi dalam DM tipe 2, mekanisme untuk
regulasi konsentrasi plasma glukosa tidak berfungsi dan hal ini dapat disebabkan oleh
insulin resistensi atau disfungsi pada sel beta pankreas.14
Pada awal perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel B menunjukan gangguan
pada sekresi insulin fase pertama,artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi
resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik,pada perkembangan
selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel B pankreas. Kerusakan sel-sel B pankreas
akan terjadi secara progresif seringkali akan menyebabkan defisiensi insulin,sehingga
akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Pada penderita diabetes melitus tipe
2 memang umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan
defisiensi insulin.15
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious
octet) berikut :
1. Kegagalansel beta pancreas:
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat
berkurang. Obat anti diabetik yang berkerja melalui jalur ini adalah
sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.
2. Liver:
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver
(HGP= hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur
ini adalah metformin yang menekan proses gluconeogenesis
3. Otot:
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di
intramioselular, akibat gangguan fosforilasitirosin sehingga timbul gangguan
transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan
oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan
tiazolidindion.
4. Sel lemak:
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free fatty
acid) dalam plasma. Peningkatan FFA akan merangsang proses
gluconeogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga
akan menggangu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini
disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja di jalur ini adalah
tiazolidindion.
5. Usus:
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini
diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP
(glucose-dependent insulinotropic polypeptide atau disebut juga gastric
inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1
dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh
keberadaan enzim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat
yang bekerja dalam menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4
inhibitor. Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan
karbohidrat melalui kinerja enzim alfa-glukokinase yang memecah polisakarida
menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat
meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk
menghambat kinerja enzim alfa-glukokinase adalah akarbosa.
6. Sel alpha pancreas:
Sel alpha pancreas merupakan organ ke-6 yang berperanan dalam hiperglikemia
dan sudah diketahui sejak 1970.Sel alpha berfungsi dalam sintesis glukogon
yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma penderita meningkat.
Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara
signifikan dibanding individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi
glukagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP-4
inhibitor dan amylin.
7. Ginjal:
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam patogenesis DM tipe-2.
Ginjal memfiltrasi sekitar 163 g glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari
glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium
Glucose co-Transporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang
10% sisanya akan di absorbs melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan
asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urin. Pada penderita DM
terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja
SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal
sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini
adalah SGLT-2 inhibitor, Dapaglifozin adalah salah satunya.
8. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang
mengalami obesitas baik yang DM maupun non-DM, didapatkan
hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi
insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat resistensi
insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur ini adalah GLP-1
agonis, amylin dan bromokriptin.16

2.5 Manifestasi Klinis


Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik Gejala akut diabetes
melitus yaitu : Poliphagia (banyak makan) polidipsia (banyak minum), Poliuria
(banyak kencing/sering kencing di malam hari), nafsu makan bertambah namu berat
badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), mudah lelah.Gejala
kronik diabetes melitus yaitu : Kesemutan, kulit terasa panas atau seperti tertusuk
tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah mengantuk, pandangan
mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual menurun
bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada ibu hamil sering terjadi keguguran atau
kematian janin dalam kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4kg.15

a. Poliuria
Kekurangan insulin untuk mengangkut glukosa melalui membrane dalam sel
menyebabkan hiperglikemia sehingga serum plasma meningkat atau
hiperosmolariti menyebabkan cairan intrasel berdifusi kedalam sirkulasi atau
cairan intravaskuler, aliran darah ke ginjal meningkat sebagai akibat dari
hiperosmolariti dan akibatnya akan terjadi diuresis osmotic.14
b. Polidipsia
Akibat meningkatnya difusi cairan dari intrasel kedalam vaskuler menyebabkan
penurunan volume intrasel sehingga efeknya adalah dehidrasi sel. Akibat dari
dehidrasi sel mulut menjadi kering dan sensor haus teraktivasi menyebabkan
seseorang haus terus dan ingin selalu minum.14
c. Poliphagia
Karena glukosa tidak dapat masuk ke sel akibat dari menurunnya kadar insulin
maka produksi energi menurun, penurunan energi akan menstimulasi rasa lapar.
Maka reaksi yang terjadi adalah seseorang akan lebih banyak makan.3
d. Penurunan berat badan
Karena glukosa tidak dapat di transport kedalam sel maka sel kekurangan
cairan dan tidak mampu mengadakan metabolisme, akibat dari itu maka sel
akan menciut, sehingga seluruh jaringan terutama otot mengalami atrofidan
penurunan secara otomatis.14
e. Malaise atau kelemahan, kesemutan, penglihatan kabur dan gatal.17

2.6 Diagnosis
Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah
sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah puasa >126 mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa
lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa. Sekurang- kurangnya
diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk konfirmasi diagnosis DM pada
hari yang lain atau Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang abnormal. Konfirmasi
tidak diperlukan pada keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik
akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat. 15

Kriteria diagnosis diabetes mellitus (DM):


1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu >200mg/dL (11,1 mmol/L).
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari
tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.
2. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa >126 mg/dL (7,0 mmol/L). Puasa
diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO >200 mg/dL (11,1 mmol/L). OGTT
dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara
dengan 75 gram glukosas anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.14
TTGO sulit dilakukan secara berulang dan jarang dilakukan dalam praktik
sehari-hari. Jiks hasil TTGO tidak memenuhi diagnosis diabetes, bergantung pada
hasil yang diperoleh, dapat dikelompokkan menjadi impaired glucose tolerance
(IGT), impaired fasting glucose (IFG) atau gabungan keduanya (IGT-IFG).
1. IGT ditegakkan jika 2 jam setelah pembebanan, glukosa plasma adalah 140-199
mg/dL (7,8-11,0 mmol/L) dan glukosa plasma puasa adalah <100 mg/dL (5,6
mmol/L).
2. IFG ditegakkan jika 2 jam setelah pembebanan, glukosa plasma adalah <140
mg/dL (7,8 mmol/L) dan glukosa plasma puasa adalah 100-126 mg/dL (5,6-6,9
mmol/L).
3. IGT-IFG ditegakkan jika 2 jam setelah pembebanan, glukosa plasma adalah
140-199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L) dan glukosa plasma puasa adalah 100-126
mg/dL (5,6-6,9 mmol/L).2

Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi 3 yaitu:
<140 mg/dL = normal
140-200 mg/dL = toleransi glukosa terganggu
>200 mg/dL = diabetes

PersiapanTTGO berdasarkan pedoman WHO 1994 adalah sebagai berikut:


Tiga hari sebelum pemeriksaan, subjek dapat makan (dengan karbohidrat yang
cukup) dan melakukan aktivitas fisik seperti biasa.
Puasa sedikitnya 8 jam (mulai dari malam hari) sebelum pemeriksaan. Boleh
konsumsi air biasa.
Kumpulkan sampel darah untuk pemeriksaan gula darah.
Berikan 75 g glukosa anhidrus (dewasa) atau 1,75 g/kg berat badan (anak),
dilarutkan dalam 250 mL air dan diminum dalam 5 menit.
Puasa selama 2 jam setelah pemberian glukosa.
Kumpulkan sampel darah untuk pemeriksaan darah 2 jam setelah pemberian
glukosa.
Selama OGTT, subjek harus beristirahat dan tidak boleh merokok.14

2.7. Diagnosis Banding


Menentukan apakah pasien mengalami DM tipe 1 atau 2 adalah penting
karena pasien dengan DM tipe 1 memerlukan insulin eksogen secara berkepanjangan,
sedangkan tatalaksana DM tipe 2 terdiri atas perubahan gaya hidup dan berbagai
medikasi lainnya, dengan penggunaan insulin jika diperlukan.
Pasien dengan DM tipe 2 umumnya dapat dibedakan dari DM tipe 1 dengan
riwayat pasien dan pemeriksaan fisik serta uji laboratorium sederhana. Pasien dengan
DM tipe 2 umumnya obesitas, dan dapat disertai dengan acanthosis nigricans
dan/atau hirsutisme bersamaan dengan leher tebal dan pipi tembem.
Pasien dengan DM yang dikontrol dengan diet atau agen antidiabetes oral
selama lebih dari beberapa bulan umumnya mengalami DM tipe 2. Suatu pasien yang
kurus dengan DM sejak masa anak-anak dan telah bergantung terhadap insulin, atau
mempunyai riwayat diabetic ketoacidosis (DKA) hampir selalu merupakan penderita
DM tipe 1.18

2.8 Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes,yang meliputi:
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas
hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,
tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara
komprehensif.19
Langkah-langkah Penatalaksanaan Umum
1. Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama:
a. Riwayat Penyakit
Gejala yang dialami oleh pasien.
Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah.
Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner, obesitas, dan
riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan endokrin lain).
Riwayat penyakit dan pengobatan.
Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi.
b. Pemeriksaan Fisik
Pengukuran tinggi dan berat badan.
Pengukuran tekanan darah, nadi, rongga mulut, kelenjar tiroid, paru dan jantung
Pemeriksaan kaki secara komprehensif
c. Evaluasi Laboratorium
HbA1c diperiksa paling sedikit 2 kali dalam 1 tahun pada pasien yang mencapai
sasaran terapi dan yang memiliki kendali glikemik stabil. dan 4 kali dalam 1 tahun
pada pasien dengan perubahan terapi atau yang tidak mencapai sasaran terapi.
Glukosa darah puasa dan 2 jam setelah makan.
d. Penapisan Komplikasi
Penapisan komplikasi harus dilakukan pada setiap penderita yang baru terdiagnosis
DMT2 melalui pemeriksaan :
Profil lipid dan kreatinin serum.
Urinalisis dan albumin urin kuantitatif.
Elektrokardiogram.
Foto sinar-X dada
Funduskopi dilatasi dan pemeriksaan mata secara komprehensif oleh dokter
spesialis mata atau optometris.
Pemeriksaan kaki secara komprehensif setiap tahun untuk mengenali faktor risiko
prediksi ulkus dan amputasi: inspeksi, denyut pembuluh darah kaki, tes monofilament
10 g, dan Ankle Brachial Index (ABI).
Langkah-langkah Penatalaksanaan Khusus
Penatalaksanaan DM dimulai dengan pola hidup sehat, dan bila perlu dilakukan
intervensi farmakologis dengan obat antihiperglikemia secara oral dan/atau suntikan.
1. Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai bagian
dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari pengelolaan
DM secara holistik.
2. Terapi Nutrisi Medis (TNM)
Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal
makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat
penurun glukosa darah atau insulin.
3. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-5 hari seminggu
selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit perminggu, dengan jeda antar
latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa
latihan jasmani yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50-70% denyut
jantung maksimal) seperti jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang.
Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara = 220-usia pasien.
4. Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan.
a. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5
golongan:
1) Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue): Sulfonilurea dan Glinid
Sulfonilurea
` Obat golongan ini mempunyai efek utama memacu sekresi insulin oleh
sel beta pankreas.
Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Obat
ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
2) Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin: Metformin dan Tiazolidindion
(TZD)
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa perifer. Metformin
merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DMT2.
Tiazolidindion (TZD) merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-), suatu reseptor inti termasuk di sel
otot, lemak, dan hati.Golongan ini mempunyai efek menurunkan
resistensi insulin dengan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer.Obat ini dikontraindikasikan
pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC IIIIV) karena dapat
memperberat edema/retensi cairan.Hati-hati pada gangguan faal hati, dan
bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala.Obat yang masuk
dalam golongan ini adalah Pioglitazone.
3) Penghambat Absorpsi Glukosa: Penghambat Glukosidase Alfa.
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus
halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah
makan. Penghambatglukosidase alfa tidak digunakan bila GFR 30ml/min/1,73
m2, gangguan faal hatiyang berat, irritable bowel syndrome.

4) Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)


Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV
sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi
dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan
menekan sekresi glukagon bergantung kadar glukosa darah (glucose
dependent).
5) Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral
jenis baru yang menghambat reabsorpsi glukosa di tubuli distal ginjal dengan
cara menghambat transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan
ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin.

b. Obat-Obat antihiperglikemik suntik


1) Insulin

2) Agonis GLP-1/Incretin Mimetic


Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan
baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang
pengelepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun
peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan insulin
ataupun sulfonilurea.Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat
badan. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa
sebah dan muntah.

c. Terapi Kombinasi
Terapi dengan obat antihiperglikemia oral kombinasi baik secara terpisah
ataupun fixed dose combination dalam bentuk tablet tunggal, harus
menggunakan dua macam obatdengan mekanisme kerja yang berbeda. Pada
keadaan tertentu dapat terjadi sasaran kadarglukosa darah yang belum
tercapai, sehingga perlu diberikan kombinasi tiga obatantihiperglikemia oral
dari kelompok yang berbeda atau kombinasi obatantihiperglikemia oral
dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinisdimana insulin
tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga
obatantihiperglikemia oral dapat menjadi pilihan.Kombinasi obat
antihiperglikemia oral dan insulin yang banyak dipergunakan
adalahkombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin basal (insulin kerja
menengah atauinsulin kerja panjang), yang diberikan pada malam hari
menjelang tidur.Pendekatanterapi tersebut pada umumnya dapat mencapai
kendali glukosa darah yang baik dengandosis insulin yang cukup kecil. Dosis
awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yangdiberikan sekitar jam
22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilaikadar
glukosa darah puasa keesokan harinya. Pada keadaaan dimana kadar glukosa
darahsepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin
basal, makaperlu diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, serta
pemberian obatantihiperglikemia oral dihentikan.19

2.8 Komplikasi
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan
komplikasi akut dan kronis. Menurut PERKENI komplikasi DM dapat dibagi
menjadi dua kategori, yaitu :
a. Komplikasi akut
Hipoglikemia, adalah kadar glukosa darah seseorang di bawah nilai normal (<
50 mg/dl). Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita DM tipe 1 yang dapat
dialami 1-2 kali per minggu, Kadar gula darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-
sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak berfungsi bahkan dapat
mengalami kerusakan.- Hiperglikemia, hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah
meningkat secara tiba-tiba, dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang
berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik, Koma Hiperosmoler Non Ketotik
(KHNK) dan kemolakto asidosis.
b. Komplikasi Kronis
Komplikasi makrovaskuler, komplikasi makrovaskuler yangumum berkembang
pada penderita DM adalah trombosit otak (pembekuan darah pada sebagian otak),
mengalami penyakit jantung koroner (PJK), gagal jantung kongetif, dan stroke.-
Komplikasi mikrovaskuler, komplikasi mikrovaskuler terutama terjadi pada penderita
DM tipe 1 seperti nefropati, diabetik retinopati (kebutaan), neuropati, dan amputasi.20

2.9 Pencegahan
Pencegahan penyakit diabetes melitus dibagi menjadi empat bagian yaitu:
Pencegahan Premordial
Pencegahan premodial adalah upaya untuk memberikan kondisi pada
masyarakat yang memungkinkan penyakit tidak mendapat dukungan dari kebiasaan,
gaya hidup dan faktor risiko lainnya. Prakondisi ini harus diciptakan dengan
multimitra. Pencegahan premodial pada penyakit DM misalnya adalah menciptakan
prakondisi sehingga masyarakat merasa bahwa konsumsi makan kebarat-baratan
adalah suatu pola makan yang kurang baik, pola hidup santai atau kurang aktivitas,
dan obesitas adalah kurang baik bagi kesehatan.
Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang
termasuk kelompok risiko tinggi, yaitu mereka yang belum menderita DM, tetapi
berpotensi untuk menderita DM diantaranya :
a. Kelompok usia tua (>45tahun)
b. Kegemukan (BB(kg)>120% BB idaman atau IMT>27 (kglm2))
c. Tekanan darah tinggi (>140i90mmHg)
d. Riwayat keiuarga DM
e. Riwayat kehamilan dengan BB bayi lahir > 4000 gr.
f. Disiipidemia (HvL<35mg/dl dan atau Trigliserida>250mg/dl).
g. Pernah TGT atau glukosa darah puasa tergangu (GDPT)
Untuk pencegahan primer harus dikenai faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap timbulnya DM dan upaya untuk menghilangkan faktor-faktor tersebut. Oleh
karena sangat penting dalam pencegahan ini. Sejak dini hendaknya telah ditanamkan
pengertian tentang pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis makanan yang
sehat menjaga badan agar tidak terlalu gemuk:, dan risiko merokok bagi kesehatan.
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya
penyulit dengan tindakan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal
penyakit. Dalam pengelolaan pasien DM, sejak awal sudah harus diwaspadai dan
sedapat mungkin dicegah kemungkinan terjadinya penyulit menahun. Pilar utama
pengelolaan DM meliputi:
a. penyuluhan
b. perencanaan makanan
c. latihan jasmani
d. obat berkhasiat hipoglikemik.
Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut
dan merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut menetap.
Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi antar disiplin terkait sangat
diperlukan, terutama dirumah sakit rujukan, misalnya para ahli sesama disiplin ilmu
seperti ahli penyakit jantung, mata, rehabilitasi medis, gizi dan lain-lain. 21,22,23
DAFTAR PUSTAKA

1. Purnamasari, D. et al, 2011. The Indonesian Society of Endocrinologys


Summary Article of Diabetes Mellitus National Clinical Practice Guidelines.
Available from: http://pbperkeni.or.id/newperkeni/2016/10/15/the-indonesian-
society-of-endocrinologys-summary-article-of-diabetes-mellitus-national-
clinical-practice-guidelines/ [Accessed: 19 October 2016]
2. Waspada Online, 2009. Medan, Terbanyak Penderita Diabetes. Available from:
http://waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=71175:-
medan-terbanyak-penderita-diabetes&catid=14:medan&Itemid=27 [Accessed
19 October 2016]
3. Rudianto, A., Soewondo,P., Waspadji, S., Yunir, E., dan Purnamasari, D., The
Indonesian Society of Endocrinologys Summary Article of Diabetes Mellitus
National Clinical Practice Guideline.Journal of the ASEAN Federation of
Endocrine Societies 2011; 26(1): 17-19.
4. American Diabetes Association.Diagnosis and Classification of Diabetes
Melitus. Diabetes Care 2013; 36(1): S67-S74.
5. Purnamasari, D., Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. In: Setiyohadi B,
Alwi I, Marcellus SK, Setiati S., ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. 4th
ed. 2006. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
6. Amiruddin, R., Stang, Ansar, J. Sidik, D., dan Rahman, A. W., Diabetic
Mellitus Type 2 in Wajo South Sulawe Indonesia.International Journal of
Current Research Academy and Review. 2014; 2(12): 1-8.
7. Kavveshar, S. A., Cornwall, J., The current state of diabetes mellitus in
India.Australian Medical Journal [AMJ] 2014; 7(1) : 45-48.
8. Wild S., et al.Global Prevalence of Diabetes : Estimates for the year 2000 and
projections for 2030.Diabetes Care 2004; 27(5): 1047-1053.
9. Yusuf, S., et al., Prevalence and Risk Factor of Diabetic Foot Ulcers in a
Regional Hospital, Eastern Indonesia. Open Journal of Nursing 2016; 6: 1-10.
10. Fabiola, A., et al.Prevalence of Diabetes Mellitus among Sub-Urban
Population in Makassar, Indonesia. International Journal of Science and
research (ISJR) 2016; 5(1): 835-838.
11. Buraerah, Hakim. Analisis Faktor Risiko Diabetes Melitus tipe 2 di Puskesmas
Tanrutedong, Sidenreg Rappan,. Jurnal Ilmiah Nasional;2010 [cited 2010 feb
17]. Available from :http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=
61&src=a&id=186192
12. Harding, Anne Helen et al. Dietary Fat adn Risk of Clinic Type Diabetes.
A,erican Journal of Epidemiology.2003;15(1);150-9.
13. 5. Hastuti, Rini Tri. Faktor-faktor Risiko Ulkus Diabetika Pada Penderita
Diabetes Melitus Studi Kasus di RSUD Dr. Moewardi Surakarta [dissertation].
Universitas Diponegoro (Semarang). 2008.
14. Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., dkk, 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Internal Publishing, 2324
15. Thamrin
16. Soelestijo, S.A., et al. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Mellitus Tipe 2 di Indonesia. PB Perkeni, 1(1):6-9
17. Bare & Suzanne, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume 2,
(Edisi 8), EGC Jakarta.
18. Khardori, R. et al, 2016. Type 2 Diabetes Mellitus. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/117853-differential [Accessed: 19
October 2016]
19. Dr. dr. Fatimah Eliana, SpPD, KEMD. Penatalaksanaan DM sesuai Konsesnsus
Perkeni 2015.
20. Waspadji S. Kaki diabetes. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III,
edisi kelima. Jakarta: Interna publishing, 2009.h.1961.
21. Departemen Kesehatan. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes Melitus.
2005.
22. Slamet S. Diet pada diabetes Dalam Noer dkk.Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Edisi III.Jakarta: Balai Penerbit FK-ill;2008.
23. 7. Sujaya, I Nyoman. Pola Konsumsi Makanan Tradisional Bali sebagai
Faktor Risiko Diabetes Melitus Tipe 2 di Tabanan. Jurnal Skala Husada.
2009;6(1);75-81.

Anda mungkin juga menyukai