Anda di halaman 1dari 3

Nama : Nopriansyah

NIM : 121021037

DEPRESI
Latar Belakang

Depresi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius.World Health


Organization (WHO) menyatakan bahwa depresi berada pada urutan ke-empat penyakit di
dunia. Sekitar 20% wanita dan 12% pria, pada suatu waktu dalam kehidupannya pernah
mengalami depresi (Amir N, 2005).

Depresi merupakan suatu gangguan keadaan tonus perasaan yang secara umum
ditandai oleh rasa kesedihan, apatis, pesimisme, dan kesepian yang mengganggu aktivitas
sosial dalam sehari-hari. Depresi biasanya terjadi pada saat stress yang dialami oleh
seseorang tidak kunjung reda, sebagian besar diantara kita pernah merasa sedih atau jengkel,
kehidupan yang penuh masalah, kekecewaan, kehilangan dan frustasi yang dengan mudah
menimbulkan ketidakbahagiaan dan keputusasaan. Namun secara umum perasaan demikian
itu cukup normal dan merupakan reaksi sehat yang berlangsung cukup singkat dan mudah
dihalau (Gred Wilkinson, 1995).

Depresi ditandai dengan adanya perasaan sedih, murung, dan iritabilitas. Pasien
mengalami distorsi kognitif seperti mengeritik diri sendiri, timbul rasa bersalah, perasaan
tidak berharga, kepercayaan diri menurun, pesimis, dan putus asa. Terdapat juga perasaan
malas, tidak bertenaga, retardasi psikomotor, dan menarik diri dari hubungan sosial. Pasien
mengalami gangguan tidur seperti sulit masuk tidur atau terbangun dini hari. Nafsu makan
berkurang, begitu juga dengan gairah seksual (Amir N, 2005).

Di Indonesia banyak kasus depresi terjadi sebagai akibat dari krisis yang melanda
beberapa tahun belakangan ini. Masalah PHK, sulitnya mencari pekerjaan, sulitnya
mempertahankan pekerjaan dan krisis keuangan adalah masalah yang sekarang ini sangat
umum juga menjadi pendorong timbulnya depresi di kalangan professional.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat depresi adalah gangguan


mental yang umum terjadi di antara populasi. Diperkirakan 121 juta manusia di muka bumi
ini menderita depresi. Dari jumlah itu 5,8 persen laki-laki dan 9,5 persen perempuan, dan
hanya sekitar 30 persen penderita depresi yang benar-benar mendapatkan pengobatan yang
cukup, sekalipun telah tersedia teknologi pengobatan depresi yang efektif. Ironisnya, mereka
yang menderita depresi berada dalam usia produktif, yakni cenderung terjadi pada usia
kurang dari 45 tahun. Tidaklah mengherankan, bila diperkirakan 60 persen dari seluruh
kejadian bunuh diri terkait dengan depresi (Ahmad Djojosugito, 2002).

Gangguan depresi merupakan gangguan emosi yang paling sering dikaitkan dengan
stroke. Sekitar 15 - 25% pasien stroke yang ada dalam masyarakat menderita depresi, baik
mayor maupun minor (Amir N, 2005). Menurut Lipsey dan kawan kawan, banyak diantara
penderita pasca stroke tidak mendapat perhatian. Hal ini disebabkan oleh beberapa pendapat
yang mengatakan bahwa penderita menjadi depresi akibat stroke. Dengan kata lain bahwa
depresi ini bisa terjadi akibat ketidakberdayaan fisik yang disebabkan oleh stroke. Oleh sebab
itu pengobatan secara khusus terhadap depresi ini tidak perlu dilakukan. Asumsi lain karena
penyebab dari depresi pada pasca stroke tidak jelas maka dirasakan tidak perlu memberikan
pengobatan secara khusus karena diharapkan bahwa depresi pada penderita pasca stroke akan
hilang dengan sendirinya dalam jangka waktu tertentu. Namun pendapat lain yang berbeda,
menyatakan bahwa depresi yang disebabkan oleh apa saja harus mendapat penanggulangan
yang baik. Hal ini perlu dilakukan karena depresi bisa berdampak negatif terhadap
rehabilitasi si penderita, dimana depresi dapat mempengaruhi partisipasi penderita dalam
pengobatan dan hasil rehabilitasi (Paskavitz, 2001).

Lipsey dan kawan - kawan melaporkan kira kira dua pertiga pasien depresi pasca
stroke sembuh dalam 7 8 bulan kemudian, tetapi penelitian yang dilakukan oleh Ashio dan
kawan - kawan dan juga Wade dan kawan - kawan, menyatakan bahwa prevalensi dari
depresi pasca stroke hanya menurun sedikit setelah 1 2 tahun. Penelitian yang dilakukan
oleh Adam dan Hurwitz melaporkan bahwa gangguan neuropsikiatri pasca stroke akan
menyebabkan gangguan yang lebih besar dan kesukaran rehabilitasi dibandingkan bila hanya
kecacatan fisik saja, misalnya paralisis. Penelitian yang dilakukan Moris dan kawan - kawan
mendapatkan bahwa depresi pasca stroke yang segera terjadi setelah stroke akan mempunyai
dampak negatif pada pemulihan fungsi pasien dan memperlambat penyembuhan dan
perbaikan kognitif pasien. Dengan demikian penanganan depresi pasca stroke dengan cepat,
tepat, dan baik, akan sangat membantu pemulihan keadaan pasien, sehingga lama tinggal di
rumah sakit juga dapat diperpendek (Purba, 1988).
Di Indonesia penelitian berskala cukup besar dilakukan oleh Asean Neurologic
Association (ASNA) di 28 Rumah Sakit seluruh Indonesia. Penelitian ini dilakukan pada
penderita stroke akut yang dirawat di Rumah Sakit (hospital based study), dan dilakukan
survey mengenai faktor faktor risiko, lama perawatan, mortalitas dan morbiditasnya.
Dengan analisa penelitian ini kita memperoleh gambaran dan profil stroke di Indonesia,
distribusi demografik dan gambaran faktor risiko stroke, gambaran klinis, morbiditas dan
mortalitasnya di Indonesia. Penderita laki laki lebih banyak dari perempuan dan profil usia
dibawah 45 tahun cukup banyak yaitu 11.8%, usia 45 64 tahun berjumlah 54.2%, dan diatas
usia 65 tahun 33.5% (Misbach, 2007)

Adanya depresi sebagai komorbiditas dapat memperberat stroke maupun menjadi


penyulit dalam rehabilitasi pasien stroke. Gagasan ini memerlukan kerjasama yang baik
antara dokter ahli neurologi sebagai pemeran utama, dengan psikiater yang mempunyai
tujuan akhir suatu rehabilitasi berupa perbaikan kualitas hidup pasca stroke, disamping
menekan angka morbiditas dan mortalitas.Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian ini agar kejadian depresi pasca stroke di RSUP. Haji Adam Malik Medan dapat
dengan cepat diatasi.

Refrensi

1. Amir N. Depresi: Aspek neurobiologi, diagnosis dan tatalaksana. Jakarta: Balai Penerbit
FK-UI; 2005.hal.133 8.
2. Paskavitz J. Management of poststroke neurubehavioral disturbances. In: stroke therapy.
2nd ed. Boston: Butterworth Heinemann; 2001.p.377-85
3. Purba JS. Depresi post stroke : Satu tinjauan dipandang dari sudut psikoneuroendokrin.
Dibacakan pada : Simposium depresi post stroke, musyawarah kerja dan pertemuan
ilmiah tahunan. Batu Malang; Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(PERDOSSI); 1 5 Juli 1988.
4. Surilena. Depresi pasca stroke dan penatalaksanaannya. Dalam : majalah JIWA XXXI :
2;1999.hal.161-170.
5. Misbach J. Pandangan umum mengenai stroke. Dalam : manajemen stroke secara
komprehensif. Jakarta : Balai Penerbit FK-UI; 2007.hal.1-3.

Anda mungkin juga menyukai