Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

ANESTESI UMUM

Pembimbing :
dr. Ratna Anggraeni Sp. An

Disusun Oleh :
Nabila Islamiyati (030.12.181)

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 8 MEI 10 JUNI 2017

LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

ANESTESI UMUM
Disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik

Bagian Anestesi

Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi

Telah Disetujui Oleh :

Dokter Pembimbing

Dr. Ratna Anggraeni Sp. An

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ..1

1
DAFTAR ISI 2

BAB I PENDAHULUAN ....3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..4

ANESTESI UMUM...4

TINDAKAN ANESTESI.16

MONITORING PERIANESTESI16

PEMULIHAN ANESTESI..17

BAB III KESIMPULAN .....20

BAB IV DAFTAR PUSTAKA ...21

BAB I

PENDAHULUAN

2
Anestesi dalam bahasa Yunani berarti an- "tidak, tanpa" dan aesthetos, "persepsi,
kemampuan untuk merasa", yang berarati suatu tindakan untuk menghilangkan rasa
sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang
menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
Kata anesthesia diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes yang
menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian obat
dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan. Anestesiologi ialah ilmu
kedokteran yang pada awalnya berprofesi menghilangkan nyeri dan rumatan pasien
sebelum, selama dan sesudah pembedahan. Definisi anestesiologi berkembang terus
sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran.(1)

Anestesi umum adalah menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral
disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Perbedaan dengan anestei local
antara lain, pada anestesi local hilangnya rasa sakit setempat sedang pada anestesi
umu seluruh tubuh. Pada anestesi local yang terpengaruh saraf perifer, sedang pada
anestesi umum yang terpengaruh saraf pusat dan pada anestesi local tidak terjadi
kehilangan kesadaran.(2)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

3
ANESTESI UMUM

II.1. Definisi

Anestesi umum adalah menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral

disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. (3) Anestesi memungkinkan

pasien untuk mentoleransi prosedur bedah yang akan menimbulkan sakit yang tak

tertahankan, mempotensiasi eksaserbasi fisiologis yang ekstrim, dan menghasilkan

kenangan yang tidak menyenangkan. Dengan cara kerja yang berpedoman pada trias

anestesi yaitu: hipnotik/sedasi, analgesia, dan relaksasi.

II. 2. Indikasi Anestesi Umum

1. Infant & anak usia muda


2. Dewasa yang memilih anestesi umum
3. Pembedahannya luas/ekstensif
4. Penderita sakit mental
5. Pembedahan lama
6. Pembedahan dimana anestesi lokal tidak praktis atau tidak memuaskan
7. Riwayat penderita alergi obat anestesi local
8. Penderita dengan pengobatan antikoagulantia
II. 3. Keuntungan Anestesi Umum

Pasien tidak sadar, membuat pasien lebih tenang selama proses medis
berlangsung
Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang di dapat akibat ansietas
dan berbagai kejadian intraoperatif yang mungkin memberikan trauma
psikologis
Untuk operasi yang lama
Dilakukan pada kasus-kasus yang memiliki alergi terhadap agen anestesia
local
Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien
II. 4. Kerugian Anestesi Umum

4
Hampir semua regulasi tubuh menjadi tumpul di bawah anestesi umum.
Membutuhkan pemantauan ekstra selama anestesi berlangsung
Membutuhkan mesin-mesin yang lengkap
Tidak dapat mendeteksi gangguan susunan saraf pusat, misalnya perubahan
kesadaran.
Dapat menimbulkan komplikasi yang berat, seperti : kematian, infark
myokard, dan stroke
Dapat menimbulkan komplikasi ringan seperti : mual, muntah, sakit
tenggorokkan, sakit kepala. Resiko terjadinya komplikasi pada pasien dengan
anestesi umum adalah kecil, bergantung beratnya kormobit penyakit
pasiennya.
II. 5. Komplikasi

A . Jalan nafas
Hampir semua komplikasi jalan nafas berupa trauma. Ketika melakukan
ventilasi dengan sungkup dan bag, lidah pasien dapat tergigit. Oleh karena itu
dianjurkan menggunakan sungkup yang berwarna transparan karena selain dapat
melihat lidah yang tergigit, juga dapat melihat jika pasien muntah.(3)
Trauma jalan nafas yang paling sering terjadi berhubungan dengan tindakan
laringoskopi dan intubasi. Mulai dari yang ringan (gigi tanggal, laserasi sudut mulut)
hingga cedera glotis dan jaringan lunak sekitar nya. Intubasi dengan pipa endotrakeal
(ETT), sering menyebabkan trauma dan kerusakan struktur jalan nafas atas. Terutama
intubasi dilakukan dalam keadaan pasien nafas spontan, ETT dapat mencederai pita
suara atau menyebabkan laringospasme. Penggunaan balon (cuff) ETT juga dapat
menimbulkan trauma jika balon dikembangkan terlalu besar. Pascabedah, setelah
ekstubasi terkadang baru disadari ada pembengkakan di jalan nafas. Edema laring
atau laringospasme pasca ekstubasi dapat menjadi masalah besar karena dapat
menyebabkan obstruksi jalan nafas.(3)
Selain ujung LM yang terlipat, ujung epiglotis pun dapat terlipat di pita suara
yang akan menyebabkan kesulitan bernafas, batuk, laringospasme, bahkan sumbatan
jalan nafas total. Dianjurkan menggunakan pelumas ketika memasangnya, tetapi
pelumas yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya batuk dan laringospasme(3)
B. Sistem pernafasan

5
Komplikasi yang paling ditakuti adalah obstruksi saluran pernapasan akut selama
atau segera setelah induksi anestesi. Spasme Larynx dan penahanan napas dapat sulit
dibedakan serta dapat timbul sebagai respon terhadap anestesi yang ringan, terutama
jika saluran pernapasan dirangsang oleh uap anestesi iritan atau materi asing yang
mencakup sekresi dan kandungan asam lambung.(3)
C. Kardiovaskuler
Komplikasi kardiovaskuler yang dapat terjadi antara lain hipotensi, hipertensi, aritmia
jantung, dan payah jantung. Hipotensi didefinisikan sebagai tekanan darah systole kurang
dari 70 mmHg atau turun lebih dari 25% dari nilai sebelumnya. Hipotensi dapat
disebabkan oleh hipovolemia yang diakibatkan oleh perdarahan. Penyakit kardiovaskuler
seperti infark miokard, aritmia, hipertensi, dan reaksi hipersensivitas obat induksi, obat
pelumpuh otot, dan reaksi transfuse(3).
Hipertensi dapat meningkat pada periode induksi dan pemulihan anestesi. Komplikasi
hipertensi disebabkan oleh analgesia dan hipnosis yang tidak adekuat, batuk, penyakit
hipertensi yang tidak diterapi, dan ventilasi yang tidak adekuat. Sementara faktor-faktor
yang mencetuskan aritmia adalah hipoksia, hiperkapnia, tindakan intubasi, gangguan
elektrolit, dan pengaruh beberapa obat tertentu. (3)
D. Hati
Penyebab hepatitis pasca bedah dapat disebabkan oleh halotan. Zat anestesi
mengurangi susunan kekebalan tubuh dan membuat pasien lebih mudah terkena infeksi
yang mencakup hepatitis virus. Anestesi Halotan berulang dalam interval 6 minggu
mungkin harus dihalangi. (3)
E. Suhu tubuh
Akibat venodilatasi perifer yang tetap ditimbulkan anestesi menyebabkan penurunan
suhu inti tubuh. Selama pembedahan yang lama, bisa timbul hipotermi yang parah, yang
menyebabkan pengembalian kesadaran tertunda, pernapasan dan perfusi perifer tidak
adekuat. (3)

II. 6. Stadium Anestesi

Kedalaman anestesi harus dimonitor terus menerus oleh pemberi anestesi, agar

tidak terlalu dalam sehingga membahayakan jiwa penderita, tetapi cukup adekwat

untuk melakukan operasi. Kedalam anestesi dinilai berdasar tanda klinik yang

didapat. Guedel membagi kedalaman anestesi menjadi 4 stadium dengan melihat

6
pernapasan, gerakan bola mata, tanda pada pupil, tonus otot dan reflex pada penderita

yang mendapat anesthesia ether.

1. Stadium I disebut juga stadium analgesi atau stadium disorientasi. Dimulai

sejak diberikan anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini operasi

kecil bias dilakukan


2. Stadium II disebut juga stadium delirium atau stadium eksitasi. Dimulai dari

hilangnya kesadaran sampai nafas teratur. Dalam stadium ini penderita bias

meronta-ronta, pernapasan irregular, pupil melebar reflex cahaya positif

gerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi, reflex

fisiologi masih ada, dapat terjadi batuk atau muntah kadang kencing atau

defekasi. Stadium ini diakhiri dengan hilangnya reflex menelan dan kelopak

mata dan selanjutnya nafas menjadi teratur. Stadium ini membahayakan

penderita sehingga harus segera diakhiri. Keadaan ini bias dikurangi dengan

memberikan premedikasi yang adekwat, persiapan psikologi penderita dan

induksi yang halus dan tepat.


3. Stadium III disebut juga stadium operasi. Dimulai dari nafas teratur sampai

paralise otot nafas.


Dibagi menjadi 4 plana :
Plana I : Ditandai dengan nafas teratur, nafas torakal sama dengan abdominal.

Gerakan bola mata terhenti, pupil mengecil, reflex cahaya (+), lakrimasi

meningkat, reflex faring dan muntah menghilang, tonus otot menurun.


Plana II : Ditandai dengan pernafasan teratur, volume tidal menurun dan

frekuensi nafas meningkat, mulai terjadi depresi napas torakal, bola mata

berhenti, pupil mulai melebar dan reflex cahaya menurun, reflex kornea

menghiang dan tonus otot makin menurun.


Plana III : Ditandai dengan pernapasan abdominal lebih dominan dari torakal

karena terjadi paralisis otot intercostal, pupil makin melebar dan reflex cahaya

7
menjadi hilang, lakrimasi negative, reflex laring dan peritoneal menghilang,

tonus otot makin menurun.


Plana IV : Ditandai dengan paralise otot intercostal, pernapasan lambat,

irregular dan tidak adekwat, terjadi jerky karena terjadi paralise diafragma.

Tonus otot makin menurun sehingga terjadi flaccid, pupil melebar, reflex

cahaya negative, sphincter ani negative.


4. Stadium IV dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian. Juga disebut

stadium over dosis atau stadium paralysis. Ditandai dengan hilangnya semua

reflex, pupil dilatasi, terjadi respiratory failure diikuti dengan circulatory

failure.(2)

II. 7. Persiapan Pre-anaestesi

A. Persiapan mental dan fisik pasien


1. Anamnesis
- Identitas pasien, misalnya : nama, umur, alamat dan pekerjaan
- Riwayat penyakit yang sedang atau pernah diderita yang mungkin dapat
menjadi penyulit dalam anestesia seperti penyakit alergi, diabetes mellitus,
penyakit paru kronik, penyakit jantung dan hipertensi, penyakit hati dan
penyakit ginjal.
- Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin dapat
menimbulkan interaksi dengan obat-obat anestesi.
- Riwayat operasi dan anestesia yang pernah dialami, berapa kali dan selang
waktunya, serta apakah pasien mengalami komplikasi saat itu.
- Kebiasaan buruk sehari-hari yang dapat mempengaruhi jalannya anestesi
misalnya merokok, alkohol, obat-obat penenang atau narkotik.(4)
2. Pemeriksaan fisik
- Tinggi dan berat badan untuk mmemperkirakan dosis obat, terapi cairan yang
diperlukan dan jumlah urin selama dan pasca bedah.
- Kesadaran umum, kesadaran, tanda-tanda anemia, tekanan darah, frekuensi
nadi, pola dan frekuensi pernafasan.

8
- Pemeriksaan saluran pernafasan; batuk-batuk, sputum, sesak nafas, tanda-
tanda sumbatan jalan nafas, pemakaian gigi palsu, trismus, persendian
temporo mandibula.
- Tanda-tanda penyakit jantung dan kardiovaskuler; dispnu atau ortopnu,
sianosis, hipertensi
- Abdomen untuk melihat adanya distensi, massa, asites yang dapat membuat
tekanan intra abdominal meningkat sehingga dapat menyebabkan regurgitasi.(5)
3. Pemeriksaan laboratorium
- Darah : Hb, leukosit, golongan darah, hematokrit, masa pembekuan, masa
perdarahan, hitung jenis leukosit
- Urine : protein, reduksi, sedimen
- Foto thoraks
- EKG : terutama pada pasien diatas 40 tahun karena ditakutkan adanya
iskemia miokard
- Spirometri dan bronkospirometri pada pasien tumor paru
- Fungsi hati pada pasien ikterus
- Fungsi ginjal pada pasien hipertensi
- Analisa gas darah, elektrolit pada ileus obstruktif(5)

B. Perencanaan anastesia
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar
pasien dalam keadaan bugar, sedangkan pada operasi cito penundaan yang tidak perlu
harus dihindari.
C. Merencanakan prognosis
Klasifikasi yang digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang berasal dari
The American Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi sebagai berikut :
ASA 1 : pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
ASA 2 : pasien dengan penyakit sistemik ringan dan sedang
ASA 3 : pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas
ASA 4 : pasien dengan penyakit sistemik berat yang tak dapat melakukan aktivitas
rutin dan penyakit merupakan ancaman kehidupannya setiap saat
ASA 5 : pasien sekarat yang diperkirakan dangan atau tanpa pembedahan hidupnya
tidak akan lebih dari 24 jam

9
Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E(5).
D. Persiapan pada hari operasi
Secara umum, persiapan pembedahan antara lain :
1. Pengosongan lambung : dengan cara puasa, memasang NGT. Lama
puasa pada orang dewasa kira-kira 6-8 jam, anak-anak 4-6 jam, bayi 2 jam
(stop ASI). Pada operasi darurat, pasien tidak puasa, maka dilakukan
pemasangan NGT untuk dekompresi lambung.
2. Pengosongan kandung kemih
3. Informed consent ( Surat izin operasi dan anestesi).
4. Pemeriksaan fisik ulang
5. Pelepasan kosmetik, gigi palsu, lensa kontak dan asesori lainnya.
6. Premedikasi secara intramuskular - 1 jam menjelang operasi atau
secaraintravena jika diberikan beberapa menit sebelum operasi
II. 8. Premedikasi

Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan

tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya :

Meredakan kecemasan dan ketakutan, misalnya diazepam


Memperlancar induksi anestesia, misalnya pethidin
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, misalnya sulfas atropine dan
hiosin
Meminimalkan jumlah obat anestesi, misalnya pethidin
Mengurangi mual-muntah pasca bedah, misalnya ondansetron
Menciptakan amnesia, misalnya diazepam,midazolam
Mengurangi isi lambung
Mengurangi reflex yang membahayakan, misalnya atracurium, sulfas atropine
Obat-obat premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini :
1. Narkotik analgesic, misalnya morfin pethidin
2. Transqualizer yaitu dari golongan benzodiazepine, misalnya
diazepam dan midazolam. Diazepam dapat dberikan peroral 10-
15 mg beberapa jam sebelum induksi anesthesia
3. Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital

10
4. Antikolinergik, misal atropine dan hiosin
5. Antihistamin, misal prometazine
6. Antasida, misal gelusil
7. H2 reseptor antagonis misalnya cimetidine dan ranitidine.
Ranitidine diberikan 150 mg 1-2 jam sebelum operasi(5)
II. 9. Induksi Anestesi

Induksi anestesia adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinakan dimulainya anestesia dan pembedahan. Induksi
anestesia dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuskular atau rektal.(5)
Untuk menjaga agar penderita tidak jatuh ke dalam hipoksia, sebelum induksi
hendaknya diberikan oksigenasi selama 5 menit terlebih dahulu. Dengan memberikan
pre oksigenasi, kapasitas residual fungsional paru akan terisi oleh oksigen. Selain itu
oksigen yang larut dalam darah juga meningkat, sehingga bila terjadi gangguan
respirasi waktu induksi maka sudah ada cadangan oksigen, yang diharapkan cukup
memenuhi kebutuhan sampai gangguan respirasi dapat diatasi.(2)

Untuk persiapan induksi anestesi sebaiknya kita mempersiapkan STATICS :

S : Scope (stetoskop, laringoskop),


- Stetoskop : untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
- Laringoskop : untuk membuka mulut dan membuat area mulut lebih luas
serta melihat daerah faring dan laring, mengidentifikasi epiglotis, pita
suara dan trakea.
Ada dua jenis laringoskop, yaitu:
a. Blade/bilah /daun lurus (macintosh) untuk bayi-anak-dewasa.
b. Bilah lengkung (miller, magill) untuk anak besar- dewasa.
Yang perlu diperhatikan lagi adalah lampu pada laringoskop harus
cukup terang sehingga laring jelas terlihat.
T : Tube (pipa endotracheal/ETT)

11
- Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia <5 tahun tanpa balon (cuffed) dan
>5tahun dengan balon (cuffed).
A : Airway
- Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring
( naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak
sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan nafas.

Oral pharyngeal airway Nasopharyngeal airway


T : Tape (plester), untuk memfiksasi pipa trakea setelah tindakan intubasi supaya
tidak terlepas
I : Inducer (stilet/ forceps Magill),
Stilet atau Mandrin dari kawat di bungkus plastik (kabel) yang mudah di
bengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.

C : Connector.

12
Connector ialah penyambung antara pipa dan peralatan anestesia.
S : Suction
Digunakan untuk membersihkan jalan napas dengan cara menyedot lendir,
ludah, dan lain-lainnya.(5)
A. Induksi intravena
Induksi intravena hendaknya di kerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut
dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik.
1. Propofol
Propofol (recofol, diprivan) intravena dengan kepekatan 1% menggunakan
dosis 2-3mg/kgBB. Suntikan propofol intravena sering menyebabkan nyeri,
sehingga satu mnit sebelumnya sering di berikan lidokain1mg/kgBB secara
intravena.
2. Ketamine
Ketamine (katalar) intravena dengan dosis 1-2mg/kgBB. Pasca anestesi
dengan ketamine sering menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya
dianjurkan menggunakan sedativa seperti midazolam (dormicum). Ketamine tidak
dianjurkan pada pasien dengan tekanan darah tinggi (>160mmHg). Ketamin
menyebabkan pasien tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka
3. Tiopental
Tiopental (tiopenton, pentotal) hanya dapat digunakan secara intravena dengan
kepekatan 2,5% dan dosis antara 3-7 mg/kgBB. Pada anak dan manula digunakan
dosis rendah dan dewasa muda sehat, dosis tinggi.
4. Opioid (morfin, fentanil, petidin, sufentanil)
Opioid tidak mengganggu kardiovaskuler, sehingga digunakan untuk induksi
pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesi digunakan fentanil dosis induksi
20-50 mcg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mcg/kg/ menit(3,5)
B. induksi intramuscular
Hanya ketamine yang dapat diberikan secara intramuscular dengan dosis 5-
7mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.(3)
C. induksi inhalasi
Hanya di kerjakan dengan halotan (fluotan)/ sevofluran. Cara induksi ini
dikerjakan pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena atau pada dewasa
yang takut di suntik. Induksi halotan memerlukan gas pendorong O 2 atau
campuran N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 >4liter/ menit atau

13
campuran N2O : O2 = 3:1 aliran >4liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol%
sampai konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau pasien batuk, konsentrasi halotan
diturunkan untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikan lagi sampai konsentrasi
yang diperlukan.(3)
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk,
walaupun diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%. Seperti dengan
halotan konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.(3)
Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran) atau desfluran jarang
dilakukan, karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.(3)
D. Induksi per rektal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan tiopental atau midazolam.(3)
E. Induksi mencuri
Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi mencuri inhalasi
seperti induksi inhalasi biasa hanya sungkup muka, tidak di tempelkan pada muka
pasien, tetapi berikan jarak beberapa cm, sampai pasien tertidur baru sungkup
ditempelkan.(3)
II. 10. Rumatan Anestesia
Rumatan anestesi adalah menjaga tingkat kedalaman anestesi dengan cara
mengatur konsentrasi obat anestesi di dalam tubuh pasien. Jika konsentrasi obat tinggi
maka akan dihasilkan anestesi yang dalam, sebaliknya jika konsentrasi obat rendah,
maka akan didapat anestesi yang dangkal. Anestesi yang ideal adalah anestesi yang
adekuat. Untuk itu diperlukan pemantauan secara ketat terhadap indikator-indikator
kedalaman anestesi, yaitu amnesia, analgesia, gerakan otot dan sistem saraf simpatis.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi anestesi antara lain(2)
Faktor respirasi (untuk obat inhalasi)
Faktor sirkulasi
Faktor jaringan
Faktor obat anestesi
Rumatan intravena dengan menggunakan opioid dosis tinggi fentanil 10- 50 g/
kgBB. Rumatan inhalasi bisanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah
halotan 0,5- 2 vol % atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4% atau sevofluran 2-
4% tergantung pernapasan pasien spontan, dibantu atau dikendalikan.(3,5)
II. 11. Obat Pelumpuh Otot

14
Fungsi obat pelumpuh otot adalah memudahkan tindakan laringoskop dan intubasi
trakea, membuat relaksasi otot selama pembedahan, serta menghilangkan spasme
laring dan refleks jalan nafas. Umumnya yang banyak dipakai adalah zat yang
memiliki onset kerja yang cepat dan durasi yang panjang.
1. Atrakurium
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi. Keunggulan obat ini adalah
metabolisme terjadi di darah, tidak bergantung fungsi hati dan ginjal. Tidak
menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna. Dosis intubasi yaitu
0,5-0,6 mg/kgBB/iv, dosis relaksasi otot yaitu 0,5-0,6 mg/kgBB/iv, dan dosis
pemeliharaan 0,1-0,2 mg/kgBB/iv.
2. Suksametonium (succinylcholine)
Indikasi dari suksametonium adakan sebagai pelumpuh otot jangka pendek, dosis
untuk intubasi ialah 1-2 mg/kgBB/iv.(3,5)
II. 12. Tatalaksana nyeri
Metode untuk menghilangkan nyeri biasanya digunakan analgetik golongan
opioid untuk nyeri hebat dan golongan anti inflamasi non steroid (NSAID) untu nyeri
sedang atau ringan.(4)
1. Morfin
Dosis anjuran untuk menghilangkan nyeri sedang ialah 0,1-0,2 mg/kgBB dan
dapat diulang tiap 4 jam. Untuk nyeri hebat dapat diberi 1-2 mg intravena dan diulang
sesuai keperluan.
2. Petidin
Dosis petidin intramuskular 1-2 mg/kgBB dapat diulang tiap 3-4 jam. Dosis
intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. Petidin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan
pandangan dan takikardi.
3. Fentanil
Pada fentanil efek depresi napasnya lebih lama dibanding efek analgesinya. Dosis
1-3 g/kgBB efek analgesianya hanya berlangsung 30 menit.
4. Nalokson
Nalokson ialah antagonis murni opioid. Nalokson biasanya digunakan untuk
melawan depresi nafas pada akhir pembedahan dengan dosisi 1-2 g/kgBB intravena
dan dapat diulang tiap 3-5 menit.(4)

TINDAKAN ANESTESI

15
Metode berikut dianjurkan untuk tindakan anestesi pada pasien dewasa sehat.
Penyimpangan yang berkaitan dengan metode dan pemilihan obat-obatan dapat terjadi
dan merupakan tanggung jawab dokter anestesi.
Suntikan opiod ( misalnya fentanyl 0,1mg)
Pra-oksigenasi pasien, sekitar 5 menit, aliran O2>6L/menit
Suntikan obat hipnotikum (misalnya 2-3mg/kg propofol)
Pernapasan manual pasien setelah hilangnya refleks kelopak mata
Bila pernafasan manual memungkinkan, relaksasi (misalnya dengan
0,3mg/kgBB atrakurium) dilakukan (bila intubasi endotrakeal direncanakan)
Intubasi endotrakeal atau pertolongan jalan napas supraglotis
Auskultasi, kapnometri.
MONITORING PERIANESTESI

Dalam tindakan anestesi harus dilakukan monitoring terus menerus tentang


keadaan pasien.
1. Kardiovaskuler
a. Nadi
Monitoring terhadap nadi merupakan keharusan karena gangguan sirkulasi
sering terjadi selama anestesi.
b. Tekanan darah
Tekanan sistolik-diastolik diketahui dengan cara auskultasi,palpasi, sedangkan
tekanan arteri rata-rata ( mean arterial pressure) diketahui secara langsung dengan
monitor tekanan darah elektronik atau dengan menghitung yaitu 1/3 (tekanan
sistolik + 2x tekanan diastolik atau tekanan diastolik+1/3 ( tekanan sistolik-
tekanan diastolik )
c. Banyaknya perdarahan
Dilakukan dengan cara menimbang kain kasa ketika sebelum kena darah dan
sesudahnya.
2. Respirasi
Respirasi dinilai dari jenis nafasnya, apakah ada retraksi interkostal atau
supraklavikula.

3. Suhu tubuh

16
Tubuh tidak mampu mempertahankan suhu tubuh. Obat anestesi mendepresi pusat
pengatur suhu, sehingga mudah turun naik dengan suhu lingkungan.
4. Monitoring ginjal
Untuk mengetahui keadaan sirkulasi ginjal
5. Monitoring blockade neuromuscular
Untuk mengetahui apakah relaksasi sudah cukup baik atau setelah selesai anestei
apakah tonus otot sudah kembali normal
6. Monitoring sistem saraf
Monitoring dengan memeriksa respon pupil terhadap cahaya, respon terhadap
trauma pembedahan, respon terhadap otot apakah relaksasi cukup atau tidak.
PEMULIHAN ANESTESI

Pada akhir operasi atau setelah operasi selesai, maka anestesi diakhiri dengan
menghentikan pemberian obat anestesi. Pada anestesi inhalasi bersamaan dengan
penghentian obat anestesi aliran oksigen dinaikkan, hal ini disebut oksigenisasi.
Dengan oksigenisasi maka oksigen akan mengisi tempat yang sebelumnya ditempati
oleh obat anestesi inhalasi diaveoli yang berangsur-angsur keluar mengikuti udara
ekspirasi.
Dengan demikian tekanan parsiel obat anestesi di alveoli juga berangsur-angsur
turun, sehingga lebih rendah dibandingkan dengan tekanan parsiel obat anestesi
inhalasi didalam darah. Maka terjadilah difusi obat anestesi inhalasi dari dalam darah
menuju ke alveoli. Semakin tinggi perbedaan tekanan parsiel tersebut kecepatan difusi
makin meningkat. Sementara itu oksigen dari alveoli akan berdifusi ke dalam darah.
Semakin tinggi tekanan parsiel oksigen di alveoli (akibat oksigenisasi) difusi
kedalam darah semakin cepat, sehingga kadar oksigen di dalam darah meningkat,
menggantikan posisi obat anestesi yang berdifusi menuju ke alveoli. Akibat terjadinya
difusi obat anestesi inhalasi dari dalam darah menuju ke alveoli, maka kadarnya di
dalam darah makin menurun.
Turunnya kadar obat anestesi inhalasi tertentu di dalam darah, selain akibat difusi
di alveoli juga akibat sebagian mengalami metabolisme dan ekskresi lewat hati,
ginjal, dan keringat. Kesadaran penderita juga berangsur-angsur pulih sesuai dengan
turunnya kadar obat anestesi di dalam darah. Bagi penderita yang mendapat anestesi
intravena, maka kesadarannya, berangsur-angsur pulih dengan turunnya kadar obat
anestesi akibat metabolisme atau ekskresi setelah pemberinya dihentikan.

17
Selanjutnya pada penderita yang dianestesi dengan respirasi spontan tanpa
menggunakan pipa endotrakheal maka tinggal menunggu sadarnya penderita,
sedangkan bagi penderita yang menggunakan pipa endotrakheal maka perlu dilakukan
ekstubasi (melepas pipa ET). Ekstubasi bisa dilakukan pada waktu penderita masih
teranestesi dalam dan dapat juga dilakukan setelah penderita sadar. Ekstubasi pada
keadaan setengah sadar membahayakan penderita, karena dapat terjadi spasme jalan
napas, batuk, muntah, gangguan kardiovaskuler, naiknya tekanan intra okuli dan
naiknya tekanan intra cranial.
Ekstubasi pada waktu penderita masih teranestesi dalam mempunyai resiko tidak
terjaganya jalan nafas, dalam kurun waktu antara tidak sadar sampai sadar. Tetapi ada
operasi tertentu ekstubasi dilakukan pada waktu penderita masih teranestesi dalam.
Pada penderita yang mendapat balance anestesi maka ekstubasi dilakukan setelah
napas penderita adekuat. Untuk mempercepat pulihnya penderita dari pengaruh
muscle relaxant maka dilakukan reverse, yaitu memberikan obat antikolinesterase.
Sebagian ahli anestesi tetap memberikan reverse walaupun napas sudah adekuat
bagi penderita yang sebelumnya mendapat muscle relaxant. Sebagian ahli anestesi
melakukan ekstubasi setelah penderita sadar, bisa diperintah menarik napas dalam,
batuk, menggelengkan kepala dan menggerakkan ekstremitas. Penilaian yang lebih
obyektif tentang seberapa besar pengaruh muscle relaxant adalah dengan
menggunakan alat nerve stimulator.
Adapun setelah prosedur diatas selesai, pasien dipindahkan ke ruang pemulihan
dan terus diobservasi dengan cara menilai Aldrettes score nya, nilai 8-10 bisa
dipindahkan ke ruang perawatan, 5-8 observasi secara ketat, kurang dari 5 pindahkan
ke ICU, penilaian meliputi: (4)

Hal yang dinilai Nilai

1. Kesadaran:
Sadar penuh 2
Bangun bila dipanggil 1
Tidak ada respon 0

2. Respirasi:
Dapat melakukan nafas dalam, bebas, dan dapat batuk 2
Sesak nafas, nafas dangkal atau ada hambatan 1
Apnoe 0

3. Sirkulasi: perbedaan dengan tekanan preanestesi


Perbedaan +- 20 2
Perbedaan +- 50 1

18
Perbedaan lebih dari 50 0

4. Aktivitas: dapat menggerakkan ekstremitas atas perintah:


4 ekstremitas 2
2 ekstremitas 1
Tidak dapat 0

5. Warna kulit
Normal 2
Pucat, gelap, kuning atau berbintik-bintik 1
Cyanotic 0

BAB III

KESIMPULAN

Anestesi umum adalah menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral

disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Anestesi memungkinkan pasien

untuk mentoleransi prosedur bedah yang akan menimbulkan sakit yang tak

tertahankan, mempotensiasi eksaserbasi fisiologis yang ekstrim, dan menghasilkan

19
kenangan yang tidak menyenangkan. Dengan cara kerja yang berpedoman pada trias

anestesi yaitu: hipnotik/sedasi, analgesia, dan relaksasi.

Pada anestesi umum perhatian khusus harus diberikan kepada penderita karena

pengaruh zat anestesi yang mempengaruhi seluruh tubuh. Kedalaman anestesi harus

dimonitor terus menerus oleh pemberi anestesi agar tidak terlalu dalam sehingga

membahayakan jiwa penderita, tetapi cukup adekwat untuk melakukan operasi. Pada

akhir operasi atau setelah operasi selesai, maka anestesi diakhiri dengan

menghentikan pemberian obat anestesi.

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Miller, RD. Scope of anaesthesia in Basics of Anaesthesia. 6th ed. California:

Elsevier; 2011. P11-12.


2. Budiono, U. Anestesi Umum dalam Anestesiologi. Bagian anestesiologi dan

terapi intensif FK UNDIP; 2010. P101-102.

20
3. Soenarto FR, Chandra S. Buku Ajar Anestesiologi : Jakarta; Departemen

Anestesiologi dan Intensive Care Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia/RS Cipto Mangunkusumo; 2012.


4. Butterworth, JF. Et al. Morgan and Mikhails Clinical Anesthesiology. 5 th ed.

Virginia: Mc Grawhill; 2000.


5. Latief A. Said, Suryadi A. Kartini, Dachlan Ruswan M. Petunjuk Praktis

Anestesiologi. Edisi ke-2. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif

FKUI; 2002.

21

Anda mungkin juga menyukai