Anda di halaman 1dari 20

INFEKSI GENITALIA

OLEH:
Amalina 1110313003
Ranti Jayanti 1110313079

PEMBIMBING
Dr.H.Syahredi.S.A Spog

BAGIAN ILMU OBSTRETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M. DJAMIL
PADANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi alat genitalia, termasuk infeksi menular seksual, masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang terjadi di negara-negara. Infeksi Chlamydia trachomatis merupakan
infeksi menular seksual yang paling sering terjadi, namun sebagian besar infeksi ini tidak
menunjukkan gejala sama sekali (asimptomatik) sehingga infeksi ini tidak diketahui maupun
disadari oleh penderita.
Keluhan yang paling sering dari infeksi ini adalah adanya cairan yang keluar dari vagina
yang disebut vaginal discharge. Keluhan vaginal discharge inilah yang paling sering
menyebabkan wanita datang berobat atau memeriksakan dirinya. Sekitar 20-30% wanita yang
datang berobat ke poli ginekologi memiliki keluhan vaginal discharge dan leukorrhoe. Beberapa
infeksi genital lainnya yang juga dapat menyebabkan adanya keluhan vaginal discharge yang
patologis ini, antara lain bacterial vaginosis, candidiasis, trichomoniasis, dan gonorrhoeae .
Infeksi Chlamydia dan gonorrhoea dapat menyebabkan gangguan saat kehamilan (Romoren, et
al, 2007). Di negara-negara maju hampir seluruh populasi wanita yang diteliti menunjukkan
bahwa prevalensi infeksi Chlamydia lebih banyak daripada infeksi gonorrhoe. Pada wanita
tempat infeksi Chlamydia yang paling sering adalah pada endocerviks.

1.2 Tujuan
Mengetahui jeni-jenis dari infeksi ginekologi mulai dari define, etiologi, patogeniesis,
gejala klinik, cara mmendiagnosa, dan terapi yang tepat.
BAB II
TINJAU PUSTAKA

2.1 Infeksi pada Vulva1


Vulva normal terdiri dari kulit dengan epitel skuamosa terstratifikasi mengandung
kelenjar-kelenjar lemak, keringat , dan apokrin, sedang dibawahnya jaringan subkutan termasuk
kelenjar Bartolin. Gatal atau rasa panas di vulva merupakan kurang lebih 10 % dari alasan untuk
memeriksakan diri.

a. Pedikulosis pubis
Merupakan penyakit menular yang disebabkan kutu Pthirus pubis dan paling maudah
ditularkan melalui kontak dekat (seksual dan non-seksual), memakai handuk atau sprei
bersama. Parasite menaruh telur di dasar folikel rambut. Parasite dewasa mengisap darah
manusia dan berpindah.
Keluhan berupa gatal yang hebat dan menetap di daerah pubik yang disebabkan penyakit
alergi, disertai lesi makulopapuler di vulnva.
Diagnosis dibuat dengan visualisasi telur atau kutu di rambut pubik atau identifikasi
mikroskopik kutu dengan minyak yang tampak seperti ketam.
Terapi infeksi ini membutuhkan obat yang dapat membunuh ktu dewasa dan telurnya.
Krim pemetrin 5% atau losion 1%, diaplikasikan kemudian dibiarkan 10 menit lalu, dicuci
dengan air. Dipakai dua kali dengan jarak 10 hari untuk membunuh telur yang baru menetas.

b. Scabies
Disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei var hominis dan ditularkan melalui kontak
dekat (seksual dan non-seksual) dan dapat menginfeksi setiap bagian tubuh, teutama
permukaan fleksura siku dan pergelangan tangan seta genitalia eksterna. Betina dewasa
bersembunyi dan meletakkan telur di bawah kulit, serta bergerak cepat melewati kulit
Keluhan berupa gatal hebat tetapi sebentar-sebentar. Gatal lebih hebat di malam hari.
Kelainan kulit dapat berupa papula, vesikel, atau liang. Diagnosis dibuat dengan pemeriksaan
mikroskopik.
Terapi scabies membutuhkan obat yang dapat membunuh kutu dewasa dan telurnya.
Krim pemetrin 5% diaplikasikan ke seluruh permukaan kulit dari leher sampaii ibu
jari kaki. Dipakai selama 10 menit 2x sehari selama dua hari.
Benzyl benzoate emulsi topical 25% dipakai diseluruh tubuh dengan interval 12 jam,
kemudian di cuci 12 jam setelah aplikasi terakhir.
Asam salisilat 2% dan endapan balerang 4% dipakai pada bagian yang terkena.

c. Kondiluma akuminatum
Adalah infeksi vulva, vagina, atau serviks oleh beberapa subtipe human papilloma virus
(HPV). Infeksi HPV adalah penyakit menular seksual yang paling berkaitan dengan lesi-lesi
intraepitel di serviks, vagina, dan vulva, juga dengan karsinoma skuamosa dan
adenokarsinoma. Subtipe yang menyebabkan kondiloma eksofitik biasanya tidak
terkaitberkaitan dengan karsinoma.
Keluhan dan gejala-gejala berupa lesi lunak bertangkai pada setiap permukaan mukosa
atau kulit yang bervariasi dalam ukuran dan bentuk. Lesi biasanya tidak menimbulkan
keluhan kecuali kalau terluka atau terkena infeksi sekunder, yang sebabkan perdarahan dan
nyeri.
Diagnosis dibuat terutama dengan inspeksi. Pemeriksaan kolposkopi dapat membantu
idnetifikasi lesi-lesi seriks atau vagina. Diagnosis dapat ditegakkan dengan melihat
perubahan-perubahan akibat HPV pada pemeriksaan mikroskopik spesimen biopsy atau pap
smear. Terapi berupa pengangkatan lesi jika ada keluhan atau untuk alasan kosmetik. Tidak
ada terapi yang dapt digunakan untuk membasmi habis virus HPV.
Padofilin. Lesi diusapi dengan pdofilin tiap minggu selama 4-6 minggu. Padofilin dicuci
setelah 6 jam.
Asam trikloasetat dipakai setiap 1 sampai 2 minggu sampai lesi lepas
Krim imikuimod 5% dipakai 3 kali seminggu sampai 16 minggu. Biarkan krim di kulit
selama 6 10 jam
Terpai krio, elektrokauter atau terapi laser dapat digunakan untuk lesi yang lebih besar.
2.2 Infeksi pada vagina1
Vaginitis ditandai dengan pruritus, keputihan, dyspareunia, dan isuria. Bau adalah
keluhan yang paling sering dijumpai.
Vagina secara normal didami oleh sejumlah organisme seperti Lactobacillus acidophilus,
difteroid, candida, dan flora yang lain. pH fisiologisnya sekitar 4,0 yang mengahambat bakteria
patogenik tumbuh berlebihan. Ada juga keputihan fisiologik yang terdiri dari flora bakteri, air,
elektrolit, dan epitel vagina serta serviks. Khas warna putihnya, halus, tidak berbau dan terlihat
di vagina. Diagnosa vaginitis umumnya memerlukan pemeriksaan mikroskopik cairan vagina

a. Vaginitis bakterialis
Merupakan penyebab vaginitis paling banyak. Umumnya disebabkan oleh
pergesaran komposisi flora vagina normal dengan peningkatan bakteri anaerobic sampai
10 kali lipat. Secara bersamaanterjadi penurunan laktobasili
Vaginitis bakterialis dapat meningkatka penularan HIV. VB dapat mengenai
pemakai AKDR.
Gejala yaitu keputihan yang bersifat tipis, homogeny, warna putihabu-abu, dan
berbau amis. Keputihannya bisa banyak sekali dan pada pemeriksaan dengan speculum
lengket di dinding vagina. Pruritus atau iritasi vulva dan vagina jarang terjadi.
Diagnosis dibuat dengan cara
Identifikasi mikroskopik sel-sel clue pada usapan basah. Sel-sel clue adalah sel-
sel epitel vagina dengan kerumunan bakteri menempel pada membran sel.
Tampak juga beberapa sel radang dan laktobasili
pH cairan vagina sama atau lebih dari 4,5
uji Whiff positif yang berarti keluar bau amis pada waktu ditambahkan larutan
KOH 10-20/% pada cairan vagina
eritema vagina jarang
Terapi dapat berupa
metronidazole 500mg per oral 2x sehari selama 7 hari
metronidazole per vagina 2x sehari selama 5 hari
krim klindamisin 2% per vagina 1x sehari selama 7 hari
b. Trikomonas
Infeksi yang disebabkan oleh protozoa Trichomonas vaginalis yang ditularkan
secara seksual. Trikomonas merupakan penyebab 25% infeksi vagina. Trikomonas adalah
organisme yang tahan dan mampu hidup dalam handuk basah atau permukaan lain. Masa
inkubasi berkisar 4 sampai 28 hari.
Keluhan dan gejala bisa sangat bervariasi. Cairan vagian biasanya berbuh,
tipis,berbau tidak enak, dan bayak. Warnanya bisa abu-abu, putih, atau kuning kehijauan.
Kadang terdapat eritema atau udem pada vulva dan vagina dan dapat mengenai serviks
sehinggan tampak eritem dan rapuh.
Diagnosis :
Preparat kaca memperlihatkan protozoa fusiformis uniseluler yang sedikit lebih
besar di banding sel darah putih. Ia mempunyai flagella dan dalam specimen
dapat dilihat gerakannya. Biasanya ada banyak sel radang.
Cairan vagina mempunyai pH 5,0 7,0
Pasien yang terinfeksi tapi tidak ada keluhan dapat di diagnose dengan pap
smear.
Terapi dengan metronidazole 2 g per oral (dosis tunggal). Pasangan seks pasien
juga harus diobati

c. Candida

Kandidiasis vulvovaginal adalah penyebab vaginitis terbanyak kedua di Amerika Serikat


dan yang terbanyak di Eropa. Sekitar 75% dari perempuan pernah mengalami kandidiasis
vulvovaginal suatu waktu dalam hidupnya, dan sekitar 5% perempuan mengalami episode
rekurensi. Agen penyebab yang tersering (80 sampai 90%) adalah Candida albicans. Saat ini,
frekuensi dari spesies non-albicans (misalnya, Candida glabrata) meningkat, mungkin
merupakan akibat dari peningkatan penggunaan produk-produk anti jamur yang dijual bebas.

Faktor risiko untuk terjadinya kandidiasis vulvovaginal sulit untuk ditentukan. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa risiko untuk terinfeksi penyakit ini meningkat pada perempuan
yang menggunakan kontrasepsi oral, diaphragma dan spermicide, atau IUD. Faktor risiko yang
lain termasuk melakukan hubungan seksual pertama kali ketika umur masih muda, melakukan
hubungan seks lebih dari empat kali per bulan dan oral seks. Risiko kandidiasis vulvovaginal juga
meningkat pada perempuan dengan diabetes yang sedang hamil atau minum antibiotik.

Komplikasi kandidiasis vulvovaginal jarang terjadi. Chorioamnionitis pada saat hamil


dan syndrome vestibulitis vulva pernah dilaporkan.

Candida tidak ditularkan secara sexual, dan episode kandidiasis vulvovaginal tidak
berhubungan dengan jumlah pasangan seksual yang dimiliki. Mengobati laki-laki pasangan
seksual dari seorang perempuan yang menderita kandidiasis tidak perlu dilakukan, kecuali laki-
laki tersebut tidak disunat atau ada peradangan pada ujung/glans penis.

Kandidiasis vulvovaginal rekuren/berulang didefinisikan sebagai terjadinya empat atau


lebih episode kandidiasis vulvovaginal dalam periode satu tahun. Belum jelas apakah rekurensi
ini terjadi karena berbagai faktor predisposisi atau presipitasi.

Pengobatan kandidiasis vulvovaginitis :

1. Butoconazol
- Cream 2%, intavaginal selama 3 hari
2. Clotrimazol
- Vaginal tablet, 100mg, selama 7 hari
- Vaginal tablet, 100mg, 2 tablet selama 3 hari
3. Metronidazol
- Crem 2%, intravaginal, selama 7 hari
- Vaginal suppository,100mg, 1suppositori selama 7 hari
- Vaginal suppository,200mg, 1suppositori selama 3 hari
- Vaginal suppository,1200mg, 1suppositori selama 1 hari
4. Nystatin
- Vaginal tablet, 100.000mg, 1 tablet selama 14 hari
5. Terconazol
- Vaginal suppository,80mg, 1suppositori selama 3 hari

2.3 Infeksi pada serviks uteri1


Servisits ditandai dengan peradangan berat mukosa dan submukosa serviks. Secara
histologic dapat dilihat infiltrasi sel-sel peradangan akut dan kadang-kadang nekrosis sel epitel.
Pathogen utama servsitis mukopurulen adalah C. trachomatis dan Neisseria gonorrhoeae,
keduanya ditularkan secara seksual. Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan gram.

a. Klamidia trakomatis
Secara epidemiologi didapat angka kejadian infeksi klamidia dianatara peserta
KB di Jakarta Utara tahun 1997 sebesar 9,3% sementara diantara di bali 6,7%.
Faktor risiko nya antara lain umur di bawah 25 tahun dan aktif secara seksual,
status social ekonomi rendah, pasangan seksual banyak, dan status tidak kawin
Mikrobiologi C. trachomatis adalah organisme intraseluler wajib yang lebih
menyukai menginfeksi sel-sel skuamokolumner, yaitu pada zona transisi serviks.
Infeksi klamidia tidak menimbulkan keluhan pada 30% sampai 50% kasus dan
dapat menetap selama beberpa tahun. Pasien dengan servitis mungkin mengeluhkan
keluar cairan vagina, bercak darah, atau perdarahan pasca senggama. Pada pemeriksaan,
serviks tampak rapuh dan mengalami erosi. Ditemukan cairan mukopurulen berwarna
kuning kehijauan. Pewarnaan gram memperihatkan lebih dari 10 leukosit
polimorfonuklear.
Diagnosis dengan biaka merupakan pemeriksaan yang paling optimal, tetpai
memakan waktu dan fasilitas biakan yabg memadai
Terapi
Azitromisin 1 g peroral (single dose)
Doksisiklin 10 mg per oral 2x sehari selama 7 hari
Terapi alternative
Eritromisin 500 mg per oral 4x sehari selama 7 hari
Ofloksasin 30 mg peroral 2x sehati selama 7 hari

b. Gonorea
Mikrobiologi N. Gonorrhoeae adalah diplokokus gram negatif yang menginfeksi
epitel kolumner atau pseudostatified. Oleh karna itu, traktus urogenital merpakan tempat
infeksi paling sering.
Faktor risiko hampir sama dengan servitis. Insiden gonorea lebih tinggi pada laki-
laki daripada perempuan dengan rasio 1,5 : 1, risiko penularan dari laki-laki ke
perempuan adalah 80%
Gnorea hampir tidak mmeberikan gejala, tapi dapat juga datang dengan keluar
cairan vagina, dysuria, perdarahan uterus abnormal.
Diagnosa dengan biakann pada medium selektif merupakan uji terbik. Lidi kapas
steril dimasukkan ke kanal endoserviks selama 15-30 detik keumudian specimen diusap
pada medium. Dapat juga dilakukan pemeriksaan gram, tampak diplokokus intraseluler.
Terapi
Seftriakson 125 mg i.m dosis tunggal
Sefiksim 400 g per oral dosis tunggal
Siprofloksasi 500 mg per oral dosis tunggal
Ofoksasin 400 mg per oral dosis tunggal

2.4 Endometrisis

Definisi

Endometritis adalah peradangan yang terjadi pada endometrium, yaitu lapisan sebelah
dalam pada dinding rahim, yang terjadi akibat infeksi bakteri patogen yang naik dari serviks ke
endometrium.1

Etiologi

Bakteri patogen yang turut berperan dalam penyakit ini yaitu Chlamidia trachomatis,
Neisseria gonorrhoeae, Streptococcus agalactiae, HSV Cytomegalovirus, Mycoplasma hominis.
Organisme yang menyebabkan vaginosis bakterial dapat jga menyebabkan endometritis
histologik meskipun pada perempuan tanpa keluhan.1

Keluhan dan Gejala

a. Endometritis kronik

Banyak perempuan dengan endometritis kronik tidak mempunyai keluhan. Keluhan


klasik endometritis kronik adalah pendarahan vaginal intermenstrual. Dapat juga terjadi
pendarahan pascasanggama dan menoragia. Perempuan lain mungkin mengeluh nyeri tumpul di
perut bagian bawah terus menerus. Endometritis menjadi penyebab infertilitas yang jarang.

b. Endometritis akut

Jika endometritis terjadi bersama PID akut maka biasa terjadi nyeri tekan uterus. Sulit
untuk menentukan apakah radang tuba atau endometrium yang menyebabkan rasa tidak enak di
panggul.

Diagnosis

Diagnosis endometritis kronik ditegakkan dengan biopsi dan biakan endometrium.


Gambaran histologik klasik endometritis kronik berupa reaksi radang monosit dan sel-sel plasma
di dalam stroma endometrium (lima sel plasma per lapangan pandangan kuat). Tidak ada korelasi
antara adanya sejulah kecil sel leukosit polimorfonuklear dengan endometritis kronik. Pola
infiltrat radang limfosit dan sel-sel plasma yang tersebar di seluruh stroma endometrium terdapat
pada kasus endometritis berat. Kadang-kadang bahkan terjadi stroma.

Terapi

Terapi pilihan untuk endometritis kronik adalah doksisiklin 100 mg po 2x1 selama 10
hari. Dapat pula dipertimbangkan cakupan yang lebih luas untuk organisme anerobik terutama
kalau ada vaginosis bakterial. Jika terkait dengan PID akut terapi harus fokus pada organisme
penyebab utama termasuk N.gonorrhoeae dan C.trachomatis, demikian pula cakupan
polimikrobial yang luas.

2.5 Penyakit Radang Panggul

Definisi

Penyakit radang panggul (pelvic inflammatory disease) adalah infeksi pada alat genital
atas yang dapat meliputi endometrium, tuba fallopi, ovarium, miometrium, parametrium, dan
peritoneum. Penyakit ini merupakan komplikasi infeksi bakteri pada serviks yang menyebar
secara ascending menuju ke organ gentalia bagian atas
Epidemiologi

Secara epidemiologik di Indonesia insidennya diekstrapolasikan sebesar lebih dari


850.000 kasus baru setiap tahun. PID merupakan kasus infeksi serius yang paling biasa pada
perempuan umur 16-25 tahun. Terdapat kenaikan insiden PID dalam 2-3 dekade yang lalu yang
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain adat istiadat, sosial yang lebih liberal, insidensi
patogen menular seksual seperti C.trachomatis dan pemakaian metode kontrasepsi seperti
AKDR. Kurang lebih 15% kasus PID terjadi setelah tindakan seperti biopsi endometrium,
kuretase, histeroskopi dan inserti AKDR. 85% kasus terjadi secara spontan pada perempuan usia
reproduksi yang secara seksual aktif.

Faktor risiko

Riwayat PID sebelumnya

- Banyak pasangan seks didefinisikan sebagai lebih dari dua pasangan dalam waktu 30
hari, sedangkan pada pasangan monogami serial tidak didapatkan risiko yang meningkat.
- Infeksi oleh orgaisme menular seksual, dan sekitar 15% pasien dengan gonorea
anogenital tanpa komplikasi akan berkembang menjadi PID pada akhir atau segera
sesudah menstruasi.
- Pemakaian AKDR dapat meningkatkan risiko PID 3-5 kali lipat. Risiko PID terbesar
terjadi pada waktu pemasangan AKDR dan dalam 3 minggu pertama setelah
pemasangan.

Patofisiologi

Seperti endometriosis PID disebabkan penyebaran infeksi melalui serviks. Meskipun PID
terkait dengan infeksi menular seksual alat genital bawah tetapi prosesnya polimikrobial. Salah
satu teori patofisiologi adalah bahwa organisme menular seksual seperti N.gonorrhoeae atau
C.trachomatis memulai proses inflamasi akut yang menyebabkan kerusakan jaringan sehingga
memungkinkan akses oleh organisme lain dari vagina atau serviks ke alat genital atas. Aliran
darah menstruasi dapat mempermudah infeksi pada alat genital atas dengan menghilangkan
sumbat lendir serviks, menyebabkan hilangnya lapisan endometrium dan efek protektifnya serta
menyediakan medium biakan yang baik untuk bakteri yaitu darah menstruasi.
Gejala

Gejala yang paling sering dikemukakan adalah nyeri abdominopelvik. Keluhan lain
bervariasi, antara lain keluarnya cairan vagina atau pendarahan, demam dan menggigil, serta
mual dan disuria. Demam terlihat pada 60-80% kasus.

Diagnosis

Diagnosis PID sulit karena keluhan dan gejala-gejala yang dikemukakan sangat
bervariasi. Pada pasien dengan nyeri tekan serviks, uterus, dan adneksa, PID didiagnosis dengan
akurat hanya 65%. Karena akibat buruk PID terutama infertilitas dan nyeri panggul kronik maka
PID harus dicurigai pada perempuan berisiko dan diterapi secara agresif. Kriteria minimum
untuk diagnosis klinis adalah sebagai berikut:

- Nyeri gerak serviks


- Nyeri tekan uterus
- Nyeri tekan adneksa

Kriteria tambahan seperti berikut dapat dipakai untuk menambah spesifitas kriteria
minimum dan mendukung diagnosis PID

- Suhu oral > 38,3C


- Cairan serviks atau vagina tidak normal mukopurulen
- Leukosit dalam jumlah banyak pada pemeriksaan mikroskop sekret vagina dengan salin
- Kenaikan LED
- Protein reaktif-C meningkat
- Dokumentasi laboratorium infeksi serviks oleh N.gonorrhoeae

Kriteria diagnosis PID paling spesifik meliputi:

- Biopsi endometrium disertai bukti histopatologis endometritis


- USG Transvaginal atau MRI memperlihatakan tuba menebal penuh berisi cairan dengan
atau tanpa cairan bebas di panggul atau kompleks tubo-ovarial atau pemeriksaan Doppler
menyarankan infeksi panggul (misal hiperemi tuba)
- Hasil pemeriksaan laparaskopi yang konsisten dengan PID.
Terapi

Pada pasien PID ringan atau sedang terapi oral dan parenteral mempunyai daya guna
klinis yang sama. Sebagian besar klinisi menganjurkan terapi parenteral paling tidak selama 48
jam kemudian dianjurkan dengan terapi oral 24 jam setelah ada perbaikan klilnis. Rekomendasi
terapi dari CDC adalah sebagai berikut:

Terapi parenteral

- Rekomendasi terapi parenteral A


o Sefotetan 2g iv setiap 12 jam atau
o Sefoksitin 2g iv setiap 6 jam ditambah
o Doksisiklin 100 mg oral atau iv setiap 12 jam
- Rekomendasi terapi parenterap B
o Klindamisin 900 mg setiap 8 jam ditambah
o Gentamisin dosis muatan iv atau im (2mg/kgBB) diikuti dengan dosis
pemeliharaan (1,5 mg/kgBB) setiap 8 jam. Dapat diganti dengan dosis tunggal
harian.
- Terapi parenteral alternatif
Tiga terapi alternatif telah dicoba dan mereka mempunyai cakupan spektrum yang luas
o Levofloksasin 500 mg iv 1x1 dengan atau tanpa metronidazol 500 mg iv setiap 8
jam atau
o Ofloksasin 400 mg iv setiap 12 jam dengan atau tanpa metronidazol 500 mg iv
setiap 8 jam atau
o Ampisilin / Sulbaktam 3g iv setiap 6 jam ditambah doksisiklin 100 mg oral atau
iv setiap 12 jam.

Terapi Oral

Terapi oral dapat dipertimbangkan untuk penderita PID ringan atau sedang karena
kesudahan klinisnya sama dengan terapi parenteral. Pasien yang mendapat terapi oral dan tidak
menunjukkan perbaikan setelah 72 jam harus dire-evaluasi untuk memastikan diagnosisnya dan
diberikan terapi parenteral baik dengan rawat jalan maupun inap.
- Rekomendasi terapi A
o Levofloksasin 500 mg po 1x1 selama 14 hari atau ofloksasin 400 mg 2x1 selama
14 hari dengan atau tanpa
o Metronidazol 500 mg po 2x1 selama 14 hari.
- Rekomendasi terapi B
o Seftriakson 250 mg im dosis tunggal ditambah doksisiklin 2x1 po selama 14 hari
dengan atau tanpa metronidazol 500 mg 2x1 po selama 14 hari atau
o Sefoksitin 2g im dosis tunggal dan probenesid ditambah doksisiklin oral 2x1
selama 14 hari dengan atau tanpa metronidazol 500 mg 2x1 selama 14 hari atau
o Sefalopsorin generasi ketiga (misal seftizoksim atau sefotaksim) ditambah
doksisiklin 2x1 po selama 14 hari dengan atau tanpa metronidazol 500 mg 2x1 po
selama 14 hari.
o

2.6 Herpes Genitalis

Defenisi

Herpes genitalis adalah infeksi pada genital yang disebabkan oleh Herpes Simplex Virus
(HSV) dengan gejala khas berupa vesikel yang berkelompok dengan dasar eritema dan bersifat
rekurens 1.

Epidemiologi

Data- data di beberapa RS di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi herpes genital rendah
sekali pada tahun 1992 di RSUP dr.Moewardi yaitu hanya 10 kasus dari 9983 penderita IMS.
Namun, prevalensi di RSUD Dr.Soetomo agak tinggi yaitu sebesar 64 dari 653 kasus IMS dan
lebih tinggi lagi di RSUP Denpasar yaitu 22 kasus dari 126 kasus IMS 2.

Etiologi dan morfologi

Herpes Simplex Virus (HSV) dibedakan menjadi 2 tipe oleh SHARLITT tahun 1940
menjadi HSV tipe 1 dan HSV tipe 2. Secara serologik, biologik dan fisikokimia, keduanya
hampir tidak dapat dibedakan. Namun menurut hasil penelitian, HSV tipe 2 merupakan tipe
dominan yang ditularkan melalui hubungan seksual genito-genital. HSV tipe 1 justru banyak
ditularkan melalui aktivitas seksual oro-genital atau melalui tangan 3.

Gejala klinis

Gejala awalnya mulai timbul pada hari ke 4-7 setelah terinfeksi. Gejala awal biasanya
berupa gatal, kesemutan dan sakit. Lalu akan muncul bercak kemerahan yang kecil, yang diikuti
oleh sekumpulan lepuhan kecil yang terasa nyeri. Lepuhan ini pecah dan bergabung membentuk
luka yang melingkar. Luka yang terbentuk biasanya menimbulkan nyeri dan membentuk
keropeng. Penderita bisa mengalami nyeri saat berkemih atau disuria dan ketika berjalan akan
timbul nyeri. Luka akan membaik dalam waktu 10 hari tetapi bisa meninggalkan jaringan parut.
Kelenjar getah bening selangkangan biasanya agak membesar. Gejala awal ini sifatnya lebih
nyeri, lebih lama dan lebih meluas dibandingkan gejala berikutnya dan mungkin disertai dengan
demam dan tidak enak badan 3.

Pada pria, lepuhan dan luka bisa terbentuk di setiap bagian penis, termasuk kulit depan
pada penis yang tidak disunat. Pada wanita, lepuhan dan luka bisa terbentuk di vulva dan leher
rahim. Jika penderita melakukan hubungan seksual melalui anus, maka lepuhan dan luka bisa
terbentuk di sekitar anus atau di dalam rektum. Pada penderita gangguan sistem kekebalan
(misalnya penderita infeksi HIV), luka herpes bisa sangat berat, menyebar ke bagian tubuh
lainnya, menetap selama beberapa minggu atau lebih dan resisten terhadap pengobatan dengan
asiklovir. Gejala-gejalanya cenderung kambuh kembali di daerah yang sama atau di sekitarnya,
karena virus menetap di saraf panggul terdekat dan kembali aktif untuk kembali menginfeksi
kulit. HSV-2 mengalami pengaktivan kembali di dalam saraf panggul. HSV-1 mengalami
pengaktivan kembali di dalam saraf wajah dan menyebabkan fever blister atau herpes labialis.
Tetapi kedua virus bisa menimbulkan penyakit di kedua daerah tersebut. Infeksi awal oleh salah
satu virus akan memberikan kekebalan parsial terhadap virus lainnya, sehingga gejala dari virus
kedua tidak terlalu berat.

Diagnosis

Diagnosis secara klinis ditegakkan dengan adanya gejala khas berupa vesikel
berkelompok dengan dasar eritema dan bersifat rekuren. Pemeriksaan laboratorium yang paling
sederhana adalah tes Tzank yang diwarnai dengan pengecatan Giemsa atau Wright dimana akan
tampak sel raksasa berinti banyak. Cara terbaik dalam menegakkan diagnosa adalah dengan
melakukan kultur jaringan karena paling sensitif dan spesifik. Namun cara ini membutuhkan
waktu yang banyak dan mahal. Dapat pula dilakukan tes-tes serologis terhadap antigen HSV baik
dengan cara imunoflouresensi, imunoperoksidase maupun ELISA 4.

Terapi

Pada kasus berat atau pasien-pasien dengan imunosupresan diberikan asiklovir intervensi
5 mg/kg setiap 8 jam selama 5 hari. Untuk pasien rawat jalan yang sakit pertama kali diberikan
asiklovir 200 mg per 5x1 selama 5 hari. Terapi mengurangi lama keluhan tetapi tidak
mempengaruhi latensi virus. Asiklovir topikal yang diberikan pada daerah yang terkena 3-4x
sehari dapat mempercepat penyembuhan dan mengurangi keluhan. Cara ini kurang efelktif
dibanding pemberian oral. Untuk kekambuhan diberikan asiklovir 200 mg per oral 5x sehari
selama 5 hari. Untuk profilaksis diberikan asiklovir 200 mg po 2-5x sehari atau 400 mg po 2x
sehari. Konseling pasien dianjurkan untuk tidak melakukan hubungan seks sejak mulai timbul
keluhan sampai epitelisasi kembali lesi dengan lengkap1.

Komplikasi

Komplikasi yang paling ditakutkan adalah akibat dari penyakit ini pada bayi yang baru
lahir. Herpes genitalis pada trimester awal kehamilan dapat menyebabkan abortus atau
malformasi kongenital berupa mikroensefali. Pada bayi yang lahir dari ibu pengidap herpes
ditemukan berbagai kelainan seperti hepatitis, ensefalitis, keratokonjungtifitis bahkan stillbirth.4

2.7 Sifilis

Definisi

Sifilis adalah penyakit kelamin yang disebabkan oleh infeksi Treponema pallidum,
menular melalui hubungan seksual atau secara transmisi vertikal. Sifilis bersifat kronik, sistemik,
menyerang hampir semua alat tubuh dan dianggap sebagai peniru akbar (the great imitator)
dalam bidang kedokteran (terutama sebelum ada AIDS) karena banyaknya manifestasi klinis.
Merupakan penyakit menular sedang dengan angka infektifitas 10% untuk setiap kali hubungan
seksual dengan pasangan yang terinfeksi. Individu dapat menularkan penyakit pada stadium
primer dan sekunder sampai tahun pertama stadium laten1.

Gejala dan Tanda

Lesi primer (Chancre=ulcus durum) biasanya muncul 3 minggu setelah terpajan. Lesi
biasanya keras (indurasi), tidak sakit, terbentuk ulkus dengan mengeluarkan eksudat serosa di
tempat masuknya mikroorganisme. Masuknya mikroorganisme ke dalam darah terjadi sebelum
lesi primer muncul, biasanya ditandai dengan terjadinya pembesaran kelenjar limfe (bubo)
regional, tidak sakit, keras non fluktuan. Infeksi juga dapat terjadi tanpa ditemukannya ulkus
durum yang jelas, misalnya infeksi terjadi di rectum atau cervik. Walaupun tidak diberi
pengobatan ulcus akan hilang sendiri setelah 4-6 minggu. Sepertiga dari kasus yang tidak diobati
akan mengalami stadium generalisata, stadium dua, di mana muncul erupsi kulit yang
kadangkala disertai dengan gejala kontitusional tubuh. Timbul makolo popular biasanya pada
telapak tangan dan telapak kaki diikuti dengan limfadenopati. Erupsi sekunder ini merupakan
gejala klasik dari Sifilis yang akan hilang spontan dalam beberapa minggu atau sampai 12 bulan
kemudian. Penderita stadium erupsi sekunder ini, sepertiga dari mereka yang tidak diobati akan
masuk ke dalam fase laten selama berminggu-minggu bahkan selama bertahun-tahun.

Pada awal fase laten sering muncul lesi infeksius yang berulang pada selaput lendir.
Terserangnya Susunan Syaraf Pusat (SSP) ditandai dengan gejala meningitis sifilitik akut dan
berlanjut menjadi sifilis meningovaskuler dan akhirnya timbul paresis dan tabes dorsalis. Periode
laten ini kadangkala berlangsung seumur hidup. Pada kejadian lain yang tidak dapat diramalkan,
5-20 tahun setelah infeksi terjadi lesi aorta yang sangat berbahaya (sifilis kardiovaskuler) atau
guma dapat muncul di kulit, saluran pencernaan tulang atau pada permukaan selaput lendir.

Stadium awal sifilis jarang sekali menimbulkan kematian atau disabilitas yang serius,
sedangkan stadium lanjut sifilis memperpendek umur, menurunkan kesehatan dan menurunkan
produktivitas dan efisiensi kerja. Mereka yang terinfeksi sifilis dan pada saat yang sama juga
terkena infeksi HIV cenderung akan menderita sifilis SSP.

Infeksi pada janin terjadi pada ibu yang menderita sifilis stadium awal pada saat
mengandung bayinya dan ini sering sekali terjadi sedangkan frekuensinya makin jarang pada ibu
yang menderita stadium lanjut sifilis pada saat mengandung bayinya. Infeksi pada janin dapat
berakibat aborsi, stillbirth, atau kematian bayi karena lahir prematur atau lahir dengan Berat
Badan Lahir Rendah (BBLR) atau mati karena menderita penyakit sistemik. Infeksi congenital
dapat berakibat munculnya manifestasi klinis yang muncul kemudian berupa gejala neurologis
terserangnya SSP.

Dan kadangkala infeksi konginital dapat mengakibatkan berbagai kelainan fisik yang dapat
menimbulkan stigmasasi di masyarakat seperti gigi Hutchinson, saddlenose (hidung pelana
kuda), saber shins (tulang kering berbentuk pedang), keratitis interstitialis dan tuli. Sifilis
congenital kadangkala asimtomatik, terutama pada minggu-minggu setelah lahir6.

Cara Penularan

Cara penularan sifilis adalah dengan cara kontak langsung. Sifilis infeksius dari lesi awal
kulit dan selaput lendir pada saat melakukan hubungan seksual dengan penderita sifilis. Lesi bisa
terlihat jelas ataupun tidak terlihat jelas. Pemajanan hampir seluruhnya terjadi karena hubungan
seksual. Penularan karena mencium atau pada saat menimang bayi dengan sifilis konginetal
jarang sekali terjadi. Infeksi transplasental terjadi pada saat janin berada dalam kandungan ibu
menderita sifilis.

Transfusi melalui darah donor bisa terjadi jika donor menderita sifilis pada stadium awal.
Penularan melalui barang-barang yang tercemar secara teoritis bisa terjadi namun kenyataannya
boleh dikatakan tidak pernah terjadi. Petugas kesehatan pernah dilaporkan mengalami lesi primer
pada tangan mereka setelah melakukan pemeriksaan penderita sifilis dengan lesi infeksius 6.

Terapi Rekomendasi terapi sifilis oleh CDC adalah sebagai berikut1:

Sifilis Primer dan Sekunder


Benzatin penisilin G 24 juta unit im dalam dosis tunggal. Alergi penisilin (tidak hamil)
diberikan doksisiklin 10 mg po 2x1 selama 2 minggu atau tetrasiklin 500 mg po 4x1
selama 2 minggu.
Sifilis Laten
Sifilis laten awal (<1 tahun) : Benzatin penisilin G 2,4 juta unit im dalam dosis tunggal.
Sifilis laten akhir (>1 tahun) atau tidak diketahui lamanya: Benzatin penisilin G total 7,2
unit diberikan dalam 3 dosis masing-masing 2,4 juta unit im dengan interval 1 minggu.
Sifilis Tersier
Benzatin penisilin G total 7,2 juta unit diberikan dalam 3 dosis masing-masing 2,4 juta
unit im dengan interval 1 minggu. Alergi penisilin diberikan sama seperti untuk sifilis
laten akhir.
Neurosifilis
Penisilin G kristalin aqua 18-24 juta unit setiap hari diberikan dalam 3x4 juta unit iv tiap
4 jam atau infus berkelanjutan selama 10-14 hari.
Sifilis dalam kehamilan
Terapi penisilin sesuai dengan stadium sifilis perempuan hamil. Beberapa pakar
merekomendasikan terapi tambahan (misal dosis kedua benzatin penisilin 2,4 juta unit
im) 1 minggu setelah dosis inisial, terutama untuk perempuan pada trisemester ketiga,
dan untuk mereka yang menderita sifilis sekunder selama kehamilan. Alergi penisilin:
seorang perempuan hamil dengan riwayat alergi penisilin harus diterapi dengan penisilin
setelah desensitisasi.
Sifilis pada pasien yang terinfeksi virus HIV
Sifilis primer dan sekunder: Benzatin penisilin 2,4 juta unit im. Pasien yang alergi dengan
penisilin harus didesensitisasi dan diberi terapi dengan penisilin. Sifilis laten
(pemeriksaan cairan serebrospinal normal): benzatin penisilin G 7,2 juta unit dibagi
dalam 3 dosis mingguan masing-masing 2,4 juta unit.
Tindak lanjut setelah terapi sifilis awal maka perlu diperiksa VDRL atau titer reagen
plasma cepat setiap 3 bulan selama 1 tahun (uji sebaiknya dikerjakan oleh laboratorium yang
sala). Titer harus turun empat kali dalam setahun. Jika tidak maka diperlukan pengobatan
kembali. Bila pasien telah terinfeksi lebih dari satu tahun maka titer harus diikuti selama 2 tahun.
Uij FTA-ABS yang spesifik akan tetap positif selamanya1.

Cara Pencegahan
Adapun cara pencegahan penyakit sifilis yaitu selalu menjaga higienis
(kebersihan/kesehatan) organ ginetalia, menggunakan kondom bila melakukan hubungan seks,
pemakaian jarum suntik baru setiap kali menerima pelayanan medis yang menggunakan jarum
suntik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Wiknjosastro, H, Saifuddin, B, Rachimhadi, Trijatmo. Radang dan Beberapa penyakit


lain pada alat genital wanita in Ilmu Kandungan. 2011. Edisi ketiga , Cetakan peertama.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirodihardjo : Jakarta
2. Centers for Disease Control and Prevention, 2007. CDC Fact Sheet Genital Herpes.
Available from: http://www.cdc.gov/std/healthcomm/factsheets .htm. [accessed 13 April
2010].
3. Hakim, L., 2009. Epidemiologi Infeksi Menular Seksual. In: Daili, S.F., et al., Infeksi
th
Menular Seksual. 4 ed. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI, 3-16.
4. Salvaggio, M.R. & Lutwick, L.I., 2009. Herpes Simplex, University of Oklahoma College
of Medicine. Available from: http://emedicine.medscape.com /article/218580-overview
[accessed 13 April 2010].
5. Daili, S.F., 2009. Herpes Genitalis. In: Daili, S.F., et al., Infeksi Menular Seksual. 4th ed.
Jakarta: Balai Penerbitan FKUI, 125-139
6. James Chin. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Jakarta: Penerbit Infomedika.
2006.

Anda mungkin juga menyukai