Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN APPENDISITIS DENGAN

TINDAKAN OPERATIF APPENDIKTOMI


DI RUANG IBS RS. KEN SARAS UNGARAN

HARISKA JOKO SRIYANTO


NIM. P.17420613059

PRODI DIV KEPERAWATAN SEMARANG


JURUSAN KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
2017
LAPORAN PENDAHULUAN
APPENDISITIS DENGAN TINDAKAN OPERATIF APPENDIKTOMI
DI RUANG IBS RS. KEN SARAS UNGARAN

I. Konsep Dasar Appendisitis

A. Pengertian

Appendisitis adalah peradangan dari apendiks dan merupakan


penyebab abdomen akut yang paling sering (Mansjoer,2000). Appendisitis
adalah radang apendiks, suatu tambahan seperti kantung yang tak berfungsi
terletak pada bagian inferior dari sekum. Penyebab yang paling umum dari
Appendisitis adalah abstruksi lumen oleh feses yang akhirnya merusak suplai
aliran darah dan mengikis mukosa menyebabkan inflamasi (Wilson &
Goldman, 1989). Appendisitis merupakan penyakit prototip yang berlanjut
melalui peradangan, obstruksi dan iskemia di dalam jangka waktu bervariasi
(Sabiston, 1995). Appendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi
akut pada kuadran bawah kanan rongga abdomen, penyebab paling umum
untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer, 2001).

Appendiktomi adalah tindakan pembedahan yang dilakukan untuk


memotong jaringan apendiks yang mengalami peradangan. Appendiktomi
(pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin
untuk menurunkan resiko perforasi. Appendiktomi dapat dilakukan dibawah
anastesi umum atau spinal dengan insisi abdomen bawah atau dengan
laparoskopi, yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif (Smletzer,
Suzanne C, 2001).

B. Anatomi Fisiologi

Usus buntu dalam bahasa latin disebut sebagai Appendix


vermiformis. Appendiks terletak di ujung sekum kira-kira 2 cm di bawah
anterior ileo saekum, bermuara di bagian posterior dan medial dari saekum.
Pada pertemuan ketiga taenia yaitu: taenia anterior, medial dan posterior.
Secara klinik appendiks terletak pada daerah Mc. Burney yaitu daerah 1/3
tengah garis yang menghubungkan sias kanan dengan pusat. Posisi apendiks
berada pada Laterosekal yaitu di lateral kolon asendens. Di daerah inguinal:
membelok ke arah di dinding abdomen. Walaupun lokasi apendiks selalu
tetap, lokasi ujung umbai cacing bisa berbed bisa di retrocaecal atau di
pinggang (pelvis) yang jelas tetap terletak di peritoneum (Harnawatiaj, 2008).

Ukuran panjang apendiks rata-rata 6 9 cm. Lebar 0,3 0,7 cm. Isi
0,1 cc, cairan bersifat basa mengandung amilase dan musin. Pada kasus
Appendisitis, apendiks dapat terletak intraperitoneal atau retroperitoneal.
Apendiks disarafi oleh saraf parasimpatis (berasal dari cabang nervus vagus)
dan simpatis (berasal dari nervus thorakalis X). Hal ini mengakibatkan nyeri
pada Appendisitis berawal dari sekitar umbilicus (Nasution, 2010).

Saat ini diketahui bahwa fungsi apendiks adalah sebagai organ


imunologik dan secara aktif berperan dalam sekresi immunoglobulin (suatu
kekebalan tubuh) dimana memiliki/berisi kelenjar limfoid. Apendiks
menghasilkan suatu imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT
(Gut Associated Lymphoid Tissue), yaitu Ig A. Imunoglobulin ini sangat
efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi, tetapi jumlah Ig A yang
dihasilkan oleh apendiks sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah Ig A
yang dihasilkan oleh organ saluran cerna yang lain. Jadi pengangkatan
apendiks tidak akan mempengaruhi sistem imun tubuh, khususnya saluran
cerna (Nasution, 2010).

C. Etiologi

Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetus Appendisitis.


Sumbatan pada lumen apendiks merupakan faktor penyebab dari Appendisitis
akut, di samping hiperplasia (pembesaran) jaringan limfoid, timbuan
tinja/feces yang keras (fekalit), tumor apendiks, cacing ascaris, benda asing
dalam tubuh (biji cabai, biji jambu, dll) juga dapat menyebabkan sumbatan
(Mansjoer, 2000).

Diantara beberapa faktor diatas, maka yang paling sering ditemukan


dan kuat dugaannya sebagai penyebab appendisitis adalah faktor
penyumbatan oleh tinja/feses dan hyperplasia jaringan limfoid. Penyumbatan
atau pembesaran inilah yang menjadi media bagi bakteri untuk berkembang
biak. Perlu diketahui bahwa dalam tinja/feses manusia sangat mungkin sekali
telah tercemari oleh bakteri/kuman Escherichia Coli, inilah yang sering kali
mengakibatkan infeksi yang berakibat pada peradangan usus buntu
(Mansjoer, 2000).

D. Klasifikasi

Menurut Syamsuhidayat (2004), Appendisitis di klasifikasikan menjadi :

1. Appendisitis akut

Appendisitis akut adalah radang pada jaringan apendiks.


Appendisitis akut pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya
akan diikuti oleh proses infeksi dari apendiks. Penyebab obstruksi dapat
berupa :
a. Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.
b. Fekalit
c. Benda asing
d. Tumor.

Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang


diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini semakin meningkatkan
tekanan intra luminer sehingga menyebabkan tekanan intra mukosa juga
semakin tinggi. Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman
ke dinding apendiks sehingga terjadi peradangan supuratif yang
menghasilkan pus / nanah pada dinding apendiks. Selain obstruksi,
Appendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ lain
yang kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks.

2. Appendicitis Purulenta (Supurative Appendicitis)

Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema


menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan
menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema
pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam
dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi
suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan
mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat
eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal
seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan
nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi
pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.

3. Appendisitis kronik

Diagnosis Appendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi


semua syarat, riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu,
radang kronik apendiks secara makroskopikdan mikroskopik, dan keluhan
menghilang satelah apendektomi. Kriteria mikroskopik Appendisitis
kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau
total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa, dan
infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens Appendisitis kronik antara 1-5
persen.

4. Appendisitis rekurens

Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan


nyeri berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi
dan hasil patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila
serangn Appendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun,
Appendisitis tidak perna kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fribosis
dan jaringan parut. Resiko untuk terjadinya serangn lagi sekitar 50 persen.
Insidens Appendisitis rekurens biasanya dilakukan apendektomi yang
diperiksa secara patologik. Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan
apendektomi karena sering penderita datang dalam serangan akut.

5. Mukokel Apendiks

Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi


musin akibat adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya
berupa jaringan fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa
infeksi. Walaupun jarang,mukokel dapat disebabkan oleh suatu
kistadenoma yang dicurigai bisa menjadi ganas. Penderita sering datang
dengan eluhan ringan berupa rasa tidak enak di perut kanan bawah.
Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka kanan. Suatu saat bila
terjadi infeksi, akan timbul tanda Appendisitis akut. Pengobatannya adalah
Appendiktomi.

6. Adenokarsinoma apendiks

Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu


apendektomi atas indikasi Appendisitis akut. Karena bisa metastasis ke
limfonodi regional, dianjurkan hemikolektomi kanan yang akan memberi
harapan hidup yang jauh lebih baik dibanding hanya apendektomi.

7. Karsinoid Apendiks

Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang


didiagnosis prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan
patologi atas spesimen apendiks dengan diagnosis prabedah Appendisitis
akut. Sindrom karsinoid berupa rangsangan kemerahan (flushing) pada
muka, sesak napas karena spasme bronkus, dan diare ynag hanya
ditemukan pada sekitar 6% kasus tumor karsinoid perut. Sel tumor
memproduksi serotonin yang menyebabkan gejala tersebut di atas.
Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa
memberikan residif dan adanya metastasis sehingga diperlukan opersai
radikal. Bila spesimen patologik apendiks menunjukkan karsinoid dan
pangkal tidak bebas tumor, dilakukan operasi ulang reseksi ileosekal atau
hemikolektomi kanan

E. Patofisiologi

Appendisitis biasa disebabkan oleh adanya penyumbatan lumen


apendiks oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena
fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Feses yang
terperangkap dalam lumen apendiks akan menyebabkan obstruksi dan akan
mengalami penyerapan air dan terbentuklah fekolit yang akhirnya sebagai
kausa sumbatan. Obstruksi yang terjadi tersebut menyebabkan mukus yang
diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mukus semakin
banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan tersebut
akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis
bakteri, dan ulserasi mucus (Mansjoer, 2000).

Pada saat ini terjadi Appendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri
epigastrium. Sumbatan menyebabkan nyeri sekitar umbilicus dan
epigastrium, nausea, muntah. invasi kuman E Coli dan spesibakteroides dari
lumen ke lapisan mukosa, submukosa, lapisan muskularisa, dan akhirnya ke
peritoneum parietalis terjadilah peritonitis lokal kanan bawah. Suhu tubuh
mulai naik. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat.
Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan
bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan
mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di area kanan
bawah. Keadaan ini yang kemudian disebut dengan Appendisitis supuratif
akut. (Mansjoer, 2000).

Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark diding


apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan
Appendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh pecah, akan
menyebabkan Appendisitis perforasi. Bila proses tersebut berjalan lambat,
omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga
timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan
apendiks tersebut akan menyebabkan abses atau bahkan menghilang. Pada
anak-anak karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding
apendiks lebih tipis. Keadaan demikian ditambah dengan daya tahan tubuh
yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang
tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh (Mansjoer,
2000).

F. Manifestasi Klinik

Menurut Mansjoer (2000) keluhan apendiks biasanya bermula dari


nyeri di daerah umbilicus atau periumbilikus yang berhubungan dengan
muntah. Dalam 2-12 jam nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, yang
akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat juga keluhan
anoreksia, malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Biasanya juga
terdapat konstipasi, tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual, dan muntah.
Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang
menetap.

Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen bawah akan semakin


progresif, dan denghan pemeriksaan seksama akan dapat ditunjukkan satu titik
dengan nyeri maksimal. Perkusi ringan pada kuadran kanan bawah dapat
membantu menentukan lokasi nyeri. Nyeri lepas dan spasme biasanya juga
muncul. Bila tanda Rovsing, psoas, dan obturatorpositif, akan semakin
meyakinkan diagnosa klinis (Syamsuhidayat, 2004).
Appendisitis memiliki gejala kombinasi yang khas, yang terdiri dari :
Mual, muntah dan nyeri yang hebat di perut kanan bagian bawah. Nyeri bisa
secara mendadak dimulai di perut sebelah atas atau di sekitar pusar, lalu
timbul mual dan muntah. Setelah beberapa jam, rasa mual hilang dan nyeri
berpindah ke perut kanan bagian bawah. Jika dokter menekan daerah ini,
penderita merasakan nyeri tumpul dan jika penekanan ini dilepaskan, nyeri
bisa bertambah tajam. Demam bisa mencapai 37,8-38,8 Celsius
(Syamsuhidayat, 2004).

Pada bayi dan anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh, di semua


bagian perut. Pada orang tua dan wanita hamil, nyerinya tidak terlalu berat
dan di daerah ini nyeri tumpulnya tidak terlalu terasa. Bila usus buntu pecah,
nyeri dan demam bisa menjadi berat. Infeksi yang bertambah buruk bisa
menyebabkan syok (Syamsuhidayat, 2004).

G. Komplikasi

Appendisitis adalah penyakit yang jarang mereda dengan spontan,


tetapi peyakit ini tidak dapat diramalkan dan mempunyai kecenderungan
menjadi progresif dan mengalami perforasi. Karena perforasi jarang terjadi
dalam 8 jam pertama, observasi aman untuk dilakukan dalam masa tersebut
(Mansjoer, 2000).

Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot


dinding perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses
yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise, leukositosis semakin jelas. Bila
perforasi dengan peritonitis umum atau pembentukan abses telah terjadi sejak
klien pertam akali datang, diagnosis dapat ditegakkan dengan pasti (Mansjoer,
2000).

Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah


operasi untuk menutup asal perforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai
penunjang : tirah baring dalam posisi fowler medium, pemasangan NGT,
puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian penenang, pemberian
antibiotik berspektrum luas dilanjutkan dengan pemberian antibiotik yang
sesuai dengan kultur, transfusi utnuk mengatasi anemia, dan penanganan syok
septik secara intensif, bila ada (Mansjoer, 2000).

Bila terbentuk abses apendiks akan teraba massa di kuadran kanan


bawah yang cenderung menggelembung ke arah rektum atau vagina. Terapi
dini dapat diberikan kombinasi antibiotik (misalnya ampisilin, gentamisin,
metronidazol, atau klindamisin). Dengan sediaan ini abses akan segera
menghilang, dan Appendiktomi dapat dilakaukan 6-12 minggu kemudian.
Pada abses yang tetap progresif harus segera dilakukan drainase. Abses daerah
pelvis yang menonjol ke arah rektum atau vagina dengan fruktuasi positif juga
perlu dibuatkan drainase (Mansjoer, 2000).

Tromboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi tetapi


merupakan komplikasi yang letal. Hal ini harus dicurigai bila ditemukan
demam sepsis, menggigil, hepatomegali, dan ikterus setelah terjadi perforasi
apendiks. Pada keadaan ini diindikasikan pemberian antibiotik kombinasi
dengan drainase. Komplikasi lain yang terjadi ialah abses subfrenikus dan
fokal sepsis intraabdominal lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat
perlengketan (Mansjoer, 2000).

H. Penatalaksanaan

Menurut Mansjoer (2000) penatalaksanaan Appendisitis dapat di


klasifikasikan menjadi:

1. Pre-operasi

a. Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi


b. Pemasangan kateter untuk control produksi urin.

c. Rehidrasi
d. Antibiotic dengan spectrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara
intravena.

e. Obat-obatan penurun panas, phenergan sebagai anti menggigil, largaktil


untuk membuka pembuluh pembuluh darah perifer diberikan setelah
rehidrasi tercapai.

f. Bila demam, harus diturunkan sebelum diberi anestesi.

2. Intra-operasi

a. Apendiks dibuang, jika apendiks mengalami perforasi bebas,maka


abdomen dicuci dengan garam fisiologis dan antibiotika.
b. Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV,massanya mungkin
mengecil,atau abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka
waktu beberapa hari. Appendiktomi dilakukan bila abses dilakukan
operasi elektif sesudah 6 minggu sampai 3 bulan.

3. Post-operasi

a. Observasi TTV.
b. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi cairan
lambung dapat dicegah.

c. Baringkan pasien dalam posisi semi fowler.

d. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama
pasien dipuasakan.

e. Bila tindakan operasilebih besar, misalnya pada perforasi, puasa


dilanjutkan sampai fungsi usus kembali normal.

f. Berikan minum mulai15ml/jam selama 4-5 jam lalu naikan menjadi 30


ml/jam. Keesokan harinya berikan makanan saring dan hari berikutnya
diberikan makanan lunak.
g. Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat
tidur selama 230 menit.

h. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar.

i. Hari ke-7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.

j. Pada keadaan massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif
yang ditandai dengan :

k. Keadaan umum klien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi

l. Pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas


terdapat tanda-tanda peritonitis

m.Laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis terdapat


pergeseran ke kiri.

Sebaiknya dilakukan tindakan pembedahan segera setelah klien


dipersiapkan, karena dikuatirkan akan terjadi abses apendiks dan
peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik-
baiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tiggi daripada
pembedahan pada Appendisitis sederhana tanpa perforasi. Tindakan
yang dilakukan sebaiknya konservatif dengan pemberian antibiotik dan
istirahat di tempat tidur. Tindakan bedah apabila dilakukan lebih sulit
dan perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila massa apendiks telah
terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit
perut.Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses
dengan atau tanpa peritonitis umum (Mansjoer, 2000).

II. Asuhan Keperawatan Appendisitis

A. Pengkajian
Pengkajian menurut Wong (2003), Doenges (1999), Catzel (1995), Betz (2002),
antara lain :

1. Keluhan utama

klien akan mendapatkan nyeri di sekitar epigastrium menjalar ke perut


kanan bawah. Timbul keluhan Nyeri perut kanan bawah mungkin beberapa
jam kemudian setelah nyeri di pusat atau di epigastrium dirasakan dalam
beberapa waktu lalu.Sifat keluhan nyeri dirasakan terus-menerus, dapat
hilang atau timbul nyeri dalam waktu yang lama. Keluhan yang menyertai
biasanya klien mengeluh rasa mual dan muntah, panas.

2. Riwayat kesehatan masa lalu biasanya berhubungan dengan masalah.


kesehatan klien sekarang ditanyakan kepada orang tua.
3. Diet,kebiasaan makan makanan rendah serat.

4. Kebiasaan eliminasi.

5. Pemeriksaan Fisik

a. Sirkulasi : Takikardia.

b. Respirasi : Takipnoe, pernapasan dangkal.

c. Aktivitas/istirahat : Malaise.

d. Eliminasi : Konstipasi pada awitan awal, diare kadang-kadang.

e. Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan


atau tidak ada bising usus.

f. Nyeri/kenyamanan, nyeri abdomen sekitar epigastrium dan


umbilicus, yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc.
Burney, meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau napas
dalam. Nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi
kaki kanan/posisi duduk tegak.
g. Demam lebih dari 380C.

h. Data psikologis klien nampak gelisah.

i. Ada perubahan denyut nadi dan pernapasan.

j. Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan


penderita merasa nyeri pada daerah prolitotomi.

k. Berat badan sebagai indicator untuk menentukan pemberian obat.

6. Pemeriksaan Penunjang

a. Tanda-tanda peritonitis kuadran kanan bawah. Gambaran


perselubungan mungkin terlihat ileal atau caecal ileus (gambaran
garis permukaan cairan udara di sekum atau ileum).

b. Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan Appendisitis


infiltrat.

c. Urine rutin penting untuk melihat apa ada infeksi pada ginjal.

d. Peningkatan leukosit, neutrofilia, tanpa eosinofil.

e. Pada enema barium apendiks tidak terisi.

f. Ultrasound: fekalit nonkalsifikasi, apendiks nonperforasi, abses


apendiks.

B. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa yang muncul pada anak dengan kasus Appendisitis berdasarkan


rumusan diagnosa keperawatan menurut NANDA (2006) antara lain :
1. Pre Operasi

a. Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit.

b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan mual,muntah, anoreksia.

2. Post Operasi

a. Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan.

b. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan asupan cairan


yang tidak adekuat.

C. Intervensi Keperawatan

Intervensi menurut Mc.Closkey (1996) Nursing Intervention


Classsification (NIC), dan hasil yang diharapkan menurut Johnson (2000)
Nursing Outcome Classification ( NOC) , antara lain :

1. Pre Operasi

a. Dx I. Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit.

Tujuan : Nyeri dapat berkurang Intervensi


atau hilang.
1) Lakukan pengkajian nyeri,
Kriteria Hasil : secara komprhensif meliputi
lokasi, keparahan, factor
1) Nyeri berkurang
presipitasinya.
2) Ekspresi nyeri lisan atau
2) Observasi ketidaknyamanan
pada wajah
3) Kegelisahan atau non verbal.
keteganganotot
3) Gunakan pendekatan yang
4) Mempertahankan tingkat positif terhadap pasien, hadir
nyeri pada skala 0-10. dekat pasien untuk
memenuhi kebutuhan rasa
5) Menunjukkan teknik
nyamannya dengan cara:
relaksasi yang efektif untuk
masase, perubahan posisi,
mencapai kenyamanan
berikan perawatan yang
tidak terburu-buru.

4) Kendalikan factor lingkungan


yang dapat mempengaruhi
respon pasien terhadap
ketidaknyamanan.

5) Anjurkan pasien untuk


istirahat.

6) Libatkan keluarga dalam


pengendalian nyeri pada
anak.

7) Kolaborasi medis dalam


pemberian analgesic.

b. Dx II. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


berhubungan dengan mual,muntah, anoreksia.

Tujuan : Setelah dilakukan Intervensi


tindakan keperawatan diharapkan
1) Tentukan kemampuan pasien
nutrisi pasien adekuat.
untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi.
Kriteria Hasil :
2) Pantau kandungan nutrisi dan
kalori pada catatan asupan.
1) Mempertahankan berat
badan. 3) Berikan informasi yang tepat
2) Toleransi terhadap diet yang tentang kebutuhan nutrisi dan
dianjurkan. bagaimana memenuhinya.

3) Menunjukan tingkat 4) Minimalkan faktor yang dapat


keadekuatan tingkat energi. menimbulkan mual dan
muntah.
4) Turgor kulit baik.

5) pertahankan higiene mulut


sebelum dan sesudah makan.

2. Post Operasi

a. Dx. I. Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan.

Tujuan : Setelah dilakukan Intervensi


tindakan keperawatan
1) Lakukan pengkajian nyeri,
diharapkan nyeri dapat
secara komprhensif
berkurang atau hilang.
meliputi lokasi, keparahan.
Kriteria Hasil : 2) Observasi
ketidaknyamanan non
1) Nyeri berkurang
verbal
2) Ekspresi nyeri lisan atau pada
wajah 3) Gunakan pendekatan yang
3) Mempertahankan tingkat nyeri positif terhadap pasien,
pada skala 0-10. hadir dekat pasien untuk
memenuhi kebutuhan rasa
4) Menunjukkan teknik relaksasi
nyamannya dengan cara:
yang efektif untuk mencapai
masase, perubahan posisi,
kenyamanan.
berikan perawatan yang
tidak terburu-buru.

4) Kendalikan factor
lingkungan yang dapat
mempengaruhi respon
pasien terhadap
ketidaknyamanan.

5) Anjurkan pasien untuk


istirahat dan menggunakan
tenkik relaksai saat nyeri.

6) Libatkan keluarga dalam


pengendalian nyeri pada
anak.

7) Kolaborasi medis dalam


pemberian analgesic.

b. Dx II. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan asupan


cairan yang tidak adekuat.

Tujuan : Setelah dilakukan Intervensi


tindakan keperawatan
1) Pertahankan catatan intake dan
diharapkan keseimbangan
output yang akurat.
cairan pasien normal dan
dapat mempertahankan 2) Monitor vital sign dan status
hidrasi yang adekuat. hidrasi.

Kriteria Hasil : 3) Monitor status nutrisi

4) Awasi nilai laboratorium,


1) Mempertahankan urine output
seperti Hb/Ht, Na+ albumin
sesuai dengan usia dan BB,
dan waktu pembekuan.
BJ urine normal, HT normal.
2) Tekanan darah, nadi, suhu 5) Kolaborasikan pemberian
tubuh dalam batas normal. cairan intravena sesuai terapi.

3) Tidak ada tanda-tanda 6) Atur kemungkinan transfusi


dehidrasi, elastisitas, turgor darah.
kulit, membran mukosa
lembab.

4) Tidak ada rasa haus yang


berlebihan.

DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cecily L, dkk. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatri, Edisi 3. Jakarta:
EGC

Catzel, Pincus.1995. Kapita Selekta Pediatri. Jakarta: EGC.

Dongoes. Marilyn. E.dkk 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk


Perencana Pendokumentasian Perawatan Klien. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Johnson, Marion,dkk. Nursing Outcome Classification (NOC). St. Louis,
Missouri: Mosby Yearbook,Inc.

Markum.1991.Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: FKUI.

Mansjoer. A. Dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3. Jakarta :


Media Aesculapius.

Mc. Closkey, Joanne. 1996. Nursing Intervention Classsification (NIC). St. Louis,
Missouri: Mosby Yearbook,Inc.

Nelson.1994.Ilmu Kesehatan Anak.Vol 2.Jakarta: EGC.

Sabiston, D.C. 1995. Buku Ajar Bedah. Jakarta : EGC.

Syamsuhidayat. R & De Jong W. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2 .Jakarta :
EGC.

Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawtan Pediatrik, Edisi 4. Jakarta:


EGC.

Pathway (Mansjoer, 2007)

Apendiks

Hiperplasi Benda Erosi Fekalit Striktur Tumor


folikel asing mukosa
limfoid apendiks

Obstruksi

Mukosa terbendung

Apendiks teregang
Ulserasi dan invasi bakteri
Ke peritonium
Nyeri
Ansietas
Peritonitis Resiko bakteri
infeksi pada dinding
Appendiktomi
Tekanan
Aliran
Luka Appendisiti
darah
insisi apendiks
intraluminal
terganggu Resiko
Thrombosis
Nyeri
hipotermi
kekurangan
pada vena
Perforasi volluminal
cairan

Anda mungkin juga menyukai